20.12

By NurAzizah504

2.6K 366 162

Katanya, euphorbia adalah lambang keberuntungan. Ketika Flower memutuskan untuk merawatnya, dia berharap kebe... More

PROLOG
1. Namanya Flower Edelweiss
2. Batas Pertahanan
3. Patah yang Sengaja
4. Yang Mengerikan
5. Tentang Dia
6. Berbicara Tentang Perasaan
7. Cerita di Pemakaman
8. Bisakah Kita Lebih Dekat?
9. Luka Tak Kasat Mata
10. Kiss Me
11. Si Penyair Gila
12. Patah Untuk Bahagia
13. Kutakut Kau Pergi
15. Jangan Pergi Terlalu Jauh
16. I'm Always Here
17. Yang Paling Pantas
18. Best Friends
19. Anak Kecil yang Ketakutan
20. Selangkah Lebih Dekat
21. Charlotte Sky
22. Kamar Nomor 37
23. Ungkapan Dalam Diam
24. Si Keras Kepala
25. Rencana Malam Nanti
26. Harapan dan Mimpi
27. Aku Itu Sampah
28. Terlalu Serakah
29. Harapan yang Terlalu Tinggi
30. Terlalu Sayang
31. Bertamu
32. Memilih Pergi
33. Kamu Lebih Tepatnya
34. Mencintai dan Dicintai
35. Banyak Tingkah
36. Egois

14. Gagal Melupakan

37 12 0
By NurAzizah504

Kiss me one more time, Edel.

* * *

"Aku mampir dulu, ya? Capek."

"Bukannya abis ini kamu ada sparing basket, ya, di kampus? Nanti telat kalau mampir dulu."

Genta tidak mendengarkan. Dia tetap saja turun dari motor yang saat itu telah sepenuhnya terparkir di depan pagar rumah Flower. Bersamaan dengan tangannya yang membuka pengait helm, dia berkata, "Bentar doang, kok, Edel. Gak sampe sejam juga. Sekalian ini juga mau numpang minum."

Saat itu, Flower hanya bisa menghela napas pasrah seraya menatap Genta yang tengah mengaitkan benda pelindung kepala itu pada setang motor. Tanpa menunggu laki-laki itu selesai dengan urusannya, Flower lantas melangkah lebih dulu. Ia membuka pagar lalu berjalan di depan untuk kemudian disusul oleh Genta.

Keduanya masuk ke dalam rumah. Jika Flower menuju ke kamar, Genta memutuskan untuk langsung ke dapur dan membuka kulkas. Ia mengambil air putih yang memang selalu diisi penuh oleh Flower ke dalam botol besar. Bersamaan dengan itu pula, terlihat Flower keluar dari kamar dengan penampilan rumahannya.

"Edel, euphorbia yang di depan rumah itu gak pernah kamu siram atau gimana? Kering banget."

"Lupa, Mas. Sorry," jawab Flower seadanya.

"Penjual bunga masak lupa nyiram bunga? Bohong banget itu," ketus Genta dengan rasa kesal yang tergambar jelas pada wajahnya.

"Iya-iya. Nanti aku siram sampe airnya luber sekalian." Flower menyerah.

"Jangan sampe luber, Edel. Perhatikan juga media tanamnya. Awas, lo, ya, kalo sampe bunganya mati."

Flower berdecak, tak lagi membalas ucapan Genta tentang bunga euphorbia. Kini, ia beralih menduduki sofa dan berkata, "Sore nanti aku mau ke rumah Bima. Ada kerja kelompok."


Genta yang juga telah selesai menenggak air minumnya pun menyahut, "Berarti gak bisa liat aku sparing, dong?"

"Em, kayaknya, sih, gitu." Flower menatap Genta yang baru saja duduk di sebelahnya. Dilihatnya laki-laki itu berdecak kesal, seolah tak terima dengan perkataannya.

"Nanti kalau dia apa-apain kamu lagi, jangan diam aja, ya? Timpuk aja kepalanya. Biar gak kesenengan, tuh, anak."

Flower tersenyum lalu merapikan beberapa helai rambut Genta yang dinilai olehnya sedikit berantakan. "Iya, bahkan aku gak yakin kalau sore nanti Bima bakalan berani natap aku lagi."

"Jangan diberantakinlah, Edel. Ah." Genta berdecak seraya memindahkan jemari tangan Flower dari rambutnya.

"Siapa yang ngeberantakin, sih, Mas? Yang ada aku tuh lagi rapiin rambut kamu yang keliatan berantakan," jelas Flower tak terima.

"Rambut aku udah rapi, ya." Genta berdecak lalu kembali menata rambutnya bercerminkan layar ponsel Flower yang sengaja diambil olehnya. Akan tetapi, gadis yang satu ini tidak merespons lebih selain dari membiarkan napasnya yang berderu panjang.

Hari ini terasa begitu melelahkan. Mungkin karena dua jam terakhir pelajaran, ia habiskan di UKS untuk meredakan sakit di kepala. Wajar saja, cuaca sedang tidak baik-baiknya. Malam tadi terdengar gemuruh yang begitu besar di langit. Saat pagi tiba, langit malah terlihat cerah tanpa satu pun awan menutupinya. Kali ini, ketika Flower melongok ke arah jendela untuk menatap keluar rumah, dia akhirnya mendapati langit kembali terlihat gelap. Mungkin sebentar lagi akan hujan deras, begitu batinnya.

"Mas, kalau nanti tiba-tiba hujan, sparing kamu gimana?"

"Dibatalin, dong," jawab Genta yang tengah serius menatap ke arah ponselnya. Tampaknya laki-laki itu tengah membalas pesan dari teman-temannya.

Saat kesibukan kecilnya selesai, Genta pun mulai menyimpan kembali benda yang berbentuk persegi panjang itu ke atas meja. Kedua lututnya mulai diarahkan menghadap ke Flower. Sedangkan sebelah tangannya ia letakkan pada sandaran sofa sebagai penyangga kepala. "Kata Bima tadi kamu masuk UKS? Emang bener?"

Flower mengangguk singkat. "Kepalaku sakit, Mas. Soalnya siang tadi terik banget mataharinya. Mana sebelum jam istirahat tadi aku main voli lagi."

Detik berikutnya, tangan yang beberapa saat tadi digunakan Genta untuk menyangga kepala, kini lantas dipakainya untuk menyentuh dahi dan sekitaran leher Flower. "Iya, sih. Masih agak panas ini badannya," komentar Genta dengan suara rendah, "Istirahat sana."

"Ini aku juga mau istirahat, Mas. Tapi, kamunya masih ada di sini. Gimana, sih?"

Mendengar jawaban Flower yang terlampau frontal, Genta tertawa rendah. Puas mencubit pipi kiri Flower hingga gadis itu berteriak dan marah-marah, Genta pun akhirnya mencoba untuk menarik tubuh Flower agar terjatuh hanya padanya. "Istirahat, nih, di sini. Biar sakitnya cepet ilang," ucap Genta menenangkan.

"Di mana-mana orang kalau lagi sakit itu dikasih obat," tandas Flower seraya memainkan-mainkan jari telunjuknya mengikuti pola lingkaran pada kaus bagian depan milik Genta.

"Emang mau aku kasih obat?" Sontak Flower menggeleng. Yang sekali lagi membuat Genta tertawa.

Namun, tak lama kemudian Flower tampak melepaskan diri. Ponsel yang sejak tadi berada di atas meja terlihat bergetar. Pada layar yang menyala terang, Flower menemukan nama Bima di sana. Dia segera menggeser layar dan menempelkan ponsel di telinga.

"Flow, kerja kelompoknya dibatalin, ya? Gue mendadak ada acara keluarga, nih."

"Oh, gitu," Flower menggaruk pangkal hidungnya yang tiba-tiba terasa gatal, "Terus jadinya kapan, nih?"

"Hm, liat besok, deh. Biar nanti kita bincangin bareng yang lainnya."

Flower membalas sepatah dua kata, sebelum akhirnya panggilan antara mereka ditutup olehnya. Usai menyimpan ponselnya kembali, Flower mulai kaget saat mendapati warna langit yang hampir sepenuhnya berubah gelap. Awan-awan mendung yang hitam pekat mulai memenuhi ruang-ruang kosong pada bagian di atas sana.

"Mas," Flower menyentuh lengan Genta, memaksa laki-laki itu untuk mengangkat kepala yang diletakkan pada sandaran sofa dan akhirnya mau membuka mata, "Langit udah gelap, tuh. Sparing kamu gimana?"

Detik itu juga Genta terperanjat dari duduknya. Dia melirik ke arah pergelangan tangan, menatap sebuah jam berwarna hitam yang dua bulan lalu dihadiahkan Flower untuknya karena berhasil meliris novel ke tiga. "Udah hampir jam empat, ya? Aku pergi dulu, deh, kalau gitu. Makasih, ya, untuk tumpangan istirahat sama minumnya."

Flower juga ikut bangun, mengikuti Genta yang mulai berjalan dengan menjinjing sebuah tas punggung berwarna hitam.

"Kamu bawa jas hujan, kan, Mas?" Flower khawatir ketika harus melepaskan Genta di depan pintu rumahnya. Pasalnya, langit sudah tampak semakin gelap dan angin juga sesekali bertiup tak tentu arah. Namun, berbanding terbalik dengan keadaannya, Genta malah tampak biasa-biasa saja.

"Bawa. Ada, kok, di jok motor," jawab Genta seraya mencubit gemas pipi kiri gadisnya, "Doain tim aku menang, ya, Cantik."

"Kan, cuma sparing, Mas."

"Mau sparing atau bukan, kesannya sama aja buat aku. Tetap aja kalau kalah itu rasanya sakit," jelas Genta yang membuat Flower tak lagi mengatakan apa-apa. "Aku pamit, ya."

Flower mengangguk dua kali, membiarkan Genta pergi melewati pintu rumahnya. Namun, sebelum hal itu benar-benar terjadi, Flower memanggil nama Genta hingga membuat kekasihnya itu berhenti dan menoleh ke arahnya.

"Kenapa, Edel?" Genta bertanya. Saat itu, dia tidak mendengar jawaban apa pun dari Flower. Karena detik ini, dia mendadak dibuat diam saat merasakan bibir Flower mengecup singkat pipi kanannya.

Flower mengulum senyum, sadar betul bahwa dia baru saja melakukan sebuah tindakan yang luar biasa. Pasalnya, selama ini hanya Genta saja yang selalu mencium pipinya. Dan, ini adalah kali pertama ia melakukan hal yang sama pada laki-laki di depannya.

"Biar tambah semangat. Kalau nanti gak jadi hujan, aku janji bakalan usahain datang buat semangatin kamu secara langsung. Soalnya kerja kelompok kita dibatalin tadi."

Genta hampir saja membuka mulut untuk membalas perkataan Flower sebelum ponselnya terasa bergetar di dalam saku celana. Genta mengambilnya lalu membaca sebuah pesan yang dikirimkan oleh Barli.

Ta, sparingnya gak jadi, ya. Kayaknya mau hujan gede, nih. Sama Mas Gio pun akhirnya dibatalin.

Diam-diam Genta menarik senyum miring seraya menyimpan ponselnya kembali di dalam saku celana. Melihat itu, Flower yang berdiri di depannya pun mulai terlihat bingung dan bertanya kenapa.

"Sparingnya gak jadi. Dibatalin sama Mas Gio," jelas Genta sambil terus melangkah satu-satu, membuat Flower mulai berjalan mundur dengan langkah yang sama pelannya.

"Terus ... ini kamu mau ngapain?" Dibandingkan saat menatap langit hitam dengan awan yang terlalu pekat, saat ini rasa khawatir Flower malah bertambah hingga dua kali lipat. Dia tak tahu harus bersikap apa saat Genta hanya tersenyum misterius dan semakin menyudutkan punggungnya hingga berhenti saat mengenai sandaran sofa.

"Mas, kamu kenapa, sih? Kok, natap aku gitu banget? Kesurupan kamu, ya?" Flower yang mulai ketakutan tanpa sadar meletakkan kedua tangan di depan dada guna mencegah Genta agar tak semakin dekat dengannya.

Masih dengan senyumnya, Genta berkata dengan suara rendah yang hanya Flower saja bisa mendengarnya, "Kiss me one more time, Edel."

"Hah? Gimana-gimana?"

Flower tergagap dalam menanggapi permintaan Genta yang terlalu tiba-tiba. Hingga akhirnya, dia bertambah dibuat kaku saat Genta tertawa-tawa kecil di depan wajahnya.

"Kamu ... kamu mau apa, Mas? Jauhan dikit, deh. Panas tau gak?" Flower mencoba untuk mendorong dada Genta, tetapi dengan mudahnya laki-laki itu menangkap kedua tangannya.

"Tanggung, Edel. Sayang kalau gak dilanjutin adegan yang baru aja kamu mulai."

Flower menelan ludah bersamaan dengan tetes hujan yang perlahan-lahan terdengar semakin deras. Untuk pertama kalinya, dia sudah salah mengambil langkah. Mungkin setelah ini Flower akan berpikir bahwa tak baik mencium pipi Genta saat mereka hanya berdua saja──di sini──di dalam rumah ini.

* * *

"Udah hampir jam sepuluh. Kenapa masih belum pulang?"

Lamunan panjang Flower tentang Genta di sebuah sore itu seketika menghilang. Ia menoleh lalu tersenyum singkat kepada Lion yang tampak menjulang dan menunduk ke arahnya.

"Belum mau pulang. Masih betah di sini soalnya." Flower tersenyum lalu menepuk bagian kosong pada kursi panjang berbahan besi dua kali. "Duduklah di sini. Tenang, gak ada belalangnya, kok."

Lion berdecak seraya merotasikan kedua bola matanya dengan sempurna. "Aku gak takut, ya. Cuma geli aja liatnya."

"Iya-iya. Percaya, kok," ia tertawa kecil sejenak, "Soalnya pas kemarin kamu tiba-tiba lari dan teriak karena belalangnya loncat ke pangkuan kamu, itu cuma karena kamu kaget, 'kan?"

Sial.

Lion tak lagi memperpanjang masalah itu. Karena semakin ia membela diri, semakin berani pula Flower mengejek tentang dirinya. Walaupun Lion merasa bahwa apa yang Flower katakan bisa dibilang cukup berlebihan. Dia tidak terlihat sepayah itu, kok. Hanya saja, sulit baginya untuk mengontrol emosi ketika berhadapan dengan seekor belalang.

"Di sini udaranya dingin. Pulang aja, yuk."

"Nanti, ya," gadis itu meminta dengan ramah, "Sebentar lagi. Aku beneran masih mau di sini soalnya."

Ketika kalimat itu keluar dari bibir Flower, ada beberapa titik di dalam dada Lion yang terasa pedih begitu saja. Malam ini, dia tahu betul apa penyebab sakit yang hanya bisa dirasakan olehnya. Ketika ia menatap mata Flower semakin dalam, ia sama sekali tidak menemukan satu tetes pun kebahagiaan. Bukankah sudah Lion katakan, bahagia Lion adalah perihal bahwa Flower akan selalu bahagia. Hingga ketika gadis itu terluka, Lion juga akan merasakan hal yang sama.

"Tapi, ini udah larut banget. Bisa-bisa kamu sakit nanti kalau kelamaan kena angin malam."

Flower mendesah, menghela napas panjang yang dapat Lion tangkap keresahan di dalamnya. Sebenarnya Flower mengerti bahwa saat ini, Lion begitu mencemaskan keadaannya. Maka dari itu, Flower tidak begitu kaget sewaktu Lion melepaskan jaket hanya untuk menutupi bagian depan tubuhnya. Berusaha sebisa mungkin untuk membuat Flower tidak merasa begitu kedinginan saat angin malam mulai terlihat tak lagi menyenangkan.

"Aku tungguin sampai kamu selesai," ucap Lion seraya melipat rapi kedua tangan di depan dada, menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi.

Terakhir, Flower menoleh hanya untuk menemukan seulas senyuman yang begitu menenangkan jiwanya. Entah sejak kapan, tetapi yang pasti Flower mulai menyukai cara Lion tersenyum ketika sedang bersamanya. Dia suka saat laki-laki itu memejamkan mata, tetapi kembali membukanya tepat ketika Flower mengusik dengan memanggil namanya.

"Lion," Flower memindahkan tatapannya ke lain arah lalu mulai mencari jari-jari tangan Lion untuk ia genggam dengan erat, "Malam ini aku rindu banget sama Mas Genta. Aku mau dia datang. Because i need him."

Tak ada yang lebih menyakitkan di saat Lion mencoba tegar di antara reruntuhan hati yang tengah patah. Dia menyaksikan dengan matanya sendiri saat cintanya dibuat hancur hanya karena Flower selalu membicarakan laki-laki yang sama tepat di hadapannya. Namun, Lion tak mampu berteriak, menyuarakan bahwa dirinya pun sama terluka dengannya.

Saat ini, luka yang tak berdarah itu sama sekali tidak terlihat penting dibandingkan dengan Flower yang terdengar meringis di sela-sela sedihnya sendiri.

"Kenapa dia belum datang juga, ya? Apa belum cukup penantian aku selama ini? Sampai batas mana aku diminta untuk bersabar lagi?"

Saat itu, Lion memberanikan diri untuk membalas genggaman tangan Flower dengan sama eratnya. Ia merasakan sensasi yang begitu dingin dari kelima jari mungil yang mengisi ruas-ruas kosong di antara jarinya. Entah itu memang karena pengaruh udara malam yang tidak begitu hangat. Atau mungkin ada pengaruh lain yang belum Lion tahu apa penyebabnya. Yang pasti, Lion hanya menginginkan satu hal. Dia hanya ingin Flower tahu. Sedingin apa pun udara malam ini, Lion akan selalu ada di sampingnya.

"Kalau memang udah gak sanggup, lepasin. Kamu gak perlu selamanya bertahan sama sesuatu yang jelas-jelas menyakiti kamu semakin dalam. Karena di sini, cinta antara kamu dan Genta itu ibarat menggenggam serpihan kaca yang pecah. Makin kamu genggam, rasanya makin menyakitkan. Lepaskan, Flower. Perlahan-lahan, aku yakin kamu bisa."

Air mata Flower berhasil menetesi pipinya. Sialnya, dia tidak meraung sedikit pun. Dia tersenyum getir lalu berbisik lirih, "Aku gak bisa ...."

* * *

Continue Reading

You'll Also Like

351K 8.3K 61
bagaimana kalau hidup kamu yang awal nya bahagia dengan pekerjaan itu, malahan menjadi petaka untuk kamu sendiri. Pernikahan paksa akibat sebuah jeba...
3.2M 230K 29
Rajen dan Abel bersepakat untuk merahasiakan status pernikahan dari semua orang. *** Selama dua bulan menikah, Rajen dan Abel berhasil mengelabui sem...
1.4M 55.5K 31
"Why you never let me kiss you?" - Briva "It's not your job." - Kai 13 August 2024
531K 49.4K 54
āš ļø BL LOKAL Awalnya Doni cuma mau beli kulkas diskonan dari Bu Wati, tapi siapa sangka dia malah ketemu sama Arya, si Mas Ganteng yang kalau ngomong...