TIGA BELAS JIWA

بواسطة slsdlnrfzrh

1.3M 188K 70.7K

Cerita ini adalah penggalan kehidupan dari tiga belas jiwa yang bekerja di rumah sakit jiwa. Kalian akan mene... المزيد

Tiga Belas Jiwa
[SC] Raga
[JH] Johan
[JS] Joshua
[WJH] Arel
[KSY] Catra
[JWW] Dipta
[WZ] Khrisna
[DK] Arthur
[KMG] Pram
[XMH] Mada
[BSK] Gatra
[VN] Vernon
[DN] Dino
1.1 Raga
1.2 Johan
1.3 Joshua
1.4 Arel
1.5 Catra
1.6 Dipta
1.7 Khrisna
1.8 Arthur
1.9 Pram
1.10 Mada
1.11 Gatra
1.12 Vernon
1.13 Dino
2.1 Raga
2.2 Johan
2.3 Joshua
2.4 Arel
2.5 Catra
2.6 Dipta
2.7 Khrisna
2.8 Arthur
2.9 Pram
2.10 Mada
[Special Part] Manjiw Squad Girls
2.11 Gatra
2.12 Vernon
2.13 Dino
3.1 Raga
3.2 Johan
3.3 Joshua
3.4 Arel
3.5 Catra
3.6 Dipta
3.7 Khrisna
3.8 Arthur
3.9 Pram
3.11 Gatra
3.12 Vernon
3.13 Dino
4.1 Raga
4.2 Johan
4.3 Joshua
4.4 Arel
4.5 Catra
4.6 Dipta
4.7 Khrisna
4.8 Arthur
4.9 Pram
4.10 Mada
4.11 Gatra
4.12 Vernon
4.13 Dino

3.10 Mada

16K 2.3K 1.1K
بواسطة slsdlnrfzrh

Mada

Sepertinya, setiap hari yang menjadi tanggal pernikahan salah satu dari Manjiw Squad akan jadi hari favorit gue deh. Melihat satu per satu dari mereka punya hidup baru tuh rasanya nggak bisa dijelaskan. Ada seneng, excited, hingga merasa ditemani karena akhirnya gak cuma gue aja yang punya kisah baru dengan seseorang bernama istri.

Pram dan Ainun. Perfect couple di Rumah Sakit Jiwa akhirnya resmi juga. Gue gak tau sih detail kisah perjalanan mereka gimana, namun kayaknya mulus banget alias beda jauh sama gue. Gak ada drama-dramaan, pokoknya ngalir aja seolah menjadi perwujudan nyata bahwa jodoh itu akan datang tanpa aba-aba.

"Da, capek."

Belakangan ini, fisik Arsha udah gak sekuat sebelumnya. Jalan dari rumah orang tua Ainun ke parkiran aja dia udah ngeluh capek sambil pegangin pinggangnya gitu. Kalau diukur, perut Arsha mirip banget sama bunderan wajan dapur. Gak jarang gue suka gemes, pengen nusuk perut dia pake jarum siapa tau bisa kempes kayak balon pelampung.

"Dikit lagi, Sha." ucap gue. Acaranya selesai di jam sebelas siang, rombongan keluarga dan teman dekat Pram udah dateng dari jam 9 namun acara inti baru dimulai di jam 10 tepat. Penghulunya kesiangan, sehingga manusia-manusia gabut yang hampir mati kebosanan itu pada melakukan kegiatan unfaedah diantaranya pamer cewek di akun twitter punyanya Manjiw.

Gue?

Gak ikutan, lah. Cukup mantau aja yang udah beristri mah, gak perlu kayak mereka-mereka yang emang masih sebahagia itu karena dapet kecengan setelah berabad-abad lamanya menjadi jomblo abadi.

"Masih jauh tau, pegel banget ini." Eluhnya lagi.

Gue cuma bisa menarik napas pelan untuk menambah kesabaran, "Tunggu disini, aku yang bawa mobil kesana."

"Gendong ajaaaa."

Astaga, dia gak mikir apa kalo badannya makin hari makin gede aja?

"Sha yaampun, cuma sepuluh meter itu, masa digendong."

"Kalo gitu beliin itu." Gue mengikuti kemana arah telunjuknya menuju. Di depan TK yang lagi ngadain acara kenaikan kelas ada tukang jualan balon dan juga ikan cupang. Gue bingung, dia mau yang mana?

"Ikan cupang?"

"Sebelahnya."

Balon berarti.

"Mau yang bentuk apa?"

Seketika bibirnya tersenyum, "Hm, mau yang ... Keroppi, Beruang, Owl, sama Koala."

Kening gue mengernyit, "Empat, Sha?"

"Iya, empat." Dia memastikan. Gue hendak protes, namun sepertinya memulai perdebatan disaat lo tau kalau lo akan kalah telak hanya akan sia-sia. Gue membiarkan dia menunggu di tepi jalan, sementara gue menyeberangi jalan dengan susah payah karena kondisi yang lumayan ramai.

Sepertinya gue berhasil jadi pusat perhatian ketika tiba didepan motor abang-abang tukang balon itu. Beberapa ibu muda yang tengah mengantar anak mereka saling berbisik saat gue memegang empat gagang balon sekaligus. Tak nyaman diperhatikan, cepat-cepat gue kembali menyeberang tanpa menunggu uang kembalian.

"Nih, mau diapain?" Gue menyerahkan balon-balon berbeda warna itu kepada Arsha.

"Bawa pulang dong, lucu banget ada kupingnya." Alih-alih memegang kuping balon karakter keroppi itu, Arsha malah menyentuh kuping gue— nyaris menjewer.

"Aduh!" Tangan gue memukul jarinya pelan, "Kamu jadi galak, tadi aja nginjek kaki pengantin. Kenapa sih?"

"Ya mana aku tau, bawaan orok kali." Ngomongnya enteng banget, bahkan tanpa melirik gue sama sekali. "Sana kamu ambil mobil, aku tunggu disini. Capek."

Emosi banget gue, tapi gak bisa ngomong apa-apa soalnya gue tau kalau sedikit saja protes atau nada tinggi dari bibir gue bisa melukai dirinya. Gue melangkah cepat menuju tempat dimana kendaraan gue diparkirkan, sempat ketemu juga sama Gatra yang waktu itu lagi pakein helm ke kepalanya Kaila.

Gemes banget, jadi pengen punya yang beroda dua juga biar bisa romantisan sama Arsha.

Tapi kalo gue ngusulin buat beli, gue yakin Arsha gak akan setuju sehingga gue bisa aja dimarahin lagi kayak waktu itu sama dia.

Jok belakang nyaris tertutup penuh sama empat balon ini. Yang berdosa cuma senyum lebar, sampai gue curiga kalau barusan Arsha lagi kesurupan oleh calon anak gue. Jarak dari lokasi acara ke tempat tinggal gue lumayan memakan waktu. Belum lagi hari minggu jalanan selalu padat, kayaknya manusia lagi musim kawin deh soalnya hampir sepanjang perjalanan yang gue lihat selalu lengkungan janur berwarna kuning terang.

"Kayaknya barusan perut aku gerak deh, Da." Gue sampai menghentikan mobil secara mendadak di tepian jalan ketika Arsha memegangi perutnya sendiri. "Ah, beneran, gerak ini, kayak ada yang gelosoran dari dalem."

Secepat mungkin gue memegang perutnya yang mulai membesar itu. Tapi sayang, gue tidak merasakan apa-apa selain perutnya yang makin sini semakin terasa keras. "Sakit?" tanya gue.

"Enggak, cuma ... ada yang gerak aja." katanya dengan wajah super panik.

"Ke dokter deh kita." Gue menekan sein ke kanan, menunggu kendaraan di belakang sedikit kosong supaya bisa kembali bergabung ke jalanan. Sebetulnya ini hal wajar, toh kandungannya sudah masuk bulan ke empat. Cuma gue agak sedikit khawatir aja, pasalnya belakangan ini Arsha sibuk banget di RSJ buat memeriksa urine para calon pejabat daerah.

Tiap musim Pilkada, laboratorium RSJ sibuknya udah kayak KFC di awal bulan; rame orderan. Hampir seluruh calon pejabat Kabupaten Bandung Barat pasti mendapatkan rujukan tes psikologis dan juga laboratorium ke RSJ Provinsi. Arsha selaku analis tentu jadi orang yang paling sibuk di lab. Beda sama gue, kadang gue cuma melakukan pengecekan ulang kemudian membubuhkan tanda tangan selaku dokter pemeriksa dan penanggung jawab.

"Ih, gak usah, kayaknya normal kok, Da." Cegahnya dengan tangan yang masih belum lepas dari sekitaran perutnya.

"Tapi akhir-akhir ini kamu kecapekan, Sha. Kemarin berapa sample yang kamu periksa? Sampe pulang jam enam gitu." Nada suara gue terdengar kesal, langsung membuat Arsha tidak bersuara karena dia sadar telah sesibuk apa dirinya beberapa hari ini.

"Ya kan emang lagi musimnya." Dia memberikan pembelaan, "Dulu lebih banyak kok, dan biasa aja."

"Dulu kamu belum ngandung, sayang." Kali ini gue menyentuh puncak kepalanya untuk merayu dia supaya mau gue bawa ke dokter kandungan. "Aku gak akan masalah kalau kamu lagi nggak hamil, mau lembur sampe ketemu pagi juga pasti aku izinin. Tapi ini situasinya beda, kamu punya dua nyawa. Inget, dua."

"Jangan bikin aku ngeluarin kamu dari lab, deh." Ancam gue serius, "Kalau masih bandel, bisa-bisa kamu berhenti jadi analis dan ganti kerjaan jadi urusin bisnis. Mau?"

Bibirnya mengerucut, pandangannya tertunduk, benar-benar kalah dengan ancaman yang baru saja gue utarakan. Sebetulnya dibanding jadi analis, Arsha lebih cocok mengelola bisnis gue aja. Kalau datang ke workshop dan butik milik gue di Setiabudi dan juga Bekasi, para pegawai justru jadi lebih segan sama Arsha daripada sama gue. Galak katanya, nggak nyantuy kayak gue.

"Ya udah, terserah Mada." Pasrahnya.

Karena udah terlanjur lewat jalan raya, gue meneruskan perjalanan dengan sedikit kesal karena jalur yang gue lalui rawan kemacetan. Kalau aja Arsha bilang dari awal, gue pasti lewat tol aja biar gak usah repot-repot tekan klakson sana sini. Sebetulnya rumah sakitnya kejauhan, tapi karena gue tau bahwa rumah sakit itu sangat terkenal oleh kompetensi para dokternya, makanya gue kesana gak peduli sejauh apapun jaraknya.

"Mama kamu semalem telepon aku." Gue kalau diajak ngobrol pas lagi emosi di jalan biasanya suka kurang konek, "Tanyain baby-nya, terus tanyain kamu juga. Katanya kapan kamu ke Palembang? Mudik gitu."

"Bilang aja nanti kalo udah lahiran, terus kalo bayinya udah kuat."

"Kamu gak pernah chat sama Mama, Da?"

"Jarang, lagian bahas apaan lah males, kamu aja." Soalnya kalo chat, pasti ngomongin pabrik emas sama toko-tokonya. "Dia suka nyebelin gak kalo chat?"

"Enggak, seru kok, Mama kamu gaul banget. Kalo ngetik kata aku pasti jadi A sama Q, atau A sama K. Tau bahasa gaul segala pula, kemarin ngajak mutualan twitter sama aku tapi aku gak punya twitter."

Emak gua ... ada twitter? Bahaya, kudu gue cari terus blokir dari akun @tigabelasjiwa. Takutnya ntar dia jb-jb disana, atau parahnya bilang ngefans sama mulut sialan punya bang Johan.

"Kalo pusing gak usah dibales, ntar juga bosen sendiri dia." Ucap gue, "Hari ini mau makan apa? Jangan yang macem-macem tapi, kita belum periksa keadaan kamu soalnya."

Arsha suka banget gigit bibir bawah kalau lagi mikir, "Hm, apa ya? Aku mau nasi pake kerupuk terus pake garem."

Sejenak gue mencerna keinginan yang barusan dia sebutkan. Nasi? Pake kerupuk? Pake garem? "Kamu ... abis nonton orang pinggiran?"

Itu loh, yang soundtrack-nya ... lihatlah dan buka lah mata hatimu~ pokoknya enek banget gue kalo misal Catra udah nyanyi itu di tongkrongan.

"Enggak, tapi enak aja gitu kayaknya. Langsung ngiler aku."

"Gak ada vitaminnya dong, sayang. Nasi garem sama kerupuk mah ... apaan, karbo sama yodium doang?"

"Kan ibu hamil butuh yodium."

"Kalo cuma nasi garem nanti bayinya gondongan di perut gimana hayo?"

"Da?" Arsha menatap gue heran, "Gondongan tuh kekurangan yodium bukan sih? Kamu tujuh tahun setengah kuliah jadi dokter spesialis ternyata gak guna ya?" Tangannya mendarat di kepala gue, kemudian jarinya yang selalu hangat itu mengacaknya cepat sampai rambut gue berantakan.

"Ya udah deh kalo emang mau, nanti beli kerupuknya di warung sebelum apart." Ngalah aja gue, lagian cuma sekali-kali kan makan nasi garemnya? Gengsi banget sumpah, anak gue ngidam kagak elit banget. Harusnya anak Catra atau Arthur nih yang begini, noraknya dari keturunan.

"Kita ke rumah sakit mana?" Tanyanya bingung ketika beberapa rumah sakit ternama gue lewati begitu saja.

"Hermina, dokternya banyak kenalan aku soalnya." Kata gue dengan fokus yang tidak goyah sedikit pun. Arsha cuma bilang oh, selanjutnya dia memejamkan mata sambil mengusap-usap perutnya. Gue pengen nanya serius sama dia, sakit atau gimana sih itu rasanya? Tapi urung gitu aja karena gue rasa mood-nya lagi jauh dari kata baik.

Ketika berdiri dengan dress pendek seperti itu, Arsha keliatan lucu banget karena perutnya jelas udah ngebentuk. Gue merangkul bahunya, sengaja biar si ibu hamil ini ngerasa nyaman dan diperhatiin terus sama suaminya. Soalnya pernah beberapa hari lalu gue cuekin dia pas lagi jalan, eh orangnya nyuekin gue balik selama satu malam. Alasannya sepele; cuma pengen dipegangin tangan kayak orang kebanyakan.

"Ngeganjel gak sih, Sha?"

"Masih biasa aja, gak tau kalo udah besar."

"Berat gak sih?"

"Sebenernya kayak normal aja, Da, cuma ... hm ... gimana ya? Cuma jadi buncit kali ya perut akunya?"

Jadi pengen nyobain hamil sehari biar tau rasanya kayak apa.

"Maaf ya." Rangkulan gue semakin erat, "Maaf jadi bikin kamu susah."

Sebenernya maaf gue sama sekali gak berguna. Harusnya kalau mau, gue bilang gini tuh dari dulu. Maaf karena udah nyentuh dia. Maaf karena udah bikin dia harus kehilangan masa-masa luar biasanya sampai harus merasa repot karena berbadan dua. Gue brengsek banget ya? Apalagi pas inget kalau dulu gue hampir aja nekat buat gugurin anak kita.

"Apa sih, ngapain minta maaf coba?" Gue selalu suka saat Arsha menyentuh pipi gue untuk menenangkan gue. "Mada hebat, mau bertanggungjawab sampai sejauh ini." Dan gue juga selalu suka saat dia membenarkan setiap keadaan; seolah gak membiarkan gue untuk menyalahkan diri atas apa yang terjadi.

"Cepet lahir ya, Papa gak sabar nunggu kamu." Gue menyentuh perutnya, "Sehat-sehat disana, kita harus ketemu pokoknya."

"Gemes!" Untung aja Arsha cuma pura-pura gigit tangan gue, coba kalo beneran? Mampus dah gua, hilang harga diri karena mesti memaki.

Gue menyuruh Arsha duduk di kursi tunggu, lalu menghampiri loket pendaftaran untuk melihat dan mengecek jadwal dokter yang praktek siang ini. Gue emang gak bisa milih, tapi sepertinya gue kebagian periksa sama dokter yang namanya tidak terlalu asing. Dan ketika tiba pada waktu dimana Arsha diperbolehkan masuk ke dalam ruang periksa, aksi sapa-menyapa itu berubah sedikit heboh karena gue dan dokternya sama-sama memberikan reaksi yang excited.

"Oh my god! Mada, why are you here?"

Vinthya namanya. Cantiknya gak berubah, dulu pas gue jadi koas, cewek ini udah jadi residen kandungan di RS Santosa. Sosoknya girl crush gitu, incaran para konsulen tua bangka yang lagi demen daun muda. Gue juga sering ketemu dia di club, kerjaannya rangkap DJ juga dan setau gue dia sering banget collab sama Vernon di klub sekelas Casper.

Kita cipika-cipiki, jelas cewek disebelah gue langsung pasang muka dongkol.

"Istri gue, mau check up."

"What? Oh my— shit, I can't believe that." Aksen Kanada-nya terdengar sangat khas, "Lo udah nikah?"

"Ya, as you see." Beneran, istri gue udah dongkol banget. "Bisa mulai kan? Soalnya gue bayar mahal."

"Ahaha, damn." Harusnya dia gak boleh memaki, gimanapun gue dan Arsha ini 'pasien', dan kayaknya dia sudah melanggar etika pekerjaan. Setelah selesai berbasa-basi, akhirnya sesi konsultasi dilakukan. Cuma anehnya, Arsha kurang komunikatif sehingga harus gue yang menjelaskan secara detail.

"Empat bulan sih ini, Vin, terus tadi tiba-tiba ngeluh kalo ada pergerakan. Gue panik dong, takut kenapa-napa."

"Wajar itu, janinnya memang lagi di fase perkembangan yang mulai kompleks. Usianya udah nginjak delapan belas minggu, mau USG sekalian? Biasanya udah kebentuk fisiknya, udah keliatan kayak manusia."

"Emang biasanya kayak apa?" Tanya gue.

"Kayak kcebong gak sih?" Kadang Arsha suka gak tau tempat, main nyeletuk gitu aja sampai Vinthya harus tertawa ngakak.

"Gosh, I love that word, Kecebong. Tapi gue lebih suka nyebut mirip alien sih."

Kenapa jadi baby-shamming kayak gini?

"Mbaknya ada keluhan lain?"

"Susah tidur, sama pipis terus." Jawabnya yang emang udah jadi keluhan rutin selama beberapa minggu ini.

"Ya, masih wajar juga. Pasti gak nyaman ya perutnya pas baby-nya gerak? Nanti juga terbiasa, awal-awal memang akan aneh, butuh penyesuaian."

"Saya juga gendutan." Suaranya melemah, "Padahal nggak banyak makan."

"It's okay, gendutan itu pasti, apalagi di bagian perut, bokong, dan pinggang. Rahim membesar, dan organ-organ lain akan bergeser sehingga postur tubuh pasti mengalami penyesuaian. Nanti tendangannya akan makin kuat lagi, sampai keliatan dari luar pas baby-nya gerak. Jaga pola makan, jangan pake baju ketat, sepatu tinggi, usahakan pake yang nyaman. Overall, keluhannya masih wajar kok. Tekanan darah normal, gula darah normal, semuanya bagus."

Tenang banget gue pas denger kalau semua normal-normal aja. Saking gugupnya Arsha, dia sampai gak melepas pegangannya pada tangan gue. Dia mendapat resep vitamin tambahan dari Vinthya, saat disarankan USG, Arsha terus menolak karena katanya dia belum mau buat melakukan itu. Gue sih ikut aja, yang penting si ibu ngerasa bahagia.

"Da, gue pikir lo akan terus brengsek, haha."

Penutup pertemuan ini cukup bikin gue deg-degan.

"No doubt sih, you are a great player in a bed, I admit that."

Sialan. Niat bikin gue mati beneran kayaknya dia.

Tatapan Arsha langsung tajam, dia keliatan kaget sekaligus gak percaya. Setelah mengambil tasnya, Arsha langsung pergi tanpa permisi. Gue kehabisan kata, nyaris aja berkata kasar pada perempuan yang malah menutup mulutnya sembari membisikan kata 'ups, sorry'.

"Harus banget diomongin?" Ketus gue lalu meninggalkan ruangannya.

Jadi petaka ini mah, lagian Vinthya gak bisa memposisikan diri banget sih pake umbar masa lalu segala.

"Gak usah deket-deket!"

Anjay, galak banget sampe kaget.

"Aku ... Sha, aku ceritain deh ya?"

"Gak perlu, udah paham alurnya, basi."

Yaelah, auranya serem gini. Gue gemeteran, gelisah dan gak enak hati karena bingung harus jelasin apa sama Arsha.

"Sha ... "

Dia gak jawab.

"Ny. Arsha Winoto Huang."

Giliran dipanggil sama apoteker aja orangnya langsung gercep, kakinya hentak-hentak kenceng sampai teras rumah sakit minta ampun karena diinjekin. Mati ini mah, buku nikah bisa dibakar cuma gara-gara satu kalimat yang ngungkit masa lalu gelap.

Gue cuma ngekor dibelakang Arsha, dia gak mau gue rangkul atau gue sentuh sedikit pun. Bahkan ketika masuk mobil, dia langsung tidur padahal gue tau kalau itu cuma ekting. Sialan nih, kok gue gak berani ngomong sih? Padahal gue mesti klarifikasi biar Arsha gak terus-terusan salah paham kayak gini.

"Balonnya—"

'Dar! Dar! Dar! Dar!'

Empat kali letusan, gue kira suara dajjal keluar dari perut bumi, taunya balon lucu yang ada di jok belakang dipecahin semua sama dia pakai ujung heels tajam yang dia pakai. Dia turun lebih dulu setelah sampai di parkiran basemen apartemen, sementara gue cuma melongo sembari melihat nasib empat balon yang kini tidak memiliki bentuk lagi.

"Anjiiiiiing!"

Cemen banget lu, jelasin kek kalau itu cuma masa lalu. Atau gimana kek gitu biar istri lu baikan lagi bukannya malah stress sendiri seperti orang yang— ya, emang gue nidurin Vinthya sih dulu, ngaku aja. Tapi plis, gue udah tobat, cuma Arsha doang yang sekarang ada dalam sejarah hidup Mada Winoto Huang.

"Sha, please ... "

Tau gak? Tiga hari gue dicuekin. Bajingan.

***

"Belegug sia mah anjing ih."

Emang kudu dimaki dulu gue tuh biar bisa mikir jauh, masih untung gue gak disembur Gatra dan cuma dikata-katain gini.

"Rumah tangga gitu amat, ngeri gua." Bang Johan bergidik, sampai meluk dirinya sendiri. Bukan ngeri, emang anaknya belom ada modal aja buat ngajak teteh kantin berumahtangga. Hiya kebongkar.

"Kan gak sengaja gua ketemunya."

"Ya kalo tau korban lu gawe disono kenapa kudu periksa disono juga Madaaaa, toloool, goblooook?" Mulut Catra-Gatra bisa dinobatkan sebagai mulut terkotor kedua dan ketiga setelah Johan Rachmadi.

"Kan rumah sakitnya bagus."

"Tapi gak bagus buat rumah tangga lu bajing, punya otak dibiarin estetik doang lu mah, dipake kagak." Enak banget toyorannya, bikin pusing.

"Untung gua gak ada mantan, rumah tangga aman." Alih-alih fokus sama curhatan gue soal Arsha, gue malah menyeringai lebar kearah Pram yang baru masuk kerja hari ini.

"Gimana amboksing? Nemu apa lu di dalem daster? Photocard?"

"Beuh anjir, bukan photocard lagi, album full set."

"Capek gua temenan sama orang geblek." Padahal Khrisna baru datang, tapi langsung pergi lagi tanpa menghabiskan teh manis hangat yang dia pesan. Keliatannya buru-buru, setelan dia hari ini juga rapi banget, kayak orang kantoran mau ngadain meeting. Biasanya juga pake kaos sama training, patut curiga kalo sekarang dia otewe ke RS Yaksa Siaga buat serah terima jabatan.

"Out of the topic gak sih?" Seperti biasa, yang paling tua melerai. "Minta maaf, jangan sama-sama diem, jelasin kenyataannya. Dicuekin tuh bukan balik nyuekin, Da, justru lo kudu deketin dia, biar luluh lagi."

"Ngaku berdosa gua bang makanya gini." Gue memakai lagi kacamata yang sempat gue lepas, "Barusan istri gue balik naik grab masa? Makanya gue kesini, udah bingung."

"Perlu gue yang rayu?" Tawar Gatra.

"Barter sama Kaila apa gimana nih?"

Cowok itu melotot, "Bangsat lo, gak bisa! Kaila mah anak baik anjir, digigit nyamuk aja satu sarang tuh nyamuk langsung gua fogging."

"Anjim bucin anjim najis!" Abangnya geli sendiri, padahal dia lebih bucin dari Gatra kalo sama Mela. "Turunan siapa sih lu?"

"Bapak lu, bucin bat tuh sama emak lu."

Kenapa yang berantem jadi kakak beradik ini sih?

"Lu mah anak pungut, bukan anak bapak gua."

"Lu kali yang dapet mulung, tau banget gua bapak pernah cerita lu ditemuin di stopan Kiara Condong."

"Gue balik." Bukannya dapet pencerahan, gue malah makin pusing karena liat pertengkaran. Tanpa memberikan pamit yang layak, gue langsung meninggalkan warkop dengan kepala yang penuh oleh sejuta pikiran. Gue harus apa ya biar baikan lagi sama Arsha? Kok ngedadak bego gini sih? Gengsi gue yang terlalu tinggi atau emang gue terlalu malu mengakui kejelekan di masa lalu?

Sambil harap-harap cemas, gue menyusuri beberapa titik yang setau gue ngejual berbagai macam balon. Kayaknya gue harus minta maaf dulu sama Arsha, sogokannya pakai balon aja yang banyak persetan dia mau nerima atau enggak. Gue sampai harus ke daerah Dago cuma demi nemuin tukang balon gas yang ditempeli stiker emotikon beraneka ekspresi. Ada kali lima ratus ribu gue abis duit, balonnya juga banyak banget sampai gue harus buka atap mobil dan iket balon-balon itu dengan erat di leher jok penumpang.

Malu gue udah ilang, pokoknya yang ada di pikiran gue sekarang adalah gimana caranya gue minta maaf sama Arsha. Sekitar enam balon meletus di jalan, pas di lampu merah banyak yang kaget cuma karena ledakan dari balon gas yang gue bawa. Sesampainya di apartemen, gue langsung memboyong balon-balon itu naik tak peduli kalau gue bikin sesak satu lift yang gue naiki. Masa bodo, properti juga punya gue, hak gue mau bawa apapun buat naik ke unit gue. Iya gak?

Pintu gak dikunci, kebiasaan banget pokoknya dan ini selalu bikin gue kesel. Saat masuk, Arsha lagi tiduran di sofa dengan pakaian yang belum berganti sama sekali. Gue duduk lesehan dihadapannya, lantas memberikan sekitar dua puluh balon yang selamat selama di perjalanan tadi.

"Nih, yang kamu letusin waktu itu aku ganti." Gue menyerahkan balon itu padanya. Bukannya menerima, Arsha malah melepaskan pegangan sampai balon-balon ini terbang mentok di atap-atap rumah. "Kamu mah, jadi terbang kan liat."

"Minggir ah, enek aku liat kamu." Arsha mendorong dada gue, sengaja menyingkirkan gue supaya menjauh dari dia.

"Having sex while you were pregnant is not a problems. Don't make me lose my control, Sha. Or ... you will get hurt." Gue membaringkan Arsha paksa sampai dia tertidur lagi diatas sofa, "Kamu mau apa? Mau aku playing great in bed more than we usually do? Hm?"

Bukannya memberikan reaksi yang selalu dia berikan, Arsha malah menolak apa yang gue lakukan— dia menepis tangan gue yang mulai bermain nakal di sekitar wajah dan lehernya. "Minggir, aku lagi gak mau ngapa-ngapain." usirnya.

"Maaf." Akhirnya gue mengatakannya, "Maaf karena kamu harus mendengar itu. Tapi aku bersumpah, Sha, itu masa lalu, dan kamu—"

"Iya, gak apa-apa." Suaranya masih datar, "Gak perlu minta maaf, aku justru harusnya biasa aja karena itu bukan hal asing yang pernah aku dengar."

Tatapannya melunak, "Tapi gak tau kenapa, aku masih kesel kalau denger hal buruk soal kamu. Kayak ... it hurts me so bad, karena ternyata dari dulu kamu tuh nggak cuma buat aku. Orang lain juga pernah punya kamu, dan aku iri, iri karena aku bukan yang pertama, bukan yang istimewa. Itu aja."

"Kemarin aku mikir, mbak Ainun beruntung ya, dokter Pram cuma buat dia. Iri-nya aku cuma sesederhana itu loh, Da. Aku yang minta maaf, mungkin aku yang terlalu sensitif. Maaf ya."

Kenapa sih, gue gak bisa jadi orang baik?

Kenapa sih, gue harus jadi manusia kotor yang menebar dosa dimana-mana?

Kenapa sih, gue harus kecewa sama diri gue sendiri?

Kenapa gue gak bisa jadi yang sempurna? Gak bisa jadi si satu-satunya? Dan malah harus jadi si penyebab kenapa orang sebaik Arsha masa depannya hancur berantakan?

"Aku gak bisa bilang apa-apa karena semuanya fakta, aku gak mau kasih pembelaan, aku cuma ... cuma minta kamu buat inget ini, Sha. Aku cuma sayang sama kamu, mau hidup sama kamu sebagai masa depan, bukan sama mereka yang ada di masa lalu perjalanannya Mada. Maaf karena gak sempurna, Arsha nyesel ya udah hidup sama Mada? Hamil anak Mada?"

"Sama sekali enggak, Mada terbaik, Mada yang paaaaling baik dan bisa bikin Arsha bahagia." Dia bangun lalu memeluk gue erat, "Maaf ya, udah jangan dibahas, Arsha udah gak marah lagi kok soal yang kemarin. Maaf."

"Janji ya jangan marah?" Karena mau bagaimana pun, gue tetaplah Mada yang kekanakan dihadapan lo. Mada yang hanya ingin mendengar bahwa lo gak marah sama dirinya. Mada yang selalu ingin memastikan kalau lo akan selalu senang selama hidup sama dia. "Balonnya udah diganti, maaf karena nggak sama persis kayak kemarin, habisnya aku bingung harus cari kemana lagi."

"Gak apa-apa, makasih ya." Katanya dengan pelukan yang semakin terasa erat.

Gue memegang perutnya pelan, "Baby, kamu bukan kesalahan, baik-baik ya disana, Papa beneran nunggu kamu buat lahir ke dunia supaya bisa ikut pelukan sama Mama."

Dan kemudian dia bergerak, seolah memberi tanda bahwa hadirnya dia bukanlah sebuah dosa. Yang dosa itu gue dan Arsha. Tapi berkat dosa ini, gue berhasil menghadirkan dia yang kini menjadi pemersatu antara gue dan juga Arsha. Kita gak akan berakhir bersama kalau seandainya diantara kita gak ada dia; anak gue.

"Nasi garem sama kerupuknya mana? Mada lupa beli ya?"

Yah, masih inget aja. Padahal gue udah seneng karena Arsha gak harus makan pakannya Catra.

✡️✡️✡️


....

Dinihari sekali aku update

Have a nice sunday everyone!

واصل القراءة

ستعجبك أيضاً

4.9K 1.7K 40
[ kim doyoung ] Yang melepas dan yang dilepas harus ikhlas. Kalau kembali, artinya Tuhan mengimbali. Karena yang ikhlas pasti akan berbalas. Sedangka...
41.3K 5.9K 21
Tentang Jennie Aruna, Si kakak kelas yang menyukai Alisa si adik kelas baru dengan brutal, ugal-ugalan, pokoknya trobos ajalah GXG
5.3K 776 16
"Dari sekian banyak foto yang kuambil, kamu tetap jadi yang terindah" Start:10/04/20 End:10/07/20
OCEAN [SVT] بواسطة kavii

قصص الهواة

141K 25K 64
Lautan, satu kata yang memiliki arti berbeda di diri setiap orang. Ada yang mencintai bentangan perairan biru bernama lautan itu dengan tulus dan ikh...