20.12

By NurAzizah504

2.6K 366 162

Katanya, euphorbia adalah lambang keberuntungan. Ketika Flower memutuskan untuk merawatnya, dia berharap kebe... More

PROLOG
1. Namanya Flower Edelweiss
2. Batas Pertahanan
3. Patah yang Sengaja
4. Yang Mengerikan
5. Tentang Dia
6. Berbicara Tentang Perasaan
7. Cerita di Pemakaman
8. Bisakah Kita Lebih Dekat?
9. Luka Tak Kasat Mata
10. Kiss Me
11. Si Penyair Gila
12. Patah Untuk Bahagia
13. Kutakut Kau Pergi
14. Gagal Melupakan
15. Jangan Pergi Terlalu Jauh
16. I'm Always Here
17. Yang Paling Pantas
18. Best Friends
19. Anak Kecil yang Ketakutan
20. Selangkah Lebih Dekat
21. Charlotte Sky
22. Kamar Nomor 37
23. Ungkapan Dalam Diam
24. Si Keras Kepala
25. Rencana Malam Nanti
26. Harapan dan Mimpi
28. Terlalu Serakah
29. Harapan yang Terlalu Tinggi
30. Terlalu Sayang
31. Bertamu
32. Memilih Pergi
33. Kamu Lebih Tepatnya
34. Mencintai dan Dicintai
35. Banyak Tingkah
36. Egois

27. Aku Itu Sampah

29 5 0
By NurAzizah504

Sebegitu sampahnya kah aku di mata dunia?

***

Jika ditanya apa makanan kesukaan Brianna? Maka pasti jawabannya adalah semangkuk sup hangat buatan Flower Edelweiss. Seperti pagi ini, seolah menjadi kewajiban tak tertulis untuk Flower. Ketika Brianna sakit, maka Flower akan selalu hadir walau hanya sekadar membuatkan semangkuk sup yang wanita mungil itu inginkan. Flower tak pernah sekalipun merasa terpaksa pada kewajiban barunya. Malah ia merasa bangga. Setidaknya, ada satu orang di dunia yang senantiasa masih menginginkan kehadirannya.

Selesai mengantar sup hangat ke kamar wanita tersebut, Flower tak langsung berangkat ke kampus. Ia perlu membereskan peralatan masaknya terlebih dahulu. Mencucinya lalu meletakkan pada tempat semula. 

Flower tahu betul bahwa setiap barang milik bundanya yang telah ia gunakan, maka benda tersebut harus kembali seperti saat sebelum ia menggunakannya. Singkatnya, wanita mungil ini sangat mencintai kerapian.

Lima menit kemudian, pekerjaan singkat itu telah ia selesaikan dengan sempurna tanpa cela. Tepat ketika tubuhnya berputar, Flower seketika dibuat kaget dengan sosok Aurin yang berdiri terlalu dekat dengan tubuhnya. "Ya ampun ...," mengelus dada dan menghela napas lega, "Ngagetin aja, sih, Mbak?"

"Aku malah lebih kaget liat keadaan kamu, Flow!" Aurin berkacak pinggang dengan kedua mata terbelalak. "Ini kamu habis diapain, sih, Flow? Kok, lengannya bisa biru-biru gitu? Terus jalannya juga kenapa sampai pincang begitu? Jangan bilang kalau kamu jatuh di kamar mandi lagi? Iya?"

Flower meringis. Dalam hati, ia merutuki kecerobohannya yang melepaskan kardigan sewaktu hendak mencuci piring. Padahal baju berbahan rajut itu ia pakai guna untuk menutupi luka-luka tak wajar yang ada di tubuhnya. Melihat Aurin semarah itu, membuat Flower refleks berpikir untuk mencari alasan lain. "I─iya. Malam tadi aku kepeleset ... lagi."

"Ck," Aurin berdecak dan selangkah mendekat, "Jangan bohong, ya. Ngaku gak kamu? Luka-luka ini aneh banget, Flow. Kaki kamu pincang, lengannya lebam, terus dahinya juga luka. Kamu beneran kepeleset atau baru aja dipukulin, sih?"

"Mbak──"

"Ngaku gak? Ini ulahnya Om Harry, 'kan?"

Embusan napas pun akhirnya lolos begitu saja. Flower mengalah, memberanikan diri untuk menatap Aurin tepat pada matanya. Setelah menelan ludah untuk membuat tenggorokannya basah, ia pun memberikan jawaban terbaik menurut dirinya. "Harusnya emang gitu, ya, Mbak? Sia-sia aja aku bohong kalau akhirnya kamu bakalan tau juga." Sesaat kemudian, Flower tampak terusik oleh kicauan burung-burung yang berterbangan di langit di luar sana. Manik mata yang dipayungi oleh bulu-bulu lentik itu tampak berkedip sekali sebelum akhirnya kembali berkata, "Iya, Mbak, ini ulahnya dia," Flower mengaku tanpa ragu, "Tapi, aku mohon jangan bilang tentang ini ke Bunda, ya? Aku gak mau Bunda ambil pikiran tentang keadaan aku."

Aurin berdecak dan membuang mukanya ke lain arah. Dengan perasaan yang disesaki rasa kesal, ia berkata, "Harusnya kamu gak boleh diam aja kalau dia sakitin kamu lagi, Flow. Lain kali kamu tendang, tuh, tulang keringnya. Biar dia mampus sekalian."

Flower tertawa kecil, tak ingin menanggapi perkataan Aurin lebih lanjut lagi. Namun, pembahasan itu sepertinya tidak akan berakhir hanya sampai di sana. Di antara tumpukan pikirannya, Flower menemukan sebuah hal yang sangat menyakitkan ketika diingat. Akan tetapi, sewaktu langit hampir sepenuhnya terlihat cerah dan lampu-lampu jalan di luar sana otomatis dimatikan, Flower pun kembali terdengar mengeluarkan suara. Ucapnya, "Kata Om Harry, aku itu anak pembawa sial. Anak yang penuh dengan kutukan. Aku berusaha untuk tidak memikirkannya, tapi kenapa rasa-rasanya yang dikatakan om itu semuanya benar, ya, Mbak?"

Refleks Aurin menahan napas saat Flower selesai berkata. Namun, hal itu tidak bertahan lama. Aurin kembali ke wajahnya yang semula. Ia menyentuh tangan Flower, membawa kelima jari milik adiknya ke dalam genggaman hangatnya. "Gak, Flow. Itu semua salah."

"Gak ada yang salah kali, Mbak. Semua itu benar. Ayah dan ibu pergi di saat aku masih umur belasan tahun, dan itu semua karena aku, Mbak. Dan, kamu lihat sekarang, Genta juga ikut-ikutan pergi──tanpa pamit, tanpa basa-basi. Sesampah apa, sih, aku ini di mata dunia, Mbak? Kalau emang──"

"Cukup, Flower!" Aurin berteriak tak santai. Kedua tangannya tampak memegang bahu Flower dengan erat. Di antara sesak yang memenuhi setiap rongga di dalam dadanya, Aurin masih berusaha untuk menatap Flower dengan tatapan sayang. "Dengerin aku baik-baik kali ini. Kamu itu, bukan sampah. Kamu itu, berharga──untuk aku, untuk Bunda, untuk semua. Please, jangan ngomong gitu lagi, ya?"

Flower menghela napas untuk kemudian menganggukkan kepalanya dengan perlahan. Detik betikutnya, seulas senyum tipis pun tercipta dengan indah pada bibir merahnya. Ia berusaha mengembuskan napas di antara bibirnya yang bergetar secara perlahan. Sesaat, ia mendongak dan mengedip-ngedipkan kedua matanya secara cepat. Sebisa mungkin menghalau tetesan air mata untuk tak segera jatuh keluar dari tempat asalnya.

"Bagus," Aurin melepaskan cengkraman tangannya pada bahu Flower, "Ini adalah kali terakhir aku dengar kalimat yang beginian keluar dari mulut kamu. Jangan sampai diulang lagi, ya."

Tak ingin membuat Aurin semakin meledak di tempatnya, Flower langsung saja memutuskan untuk mendekap Aurin seerat yang dia bisa. Dalam pelukan yang lantas disambut balasan itu, ia berkata, "Makasih banyak, Mbak, karena udah selalu ada sama aku hingga detik ini. Kalau gak ada kamu, mungkin secepatnya aku bakalan jadi gila."

"Jangan ngomong gitu, ah. Gak suka aku dengarnya, Flow," rengek Aurin seraya mengusap-ngusap punggung Flower dengan hangat.

"Kamu tau, Mbak. Setiap kali aku melihat Om Harry, aku selalu merasa seolah aku sedang melihat ayah. Setiap melihat dia baca koran atau bahkan tidur sekalipun, aku merasa seolah-olah aku kembali ke masa kecilku lagi. Dia memang kasar dan aku gak suka sama dia. Tapi, nyatanya, rasa sayang yang aku punya jauh lebih besar dari segalanya. Tolong jangan hakimi aku kayak gini lagi, ya, Mbak. Aku cuma butuh didoakan. Semoga nantinya Om Harry akan paham dan bisa menyayangiku dengan benar."

***

Sewaktu jarum jam hampir menunjukkan angka delapan, Flower lantas pamit pergi karena harus segera ke kampus. Ia terlihat meraih tas yang biasanya disimpan pada sebuah meja di ruangan depan saat pertama kali memasuki toko. Saat dirinya hendak mencari Brianna untuk berpamitan, wanita itu malah datang dengan sendiri ke arahnya.

Dari sorot mata dan gurat wajahnya pun Flower sudah tahu, bahwa ada suatu hal yang ingin wanita itu bicarakan dengannya. Pun tepat ketika langkah Brianna terhenti di hadapannya, tangan kanan Flower tampak bergerak lebih dulu untuk menutup luka di dahi menggunakan poninya. "Kenapa, Bunda? Ada yang mau Bunda bicarakan sebelum Flower pergi?"

"Tentu saja ada, Sayang. Ini tentang Harry dan liontin kesayangan milik Ayu Alika."

Flower menelan ludahnya saat itu juga. Dia sadar, lambat laun Brianna pasti akan mengetahuinya. "Kenapa memangnya, Bunda?" Dan, Flower masih berpura-pura.

"Apa benar kalau liontin itu sudah dirampas Harry? Soalnya saat Bunda ke pasar subuh tadi, Bunda gak sengaja melihat liontin itu di tangannya."

Flower menunduk bersamaan dengan tetes pertama air matanya membasahi bumi. "Maafin Flower, Bunda. Liontin itu memang udah diambil sama Om Harry. Flower sudah berusaha melawan, tapi yang ada Flower malah dipukul dan didorong. Flower sungguh-sungguh minta maaf. Flower udah gak becus menjaga liontin kesayangan ibu. Kenangan yang seharusnya ada di tangan Flower untuk dijaga, kini malah Flower buat hilang begitu aja. Flower menyesal, Bunda. Flower──"

"Sudahlah, Sayang," pelukan itu datang tiba-tiba, "Gak ada yang perlu disesalkan. Ini bukan salah kamu."

"Tapi, Bunda pasti marah banget sama Flower," isaknya dipelukan wanita itu.

Namun, Brianna hanya tersenyum. Ia mengelus punggung ringkih Flower cukup lama. Saat dirasa tangisan anak gadis dari sahabatnya itu sudah berkurang, barulah Brianna menguraikan pelukan. "Di mana lukanya? Katanya Harry memukuli kamu, 'kan?"

"Tidak ada, Bunda. Lukanya tidak ada," jawab Flower dengan pasti. Lantaran tak mau membuat Brianna makin khawatir, Flower memutuskan untuk membohonginya kali ini. Flower tersenyum dan cepat-cepat menyeka air mata. Tanpa mau berlama-lama, ia memilih untuk pamit pergi.

"Baiklah, Sayang. Hati-hati, ya, di jalan." Brianna selangkah maju lalu menyentuh kedua pipi Flower agar bisa ia kecup dahinya yang sialnya tepat pada titik lukanya. "Cepat sembuh, Sayang. Bunda menyayangimu."

* * *

Continue Reading

You'll Also Like

3.1M 223K 29
Rajen dan Abel bersepakat untuk merahasiakan status pernikahan dari semua orang. *** Selama dua bulan menikah, Rajen dan Abel berhasil mengelabui sem...
6.7M 45.9K 58
harap bijak dalam membaca, yang masih bocil harap menjauh. Kalau masih nekat baca dosa ditanggung sendiri. satu judul cerita Mimin usahakan paling b...
2.1M 93.4K 45
⚠️ Jangan menormalisasi kekerasan di kehidupan nyata. _______ Luna Nanda Bintang. Gadis itu harus mendapatkan tekanan dari seniornya di kampus. Xavie...
1.6M 53.1K 69
Cinta atau Obsesi? Siapa sangka, Kebaikan dan ketulusan hati, ternyata malah mengantarkannya pada gerbang kesengsaraan, dan harus terjebak Di dalam n...