ALNILAM & SIRSINA

By Fantascroller

721 106 35

[Update Setiap Sabtu] Alnilam terjebak pada kenyataan di mana dirinya harus menjadi raja di usia muda. Sang P... More

A&S | Prolog
A&S | Bekas Luka Bercahaya
A&S | Kuasa atau Bertaruh Nyawa
A&S | Rencana Berbahaya
A&S | Siapa Kumara Sebenarnya?
A&S | Misi Harus Tetap Berjalan
A&S | Pelarian
A&S | Sirsina Kembali!
A&S | Perjalanan Dimulai
A&S | Satu Petunjuk

A&S | Hutan Berbentuk Mawar

39 6 0
By Fantascroller

"Aah ...." Alnilam memejamkan mata dan menenggelamkan diri di dalam sebuah sungai yang masih menyatu dengan cabang Sungai Luksia. Setelah melarikan diri bersama Hamal sampai para prajurit kehilangan jejak, beristirahat sejenak dan mandi adalah pilihan tepat untuknya saat ini. Tubuhnya bau air buangan dan Alnilam sudah tidak tahan karena bercampur keringat.

Sirsina tadinya yang paling galak menolak mengabulkan rengekan Alnilam. Berkata bila bisa saja prajurit akan menemukan mereka dengan segera. Namun, yang ia lakukan sekarang justru duduk bersandar pada batang trembesi yang dipenuhi lumut. Masih dengan wajah berang. Dari awal pun gadis ini memang yang paling anti terhadap perjalanan ini. Sayangnya ia tak punya pilihan lain selain mengikuti. Sejujurnya, ia tak ingin pria yang saat ini tengah menata isi kantong lapik kudanya mencelakakan Alnilam.

Diam-diam, Sirsina mencuri pandang ke arah pria itu. Kumara kemudian berjalan mendekatinya sambil memalingkan wajah ke hutan seberang sungai. Ah, bahkan dari wajahnya, Kumara tampak sangat mencurigakan. Sirsina harus berhati-hati kalau tidak mau Kumara mengetahui maksud dirinya ikut rencana bodoh Alnilam ini.

Dialihkannya pandang ke sungai di depan tatkala Kumara melihat ke arahnya. Selintas, tatapan tajam Kumara seperti memberi peringatan bahwa Sirsina harus berhati-hati terhadapnya. Atau itu hanya perasaannya saja?

"Aku selalu berpikir Pangeran Alnilam ceroboh dalam segalanya. Tapi ternyata tidak untuk kebersihan." Kumara berkacak pinggang sebentar seraya memicingkan mata ke arah sungai. Suara ceburan terdengar seiring Alnilam mengayuhkan kedua tangannya di permukaan, diikuti seekor ikan yang cukup besar. Pria itu duduk beberapa jengkal di samping Sirsina.

"Saat dia kecil, dua pengasuh Alnilam terlalu kaku mengajarkan kerapian dan kebersihan pada dirinya." Sirsina mengatakannya tanpa menoleh ke arah Kumara.

"Ya, secara tidak langsung itu menimbulkan tekanan dan membekas sampai dia dewasa. Apa pun yang berlebihan tidak baik, bukan?"

Sirsina tak begitu menghiraukan perkataan Kumara. Ia mengambil busur panah yang ia letakkan di sampingnya, kemudian mengeluk-kelukkannya. "Kau sendiri? Alnilam bilang dia tidak tertarik padamu karena kau tidak ada lentur-lenturnya sama sekali."

Seketika itu juga, tawa berdeham Kumara yang khas keluar. "Apa aku perlu mengubah diriku hanya karena satu orang tidak menyukaiku?"

"Jadi hanya Alnilam yang berpikir demikian di antara muridmu yang lain?" Sirsina masih berkonsentrasi dengan busur panahnya. Merenggang-renggangkan tali busurnya.

Kumara memperhatikan Sirsina dengan heran. Tidak salah dirinya mengartikan tatapan Sirsina saat pertama bertemu dengannya itu sebagai isyarat ketidaksukaan. Bahkan cara bicara Sirsina yang menyiratkan penghakiman pun terdengar begitu nyata. "Pangeran Alnilam memang selalu menjadi yang paling berbeda. Kau tahu? Dia dijauhi teman sebayanya yang lain. Mereka mengecapnya si payah yang gila kebersihan. Pernah suatu hari pangeran marah—"

"Dan seketika perpustakaan kerajaan dikepung alap-alap? Aku sudah mendengarnya."

"Ya, itu benar benar seperti wabah yang datang dengan tiba-tiba. Dia semakin dijauhi. Lebih dianggap sebagai pembawa sial daripada manusia yang bisa bicara dan memanggil binatang dengan keistimewaan yang dimilikinya." Kumara sedikit bergidik ngeri saat bayangan beberapa tahun silam berputar di ingatannya. Sejenak membuatnya lupa kalau Sirsina merentangkan jarak begitu jauh terhadap dirinya. Namun, tak lama, bukan lagi kenapa gadis itu tak suka dirinya yang ada di dalam pikiran Kumara sekarang. Melainkan bagaimana Sirsina mengenal Alnilam, seberapa lama mereka bersahabat.

"Kau ... sepertinya telah mengenal Pangeran Alnilam begitu dalam hingga berani memanggilnya tanpa gelar."

Angin yang cukup besar menggoyangkan cabang pepohonan di seberang sungai. Diikuti gumpalan mega yang berarak di langit, menutupi matahari yang membuat lingkungan sekitar terbayangi awan. Sirsina tergoda dibuatnya. Ia mengambil sebuah ranting, untuk membidik salah satu cabang pohon yang meliuk-liuk itu. Menjeda sebentar obrolannya dengan Kumara dan menajamkan ranting kayu itu dengan pisau. Tanpa diketahuinya, Kumara sedang memandanginya dengan datar, tapi kepalanya penuh pertanyaan yang hendak ia ajukan sedikit demi sedikit supaya tak membuat Sirsina tersinggung.

"Kami hanya tidak sengaja bertemu di Garungga. Seperti yang kaubilang bahwa dia dijauhi, kurasa Alnilam pergi untuk menemukan teman yang tepat. Dan ... tempat latihan tambahan bermain pedang dan panah."

Gelak tawa Alnilam yang disertai pecahan air mengisi kekosongan sementara di antara Sirsina dan Kumara. "Ikan-ikan ini mematuki wajahku, hahahah. Rasanya geli sekali!"

Pemuda itu masih saja terbahak. Kemudian membenamkan diri lagi ke dalam air. Buih-buih melayang di permukaan, hanyut mengikuti arus sungai yang cukup lambat. Kemudian Alnilam bangkit tiba-tiba bersama tawanya yang membuncah. Dia lebih persis anak berusia di bawah lima tahun yang baru mengenal ikan.

Pikiran akan betapa beraninya Kumara menuntun Alnilam menuju keberadaan Rusita Mina kembali mengusik Sirsina. Pisau yang ia gunakan untuk meraut ranting terpeleset dan membuat ujung yang hampir lancip itu patah. "Kau yakin kita akan menemukan bunga itu dan selamat?"

"Ada Pangeran Alnilam. Kenapa tidak?" Kumara mengambil sesuatu dari balik rompinya. Sebuah kertas yang terlipat-lipat.

"Kenapa kau yakin sekali Alnilam bisa sehebat itu?"

Dibabarkannya kertas itu sampai menutupi wajah. Ia tidak terlalu memperhatikan Sirsina kali ini, lebih tertarik pada isi kertas itu. Kertas yang tampaknya merupakan hasil sambungan dari potongan kertas lembar demi lembar. "Aku tertarik mempelajarinya. Orang seperti Pangeran Alnilam hanya ada satu di tiap generasi. Lainnya akan lahir setelah dia mati." 

Tertarik mempelajarinya atau tertarik memanfaatkannya? Sirsina mulai menduga-duga. Ia harus benar-benar menaruh perhatian lebih kepada Kumara. Barangkali ia hanyalah seorang musuh yang bersembunyi di balik niat 'mengantar Alnilam demi menyelamatkan kerajaan'.

"Asal kau tahu. Aku justru sering menyesal bersahabat dengannya. Keberadaannya tidak ada untung-untungnya sama sekali bagiku." Pucuk ranting itu sudah runcing. Sirsina mulai membidik salah satu cabang pohon yang seolah melambai-lambai ke arahnya itu dengan ranting dan busur panahnya.

"Lalu, kenapa kau tetap bersamanya?"

"Karena—" Tangan yang sudah mencengkram kuat busur beserta ranting yang hendak ia luncurkan itu seketika lesu. Rantingnya melesat ke air, tanpa sengaja menembus tubuh seekor ikan yang sedang diajak Alnilam bermain. Seketika ikan itu menggelepar dan Alnilam dibuat bingung karenanya.

"Kau jahat sekali, Sina!" tukasnya begitu melihat Sirsina memegang busur panah mengarah kepada dirinya.

Sirsina tak mendengar Alnilam. Yang sedang berputar-putar dalam benaknya saat ini adalah pertanyaan Kumara. Ada sesuatu dari pertanyaan itu yang membuatnya sedikit marah. Dua alasan yang saling bertolak belakang, dan tak akan mungkin ia utarakan pada siapa pun.

Sirsina pun tersenyum tipis. "Karena dia sangat ingin tahu, tapi penakut di saat yang sama. Dia payah, dan aku selalu terhibur melihat dia melakukan kebodohan."

Alnilam keluar dari air dengan wajah sedih. Di genggamannya, ikan yang tadi tertusuk panahan Sirsina masih tampak membuka-tutup insang dengan ekor bergoyang-goyang. "Dia paling semangat mengejarku tadi. Tapi tidak apa-apa. Kita bisa jadikan dia makan nanti malam—" Alnilam memotong sendiri perkataannya. Alisnya menaut menyadari sesuatu. "Apa kita punya persediaan makanan yang cukup?"

"Aku tahu kau tidak punya persiapan yang matang. Jadi aku membawanya, Yang Mulia. Tidak banyak, tapi kurasa akan cukup."

"Syukurlah, aku tidak bisa membayangkan bagaimana nasib kerajaan jika pangeran muda ini mati kelaparan." Alnilam tersenyum pongah.

Sirsina berdecak. "Tidak perlu berbangga, Nila. Kami berdua pasti sudah menjadi buronan karena membawamu lari dari istana. Coba pikirkan itu juga."

"Baiklah." Alnilam meletakkan ikan itu di atas rumput. Kemudian duduk di antara Sirsina dan Kumara. "Omong-omong, kertas apa itu, Kumara?"

"Ini petunjuk kita untuk pergi ke pusat Rimba Raya Timur. Tapi, aku belum terlalu memahaminya." Alis Kumara yang biasanya datar-datar saja, kini bahkan menaut penuh pertanyaan. Pertanda kalau ia bukan orang cerdas dalam segala bidang ilmu pengetahuan seperti yang Alnilam yakini selama ini.

Sirsina ingin sekali mengumpat. Sungguh, kalau tujuan ia turut menemani Alnilam sama sekali tidak penting, ia akan meninggalkannya begitu saja. Lihatlah Kumara! Alnilam sudah begitu yakin pria itu dapat menuntunnya seolah-olah mereka sudah sampai di sana tanpa menemui rintangan, tapi kemudian Kumara bilang masih bingung membaca petanya. Bukankah itu menjengkelkan?

Akan tetapi, Sirsina lalu merapatkan diri pada kedua laki-laki itu begitu saja. Ikut memandangi kertas dengan lukisan yang tak dapat ia baca maknanya, secara acuh tak acuh.

"Bukankah ini seperti mawar?" Alnilam menunjuk lukisan berwarna kehijauan yang bergerombol pada kertas tersebut. Menggambarkan pepohonan berbentuk melingkar dengan warna hijau tua, yang semakin ke bagian tengahnya berwarna biru. Di sela-sela pepohonan tersebut, melintang garis-garis coklat dan biru tua yang hampir tak kasat mata, membuatnya seakan membentuk kelopak-kelopak mahkota, seperti bunga mawar. Alnilam menyapukan telunjuknya mengikuti garis-garis tersebut, bermaksud memberi penjelasan kepada Kumara maupun Sirsina.

Kumara tersenyum. Mata gelap Alnilam benar-benar begitu jeli—jeli yang ia yakini sebagai salah satu keistimewaannya. "Aku senang kau bisa membacanya, Pangeran. Ini memberi kita petunjuk. Kau lihat?" Jemari pria itu bergerak dari sabana yang terlukis, masuk ke arah pepohonan melalui celah yang tadi Alnilam tunjuk.

"Ini akan menjadi jalan di mana kita masuk. Kita harus membukanya, lembar demi lembar mahkota untuk masuk ke bagian putiknya."

Sejenak hati Sirsina berangsur tenang. Jalan satu terbuka. Akan tetapi, satu jalan yang terbuka biasanya juga membuka aral-aral baru lainnya.

"Dan lembaran mahkota itu selalu berisi serangga. Kita harus berhati-hati. Iya, kan?" tanya Sirsina. Yang tak perlu lagi dijawab oleh persetujuan, karena itu sudah sangat pasti akan mereka hadapi di perjalanan nanti.

***

Ya ampun, aku ketinggalan begitu banyak chapter :(

Sori buat yg mungkin nungguin cerita ini, aku sedang dalam masa sulit menulis wkwkw

Udahlah, semoga aja nanti bisa boom up 4 chapter yang tertinggal selama berminggu-minggu ini (mimpi dulu)

Viavidi
(08.08.2020)

Kok cantik sih tanggalnya hikikikk

Continue Reading

You'll Also Like

1.2M 100K 51
(𝐒𝐞𝐫𝐢𝐞𝐬 𝐓𝐫𝐚𝐧𝐬𝐦𝐢𝐠𝐫𝐚𝐬𝐢 𝟏) 𝘊𝘰𝘷𝘦𝘳 𝘣𝘺 𝘸𝘪𝘥𝘺𝘢𝘸𝘢𝘵𝘪0506 ғᴏʟʟᴏᴡ ᴅᴀʜᴜʟᴜ ᴀᴋᴜɴ ᴘᴏᴛᴀ ɪɴɪ ᴜɴᴛᴜᴋ ᴍᴇɴᴅᴜᴋᴜɴɢ ᴊᴀʟᴀɴɴʏᴀ ᴄᴇʀɪᴛᴀ♥︎ ⚠ �...
119K 285 13
21+++ Mengandung unsur kekerasan sexual, bdsm, boundage dan lainnya. Monic yang terpaksa menjadi budak selama 1 tahun karena ia harus membayar hutang...
3.6M 288K 63
Lunaria dalam bahasa bunga memiliki arti kejujuran, ketulusan, dan juga kemakmuran. Seperti arti namanya, ia menjalani hidupnya penuh ketulusan hingg...
541K 33.6K 62
(WAJIB FOLLOW SEBELUM MEMBACA!) Ini tentang Amareia Yvette yang kembali ke masa lalu hanya untuk diberi tahu tentang kejanggalan terkait perceraianny...