Dear, Imam Ku

By Aifhyma

5.1K 3.1K 1.2K

"Dear, Imam Ku❤ Jika suatu hari nanti kau lah satu-satunya pria yang ku beri julukan itu atas izin Allah, mak... More

Opening ⛅
Prolog
Chapter 1
Chapter 2
Chapter 3
Chapter 4
Chapter 5
Chapter 6
Chapter 7
Chapter 9
Chapter 10
Chapter 11
Chapter 12
Chapter 13
Chapter 14
Chapter 15
Chapter 16
Chapter 17
Chapter 18
Chapter 19

Chapter 8

234 157 42
By Aifhyma

"Jika menikah itu wajib hukumnya, maka Allah SWT pasti sudah menyiapkan kehadiran jodoh untuk saya. Tapi bagaimana itu bisa terjadi, kalau saya sendiri tidak mengharapkan lagi kehadiran seorang Hawa di dalam kehidupan ini ?"
⭐⭐⭐


Bingkai foto adalah benda yang selalu saya bawa-bawa kemana pun saya pergi. Di tengah-tengah kemacetan lalu lintas, saya sempatkan untuk mengucapkan selamat pagi pada dua orang wanita yang saat ini telah berada di sisi Sang Ilahi. Tak terasa bulan depan, sudah tepat 5 tahun mereka meninggalkan saya dan Papa. Mata ini tak berhenti berkaca-kaca jika mengingat peristiwa itu. Peristiwa yang berturut-turut membuat saya trauma untuk menginginkan kehadiran wanita baru lagi di dalam kehidupan saya.

Waktu itu, setelah saya memberanikan diri untuk melamar seorang gadis yang sangat saya cintai. Kami menjalin hubungan sudah 3 tahun lamanya. Hubungan yang di mulai di bangku universitas, hingga kami sama-sama memutuskan untuk menikah setelah wisuda S-1. Namun sayangnya saya dan dia tidak berhak memutuskan sendiri apa yang kami berdua inginkan selama ini. Karena tetap keputusan akhirnya ada pada Sang Maha Kuasa. Allah mengambil dia secepat itu karena kanker leukimia stadium akhir yang di deritanya. Bahkan sebelum saya berhasil menghalalkannya.

Peristiwa itu meninggalkan bekas yang mungkin tidak akan bisa hilang di hidup saya. Ditambah lagi 5 bulan sesudahnya, peristiwa baru pun terjadi. Peristiwa yang membuat saya sangat terpuruk dan tak berdaya waktu itu. Sepertinya tahun itu Allah benar-benar sedang menguji saya. Kekuatan, keikhlasan, ketabahan, kesabaran, dan bertahan tanpa cinta dari seorang wanita. Ketika itu saya sedang ada pertemuan penting dengan klien di kantor. Saat meeting berlangsung handphone saya bergetar, karena memang jika sedang ada klien penting di kantor saya selalu mendiamkannya.

Sekretaris saya mengatakan kalau yang menelepon itu adalah Papa saya. Saya sengaja mengabaikannya dan berniat akan menelepon Papa sesudah meeting selesai. Sekaligus ingin memberikan kejutan padanya tentang hasil meeting saat itu. Apalagi itu pertama kalinya saya mewakilkan Papa di perusahaan untuk menghadapi klien dalam memperebutkan tender. Dan atas izin Allah SWT, saya berhasil memenangkannya. Saya menjabat dengan semangat satu persatu tangan pengusaha-pengusaha sukses itu.

Dengan tak sabaran juga, saya langsung mengotak-atik layar handphone dan melihat ada banyak panggilan tak terjawab dari Papa disana. Perasaan saya jadi kacau. Disatu sisi saya bahagia dan disisi lainnya saya merasa gelisah. Saya langsung menghubungi kembali nomor telepon Papa, "Assalamu'alaikum.. Pa, gimana? Udah sampai puncak? Perjalanannya baik-baik aja kan?" Beberapa pertanyaan saya ajukan pada Papa yang saat ini sedang berkunjung ke villa keluarga kami di puncak.

"Wa-wa'alaikumussa..lam." Suara yang sedikit parau dengan nada bicara terbata-bata. Yang membuat ekspresi saya berubah drastis setelah mendengarnya.

"Hallo, Pa! Papa baik-baik aja kan? Semuanya baik-baik aja kan?" Tanya saya yang mulai gelisah setelah mendengar nada bicara Papa barusan.

"Fiz! To-toh long. Mama, a-adikmu!" Lagi-lagi perkataan Papa tidak lurus. Tapi saya bisa mendengar sangat jelas kalau Papa minta tolong meskipun dengan ucapan kalimat yang terputus-putus.

"Apa? Papa sekarang ada dimana? Share location, biar Hafiz susul Papa ya," Kata saya kemudian berlari menuju mobil.

Saya melajukan kencang mobil dengan kecepatan tinggi menuju lokasi yang tadi di kirimkan oleh Papa. 30 menit lamanya saya di perjalanan menyusuri jalan menuju puncak. Dari kejauhan saya bisa melihat sebuah mobil yang ambruk di pinggir jalanan dekat pohon beserta dua buah mobil ambulan disana. Saya langsung menginjak pedal rem mendadak dan bergegas turun dari mobil.

Beberapa perawat membawa Mama dan adik saya menggunakan tandu menuju mobil ambulan. Tapi saya belum melihat Papa disana. Sepertinya Papa masih di dalam mobil. Saya segera menghampiri mobil dan ternyata benar, Papa masih berada di dalam sana. Dengan sekuat tenaga saya memapah Papa untuk membantunya keluar dari mobil. Beliau sudah tidak sadarkan diri dengan darah tanpa henti mengalir dari dahinya.

"Pa, Papa harus tetap sadar!! Papa tidak boleh pingsan! Papa bisa dengar Hafiz kan?" Kata saya seraya menepuk-nepuk pelan wajah Papa yang mulai memucat. Sesaat mata Papa terbuka dengan penglihatan yang sayu menatap saya.

Dua mobil ambulan telah membawa Mama dan adik saya menuju rumah sakit. Alhasil saya harus bisa mengejarnya dengan membawa Papa bersama saya dan meninggalkan mobil Papa dengan kerusakkan parah disana.

Sesampainya di rumah sakit, saya di hampiri Andra. Dia berusaha menenangkan saya dan memberi saya keberanian untuk menghadapi cobaan ini. 15 menit menunggu, akhirnya seorang pria berjas putih keluar dari ruangan UGD dengan wajah penuh penyesalan. Dengan tidak sabaran saya langsung menghampirinya, "Dok! Bagaimana keadaan keluarga saya? Mereka semua baik-baik aja kan? Gak ada luka yang parah kan? Dok! Ayo jawab saya!!" Desak saya dengan sedikit bentakkan di ujung kalimat.

"Bro! Tahan ya, jangan emosi disini!" Kata Andra menahan lengan saya.

Dokter itu terlihat sedang menghela napasnya, kemudian barulah dia berkata, "Maaf Mas! Dengan terpaksa saya harus menyampaikan berita duka ini,"

Apa katanya? Berita duka? Tulang belulang saya terasa akan patah begitu saja saat mendengar kalimat itu untuk kedua kalinya dalam hidup saya.

"Pak Ahmad kehilangan banyak darah. Tapi syukurlah pihak rumah sakit masih memiliki stok darah AB. Sekarang beliau masih dalam pengaruh infus. Dan Ibu Fhira mengalami kritis saat ini," Lanjut dokter itu.

Dengan napas terengah-engah saya buka suara untuk menanyakan keadaan adik saya yang belum di sebutkan oleh dokter itu, "Apa? Lalu adik saya bagaimana?" Tanya saya dengan kedua mata yang tanpa disadari tengah berkaca-kaca saat ini.

Dokter itu menghela napas untuk yang ke sekian kalinya, "Adik Mas, tidak bisa kami selamatkan! Dia meninggal dunia karena jantungan akibat syok saat kecelakaan. Dan sepertinya penyakit itu turunan dari Pak Ahmad," Jelas dokter tersebut.

Kaki saya gemetar hebat, tanpa bertanya apapun lagi, saya bergegas memasuki ruangan tersebut. Saya menghampiri mereka satu persatu, mulai dari Papa, Mama, dan terakhir adik saya. Saya memeluknya erat. Pelukkan kasih sayang dari seorang kakak untuk adik perempuannya yang terakhir kalinya. Saya tidak percaya dia akan meninggalkan kami secepat ini. Di usianya yang sangat muda belia, dia sudah kembali pada tangan Sang Maha Kuasa. Saya benar-benar tidak bisa menahan airmata dan emosi saya kala itu.

"Fiz..." Suara serak yang lemah tapi tidak lembut memanggil nama saya. Saya menoleh ke arah suara yang berasal dari belakang saya, dan mendapati Mama tengah memaksakan tangannya bergerak untuk menggenggam tangan saya. Dengan cepat saya raih tangan itu dan juga memeluk erat pemiliknya dengan isakkan tangis yang tertahan.

"Fiz..." Panggil Mama lagi. Saya menatap manik mata Mama yang tidak sepenuhnya terlihat karena terlalu berat untuk dibuka kelopaknya.

"Iya, Ma!"

Saat itu Mama membelai kepala saya dan berkata, "Fiz.. Bo..leh Mamah ka-takan s-sesuatuh?" Dengan susah payah Mama menyampaikan kalimat tanyanya, membuat hati saya terasa diiris-iris di dalam sana.

Saya mengangguk cepat tanda mengiyakan, kemudian barulah Mama menyampaikan apa yang ingin dia katakan tadi, "B-berjanjilah pa-da Mama! K-kalau suatu s-saat nan-nti, k-kamu akan menikahi wa-wanita y-yang baik akhlak dan a-agamanya p-pada Sang Pencipta! Wa-wanita yang bi-bisa buat ka-kamu jatuh cinta s-saat dia se-sedang menyebut n-nama Allah!" Itulah perkataan panjang lebar yang terucap dari mulut Mama dengan airmata yang terus bercucuran di sudut matanya.

Setelah itu saya melihat napas Mama terengah-engah, membuat saya langsung mentalqinkan kalimat syahadat di sela-sela isakkan tangis saya. Di saat ucapan kalimat itu hampir saja di selesaikan oleh Mama,

Dapp!

Mendadak garis lurus terpampang di layar monitor kecil yang terletak tidak jauh dari tempat tidur Mama. Tangan Mama yang masih saya genggam tiba-tiba terkulai lemah seakan-akan sudah tidak ada tenaga di dalamnya.

"Dokter! Dokter!! Tolong Mama saya, Dok!! K-kenapa tangan Mama saya jadi terkulai lemas seperti ini?" Teriak saya memanggil Dokter dengan bentakkan karena histeris.

Dokter itu segera menyenter kedua bola mata Mama, kemudian merasakan denyut nadinya. Dia terlihat sedang melirik arlojinya, "Safhira Aminah, 15.35____" Kata dokter tersebut yang belum terselesaikan karena saya langsung emosi dan menarik kasar kerah jas putihnya.

"APALAGI YANG MAU DOKTER KATAKAN, HUH? DOKTER MAU BILANG MAMA SAYA TIDAK DAPAT DI SELAMATKAN JUGA? SEBENARNYA APA FUNGSI RUMAH SAKIT INI? KENAPA TIDAK ADA SATUPUN ORANG-ORANG YANG SAYANG SELAMAT DARI SINI? KENAPA?" Tanya saya dengan bentakkan dan nada mendesak pada dokter itu. Saya bisa melihat ketegangan bercampur takut di wajahnya. Namun sebelum dia, saya jauh lebih takut kehilangan orang-orang yang sangat saya sayang terlebih dulu. Dan mereka pihak rumah sakit tidak ada yang bisa membantunya.

"Fiz! Sabar ya, kasihan nyokap dan adik lo!" Bisik Andra seraya menarik tubuh saya. Saya pun melepas kerah jas dokter tersebut.

"Bagaimana saya bisa sabar kalau mereka semua pengecut. Dan sebentar lagi dia pasti juga akan mengatakan kalau Papa_____" Saya melorot lemah dan terduduk tanpa daya apa-apa di lantai. Saya benar-benar merasa sedang di landa mimpi buruk saat ini. Seandainya saja ini beneran mimpi, maka saya ingin cepat-cepat terbangun dari tidur ini. Jika bisa meminta pada Yang Maha Kuasa, maka saya ingin menggantikan kedua posisi wanita itu disana. Terbaring tanpa nyawa dan wajah yang di tutupi dengan kain putih. Belum lama saya kehilangan seorang wanita yang saya cintai, dan sekarang saya juga telah kehilangan dua sosok sekaligus yang sangat berarti dalam kehidupan saya.

Saya melangkahkan kaki memasuki ruangan kantor dengan ucapan salam, tanpa peduli adakah orang-orang yang akan menjawabnya atau tidak.

"Selamat pagi Pak Hafiz.." Sapa Hesti yang berdiri di dekat mejanya.

Sekilas saya mengangguk kecil tanpa berniat untuk menghentikan langkah kaki saya. Namun tiba-tiba saja saya teringat soal nilai magang salah satu mahasiswi saya di kampus. Alhasil, saya tetap akan berhenti.

"Kamu ke ruangan saya sekarang!" Kata saya tanpa menoleh, kemudian melanjutkan kembali jalan saya memasuki ruangan.

"Ada apa ya, Pak?" Tanya Hesti bingung melihat saya yang sibuk memencet hidung saya.

"Pak, itu hidungnya sudah memerah," Kata Hesti seraya menunjuk ke arah hidung saya. Setelah menghilangkan keraguan untuk bertanya, saya mulai masuk pada topik pembahasannya.

"Kamu ingat dengan beberapa anak magang yang 3 bulan lalu sempat berada disini?"

"Iya, Pak! Saya ingat!"

"Apa kamu masih punya datanya?"

"Masih, Pak! Sebentar, saya ambilkan dulu,"

Tidak lama kemudian Hesti datang kembali dengan membawa sebuah map berwarna putih, "Ini, Pak!" Katanya seraya menyerahkan map tersebut pada saya.

Saya melihat disana memang ada tertulis nama lengkap Aisyah. Yang saya bingungkan, kenapa sebelumnya saya tidak pernah bertemu dengannya di kantor ini? Kurang lebih 3 bulan dia berada di perusahaan saya, tapi saya sama sekali tidak pernah melihat dia. Apa saat praktek lapangan dia juga seorang yang pemalas? Astaghfirullah, saya heran dengan pemikiran saya yang sering kacau saat memikirkan tentang wanita itu.

"Hesti! Apa kamu pernah mengantar mereka ke ruangan saya untuk penilaian sertifikat?"

"Pernah Pak! Tapi waktu itu Pak Hafiz tidak mau di ganggu. Jadinya Pak Hafiz melarang mereka masuk dan saya yang bawakan sertifikatnya waktu itu sama Pak Hafiz," Jawab Hesti sedikit menjelaskan pada saya.

Saya mencoba mengingatnya, dan itu berhasil. Saat itu saya benar-benar kelelahan sekali karena baru balik dari London. Hesti datang memberitahu saya kalau ada beberapa mahasiswi magang yang meminta peresmian nilai di sertifikatnya pada saya. Tapi saya melarangnya masuk dan meminta Hesti menyelesaikannya sendiri. Saya membenamkan kepala di antara kedua tangan yang saya lipat di atas meja. Kepala saya pusing dan mata merah karena kurang tidur selama 4 hari berturut-turut. Tidak lama kemudian Hesti malah membawakan sertifikat dengan kolom nilai yang masih terlihat kosong pada saya. Karena malas, saya tidak menanyakan sama sekali soal kinerja anak-anak magang itu selama di perusahaan ini. Alhasil saya langsung mengisi kolom-kolom nilai tersebut tanpa harus berpikir panjang. Dan lanjut menanda tangan di bagian bawah halaman bermaterai itu.

"Astaghfirullah.." Saya mengusap wajah frustasi setelah membayangkannya. Bagaimana bisa saya seceroboh itu? Apalagi sekarang status saya juga dosennya di kampus. Bagaimana kalau nilai-nilai yang saya berikan itu tidak sesuai dengan kinerjanya? Ya Allah, ampuni saya jika yang saya lakukan itu adalah salah.

"Kenapa Pak Hafiz?" Tanya Hesti yang terlihat semakin bingung dengan saya.

Saya berdiri dan menghela napas berat sebelum akhirnya saya bicara, "Hesti! Apa kamu tahu, mereka berdua itu adalah mahasiswi saya di kampus? Dan saya____" Ucapan saya terhenti saat tiba-tiba Papa memasuki ruangan kerja saya. Papa terlihat penasaran dengan apa yang sedang saya bahas bersama Hesti.

"Kamu boleh keluar," Kata saya memerintahkan padanya dan dia pun mengangguk.

"Permisi Pak," Sapanya sopan seraya menunduk pada Papa.

Saya mempersilahkan Papa duduk di sofa tamu. Tapi Papa malah menolaknya dan memilih duduk di kursi tamu yang berada di hadapan meja saya. Papa sempat melirik pada sebuah map yang masih terletak di atas meja saya.

"Lho, inikan data mahasiswi yang waktu itu magang disini, Fiz?" Tanya Papa setelah membacanya sekilas.

"Papa tahu soal mereka?"

Sebelum menjawab, Papa tertawa kecil. Yang membuat saya mengernyitkan dahi, "Ya, Papa tahu dong, Fiz... Kan Papa sendiri yang memonitoring mereka disini selama kamu sibuk bolak balik keluar kota atau keluar negeri." Jawab Papa. Ya, saya baru ingat. Sebelum 3 bulan yang lalu saya benar-benar sibuk. Karena hampir sepenuhnya tanggung jawab perusahaan di serahkan Papa pada saya. Apalagi semenjak Papa sering sakit-sakitan yang mengharuskan Papa untuk banyak istirahat. Dan mungkin itulah sebabnya kenapa saya tidak pernah bertemu dengan Aisyah di kantor ini.

"Jadi Papa juga tahu dong, bagaimana kinerja mereka selama magang disini?" Tanya saya penasaran dengan jawaban yang akan di berikan Papa. Saya melihat Papa sedang menghela napasnya, mungkin Papa juga sedang berusaha mengingatnya.

"Kinerja mereka cukup bagus! Terutama Aisyah," Jawab Papa dengan ekspresi yakinnya pada saya saat menyebut nama wanita itu. Saya terkejut karena Papa juga mengenali namanya. Tapi tak masalah, itu artinya Papa lebih tahu soal nilai-nilai yang pantas dia dapatkan dari pimpinan perusahaan ini.

"Ai-Aisyah?" Tanya saya terbata-bata dan sedikit gugup. Namun saya berusaha untuk tetap tenang di hadapan Papa.

"Iya.. Dia itu anak yang cerdas dan bijak sekali. Kamu ingat dulu saat kamu tour bisnis ke Malaysia bersama Andra dan juga sekretaris kalian, rapat dadakan dengan klien penting perusahaan kita yang dari Jepang hampir saja gagal. Dan otomatis perusahaan kita juga kehilangan kolega penting seperti mereka. Papa benar-benar kebingungan saat itu. Apalagi waktu itu Papa baru sembuh. Tapi syukurlah ada Aisyah. Dia yang membantu dan mengurus Papa. Dia mengusahakan agar hal yang tidak di inginkan itu tidak terjadi pada perusahaan kita. Bahkan dia memberanikan diri untuk tampil mepresentasikan hasil rangkum dari materi rapat yang terbawa oleh kamu waktu itu. Dan alhamdulillah, Aisyah berhasil. Hingga Mr. Hideyoshi memuji cara penyampaiannya yang cukup menarik perhatian audiens,"

Apa saya tidak salah dengar? Sepanjang penjelasan Papa, saya hanya melongo dan tak percaya dengan apa yang baru saja saya dengar. Apalagi di dalam penjelasan tersebut, hanya ada unsur-unsur kebaikan dari seorang Aisyah. Seakan-akan itu adalah kalimat pujian untuk nya dari Papa.

"Apa Papa yakin?" Tanya saya sedikit ragu. Karena mungkin saja Papa keliru.

"Iya, Papa yakin. Dan seharusnya Papa yang akan memberinya nilai waktu itu. Tapi sayangnya Papa harus menggantikanmu untuk menghadiri acara seminar di puncak," Jawab Papa dengan ekspresi sedikit kecewa.

Saya tertawa kecil untuk mencairkan suasana, "Papa tenang aja. Hafiz udah kasih nilai-nilai yang baik untuk mereka," Kata saya meyakinkan Papa.

Papa tersenyum, "Syukurlah kalau gitu. Fiz, Aisyah itu seorang gadis yang baik, cantik, dan menarik." Sontak saya menyemburkan air susu yang baru saja masuk ke dalam mulut saya. Dan syukurlah semburan air itu tidak mengenai Papa. Saya segera berdiri dan menarik beberapa helai tisu untuk membersihkan meja saya, terutama beberapa map dokumen yang terletak disana.

"Jadi Papa berniat untuk menikahinya?" Tanya saya tak percaya dengan beberapa pujian dari Papa tadi.

Perlahan Papa ikut berdiri dan tertawa lepas pada saya. Setelah sekian lama, baru kali ini saya melihat kembali ekspresi bahagia itu muncul lagi di wajah Papa, "Jadi benar, Papa sudah menemukan kebahagiaan lagi dan berniat ingin menduakan cinta Mama?" Tanya saya lagi dengan raut wajah kecewa pada keputusan Papa.

Dan lagi-lagi Papa kembali tertawa. Bahkan lebih keras dari yang tadi. Entah kenapa saya tidak suka melihatnya. Bukannya saya tidak suka Papa bahagia, melainkan saya tidak suka kalau Papa menikah lagi. Apalagi dengan wanita yang statusnya masih jadi mahasiswi saya di kampus. Saya memijit dahi frustasi dan hendak melangkahkan kaki keluar ruangan ini. Namun baru beberapa langkah, tiba-tiba Papa buka suara yang dapat menghentikan langkah saya.

"Bukan untuk Papa, Fiz! Tapi kamu," Perkataan Papa yang begitu lantang hingga terasa menggema di gendang telinga saya. Perlahan saya memutar tubuh dan berjalan kembali ke arah Papa.

"Mak-maksud Papa?" Tanya saya sedikit gugup.

Papa menghela napasnya, kemudian barulah dia berkata, "Ya, dia cocoknya sama kamu! Lagian mana mungkin Papa akan menikah lagi. Di usia begini, Papa hanya ingin melihat kamu bahagia di hari pernikahan kamu, Fiz!"

Itulah jawaban Papa yang bahkan membuat saya semakin frustasi sekarang. Apa itu artinya Papa ingin saya segera menikah? Lalu apa hubungannya dengan Aisyah? Ya Rabbi, tenangkan hati dan pikiran saya. Untuk apa Papa berkeinginan seperti itu, sementara Papa sendiri tahu kalau saya sudah tidak mengharapkan lagi kehadiran seorang Hawa di dalam kehidupan saya.
.
.
.
.
Alhamdulillah..
Jazakumullah Khairan Katsira..
Terimakasih udah mampir ya guys..
Jangan lupa kasih VOTE n COMMENT nya ya!!

Wassalamu'alaikum

Continue Reading

You'll Also Like

7.1M 348K 75
"Baju lo kebuka banget. Nggak sekalian jual diri?" "Udah. Papi lo pelanggannya. HAHAHA." "Anjing!" "Nanti lo pura-pura kaget aja kalau besok gue...
614K 30.7K 51
Ravena Violet Kaliandra. Mendengar namanya saja membuat satu sekolah bergidik ngeri. Tak hanya terkenal sebagai putri sulung keluarga Kaliandra yang...
285K 14.5K 25
Mature Content ❗❗❗ Lima tahun seorang Kaia habiskan hidupnya sebagai pekerja malam di Las Vegas. Bukan tanpa alasan, ayahnya sendiri menjualnya kepad...
2.8M 197K 35
"Saya nggak suka disentuh, tapi kalau kamu orangnya, silahkan sentuh saya sepuasnya, Naraca." Roman. *** Roman dikenal sebagai sosok misterius, unto...