TIGA BELAS JIWA

Av slsdlnrfzrh

1.3M 188K 70.8K

Cerita ini adalah penggalan kehidupan dari tiga belas jiwa yang bekerja di rumah sakit jiwa. Kalian akan mene... Mer

Tiga Belas Jiwa
[SC] Raga
[JH] Johan
[JS] Joshua
[WJH] Arel
[KSY] Catra
[JWW] Dipta
[WZ] Khrisna
[DK] Arthur
[KMG] Pram
[XMH] Mada
[BSK] Gatra
[VN] Vernon
[DN] Dino
1.1 Raga
1.2 Johan
1.3 Joshua
1.4 Arel
1.5 Catra
1.6 Dipta
1.7 Khrisna
1.8 Arthur
1.9 Pram
1.10 Mada
1.11 Gatra
1.12 Vernon
1.13 Dino
2.1 Raga
2.2 Johan
2.3 Joshua
2.4 Arel
2.5 Catra
2.6 Dipta
2.7 Khrisna
2.8 Arthur
2.9 Pram
2.10 Mada
[Special Part] Manjiw Squad Girls
2.11 Gatra
2.12 Vernon
2.13 Dino
3.1 Raga
3.2 Johan
3.3 Joshua
3.4 Arel
3.5 Catra
3.6 Dipta
3.7 Khrisna
3.8 Arthur
3.9 Pram
3.10 Mada
3.12 Vernon
3.13 Dino
4.1 Raga
4.2 Johan
4.3 Joshua
4.4 Arel
4.5 Catra
4.6 Dipta
4.7 Khrisna
4.8 Arthur
4.9 Pram
4.10 Mada
4.11 Gatra
4.12 Vernon
4.13 Dino

3.11 Gatra

13.4K 2.2K 861
Av slsdlnrfzrh

Gatra

Akhir-akhir ini, gue lagi suka banget sama lagu One Ok Rock yang judulnya Wherever you are. Entah itu di mobil, di motor sambil pakai earphone, atau di RS pas jam istirahat sekali pun, gue pasti selalu memutar lagu yang sama. Alasannya? Nggak tau, suka aja, padahal gue bukan orang yang menyukai segala hal soal Jepang dan lebih condong suka pada musik serta film-film barat- apalagi kalau Disney, sampe hafal gue tuh sama OST Tangled yang judulnya I See The Light.

Mungkin karena Kaila kali ya?

Gue juga baru tahu dekat-dekat ini sih, tepatnya setelah kita berdua menjadi dua orang yang saling terbuka satu sama lain. Kaila itu half Korean half Japanese. Bukan keturunan, melainkan dia suka dua budaya yang memang lagi digandrungi oleh rata-rata remaja dan dewasa. Kalau Korea, dia suka banget sama Bigbang dan drama bergenre Thriller. Sedangkan kalau Jepang, dia suka banget anime Kimi No Na Wa dan juga One Ok Rock.

Nggak nyangka sih, padahal gue kira cewek oneng kayak dia sukanya nonton Tukang Ojek Pengkolan atau Ini Talkshow di Net TV. Tapi seleranya boleh juga, mana nyambung banget lagi kalau gue ajakin ngobrol soal film-film Disney. Pengetahuannya sangat luas, nggak cuma enak diajak ngobrol soal hobi, tapi juga soal hal-hal lain termasuk soal politik dan pemerintahan sekali pun.

Biasanya setelah selesai praktek, gue akan mendapati Kaila yang sudah menunggu gue di ruang tunggu klinik rehabilitasi medik. Tapi kali ini gue nggak melihatnya, sempet melihat ke sekeliling untuk mencari perempuan itu siapa tau dia lagi ngobrol sama perawat atau tenaga medis lain namun gue tidak melihatnya di mana pun.

"Nyari apaan lo?"

Tumben Bang Arel belom pulang, padahal ini udah hampir jam empatan. "Duit, jatoh bang." ucap gue asal yang sontak membuat laki-laki itu mengalihkan pandangannya pada lantai.

"Berapa? Kok bisa? Ah elu, sayang kalo udah ada yang mungut." Kadang oon-nya sebelas dua belas sama abang gue; Catra. Cuma bedanya, bang Arel ini lebih berkelas dikit oon-nya, nggak parah-parah banget gitu lah.

"Bang, elah, bercanda doang gue." Laki-laki yang sampai melihat kolong kursi tunggu itu kembali berdiri tegak dengan wajah kesal, merasa ditipu. "Gue nyariin orang, bukan nyariin duit."

"Keterlaluan lo, berani-beraninya bercandain seorang mata duitan kayak gue." Mata duitan apaan, fakir rupiah mah iya. Tapi kayaknya semua orang di Manjiw kayak gitu juga deh, terkecuali tiga orang yang gak perlu gue sebutkan siapa. "2x24 jam gak ketemu orangnya laporin polisi aja. Gue duluan." pamitnya, bisa-bisanya Bang Arel keingetan buat bikin laporan orang hilang.

Gue menggeleng, menatap kepergiannya yang kini berjalan santai menuju pintu keluar. Baru saja gue hendak berbalik, gue dikagetkan oleh seseorang yang menabrak badan gue kencang. Alih-alih berhenti dan minta maaf, laki-laki yang pakai kacamata berlensa warna merah itu malah bersikap seolah-olah dia tidak melakukan dosa.

"Ver, buset." Kalo aja anaknya lagi gak telponan, gue pasti udah teriak dan lari buat geplak kepalanya itu. Jalannya juga buru-buru, mungkin lagi ada sesuatu yang serius makanya sampe gak sadar kalo dia udah nabrak sesosok manusia.

Sumpah, drama banget bahasa gue.

Setelah melewati beberapa lorong, akhirnya gue tiba juga di laboratorium tempat Kaila bekerja. Arsha sama Mada keliatan udah siap-siap, geli banget gue liat kebucinan mereka. Awalnya sih suka gedek karena cemburu, tapi makin sini alasan gedek itu berganti karena cringe banget anjir liat penganten baru itu. Mas Pram sama dokter Ainun mah masih mending, bucinnya tercover Syar'i, lah mereka?

"Kai." Hanya dengan sapaan pelan saja, perempuan yang lagi pakai jaket jeans di badannya itu langsung tersenyum lebar.

"Dokter Gatra!" Pekiknya senang, dia berlari kecil sembari menenteng tas berukuran sedang yang berisi barang bawaannya. Suka heran, dia bawa apa aja kalo kerja? Perasaan tasnya penuh mulu, kayak mau mudik ke kampung halaman.

"Baru keluar?"

Dia mengangguk, "Iya, agak telat kan musim Pilkada."

Ah iya, gue lupa. Pasti banyak pemeriksaan dari para caleg dadakan.

"Hm ... mau langsung pulang?" Tanya gue.

"Kayaknya sih, emang biasanya juga gitu kan?"

Gue mengusap tengkuk gue sendiri lalu menatap wajahnya, "Jalan dulu mau gak?" tawar gue. Masih sering ngerasa gengsi sebenernya tiap ngajak dia keluar. Abis gimana ya, gue gak pernah berusaha sedeket ini sama cewek soalnya.

"Cie, dokter Gatra." Kesel gak sih lo dicengin kayak gitu? Gue sih kesel, apalagi kalo sampe colak-colek kayak gini. "Mau banget nih jalan sama Oneng?"

"Ya kalo nggak mau gak usah jalan, Kai. Repot banget."

"Kenapa sih selalu dokter Gatra yang pundungan?" Dih, dih, liat tuh. Gue perasaan biasa aja, tapi yang sensi malah dia. "Saya mah gak usah ditanya, pasti mau kalo diajakin jalan."

Gue nggak bisa kasih alasan kenapa kita berdua ngobrolnya masih saya-kamu, atau gue-lo. Meskipun kata Kaila kita ini udah resmi menjadi pasangan karena telah saling mengakui perasaan, gue berpikir bahwa mengganti panggilan itu bukan sesuatu yang begitu penting. Baik gue dan Kaila nyamannya kayak gini, jadi ya udah dibuat sengalirnya aja.

"Ya udah, ayo." Gue mengulurkan tangan kearahnya, namun malah disambut dengan tatapan bingung dan kebisuan yang tiba-tiba hinggap di dirinya. "Kenapa diliatin doang? Nggak mau?" tanya gue lagi.

"Mau." Kaila menjawab cepat, lalu kulit telapak tangannya yang dingin itu berhasil gue rasakan ketika jemari kita berdua silih bertautan. Gue melihatnya sekilas, lalu tertawa tanpa sebab sambil menggoyangkan pegangan tangan yang masih menjadi hal asing bagi gue dan dia.

"Saya deg-degan banget." Orang mah kalo deg-degan diem, nggak ngomong, bukannya kayak dia yang blak-blakan gitu. "Aduh banyak orang, malu."

"Lah kirain udah gak punya malu, Kai." Lalu dalam hitungan detik, gue merasakan kukunya menancap di kulit tangan gue. "Aduh!" pekik gue kencang namun tidak juga melepaskan pegangannya.

"Mulutnya nggak ada baik-baiknya banget." Katanya sebal dengan ekspresi yang tampak begitu lucu.

"Belum bisa manis nih mulutnya, kalo ceweknya seanggun Mbak Ainun sih kayaknya bisa baik, Kai."

"Saya juga anggun perasaan." Dia memberikan pembelaan.

"Anggun C. Sasmi lo mah, mimpi." Celetuk gue asal.

"Ciaaaa, siapa tuh yang gandengan kayak rombongan truk tol Cipularang?"

"Asik beut dokter KFR sama mbak-mbak analis yang uhuy!"

"Taruhan ah, Catra apa Gatra yang naik pelaminan duluan?"

"Catra lah, nggak boleh dilangkahin ntar kesurupan Maung Prabu Siliwangi kan bahaya, mintanya kopi item Starbak. Mahal anjrot."

Yah. Mampus dah gue.

Lagian kok gue bisa lupa sih kalo UGD sama Laboratorium itu deketan? Mereka juga ngapain dah ngumpul di belakang gedung kayak gitu? Kayak abis rembugan nentuin jadwal ronda aja.

"Punteennn." Gue lewat gitu aja, menarik Kaila supaya cepat-cepat menghindar dari area penuh kejulitan itu. Suara Bang Johan masih kedengeran, pun dengan Bang Arthur dan juga Mas Dipta yang nggak gue tahu kenapa bisa ada disana.

"Sombong bat lo anjing mentang-mentang udah ada gandengan!" Aduh, malu banget gue sama mulutnya. Mau jual aja bisa gak buat modalin beli baju dia?

"Kaila, sabar-sabar buat iparan sama Catra!" Nasehat yang bagus, Bang Arthur.

"Masih ada waktu buat mikir lagi, gak usah buru-buru." Mulutnya alus banget nih Mas Dipta, kayak cocok aja gitu buat iparan sama The Lord Khrisna Adhyaksa.

"Jangan didengerin." Suruh gue pada Kaila yang kini tertawa kencang oleh celetukan yang dia anggap lucu. "Pada goblok emang mulutnya, minta dikaretin semua."

"Suka saya tuh sama mereka, perfect friendship gak sih?" Friendship sama Friendshit beda tipis ya. Mereka mah shit semua, bajingan. "Tapi dari deket dokter Johan ganteng juga ya."

Langkah gue terhenti, "Kai, mulutnya kotor banget kayak limbah pabrik tekstil. Lo suka?"

"Daripada mulutnya pait kayak dokter Gatra?"

Bisaan emang ngebalikinnya, jago.

"Lo kalo sama dia tersiksa lahir batin, banyak cicilan orangnya, mana kumuh lagi dih kayak rumah pinggiran, kaos sponsoran mulu."

"Hidup minimalis itu namanya." Saking minimalisnya sampe gak bisa ngebedain sama miskin, "Tapi dapet dokter Gatra aja udah Alhamdulillah, nggak mau muluk-muluk minta lebih."

Meski mulut gue pait, seenggaknya mulut lo manis, Kai.

Diabetes mellitus gue kalo tiap hari lo gombalin kayak gini.

"Tumben, motoran." Rupanya Kaila agak kaget karena gue bawa dia ke parkiran roda dua.

"Iya, si Catra tuh curi start, berangkat pagi banget." Emang udah bukan rahasia umum lagi kalo gue dan Catra selalu rebutan kendaraan. "Sini pake helm-nya, biar aman." Ucap gue lalu memasangkan sebuah helm ke kepalanya. Setelah itu gue menepuknya, sukses membuat Kaila memejamkan mata karena ketakukan.

"Dok, ih!" Protesnya ketika gue getok kepalanya dua kali. "Kalo gagar otak gimana?"

"Mana ada, kan gak ada otak lo-nya, hahaha!"

"Tuh kan, jahat." Bibirnya mengerucut, tapi kayaknya kali ini dia beneran sebel.

"Gak apa-apa gak ada otak, yang penting ada hati." Gombal gak sih ini masuknya? Bodo ah, yang penting udah usaha.

"Dangdut." Ejeknya tapi tertawa juga.

Gue naik lebih dulu, lalu menyalakan mesin dan bersiap untuk berangkat. Pelan sekali gue bisa merasakan Kaila berpegangan pada dua sisi pakaian gue. Sesaat tidak ada obrolan yang terjadi, mungkin karena gue juga mengendarai kendaraan sedikit lebih kencang dari biasanya untuk menghindari macet di pertigaan sana.

Lagian ya gue tiap pake motor pasti kurang fokus diajak ngobrol. Telinga gue budeg anjir, abisan suara angin sama kendaraan itu bikin suara-suara lain kedengeran samar. Daripada capek hah-heh hah-heh doang, mending gue diem biar ngobrolnya nanti aja.

Kata Bang Raga yang suka banget jalan akhir-akhir ini, kafe yang letaknya gak jauh dari SMK 2 Cimahi ini lumayan hits dan nyaman buat didatangi. Jujur aja, gue nggak banyak tau sama tempat makan yang enak buat ngedate berdua makanya lebih sering tanya referensi ke orang yang lebih pengalaman. Nongkrong sih sering, tapi kan kalo sama cowok lagi, nongkrongnya pasti di tempat sekenanya. Ya mentok-mentok di bar langganan Ko Mada lah, daerah Braga.

"Kafe ya ini?" Tanya Kaila ketika gue menghentikan kendaraan didepan sebuah bangunan yang didominasi oleh ornamen kayu dan kaca ini.

"Iya, masa musholla." Lain kali gue juga kudu belajar gimana caranya supaya nggak ngomong nyebelin didepan cewek. Bagusnya sama siapa nih yang mulutnya buaya banget? Mas Pram? Bangcat?

Cih, Bangcat dipercaya. Yakin banget mulutnya ikan hiu nabrak kaca alias Catra bau kayak tinja kalo gombal sama cewek.

"Lucu namanya, KupuKupu." Kata dia. Tapi menurut gue lebih lucuan kupu-kupu yang jadi jepit rambut lo deh, Kai. Bikin lo lucu juga soalnya, hehe.

"Yuk masuk." Gue meraih tangannya lagi. Nggak apa-apa modus, daripada dia melipir ke dapur buat cuci piring kan lebih bahaya? Onengnya suka kumat tanpa sebab soalnya.

Suasananya menurut gue cocok banget buat pasangan. Apalagi kalau ambil outdoor yang mana langsung berhadapan dengan taman kecil dan pepohonan yang tumbuh disekitaran sana. Tapi kalo sore gini enaknya didalem aja, soalnya pasti bentar lagi gelap terus banyak nyamuk yang siap sedoa buat gigitin kaki lo dari bawah meja.

Pengalaman soalnya, sering banget gue jadi korban dari nyamuk-nyamuk kelaparan itu.

"Makan apa?"

"Apa aja, terserah."

Gue sih gak pernah pusing sama ucapan 'terserah'. Kalo udah dipasrahin gini, gue pasti pesan apa aja sesuai yang gue inginkan. Pilihan gue jatuh pada Nasi Ayam Mentega dan dua Herbal Tea Peppermint. Kebetulan lagi lapar banget dan butuh yang seger-seger. Biasanya kalo minum teh suka agak enakan, minimal agak rileks gitu badannya.

"Nggak Americano?" Sampe udah tau kalo tiap beli minuman, gue pasti beli Americano.

"Lagi nggak mau. Lo mau?"

Kepalanya menggeleng, "Enggak, pait." katanya. "Apalagi yang hot, kerasa banget."

"Gue juga nggak suka yang hot, paitnya kayak hidup. Kalo yang iced, meskipun pait, masih bisa ketolong soalnya dingin. Hahaha." Filosofi gue soal Americano aneh banget kan? Tapi serius deh, minum Americano panas sama dingin itu kesannya beda. Enakan yang dingin pokoknya, no debate.

"Saya kayaknya nggak jodoh sama perkopian." Itulah kenapa setiap ngajak dia ngopi, gue pasti selalu pesenin Kaila teh. Soalnya gue tau, dia kurang suka sama hasil bumi yang satu itu.

"Nggak apa-apa, nggak semua hal di dunia ini harus seragam." Sedikit kaget ketika Teh Herbal yang kita pesan sudah tiba duluan, "Kopi sama Teh justru jodoh. Sepasang meski beda."

Senyum tipis keluar dari bibirnya, "Iya sih, ya. Lengkap gitu jadinya, ada kopi, ada teh."

"Tapi hari ini gue mau teh aja, sesekali biar sama." Sebetulnya rasanya agak aneh, kayak ... apa ya? Teh ditambahin balsem? Ada anget-angetnya padahal dingin. "Gimana bapak? Udah nggak sering kambuh lagi?"

"Sehat sekarang, udah nurut buat gak telat makan dan makan sembarangan." Jawabnya.

"Ibu? Kenapa minggu ini belum terapi?"

"Iya, kemarin pas jadwal terapi ibu kedatengan tamu dok, dari Cianjur. Jadi nggak berangkat deh." Padahal terapinya sisa dikit lagi, tapi malah dilewatin. Dasar ibu mertua. "Makasih ya, udah bantu ngerawat orang tua saya." katanya, "Saya ngerasa kebantu, soalnya kakak-kakak saya udah sibuk sama keluarganya masing-masing jadi gak ada waktu buat perhatiin bapak ibu."

"Santai aja, kayak ke siapa." Pengen bilang gue pacar lo tapi gengsi ini masih terlalu tinggi. "Kalo ada butuh apa-apa, bilang ya, siapa tau bisa dibantu."

"Hehe, iya, makasih sekali lagi." Katanya diikuti oleh senyuman lebar, "Kalau ayah ibu dokter Gatra?"

Gue lupa, Kaila belum gue kenalin ke ayah ibu.

"Lo mau ketemu mereka?"

Dia malah diem, kayak bingung gitu.

"Nggak dulu deh." Agak kecewa sih gue, "Nggak sampai dokter Gatra yakin sama diri dokter Gatra sendiri."

"Maksudnya?" Untuk yang ini gue beneran nggak mengerti.

"Haha, enggak, kapan-kapan aja ya, dok."

Gue mendekatkan kursi kearah meja hingga posisi gue benar-benar bersidekap diatasnya, "Maksudnya apa ngomong gitu?" tanya gue galak. Soalnya kalimat dia ambigu banget, dan gue takut salah mengartikan apa maksud dia.

"Maaf sebelumnya, tapi gak tau kenapa saya ngerasa kalau dokter Gatra itu kayak masih biasa aja sama saya. Nggak ada beda."

Nggak kaget juga sih kalau apa yang dia bicarakan akan seperti ini.

"Udah sih, itu, hehe." tambahnya dengan kekehan canggung.

"Makan dulu deh." Suruh gue, bertepatan dengan makanan yang diantarkan oleh pelayan. Pikiran gue sedikit terganggu karena tanggapan Kaila, namun sebisa mungkin gue bersikap biasa aja supaya makan malam kali ini berlangsung dengan khidmat.

Setelah selesai, kita sempat sibuk dengan urusan masing-masing. Gue riweuh hapusin notif twitter yang rame banget belakangan ini. Lagian siapa sih yang ngide bikin twitter buat kita? Itu bapak-bapak tetua jadinya kan pada gabut, online mulu disana buat nge-tweet sesuatu yang gak jelas. Mana heboh banget lagi karena followernya udah nyampe seribu. Norak.

"Sabilulungan Squad masih aktif grupnya?" Tanya gue tiba-tiba.

"Masih, ini dokter Lussy lagi pamer jalan bareng sama dokter Khrisna."

Gaya banget lah sepupunya Arthur, pake jampi apaan tuh sampe penguasa Vrindavan bucin banget sama dia?

"Kamu juga pamer aja." Sadar gak kalo ada yang berbeda dari cara gue bicara? "Lagian kan jalan sama pacar sendiri, pamer aja."

Kaila keliatan sedikit syok, membuat gue gemes sendiri kemudian merebut ponselnya untuk mengambil foto perempuan itu. Meski nggak ngerti sama aplikasinya, gue mengirimkan foto yang gue ambil kesana dengan tulisan 'ngedate dulu sama dokter Gatra hehehehehe' he-nya enam kali, sesuai kebiasannya.

"Dok ih, malu."

"Lanjutin yang tadi." Kursi gue sedikit berderit, "Nggak ada beda gimana? Kenapa gak mau dikenalin ke orang tua saya?"

"Kai." Kata orang, kalo lagi serius tatapan gue keliatan nyeremin. "Kamu masih nggak ngerasa dikejar ya? Kamu nggak sadar ya kalau kita udah sejajar? Kalau kita udah siap buat lari barengan?"

"Kenapa jadi kamu yang ragu gitu? Saya masih kurang ya? Kurang meyakinkan kamu kalau saya ini sangat serius sama kamu?"

"Kadang ada masa dimana saya nggak ngerasa yakin. Kayak kita terlalu jauh, itu aja." katanya.

Gue menghela napas kasar, "Pikiran kayak gitu tuh beneran gak bagus, bisa menyugesti apa yang sebenernya nggak terjadi. Jangan suka mikir macem-macem, makanya hari ini juga ayo ketemu ayah ibu, supaya makin yakin."

"Saya yang nggak siap, dok." Sedikit melenceng dari ekspektasi, "Saya yang nggak siap buat secepat ini ketemu sama mereka. Bukannya nggak mau, tapi kalo udah ketemu, takutnya ada harapan yang makin besar. Saya takut berharap, jujur aja saya masih nggak bisa mewujudkan harapan itu karena masih banyak hal yang harus saya lakukan."

Lagi-lagi gue dibuat tidak mengerti.

"Dokter Gatra nggak akan minta maju ke hubungan yang lebih jauh dari ini kan?"

"Kenapa emang? Kalo minta maju ke yang lebih serius, kamu mau bilang apa?"

"Bilang gak bisa, dan mau minta waktu." Ucapnya, "Seenggaknya sampai saya merasa kalo saya bisa ngelepasin orang tua saya buat hidup tanpa saya. Meskipun mereka bisa, tapi saya rasa saya masih dibutuhkan."

Kaila itu ... tipikal perempuan yang bertanggung jawab terhadap keluarga. Gak jarang gue dibuat malu sama dia, karena sebagai seorang anak, gue gak bisa seperti dia padahal gue ini adalah seorang laki-laki.

"Saya nggak akan minta buru-buru, sesiapnya. Tapi tolong ya, jangan ada pikiran kalo saya ini main-main aja. Saya beneran gak suka, Kai. Karena kalo kamu mau tau, buat saya bisa sampai di titik ini tuh butuh banyak perjuangan. Mengenal kamu, dekat sama kamu, menerima kamu, sampai akhirnya tiba di tahap dimana saya gak mau kehilangan kamu."

Setinggi itu, Kai, perasaan gue buat lo sekarang. Nggak mau kehilangan, nggak mau ditinggalkan, karena gue masih mau menyelam lebih dalam.

"Tepati janji buat lari sama-sama. Jangan bikin saya lari di tempat, capek, takutnya nanti malah berhenti. Emang kamu mau?"

"Enggak!" Tuh, bucinnya keliatan. "Aduh tadi lupa rekam, padahal sweet banget mau saya pamerin." Tuh juga, onengnya mulai menampakkan hilal.

"Ngaco." Gue gak tahan lagi sampai harus menoyor keningnya pelan, "Kalo mau ketemu ayah ibu, ketemu aja. Mereka nggak akan nanya kapan kamu siap dilamar. Jangankan kepikiran nikahin anaknya, mereka kayaknya masih pusing gimana caranya bikin saya dan Catra berhenti berantem biar rumah bisa adem."

Cewek itu ketawa, "Lagian udah pada tua masih berantem aja."

"Orang kayak dia emang wajib diperangi, kamu belom tau aja nyebelinnya kayak apa."

"Ya udah minggu ini ketemu deh." Katanya yang bikin gue lumayan kaget juga, "Mau tau, mau tanya-tanya juga kalo di rumah dokter Gatra kayak apa."

Kudu calling dulu emak gue nih supaya bisa saring yang bagusnya aja. Jangan sampe dia bocorin kasus kolor ketuker yang bikin gue perang dingin sampai semingguan lebih. Berabe, bisa-bisa harga diri gue runtuh tak bersisa cuma karena kejadian sialan itu.

Perlahan tangan gue terulur kearahnya, kemudian gue memegang punggung tangannya yang tergeletak diatas meja. Gue mengelusnya sebentar, lalu tersenyum hangat sampai perempuan didepan gue kehabisan tingkah.

"Kai, nikahnya nanti-nanti aja, jangan ngeduluin Bangcat. Kita well prepare aja dulu, nabung biar abis nikah hidupnya layak."

"Iya." katanya, "Asal jangan nabung kayak Mbak Arsha aja, nggak siap digunjingin sama tetangga."

"Otak lu, buset." Gagal romantis dah gua, "Emang paling bener lo gak usah punya otak, punya hati aja buat bucin sama gue."

"Ih, ngomongnya gitu lagi. Nggak konsisten."

"Bodoamat kesel."

Bener kata lo, gue yang pundungan.

Lagian kok bisa sih gue yang dasarnya udah goblok harus ketemu cewek yang satu sama juga gobloknya?

"Ikan hiu nabrak kaca."

"Kai, please." Perempuan itu bungkam seketika, nyengir lebar dengan tatapannya yang slengean.

"Ganti kalo gitu pantunnya, ikan hiu-"

"Ganti apaan, itu masih ikan hiu."

"Kan belom beres!" Nada suaranya meninggi; ikut kesal. "Ikan hiu punya Khrisna."

Gue diem, sengaja nggak menanggapi apapun.

"Emang punya dia." katanya sebagai jawaban.

Udah deh lo gak usah pantun, takutnya gue kalap terus kasihin lo ke ikan jahat punya Khrisna beneran. Dengan gemas, gue mencubit pipinya sampai perempuan itu mengaduh kesakitan. Rasain, abisan lucunya diborong sendirian. Kan jadi sayang. Hiya.

✡️✡️✡️

Saudara Gatra di Twitter, mohon jangan tagih saya lagi. Sekian.

Oh iya, belum say hi

Haiiii~

Long time no see long time long time no see (nyanyi Doom Da Da - TOP)

Fortsett å les

You'll Also Like

5.9K 1K 26
Imagine, you have a healthy relationship. But you are unhealthy Mempunyai hubungan yang baik adalah dambaan setiap orang. Menjalani kehidupan dengan...
208K 39.4K 35
[ㅎㅈㅅ #BOOK2] hubungan jisung dan lina belum berakhir sebelum ada sesi baku hantamnya. sequel book from 'HAN JISUNG'. #41 in shortstory p.s: harsh wo...
141K 25K 64
Lautan, satu kata yang memiliki arti berbeda di diri setiap orang. Ada yang mencintai bentangan perairan biru bernama lautan itu dengan tulus dan ikh...
201K 31K 56
Jennie Ruby Jane, dia memutuskan untuk mengadopsi seorang anak di usia nya yang baru genap berumur 24 tahun dan sang anak yang masih berumur 10 bulan...