Rainie ( END )

By Mimin_somplak27

173K 18.4K 3.8K

Izinkan aku bahagia, Tuhan. ________ Mengapa, Tuhan seolah tak mengizinkanku untuk merasakan kebahagiaan? Men... More

Prolog
Rainie | 01
Rainie | 02
Rainie | 03
Rainie | 04
Rainie | 05
Rainie | 06
Rainie | 07
Rainie | 08
Rainie | 09
Rainie| 10
Rainie| 11
Rainie| 12
Rainie | 13
Rainie | 14
Rainie | 15
Rainie| 17
Rainie | 18
Rainie | 19
Rainie | 20
Rainie | 21
Rainie | 22
Rainie | 23
Rainie | 24
Rainie | 25
Rainie | 26
Rainie | 27
Rainie | 28
Rainie | 29
Rainie | 30
Rainie | 31
Rainie | 32
Rainie | 33
Rainie | 34
Rainie | 35
Rainie | 36
Rainie | 37
Rainie | 38
Rainie | 39
Rainie | 40
Rainie | 41
Rainie | 42
Rainie | 43
Rainie | 44
Rainie | 45
Rainie | 46
Rainie | 47
Rainie | 48
Rainie | 49
Rainie | 50
Rainie | 51
Rainie | 52
Rainie | 53
Rainie | 54
Rainie | 55
Rainie | 56
Rainie | 57
Rainie | 58
Rainie | 59
Rainie | 60
Rainie 61
Rainie | 62
Rainie 63
Rainie | 64
Rainie 65
Rainie 66
Rainie 67
Rainie 68
Rainie | 69
ENDING
Ekstra Part | Membagongkan 1
TARAKTAKDUNG!! MEMBAGONGKAN2

Rainie | 16

2.4K 292 27
By Mimin_somplak27

Revisi📌

16. Mengalah (?)

________

Bingung dan serba salah. Itulah yang saat ini, Qinan rasakan. Di saat hatinya telah berlabuh dan jatuh kepada Sang pemilik hati. Namun, kenyataan menentangnya.

Di saat orang yang kita harapkan dapat dimiliki. Ternyata sudah lebih dulu terjatuh pada hati yang lain. Dan lebih sakitnya lagi, orang yang berhasil membuatnya terjatuh, adalah orang yang kita sayangi sendiri.

Waktu itu dia pernah bicara pada dirinya. Sewaktu ia mengantarkan buku milik Rain yang ketinggalan.

"Oh ya Raf, gue sering mergokin lo senyum ke arah dia. Entah itu pas lo ngehukum dia, pas dia bikin ulah aneh ataupun pas dia lewat Kenapa?"

"Lo ... suka sama dia?"

"Sayangnya, iya. Gue udah lama suka sama dia. Tapi, gue takut dia ngejauh dari gue. Lo inget gak? Anak cowok yang dulu suka main ke rumah lo? Main sama dia."

"Itu gue. Tapi, dulu gue pindah rumah karena bokap mau memulai hidup baru. Dan ya ... gue berpisah sama dia, pas mau masuk SMP kelas delapan. Dan pas SMA, gue minta sama bokap gue, buat gue sekolah di sini. Karena gue yakin, dia juga bakal sekolah di sini."

"O-oh gitu ya, Raf."

Seulas senyuman kecil terbit pada wajahnya. Antara senyum bahagia karena nyatanya sekarang Rain memiliki orang yang bisa membuatnya bahagia. Atau senyum kecewa, karena nyatanya ia juga menyukai Rafa.

Tapi ia harus bisa menahan perasaannya. Bagaimana pun Rain adalah adiknya, orang yang ia sayangi. Dan ia juga sudah berjanji, akan melindungi dan membuatnya bahagia dengan cara apapun.

Dan mungkin, Rain bahagia bila bersama Rafa.

Jika itu benar, maka ia akan berusaha merelakannya. Tapi, apakah di saat bibirnya mengatakan, dirinya rela. Apakah hatinya juga akan demikian?

Tok tok tok

Suara ketukan pintu membuyarkan lamunannya. Kembali menariknya pada Sang dunia nyata.

"Qi, lo di dalam, kan?" tanya seseorang di balik pintu, yang ia yakini itu adalah Rain, "gue boleh masuk gak?"

"Iya, masuk aja Rain. Pintunya gak gue kunci kok."

Pintu kamar terbuka. Memperlihatkan Sang adik yang sudah memakai baju rumahannya.

Seulas senyum manis ia lemparkan ke arahnya. Lalu ia mengangkat tangan kanannya ke udara, melakukan sikap memanggil.

"Sini masuk."

"Ada apa?" tanya Qinan, "tumben lo mau masuk ke kamar gue. Biasanya juga ogah-ogahan."

Rain masuk ke dalam kamar setelah kembali menutup pintu. Dan duduk di atas kasur, dengan posisi menghadap ke arah Qinan.

"Lo bisa bantuin gue gak?"

"Bantuin apaan? Selama masih positif sih gue bantuin."

"Em ... bantuin ... bantuin gue, buat ng-ngafalin perkalian," ucap Rain dengan volume suara yang semakin mengecil.

Tatapan Qinan memicing, curiga. Ia tahu, jika adiknya itu sangat payah dalam hal pelajaran. Sangat malas dalam belajar. Tapi, entah ada angin dari mana, tiba-tiba dia menemuinya, dan memintanya untuk mengajarkannya perkalian.

"Tumben," ucapnya sembari sedikit membenarkan posisi duduknya, membuat kasur sedikit bergerak.

"Ada apa nih, tiba-tiba seorang Rainie Emalya, adik gue yang paling bandel minta ampun. Minta bantuan buat ngafalin perkalian. Kenapa, hm?"

"Coba jelasin, alasannya. Gue mau denger." Qinan menatapnya ingin tahu.

Rasa gugup melingkupi diri Rain. Tidak mungkin kan, jika dia bilang ingin menghafal perkalian, karena Rafa yang memintanya.

Dehaman kecil lolos dari bibir mungilnya. Mencoba untuk terlihat biasa saja, saat Qinan justru menatapnya dengan tatapan mengintimidasi.

"Em ... anu, itu loh. Itu ... anu," ucapnya.

Membuat Qinan yang sedang menopang wajahnya, menatapnya dengan kening berkerut, bingung.

"Anu-itu, itu-anu, apa?"

"Ekhm, jadi gini. Tadi tuh, gue bolos pelajaran matematika. Ketahuan sama Bu Ningrum, gue dihukum buat ngafalin perkalian, karena gue gak tahu pas dia nanya tentang perkalian gitu. Dan alhasil, gue disuruh buat ngafalin perkalian," elak Rain.

Kerutan di dahi gadis itu kian mendalam. Ia kenal siapa Bu Ningrum, dia adalah guru bimbingan belajar dirinya juga Rafa, saat harus belajar di sekolah untuk persiapan olimpiade matematika.

Beliau, adalah termasuk guru yang paling banyak disenangi. Baik, lemah lembut dan penyabar tentunya. Sangat jarang sekali, dia menghukum murid-muridnya.

"Oh gitu, ya," ucapnya final, "yaudah, gue bakal bantuin lo ngafalin perkalian. Tapi menurut gue, tanpa gue juga lo bisa ngafalin perkalian sendiri."

"Gimana caranya?" Kini giliran Rain yang bertanya bingung dengan dahi berkerut.

"Gampang. Lo cuma perlu tulisin perkaliannya di kertas hvs atau karton kecil. Terus lo tempelin di pintu lemari lo. Di sebelah kaca."

Rain hanya mengan)gguk kecil. "Oh, gitu. Terus, bisa langsung hafal gitu? Bisa langsung masuk ke otak?"

Kekehan kecil lolos dari bibir Qinan. "Ya enggaklah. Gue nyuruh lo tempelin di sana itu, karena gue tahu, lemari adalah hal yang paling sering lo datengin di kamar lo. Apalagi yang ada kaca gedenya. Pastikan lo tiap pagi atau abis mandi, berdiri di sana."

"Dan ketika itu, coba lo baca perkalian yang udah lo tempelin. Terus lo baca ulang-ulang. Lama-lama juga hafal."

"Oke, thanks. Bakalan gue coba nanti."

Qinan mengangguk samar lalu meraih buku yang ada berada di atas nakas. Membuka halaman terakhir kali ia membaca.

Sedangkan Rain, sudah mengubah posisinya. Terlentang dengan sebelah tangan yang dilipat dan diposisikan di bawah kepala, sebagai bantal.

Entah mengapa, sepulang belajar bersama Rafa tadi, ia jadi berpikir untuk mulai belajar serius.

"Qi, lo pernah suka sama cowok gak?"

"Pernah," jawab Qinan tanpa menoleh ke arahnya.

Lalu keduanya kembali terdiam. Terhanyut dengan isi pikirannya masing-masing.

Pernah. Gue pernah suka sama seseorang. Bahkan sampai sekarang. Tapi, apa yang harus gue lakukan, ketika nyatanya orang yang gue suka, udah lebih dulu terjatuh ke dalam hati yang lain?

Dan sayangnya, orang itu lo, Rain.
__________

Pagi ini, Qinan sudah siap dengan seragam putih - abunya yang terlihat rapi.

"Non, udah siap?" tanya Mang Udin.

Qinan tersenyum kecil. "Iya, Mang. Tapi tunggu dulu ya, Mang. Kayaknya Rain belum turun, deh," tuturnya.

"Loh, bukannya Non Rain teh udah berangkat duluan ya, Non?" Pria paruh baya itu menatapnya, bingung.

"Oh, iya?" Qinan mengerutkan dahinya. "Kapan? Sama siapa?"

"Iya, tadi dia bilang mau berangkat pagi-pagi. Mamang teh udah nawarin buat barengan aja sekalian sama Non Qinan. Tapi katanya, gak apa-apa, dia udah dijemput sama temennya."

Gadis berbando kain warna biru itu mengernyit. Teman? Apakah Lala dan Fani? Rasanya, tak mungkin. Pasti Rain menolak, karna gadis itu tak mau, jika mereka tahu kalau Rain dan dirinya itu adik - kakak.

"Siapa, Mang? Lala sama Fani, ya?"

"Aduh, Mamang teh gak tahu atuh. Boro-boro namanya, temannya Non Rain saja Mamang gak tahu. Tapi sih kayaknya cowok."

Cowok? Siapa?

"Qinan, cepat berangkat, Sayang! Bentar lagi, udah mau jam tujuh!"

"Iya, Ma! Ini Qinan berangkat, yuk Mang." Gadis itu masuk ke dalam mobil, dan duduk di kursi penumpang.

Namun, meskipun mobil yang ditumpanginya sudah melaju menjauh dari area rumah. Masih saja, perkataan Mang Udin tentang sosok yang menjemput Rain ke sekolah, menjadi pikirannya.

Ini terbilang masih sangat pagi. Sangat aneh, jika Rain tiba-tiba sudah berangkat ke sekolah di jam seperti ini.

"Mang, kenapa berhenti?" tanyanya saat tiba-tiba mobilnya berhenti.

"Itu Non, maaf kayaknya teh lagi macet dikit. Gak apa-apa kan, Non?"

"Oh, gitu ya, Mang. Iya udah, gak apa-apa. Lagian ini masih pagi."

Suara hiruk pikuk kendaraan mulai terdengar. Suara klakson dan juga suara orang-orang yang mengumpat kesal karena jalanan yang macet, semakin menambah kebisingan.

Karena bosan menunggu, Qinan mengarahkan atensi matanya ke luar jendela. Dan tepat saat itu, ia melihat sepasang anak SMA dengan logo nama sekolah yang sama dengannya, tengah mengobrol di atas motor.

Perlahan, ia menurunkan sedikit kaca mobil. Dan tepat saat itu, sebuah senyuman tipis terbit menghiasi wajahnya. Tipis, namun terlihat begitu sakit.

Di sana, ia melihat Rain yang tengah berada di bocengan seorang cowok yang ia tahu jika itu adalah Rafa.

Mereka terlihat sangat menikmati kebersamaan. Rain yang tak pernah diam, dan suka cepat bosan, terus-terusan menggoyang-goyangkan lengan Rafa. Membuat si cowok protes dan terkekeh geli secara bersamaan.

Ternyata, gini ya rasanya. Ketika orang yang kita suka dan kita sayang, lebih memilih untuk bersama orang lain.

Jadi, ini yang selama ini dia rasain, pas Mama lebih milih gue, lebih deket sama gue dan lebih perhatian sama gue.

Qinan sedikit termenung. Memikirkan dan membayangkan bahwa apa yang ia rasakan sekarang, adalah hal yang sudah bertahun-tahun Rain rasakan?

Rasanya, ia sudah menjadi orang yang egois selama ini. Hidup bahagia dengan semua kasih sayang dan perhatian yang diberikan Hana, tanpa berpikir jauh, bagaimana perasaan Rain.

"Sekarang gue ngerti, ternyata ini yang selama ini lo rasain Rain," gumamnya pelan. Dan kembali menutup kaca mobil.
________

Kerutan pada dahi gadis itu kembali muncul. Menatap ke arah cowok yang kini sudah keluar dari dalam kelas.

Biasanya tidak begitu. Biasanya, dia akan membaca dan mempelajari kembali, materi yang tadi diberikan guru. Lalu keluar setelah sepuluh atau lima belas menit bel berbunyi.

Tapi, sekarang berbeda. Cowok itu keluar, tepat ketika bel istirahat berbunyi. Seolah ada suatu urusan yang sangat penting.

"Zaki," panggilnya ke arah cowok yang tengah duduk menyender di depan kelas, "kok lo gak sama Rafa? Dia mau ke mana?"

Cowok itu memajukan bibir bawahnya dan mengedikan bahunya, pertanda tak tahu.

"Bukannya lo, ya yang deket banget sama dia? Harusnya lo tahu dong, kan lo ceweknya?"

Ucapan Zaki barusan berhasil membuat gadis itu terdiam. Bukan hal yang aneh lagi sebenarnya, jika orang-orang berasumsi bahwa mereka berpacaran. Tapi kenyataanya bukan seperti itu. Cintanya bertepuk sebelah tangan. Menyintai sendirian.

Tanpa menggubris ucapan Zaki. Qinan memilih untuk pergi ke Kantin, sendiri.

Namun, baru saja ia masuk ke Kantin . Ia sudah disuguhi pemandangan yang kian menggoyahkan perasaannya.

"El, gue bagi dong baksonya. Kayaknya enak!"

"Beli aja sendiri."

"Iiihh, kok lo pelit banget jadi orang!"

"Ish! Itu minuman gue, Rafaaa!! Kenapa lo minum pe'a!"

"Minta."

"Tadi gue minta bakso, lo gak ngasih. Tapi lo minta minum punya gue. Dasar licik!!"

Qinan tersenyum kecil, menyaksikan momen kebesamaan yang terlihat lucu antara Rafa dan Rain yang saling berebut makanan.

Dengan jelas, ia melihat. Ada raut wajah bahagia yang terpancar dari wajah adiknya. Ada tawa lepas yang tak pernah ia lihat sebelumnya.

Puk

Atensi mata Qinan beralih. Menatap tangan yang baru saja menepuk bahunya.

"Gimana? Sakit ya, saat orang yang kita suka, ternyata udah jatuh sama orang lain? Sodara sendiri lagi."

Gadis berambut gelombang itu tersenyum mengejek ke arahnya.

Milly. Entah sejak kapan, gadis itu sudah berdiri di sana.

"Lo tahu darimana, kalau gue sama Rain, sodaraan?"

Milly terkekeh sinis. "Qinan-Qinan, katanya pinter. Sering menang olimpiade, masa yang kayak gini aja gak tahu? Bego banget sih."

"Gue tahu kok, apa yang orang lain gak tahu. Bahkan mungkin ... adik lo itu, gak tahu juga, kan?"

Qinan berdecih pelan. "Omong kosong! Lo gak pernah tahu, apapun tentang gue ataupun Rain. Stop, bertingkah seolah lo tahu semuanya," sarkasnya dengan penuh penekanan.

"Oh iya?" Milly menaikan sebelah alisnya. Menatap Qinan dengan tatapan menantang.

"Kalau gue sebutin nama--" Milly mendekatkan wajahnya ke arah telinga Qinan dan membisikan, "Nadine."

"Apa lo bakalan percaya, kalau gue tahu apa yang orang lain gak tahu?" sambungnya.

Seketika Qinan terdiam dengan tatapan lurus. Mencoba mencerna apa yang baru saja Milly katakan. Mencoba untuk memperkuat asumsi, jika gadis itu hanya sedang menebak-nebak.

"Kenapa? Kaget ya, gue tahu?" Milly tertawa kecil.

"Lo gak mau kan, kalau gue bongkar semuanya sama adik lo itu," ucap Milly, "em ... sebenernya gue juga kasihan sih, sama dia. Tapi sayang, gue udah terlalu muak sama adik sialan lo itu. Jadi yah, membuat dia sedikit hancur, seru juga kayaknya. "

"Jangan macam-macam ya lo!" ancam Qinan seraya menunjuk ke arah Milly.

Milly tersenyum, menunjukan seringainya. Menepuk pelan dua kali pipi kanannya dan berkata, "coba aja lo cegah gue, kalo lo bisa." Setelah itu ia berlalu pergi, meninggalkan Qinan.


○●○

Sepadaaa

Sampurasuuunn

Gimaana? Gajekan? Iya tau. Gak usah diperjelas.

Continue Reading

You'll Also Like

MARSELANA By kiaa

Teen Fiction

1M 59.5K 52
Tinggal satu atap dengan anak tunggal dari majikan kedua orang tuanya membuat Alana seperti terbunuh setiap hari karena mulut pedas serta kelakuan ba...
AUDREY By syahza

Teen Fiction

116K 4.7K 45
{SELESAI} Sebelum Baca, Jangan lupa Follow dulu yuk "Lo jahat Bara, apa salah gue coba sampe lu gini sama gue. Lo gak mikir gimana perasaan gue saat...
219K 9.4K 58
FOLLOW DULU SEBELUM MEMBACA!!🔥 CERITA SUDAH ENDING DAN PART MASIH LENGKAP ❤️🥀 Chaca, gadis pendek berambut sebahu dengan poni tipis ala Dora, pecin...
Keynand [END] By Fah

Teen Fiction

40.3K 2.4K 55
Kisah seorang gadis yang berjuang mengobati luka yang berasal dari masa lalu. Bayangan masa lalu kerap menghampirinya sehingga ia berubah menjadi sos...