Escapade 1: A Lone Wayfarer

By E-Jazzy

113K 28.5K 8.6K

Sudah empat tahun Ilyas tidak keluar rumah. Kini, pemuda itu terpaksa pergi ke dunia luar dengan Emma, adik k... More

Yo '-')/
Prolog
1. Ilyas dan Pekerjaan Barunya
3. Ilyas dan Hari Zombie
4. Cal dan Sarang Zombie
5. Ilyas dan Konspirasi
6. Cal dan Konstipasi
7. Ilyas dan Kurir Kiamat Zombie
8. Cal dan Veteran Kiamat Zombie
9. Ilyas dan Sapu
10. Cal dan Samurai
11. Ilyas dan Tamu Tak Diundang
12. Cal dan Tuan Rumah Tak Ramah
13. Ilyas dan Permintaan Terakhir
14. Cal dan Permintaan Pertama
15. Ilyas dan Rencana
16. Cal dan Bencana
17. Ilyas dan Jombi
18. Cal dan Jombistik
19. Ilyas dan Zohrah
20. Cal dan Zarah
21. Ilyas dan Batavia
22. Cal dan Ibu Kota
23. Ilyas dan Jalur Keenam
24. Cal dan Jalan Pintas
25. Ilyas dan Rumah Kasih
26. Cal dan Panti Asuhan
Epilog
Oy '-')/

2. Cal dan Rumah Barunya

5K 1.2K 418
By E-Jazzy

|| 2: Cal's pov | 2980 words ||

Aku anak pertama yang melihat lubang di tembok itu, tetapi Ifan yang pertama mengumumkan, "Masuk ke sini, yok!"

Yang lain menyahut, "Ayok!"

Sekumpulan anak berumur 8 tahun tidak tahu apa-apa, tetapi aku tahu. Di sisi lain tembok ini adalah Neraka. Ibuku sering menceritakan kengerian yang terjadi berdekade lalu saat Nusa masih belum dilindungi tembok: makhluk pemakan otak, gigi-giginya setajam taring harimau, kukunya seruncing cakar beruang, dan gigitannya beracun. Kuceritakan apa yang ibuku ceritakan, lalu aku ditertawakan.

"Zombie itu nggak ada!" Ifan menukas. "Kakakku bilang, itu cuma akal-akalan orang dewasa supaya kita nggak main jauh-jauh atau pulang kemalaman."

"Kakakmu, 'kan, di penjara gara-gara berbuat jahat." Aku mengingatkannya.

"Kakakku cuma dimarahi Bapak Polisi itu, nggak dibawa ke penjara!" Wajah cowok itu memerah marah. "Dan lagi kakakku nggak jahat! Dia cuma main petasan, petasannya nyasar ke rumah orang—itu aja!"

"Petasannya yang salah." Dwira mengangguk-angguk menyetujui. "Kalau kamu nggak suka main sama kami, Cal, main sendiri saja! Sana!"

Segerombolan anak itu, yang Ibu bilang adalah teman-temanku walau aku tidak merasa demikian, mulai berebut untuk menjejalkan diri ke dalam lubang di tembok W. Mereka saling dorong dan tarik, tetapi lubang itu masih terlalu kecil untuk dilalui, bahkan oleh Vivi yang badannya paling kecil di antara kami.

"Cal! Gedein lubangnya dong!" tuntut Vivi.

Aku mengerjap. "Caranya?"

"Pukul, tendang, atau apalah! Kamu, 'kan, kuat!"

Dipuji begitu, aku jadi melupakan cerita Ibu tentang zombie atau fakta bahwa anak-anak itu sempat menyuruhku main sendiri. Aku mendekati lubang, mengeruk dan menggali semennya yang keropos dengan tangan, menggedornya pakai lutut dan mengoreknya dengan ujung sepatu.

Lubangnya membesar sedikit, cukup untuk kepala Vivi, tetapi kemudian aku melihat kelebatan bayangan di baliknya.

Ada sesuatu yang bergerak di balik tembok.

"Anak-anak nakal!" Serge—seorang pria tua yang rumahnya berdempetan dengan tembok W—berteriak dari jendela lantai atas rumahnya.

Pria itu veteran perang. Perang apa, aku tak tahu. Sebelah matanya picak, satu kakinya pengkor, dan satu tangannya kutung sampai pergelangan. Walau demikian, pria itu bisa lari pincang dengan cepat, lemparannya jitu, dan dia bisa mengenali wajah anak-anak bandel dari jarak jauh. Dia adalah mimpi buruk di wilayah kami.

Barang-barang melayang keluar dari jendela Serge: mangkuk plastik berisi air ludahnya, tongkat kayu, dan sendok sayur beterbangan ke arah kami. Bidikannya hebat sekali. Mangkuk peludahannya mendarat jadi topi di atas kepala Ifan.

Kami menjerit dan berlarian. Ifan menangis paling keras, terbirit-birit berkeliling bundaran air pancur yang sudah kering. Mangkuk masih di atas kepalanya.

Kami mengadu ke orang dewasa, tetapi mereka bilang Serge tidak bisa diapa-apakan.

"Toh, sebentar lagi kakek itu bakal mati, biarkan saja," kata seorang pria di warung kopi saat kami heboh bercerita. "Lagi pula, kalian juga salah. Kenapa main berdekatan tembok begitu? Di sana banyak sampah, barang berbahaya, dan monster! Kalian tidak takut zombie? Mereka berkeliaran tepat di sisi seberang sana, di balik tembok! Tembok W ini perbatasan antara Nusa dan Neraka!"

Saking seringnya ditakut-takuti tentang zombie, ancaman itu jadi terasa tumpul. Aku bahkan sudah lupa tentang bayangan di balik tembok itu.

Aku juga lupa perihal lubangnya.

Kami tidak pernah main lagi di dekat sana karena takut dilempari barang-barang oleh Serge. Lokasinya yang dekat peternakan juga sudah cukup mengusir siapa pun yang tidak punya kepentingan—anjing gembalanya menggonggong terus-terusan.

Tersembunyi di balik tumpukan papan kayu bekas dan pipa-pipa raksasa bekas galian serta segunung sampah, tempat itu makin terisolasi. Serge yang pemarah dan bau busuk bangkai sapi ternak yang terlambat dibersihkan pun perlahan membuat pemukim setempat menjauh—mereka lebih memilih merantau ke kota atau tinggal bersama keluarga mereka di distrik sebelah.

Sampai tiga tahun kemudian, saat umurku 11 tahun, sekumpulan wanita pengrajin barang bekas memutuskan untuk memulung di sana. Mereka menemukan lubang di tembok yang kini muat untuk dilalui oleh satu orang dewasa. Di tepi-tepi lubang pada semen keropos, terdapat jejak darah kering dan cuilan daging tersangkut. Jejak itu seperti diseret sampai menghilang ke tumpukan sampah.

Nusa menetapkan kondisi darurat nasional untuk pertama kalinya sejak hampir 70 tahun lamanya.

"Aku tidak mau pindah," lirihku seraya mengangkat setas penuh pakaian kami.

"Tempat ini sudah tidak aman, Sayang," bujuk Ibu saat mengambil alih tas dari tanganku. "Beberapa hari lagi akses jalan masuk kota akan ditutup, jadi harus sekarang. Orang-orang di tempat ini akan pindah semua. Teman-temanmu juga."

"Tapi mereka pindah ke rumah kerabat," gerutuku. "Kita malah dijejalkan ke rumah susun dengan tiga keluarga lain."

"Kita tidak punya kerabat lagi, Cal."

"Bagaimana dengan Om dan Tante? Kakek dan Nenek?"

"Mereka tidak pernah menghubungi lagi sejak ...." Ibu berhenti sebentar. "Sejak ayahmu meninggal."

Jeda lagi untuk sesaat. Mata Ibu memerah dan suaranya bergetar sedikit. "Maaf, Sayang, andai saja ada keluarga dari pihak Ibu yang tersisa ...."

Aku masih tidak suka kalau harus tinggal di rumah susun, tetapi aku juga tidak mau membuat Ibu sedih, jadi aku menggandeng tangannya dan menutup mulutku.

Kami naik ke atas bak mobil pikap yang menyediakan tumpangan massal ke kota. Si Tua Serge mengeluarkan kepala dari jendela rumahnya dan meludah sembarangan, lalu menatap kami semua dengan senyum mencela. "Wah, lihat ini. Sekumpulan wanita yang akan menjanda dan anak-anak calon yatim-piatu, berbondong-bondong ke kota untuk disantap otaknya oleh zombie."

Aku menggertakkan rahang. Padahal pria di warung kopi berjanji Serge akan mati tak lama lagi. Sudah tiga tahun berlalu, pria tua ini masih di sini. Kalau pun dia pernah mendapat firasat diintip malaikat maut, Serge tak menunjukkannya.

"Anda tak ikut kami ke kota, Pak?" tanya ibuku sopan. Kalau itu aku, aku takkan punya waktu untuk sopan santun. Aku pasti sudah mengambil alih setir mobil pikap ini dan menabrakkan diri ke pintu depan rumah Serge. Si pria tua beruntung kakiku belum sampai ke pedal gas.

"Dan berkumpul dengan lautan manusia yang akan menarik para zombie ke tengah kota? Tidak, terima kasih." Serge meludah lagi. "Daripada mati dimakan zombie atau terinfeksi, lebih baik aku membusuk di sini. Sendirian."

"Semoga permohonan kecilmu itu dikabulkan Yang Mahatinggi—" Ibu menyentakkan tanganku sampai aku tutup mulut.

Mesin mobil dinyalakan. Diiringi gerutuan dan suara batuk berdahak Serge, mobil pikap berjalan dengan lambat. Kusempatkan diri untuk menoleh, mengamati lingkungan itu untuk terakhir kali.

Distrik Nava memang kumuh dan seringkali mendapat sorotan nasional karena lokasinya yang terlalu dekat dengan Tembok W, tetapi aku lahir dan dibesarkan di sini. Ada kenangan ayahku di sini. Saat ibuku dan aku bepergian ke kota untuk menemui kerabat atau bekerja, kami selalu pulang kemari. Memikirkan bahwa kami mungkin takkan kembali lagi ke sini ... rasanya seperti ada yang mencabut sebelah kakiku dan meninggalkannya di sini, lalu memaksaku pergi.

"Jangan menoleh, Nak," kata seorang pria berjanggut yang duduk di seberangku. Kepalanya tertutup terpal bolong-bolong untuk berlindung dari teriknya matahari. "Kau tahu apa kata orang zaman dulu—kemungkinan besar kau akan kembali lagi ke tempat itu jika menoleh ke belakang."

Dalam rumah susun, kami dijejalkan bersama lima orang asing: dua remaja dengan masing-masing ibu mereka dan seorang wanita pemabuk yang masih lajang.

Dua cewek remaja lainnya yatim sepertiku, dan ibu mereka bekerja serabutan persis ibuku, tetapi cuma itu kesamaanku dengan mereka. Keduanya sebaya dan sama-sama berasal dari Distrik Nefrit—hanya 7 kilometer dari distrik tempatku berasal. Mereka sudah membentuk tali persahabatan super erat dan selalu berdua ke mana-mana untuk menghindari kewajiban mengajakku bicara.

Meski masih ada anjuran untuk tak keluar rumah, peraturan mulai melonggar. Sudah tiga minggu sejak lubang itu ditemukan, tiap wilayah disisir dari sudut ke sudut, tetapi tak ditemukan satu zombie pun. Lagi pula, korban para zombie selalu mudah dikenali—batok kepala menganga, tengkorak rusak, otak yang hilang, dan bekas gigitan di sekujur tubuh. Atau korban tergigit—yang bertransformasi menjadi zombie sebelum otaknya dimakan—yang malah lebih mudah lagi dikenali. Namun, semuanya masih tampak normal. Tidak ada gerombolan zombie yang berbaris mencari otak di jalanan.

"Lubang di tembok, 'kan, sudah ditutup," gerutu Ulli siang itu saat kami berkumpul bertiga di kamar. "Para polisi pasti juga sudah menemukan zombie yang sempat masuk. Ibuku sudah bekerja. Tapi kenapa kita masih tidak boleh keluar?"

Nayna berdecak. "Polisi Nusa pasti masih mencari agar lebih yakin saja bahwa tidak ada zombie lain."

Ulli mulai mengerjap penuh khayal ke atap. "Aku lihat di berita kemarin, ada salah satu anggota PN yang masih muda—cakep banget. Polisi Nusa yang kulihat di sekitar sini semuanya tua-tua dan sudah cukup umur buat kena demensia."

Nayna menyambar, "Iya, cakep banget! Pakpol Aryan—pembawa acaranya saja seperti ragu-ragu memanggilnya 'Pak'. Cuma lima tahun di atas kita. Aku akan cari calon suami polisi suatu hari nanti."

"Buat apa menikahi polisi kalau kau sendiri bisa jadi polisi?" sahutku begitu saja.

Kedua cewek itu akhirnya menoleh seolah baru sadar aku ada di sana.

"Aih, Cal, kau masih kecil." Kedua cewek itu mulai cekikan. "Menggemaskan sekali—aku waktu seumurannya juga punya cita-cita yang ketinggian. Aku dulu mau jadi astronot! Bodoh banget, 'kan?"

Ulli terbahak. "Aku dulu kepingin jadi nakhoda kapal! Bayangkan itu!"

"Polisi, nakhoda, dan astronot bukan cita-cita yang ketinggian!" tukasku. "Lagi pula, aku bukannya mengatakan kalau aku bercita-cita jadi polisi! Maksudku, kalau kita bisa jadi sesuatu dengan usaha sendiri, kenapa mesti menunggu orang lain memberikan sesuatu itu ke kita?!"

Keduanya tertawa lagi. Mereka mulai heboh berdua, membicarakan Pakpol Aryan tanpa mengajakku. Jadi, aku beranjak keluar mencari Ibu.

Saat aku menemukannya, ibuku baru meletakkan gagang telepon dan langsung mengenakan jaket serta menyandang tas tangan. Wajahnya tampak panik.

"Miriam akan melahirkan," beri tahu ibuku sebelum aku bertanya. "Bayinya prematur—malang sekali. Sejak Pak Gun tidak ada, dia hanya berdua dengan Ilyas! Mereka pasti panik dan kesusahan—Cal, apa yang kau lakukan? Kau di sini saja!"

"Ikut!" desakku setelah menyambar jaket di gantungan. Aku langsung melompat untuk mencari sepatuku di rak. "Aku nggak tahan di sini—Ya Tuhan, Bu! Jaketku baunya seperti mulut wanita pemabuk it—"

Ibu buru-buru menutup mulutku dengan tangan karena si pemabuk berada tepat di belakangku, sedang menonton televisi. "Pakai jaket satunya saja! Cepat, ambil sana! Baru ibu angkat dari jemuran tadi pagi!"

Kami berangkat ke rumah sakit khusus bersalin yang jaraknya dua puluh menit pakai mobil dari rumah susun. Susah sekali mencari taksi sejak lubang pada tembok W ditemukan, dan jarang ada orang di wilayah rumah susun punya mobil karena kami hanya 'rakyat sisa', alias orang-orang kampung melarat yang tidak bisa punya rumah di kota, tinggal berjejalan sekitar Tembok W, dan sekarang menyusahkan pemerintah yang mesti mengevakuasi kami dari perbatasan.

Ibu menarikku berlari menyusuri trotoar sampai kami berhasil mengejar sebuah bus tua. Sejak keresahan zombie, bus yang sepi penumpang sudah tidak berhenti dari terminal ke terminal lagi. Mereka berkeliling mencari penumpang seperti taksi, kadang malah disetop begitu saja di tengah jalan saat beberapa orang Polisi Nusa memutuskan untuk mengecek.

Saat kami masuk, hanya ada dua penumpang yang duduk berjauhan; satu pria yang tidur di kursi belakang dan satu wanita tua di belakang sopir.

Sopir bus mengamatiku dan ibuku cukup lama sampai kami mengambil tempat duduk di seberang si wanita tua. Ibu kemudian menyentakkannya, "Kami bukan zombie, Pak. Tidak mungkin zombie menggandeng anak."

Sopir itu menyengir malu. "Ke mana, Bu? Dan keperluan apa? Jaga-jaga kita dicegat polisi, kita mesti punya penjelasan—seharian ini saya sudah dicegat empat kali."

Ibu menjelaskan situasi kami sambil jalan, lalu mulai mengobrol dengan si sopir, sesekali ditimpali oleh si wanita tua di kursi seberang. Sementara itu, aku duduk manis di kursiku (padahal duduk manis sama sekali bukan keahlianku). Dari jendela, kuamati jalanan sunyi, rumah-rumah semi-permanen, beberapa mobil polisi, lalu menyusuri kabel-kabel tiang listrik yang bergelombang sampai kepalaku pusing. Aku menoleh dan mengamati pria yang tidur di kursi belakang.

Lalu, aku sadar dia tidak tidur.

Kepalanya tengadah di sandaran kursi, wajahnya tertutup selembar kertas—mungkin koran. Karenanya aku mengira dia tidur sebelum ini. Dari celah di bawah kertas itu, aku bisa melihat salah satu matanya yang membelalak, balas menatapku.

Aku malu karena tertangkap basah sudah menatapnya, tetapi sekalian saja aku balas memelototinya. Kubuka mataku lebar-lebar.

Sepuluh detik.

Dua puluh detik.

Setengah menit.

Mataku terasa panas sampai akhirnya aku kalah dan berkedip. Tangguh juga dia!

Dari pakaiannya—mantel panjang lusuh dengan benang mencuat-cuat, celana cokelat dekil bebercak lumpur di ujungnya, sepatu yang solnya hampir lepas—sepertinya dia gelandangan, yang entah bagaimana memiliki uang untuk naik bus. Jari-jari kedua tangannya yang kisut saling terkait di pangkuannya. Matanya masih memelototiku dari balik kertas koran di wajahnya.

"Cal," tegur ibu seraya menarikku. "Kau tidak pusing menghadap belakang terus? Ayo, sudah sampai."

Ketika kami akan turun, aku menyempatkan diri untuk memelototi pria di belakang untuk terakhir kali. Namun, entah sejak kapan dia sudah menggeser posisinya sampai ke ujung, seluruh tubuhnya meringkuk sampai nyaris tak terlihat di balik kursi di depannya.

"Hati-hati, Bu, Dik," kata si sopir. Tangannya meraih ke atas untuk membenarkan kaca spion. Baru kusadari sopir ini tak menengok spionnya sama sekali sejak kami naik.

"Bapak juga hati-hati, dong, menyetirnya," kataku sampai Ibu menyentakkan tanganku dengan malu.

Saat kami akan masuk ke rumah sakit, aku menoleh lagi. Si pria di kursi belakang bus menempelkan wajahnya ke kaca jendela. Separuh wajahnya masih tertutup kertas koran, tetapi kini aku bisa melihat kulit wajahnya yang agak mengelupas serta bebercak biru keunguan—seperti penyakit kulit. Matanya seperti mata kucing, dan bibirnya yang pecah-pecah menyeringai padaku, memamerkan gigi runcing yang kecokelatan.

Aku terpana ke arahnya sampai bus itu menghilang di tikungan jalan, lalu merinding hebat.

Ibu menghampiri seorang wanita di lobi rumah sakit, lalu menarikku ke salah satu lorong di bawah tangga. Setelah aku mendapatkan kembali kemampuan untuk bicara, barulah aku bertanya, "Zombie tak punya uang untuk naik bus, 'kan, Bu?"

Ibu terdiam menatapku untuk beberapa detik, sebelum kemudian tertawa seraya mengusap puncak kepalaku.

"Tidak ada zombie di bus, Cal. Kau lihat bapak sopir tadi? Tidak berhenti bicara! Kita bahkan langsung ditanyainya saat baru naik. Zombie tidak bicara."

Betul juga. Zombie tidak bicara. Mereka tidak mungkin dapat pekerjaan kalau tidak bicara. Tanpa pekerjaan, tidak ada uang buat naik bus.

Begitu kami sampai di depan ruang bersalin, seorang bocah laki-laki duduk di kursi panjang di lorong, ditemani salah satu perawat. Itu Ilyas—si cowok kurus berwajah pucat yang kuapakan pun cuma iya-iya saja. Rambut hitamnya yang mengikal kini lepek karena basah oleh keringat. Tangannya gemetaran memegangi sebuat kotak penuh warna. Wajahnya banjir oleh tetesan peluh dan air mata.

"Oh, Sayang ...." Ibu langsung berlutut di depannya. Ilyas menarik kakinya ke atas, mengerutkan tubuh ke kursi seolah ibuku akan menelannya bulat-bulat. "Tidak apa-apa. Ingat aku? Aku Tante Isma, teman ibumu."

Ilyas mengangkat wajah, lalu menatapku. Seketika itu juga dia bertingkah seperti orang kena serangan jantung. Matanya tak fokus, keringatnya tambah banyak, dan sekujur badannya tidak berhenti gemetaran. Jujur saja, itu sangat menyinggungku.

"Apa, sih?!" gertakku.

"Cal!" Ibu menegur jengkel. Dia berjinjit seolah hendak mengintip ke ruang bersalin, lalu mulai mengobrol dengan perawat yang duduk di samping Ilyas.

"Itu apa, sih?" tanyaku seraya menunjuk kotak warna-warni di tangan Ilyas.

Cowok itu membelalak seolah tak percaya, berani-beraninya aku mengajaknya bicara. Aku memelototinya sampai Ilyas menunduk.

"Rubik," bisiknya, terlalu pelan sampai nyaris tak terdengar.

"Kuping?" tanyaku.

"Rubik."

"Ubin?"

"Rubik."

"Ubi?"

"Rub—"

"Oh! Rubi! Batu permata itu! Gede amat!"

"Bukan .... Rubik ...."

Aku jadi kesal.

Aku merebut kotak itu dari tangannya, lalu menyadari petak-ketak kecil berlainan warna itu bisa digeser-geser.

"Wow," desahku kepingin. Kuacak-acak warnanya, merasa takjub selama semenit penuh, lalu lama-lama merasa jengkel karena tidak menemukan gunanya 'upik' ini.

Kulemparkan kembali kotak upik ke pangkuan Ilyas. "Buat apa, sih, itu?"

Cowok itu tak langsung menjawabku. Tangannya yang basah menggelincir sesekali saat dia mulai menggeser-geser petak warna. Tak sampai sepuluh detik, sebuah keajaiban terjadi. Seluruh warna yang serupa terkumpul ke satu sisi. Total ada enam warna untuk keenam sisinya.

"Bagaimana caramu melakukan itu?!" desakku seraya menghempaskan pantat di sampingnya. Cowok itu bergeser menjauhiku dengan lagak kaget, tetapi aku terlalu bersemangat pada si kotak upik untuk peduli. "Warnanya bisa dilepas, terus ditempel? Nggak, nggak! Tadi aku sudah geser-geser kotak itu, tapi warnanya nempel di situ dan tidak bisa dilepas! Jelaskan padaku! Katakan rahasianya atau mati!"

"Cal!" Ibu menangkap basah saat aku mencengkram kerah baju Ilyas. Dia buru-buru memisahkan kami dan menepuk-nepuk punggung cowok itu. "Sudah, sudah. Cal tidak serius. Dia mengancam mati semua orang, tapi dia tak pernah sungguh-sungguh."

Baru kusadari cowok itu terisak lagi. Air mata dan ingusnya berderai. Kotak upik terlepas dari genggaman tangannya, jatuh ke lantai. Sikunya tertekuk, lengannya melindungi sisi wajah, lututnya naik sampai badannya yang ceking tampak menggulung. Dengan suara yang bergetar, dia tersedu, "Bu Miriam ...."

"Dia akan baik-baik saja!" Ibu meyakinkan anak itu. Tangannya merangkul Ilyas. Bahkan, wanita perawat yang sejak tadi duduk di ujung kursi tampak mengusap setetes air di matanya. "Dia akan selamat, Sayang! Adikmu juga!"

"Salahku ...." Cowok itu terisak lebih histeris. "Aku kepala keluarga nomor dua ... tidak bisa menjaga mereka."

Aku memungut kotak upik di lantai, memeganginya sambil ternganga. Sepertinya tadi aku memang keterlaluan.

Sementara aku memutar-mutar kotak upik sampai warnanya kacau, Ibu dan wanita perawat bergantian mencari topik pembicaraan. Mereka mengalihkan pikiran Ilyas sampai cowok itu berhenti menangis sesenggukan.

"Kalau laki-laki," kata Ibu, "akan dinamai Gunawan? Seperti nama Pak Gun?"

Ilyas mengangguk. Tangannya mencengkram kain celananya sampai kusut.

"Bagaimana kalau perempuan?"

Ilyas menggeleng. "Belum ... dibicarakan. Ketubannya ... keburu pecah."

"Apa itu ketuban?" lirihku, lebih ke diriku sendiri.

"Bagaimana kalau diambil dari nama bunga?" usul ibuku.

"Tidak ... tahu. Harus tanya ... Bu Miriam."

"Ketuban itu rambut putih-putih seperti di kepala kakek? Tapi, itu uban."

"Lily? Jasmine? Rosa? Edelweis?"

"Mungkin ... Bu Miriam akan suka itu."

"Paguyuban? Tapi, aku juga tak tahu apa itu paguyuban. Cuma pernah lihat tulisannya di baliho jalan."

"Kamelia?" Si perawat ikut menambahkan. "Amarilis?"

Ilyas menyeka ingus dengan punggung tangan. "Amarilis bagus ...."

"Amarilis kayak nama temanku. Karena kepanjangan, kami memanggilnya Amar. Lama-lama jadi Mar-mar gitu karena kami malas panjang-panjang."

Ibu, wanita perawat, dan Ilyas akhirnya menoleh padaku seolah baru sadar aku ada di antara mereka.

"Nggak mau ...." Cowok itu mulai berkaca-kaca lagi matanya. "Adik perempuanku tidak boleh jadi Marmar."

"Kimmy?" usul si wanita perawat. Matanya melirik gelisah pada pintu ruang bersalin. "Itu bisa jadi kependekan dari Kamelia."

"Atau Emma," imbuhku.

Ibu menjentikkan jarinya. "Kependekkan dari Emilia atau Amelia."

"Sebenarnya tadi aku kepikiran Emir, kayak tetangga kita dulu—"

"Bisa juga kependekan dari Emmeline," sela ibu cepat-cepat. "Banyak sekali nama yang cantik buat adikmu kalau dia perempuan. Tidak perlu Marmar."

Kami menghabiskan sesorean itu untuk mengalihkan pikiran Ilyas sejenak; mengajaknya makan, mengajaknya bicara, mengajaknya main, mengajaknya bertengkar ... yah, aku yang mengajaknya bertengkar. Sisanya adalah tugas Ibu.

Akhirnya, adiknya lahir dan Bu Miriam melalui masa kritis. Ibu benar—Bu Miriam memang kuat. Wanita itu tetap tersenyum dan masih bicara tanpa tanda-tanda mempermasalahkan perutnya yang barusan dibelah dan dijahit lagi.

Kami menunggui Ilyas dan Bu Miriam sampai dipindah ke kamar inap. Bayinya di ruang lain—ruang inku-traktor atau apalah karena lahir terlalu cepat.

"Tidak apa-apa, 'kan, kalau kita menginap beberapa malam di sini?" tanya Ibu padaku. Di bahunya, masih tergantung ransel kecilku berisi pakaian dan alat mandi kami untuk menginap. "Kasihan Ilyas kalau menunggui ibunya sendiri. Kalau kau mau pulang, Ibu antar—"

"Ogah," jawabku cepat sambil merebut remote control televisi dari tangan Ilyas dan mengganti saluran siaran berita ke kartun. "Mending di sini daripada rumah susun. Kamar inapnya lebih bagus dan tidak bau mulut wanita pemabuk itu."

"Kau boleh tinggal kalau memberikan remote control televisi ke tangan Ilyas," ancam ibu.

Setelah beberapa hari, barulah bayinya boleh kami lihat. Ukurannya kecil sekali—bahkan bantalku lebih besar dari si bayi. Kulitnya merah, kepalanya tidak berambut, dan matanya terpejam. Si bayi menggeliat tak kentara, bibirnya mencebik seperti hendak menangis.

"Perempuan," kata ibu seraya tersenyum. Tangannya membelai kepala Ilyas. "Miriam sudah bilang namanya siapa?"

"Kata Bu Miriam, aku boleh menamainya," kata Ilyas, untuk pertama kalinya bicara dengan lancar. Senyum menghiasi wajahnya. Tampang pucatnya agak sedikit lebih cerah karenanya.

"Jadi?" tanya Ibu.

"Emma ...." Ilyas mengatakannya dengan ceria. "Adikku ... Emma."

ヾ(*゚ー゚*)ノ Thanks for reading

Secuil jejak Anda means a lot

Vote, comment, kritik & saran = support = penulis semangat = cerita lancar berjalan

Continue Reading

You'll Also Like

6.3K 539 36
Detektif Dragon kembali dalam aksinya kali ini ia harus berhadapan dengan badan Intelijen asing (KGB & CIA). Para intel asing ini memperebutkan sebua...
3.8K 596 6
BUKU KETIGA MIND TRILOGY [END] MINDFRAME Genom-genom dihancurkan dan dibentuk kembali. Manusia jenis baru bermunculan. Masing-masing tanpa sadar berb...
Hole-and-Corner By Aesyzen-x

Mystery / Thriller

665 221 29
Panik karena semua tulisannya menjadi kenyataan, seorang author wattpad berinisial Aes memutuskan untuk mengklarifikasi bahwa semua yang ditulisnya h...
4.9K 681 18
"Kenapa kau ingin membawaku?" "Karena setiap musim di Negeri Ajaib membutuhkan seorang Alice, Nona Sonata. Dan di musim dingin kali ini, kami membutu...