Tangan itu seakan meraihnya, padahal ia sama sekali tak melakukan apa-apa. Malah hal itulah yang mungkin membuat khawatir.
Hanya berdiri diam, membiarkan hitam itu terus menelan.
Karena, mana ada yang bisa menolak sesuatu yang dapat menghangatkan jiwa.
Kunikida membuka mata, terbangun dari mimpi buruk yang sudah menjadi makanan. Melihat seseorang berambut merah bata yang seakan ingin menariknya. Dirinya mengernyit heran, bingung mengapa hanya ada pria itu didalam mimpinya selama beberapa bulan ini
Pagi yang monoton itu terulang, bangun, mandi, sarapan, menyiapkan bekal, lalu pergi sekolah.
Entah mengapa kakinya terlalu berat untuk pergi ke tempat yang bernama sekolah. Walaupun begitu Kunikida harus menepati jadwalnya.
“Tepat pukul 6.30,” kakinya berhenti sejenak di depan gedung sekolah, lalu melangkah lagi masuk. Berusaha tak peduli pada tatapan murid-murid yang tertuju padanya.
Mana mungkin anak seorang jalang diterima dengan layak di dalam masyarakat, yang didapat sudah pasti cemoohan dan hinaan. Disertai tatapan yang menandakan rasa jijik.
Kunikida bukan sampah.
Ia juga manusia.
Tapi, semua itu tercoreng hanya karena status dalam sebuah keluarga.
“Kunikida-kun, apa kau sibuk?”
“Oh Sensei, sama sekali tidak. Biar kubantu.”
Beberapa buku yang ada ditangan seorang guru yang lewat itu berpindah ke tangan Kunikida, guru yang bernama Mori itu tersenyum tipis.
“Bagaimana sekolahmu?”
“Yah, begitulah. Hahaha”
Pertanyaan itu mungkin terdengar mengolok bagi Kunikida, namun pemuda itu cukup maklum. Tawa renyah pun keluar dari bibirnya. Sedikit membungkuk saat sudah sampai di tujuan sang guru, Kunikida langsung saja pergi ke kelasnya.
“Kau itu bercahaya tapi kosong yah?”
Bisikan yang entah dari siapa, tiba-tiba terdengar oleh telinga Kunikida.
Tapi ... siapa pemiliknya?
Karena di lorong ini, dia sendirian.
Jika itu khayalan, lantas mengapa terdengar nyata?
Tbc
Awal yang aneh.
272 word.