"Ssst... Aku di sini, aku nggak bakalan ke mana-mana."
———
Cakrawala bersama para peserta seleksi olimpiade matematika lainnya telah berkumpul di ruang bimbingan. Hari ini adalah hari pengumuman, akan ada satu anak terbaik yang menjadi perwakilan SMA Elang.
"Sebelumnya saya sangat senang dengan antusiasme kalian mengikuti seleksi ini. Kalian semua baik, namun, hanya akan dipilih satu orang terbaik," kata Bu Ambar.
Di samping meja Cakrawala, Nadin tampak tenang. Gadis itu sudah sangat yakin dirinya lah yang akan terpilih. Kemarin ia sangat lancar dalam mengerjakan soal, tidak ada satu soal pun yang ia kerjakan asal-asalan. Jadi sudah pasti ia yang akan terpilih.
Nadin tersenyum. "Buruan umumin, aelah, nyebut nama gue doang lama amat," ujarnya.
"Baiklah ibu umumkan sekarang. Murid yang akan mewakili SMA Elang dalam kompetisi olimpiade matematika tahun ini adalah... Cakrawala!"
Seketika senyuman Nadin pudar, ia langsung menoleh pada Cakrawala.
"Selamat Cakrawala, tahun ini untuk yang ketiga kalinya kamu mewakili SMA Elang dalam ajang yang sama." Bu Ambar tersenyum.
Cakrawala tersenyum ceria. "Terima kasih banyak, Buk."
———
Ketika sampai di kelas, Cakrawala tidak melihat keberadaan Moa disudut manapun.
"Kansa, kamu lihat Moa di mana nggak?" tanya Cakrawala.
"Enggak, kenapa?" Jawab Kansa, ia kembali bertanya.
Bukankah seharusnya Cakrawala senang karena Moa tidak ada? Tidak ada yang akan mengganggunya lagi kan? Jadi untuk apa juga Cakrawala menanyakan dimana keberadaan si devil?
Cakrawala menggeleng. "Nggak papa," jawabnya.
Cakrawala lantas berjalan keluar kelas untuk mencari keberadaan Moa. Ia khawatir, kemarin terakhir kali ia dengar, orangtua Moa akan cerai, kondisi gadis itu sedang tidak baik-baik saja.
Cakrawala berkeliling mencari keberadaan Moa, hingga akhirnya ia menghembuskan napas panjang ketika melihat Moa berdiri di roftoop SMA Elang.
"Kamu di sini?" Cakrawala mengambil langkah mendekati Moa.
Moa menoleh. "Lo ngapain ke sini?"
"Mau nemenin kamu," ujar Cakrawala.
"LO PASTI SENENG KAN LIAT KONDISI GUE SEKARANG?! IYA KAN?!" Teriak Moa. Kedua netra Moa berkaca-kaca.
Cakrawala menggeleng.
"Pergi lo sekarang!" Ujar Moa disusul butiran air yang mengalir dari kedua matanya.
Cakrawala lagi-lagi menggeleng.
"Lo pergi sekarang atau lo gue habisin?!"
"PERGI! GUE BILANG PEEEERGI!"
"GUE BENCI SAMA LO!"
"GUE NGGAK BUTUH SIAPAPUN!"
Moa semakin berteriak-teriak, saat ini ia sedang kesetanan.
"GUE NGGAK MAU DIKASIHANIN!"
"PERGIIII!"
"GUE NGGAK BUTUH SIAPA—"
Cakrawala memeluk Moa. Ia mendekap tubuh Moa dengan erat.
"BERANI-BERANINYA LO NYENTUH GUE! BERANI-BERANINYA.... hiks!" Moa memuluk-mukul dada Cakrawala dengan kepalan telapak tangan. Namun, Cakrawala tetap tidak melepaskannya.
Di dalam dekapan Cakrawala, Moa menangis terisak. Cakrawala mengusap-usap rambut Moa dengan lembut.
"Ssst... aku disini, aku nggak bakalan kemana-mana," ujar Cakrawala. "Kamu masih punya aku..."
Cakrawala melepaskan pelukannya. Di hadapannya sekarang, Moa menunduk dengan suara tangis yang sesekali masih terdengar.
Di saat Moa sedang rapuh karena perceraian Papa dan Mamanya, tidak ada siapapun yang menemaninya. Tidak ada orang yang bisa ia ajak untuk berkeluh kesah. Ia tidak punya teman.
Ia punya sahabat, namun sahabatnya—Nadin—semenjak berpacaran dengan Wicak, Nadin tidak pernah ada untuk Moa karena terlalu sibuk dengan pacarnya.
Moa mengangkat kepala. Ia menatap kedua netra coklat milik Cakrawala dengan tajam.
"Jangan sok peduli sama gue. Gue nggak butuh!"
Ia lantas pergi meninggalkan Cakrawala yang masih berdiri di tempatnya.
——
Ketika sampai di rumah, Cakrawala melihat Bi Wati menggeret koper besar berwarna hitam.
"Bi Wati mau ke mana?" tanya Cakrawala.
"Mulai sekarang Bibik udah nggak lagi kerja di sini," ujar Bi Wati dengan air muka sedih. "Bibik dipecat."
"Tapi Bi—"
Bi Wati mengusap rambut Cakrawala dengan tangan kanannya. "Nggak papa."
Cakrawala mendekati Bi Wati, kemudian memeluknya. "Makasih, ya, Bik, untuk kerja keras Bibik selama ini."
Bi Wati melepas pelukan Cakrawala, ia lantas tersenyum. "Cakra jaga diri baik-baik, ya."
Cakrawala mengangguk.
"Bibik pergi dulu." Bi Wati melangkah keluar rumah sambil menggeret koper besar.
Usai mengantarkan Bi Wati sampai pintu gerbang, Cakrawala kembali melangkah masuk ke dalam rumah. Seperti biasa ia akan langsung ke kamar Maratungga.
Cakrawala masuk, ia tidak melihat Maratungga ada di sudut mana pun.
"Bang..." panggil Cakrawala.
Srrrrh
Cakrawala mendengar suara air kran mengalir. Ia lantas menuju kamar mandi, benar saja, Maratungga ada di sana. Pintu kamar mandi tidak dikunci.
Cakrawala melangkah masuk ke dalam kamar mandi yang pintunya hanya tertutup separuh.
Di samping Cakrawala saat ini, Maratungga sedang mimisan. Darah segar mengalir dari lubang hidung Maratungga. Maratungga menunduk dan membiarkan darah dari hidungnya terus menetes di atas wastafel.
Srrrh...
Air dari kran menyapu tetesan darah di atas wastafel. Setelah darah yang mengalir dari hidungnya habis, Maratungga membersihkan hidungnya dengan air. Ia lantas mengangkat kepala, ia melihat pantulan dirinya sendiri di cermin. Wajahnya sangat pucat.
"Bang..." panggil Cakrawala.
Maratungga tidak menjawab. Namun suara napas Maratungga terdengar jelas di telinga Cakrawala.
Kepala Maratungga sakit luar biasa, rasanya seperti ditusuk-tusuk oleh puluhan jarum besar. Maratungga memegangi kepalanya yang seperti mau pecah.
"Ayo, Bang, pelan-pelan..." Cakrawala yang masih mengenakan ransel di punggung, menuntun Maratungga keluar dari kamar mandi.
Maratungga berbaring di atas kasur dibantu oleh Cakrawala. Dengan begitu telaten Cakrawala menyelimuti tubuh Maratungga.
Saat berbaring di kasur, rasa sakit di kepala Maratungga menjadi berkurang.
"Bang Mara mau minum?" tanya Cakrawala.
Maratungga menggeleng pelan.
"Gue mau tidur," jawab Maratungga.
Cakrawala mengangguk, paham.
"Nanti kalau Bang Mara butuh apa-apa panggil Cakrawala, ya?"
"Hm."
"Cakrawala pergi dulu, ya, Bang."
Maratungga tidak menjawab, ia sudah memejamkan mata. Cakrawala lantas keluar dari kamar Maratungga.
——
Cakrawala sudah mandi dan bersih-bersih. Ia memandang kamarnya yang sangat rapi, lantas tersenyum.
Ponsel yang ia letakkan di atas meja belajar tiba-tiba berdering. Saat ia lihat itu panggilan dari deretan nomor yang tidak ia kenal. Meskipun begitu, tetap saja Cakrawala angkat.
"Hal—"
"Kak Cakrawala! Aku menang lomba menggambar!" Teriak suara dari seberang sana.
Cakrawala tersenyum semakin lebar. Ia bisa mengenali suara Gabi. Di sebarang sana Gabi terdengar begitu ceria.
"Waaah selamat, ya! Gabi hebat!"
"Aku mau tunjukin gambarku ke kak Cakrawala." Gabi tersenyum senang, kedua netranya berseri-seri.
Di tangan kanannya, Gabi membawa hasil gambarnya.
"Boleh, besok kalo ketemu kakak, kakak mau lihat."
"Siap!" Gabi tertawa.
Cakrawala juga tertawa.
"Aku tutup telponnya ya Kak. Selamat malam kak Cakrawala..."
"Malam Gabi..."
Sambungan telepon di akhiri. Cakrawala menaruh ponselnya ke atas meja belajar kembali. Dan seperti biasa, ia melangkah menuju lemari kaca.
Senyuman di bibir Cakrawala masih tercetak dengan jelas. Mendengar suara ceria Gabi, Cakrawala juga ikut senang. Ia sudah tidak sabar untuk melihat hasil gambaran Gabi esok hari.
Cakrawala membuka pintu lemari, kemudian ia memasukkan tubuhnya ke dalam space kosong yang ada dibagian bawah lemari. Usai menempatkan posisi, ia menutup kembali pintu lemari.
Ceklek
Cakrawala menyalakan saklar lampu dalam lemari.
"Selamat tidur..."
Ia memejamkan mata dan mulai menjelajahi dunia mimpi.
——
Terima kasih sudah membaca