20.12

By NurAzizah504

2.6K 365 162

Katanya, euphorbia adalah lambang keberuntungan. Ketika Flower memutuskan untuk merawatnya, dia berharap kebe... More

PROLOG
1. Namanya Flower Edelweiss
2. Batas Pertahanan
3. Patah yang Sengaja
4. Yang Mengerikan
5. Tentang Dia
6. Berbicara Tentang Perasaan
7. Cerita di Pemakaman
8. Bisakah Kita Lebih Dekat?
9. Luka Tak Kasat Mata
10. Kiss Me
12. Patah Untuk Bahagia
13. Kutakut Kau Pergi
14. Gagal Melupakan
15. Jangan Pergi Terlalu Jauh
16. I'm Always Here
17. Yang Paling Pantas
18. Best Friends
19. Anak Kecil yang Ketakutan
20. Selangkah Lebih Dekat
21. Charlotte Sky
22. Kamar Nomor 37
23. Ungkapan Dalam Diam
24. Si Keras Kepala
25. Rencana Malam Nanti
26. Harapan dan Mimpi
27. Aku Itu Sampah
28. Terlalu Serakah
29. Harapan yang Terlalu Tinggi
30. Terlalu Sayang
31. Bertamu
32. Memilih Pergi
33. Kamu Lebih Tepatnya
34. Mencintai dan Dicintai
35. Banyak Tingkah
36. Egois

11. Si Penyair Gila

42 10 6
By NurAzizah504

Lucu rasanya. Dia yang tak banyak bicara, mendadak jadi penyair gila setelah mengenal cinta.

* * *

"Eh, Lion, kamu dengerin aku gak, sih?"

Tepukan yang tidak terlalu keras pada pipi sebelah kiri lantas membuatnya mengerjapkan mata. Dia menatap Flower yang sedang memandangnya dengan bingung.

"Kamu kenapa diem aja dari tadi? Lagi mikirin apa, sih?"

Pertanyaan itu menyadarkan Lion bahwa tak terjadi apa-apa di antara mereka. Hanya suhu wajahnya yang memanas serta tangannya berubah dingin.

"Lagi mikirin apaan? Ditanya bukannya jawab malah bengong," gerutu Flower karena tak kunjung mendapat jawaban.

"Em, bukan masalah penting." Jangankan menjelaskan apa yang ia pikirkan, menatap Flower saja Lion tak bisa.

Flower menyipitkan mata, memandang Lion penuh selidik. Pada detik berikutnya, dia hanya berdecak seraya berkata, "Ah, ya, udahlah. Terserah kamu. Aku mau masuk aja kalau gitu."

Sepeninggal Flower, Lion lantas menghela napas lega. Dirinya merebahkan punggung pada sandaran kursi, mengusap wajah dengan kasar lalu menyugar rambut ke belakang.

"Astaga .... Bisa-bisanya gue mikirin hal begituan di saat Flower aja masih ada di sini?" Lion memegang dada, merasakan detak jantung yang menggila. "Udah gak waras, sih, gue ini. Sumpah deg-degan banget. Kalau Flower tau pikiran gue sekotor itu, kira-kira gue bakalan diapain, ya?"

Baru saja hendak menyalakan mobil untuk digunakan kembali, ponsel yang berada dalam sakunya malah berbunyi.

"Iya, Sam?"

"Lo lagi di mana, Singa?"

"Di rumah Flower. Baru anterin dia pulang. Kenapa?" jawab Lion sambil melirik pintu rumah Flower yang tertutup rapat.

"Gue, Fathan, sama Bian, lagi di tempat biasa nih. Lo nyusul juga, dong. Gak asik nih kalau gak ada lo."

"Iya-iya, gue ke sana sekarang. Pesenin gue kopi, ya. Pas gue sampai minumannya harus udah ada."

"Elah, Si Singa malah banyak maunya."

* * *

Menjelang sore, Flower mendatangi toko bunga AyuAnna Florist. Langkahnya baru akan melewati pintu berbahan kaca ketika seseorang membukanya dari dalam. Seorang laki-laki yang mengenakan kaus putih dan kemeja hitam sebagai luarannya terdiam beberapa saat ketika tatapannya bertemu dengan Flower.

"Hai, Flow," dia tersenyum ramah dan menyapa seperti biasa, "Baru dateng?"

"Hai, Mas Barli. Iya, nih, baru aja sampai. Kamu udah mau pulang, ya?"

Barli kembali menjawab usai menarik lengan Flower agar tidak menghalangi pintu saat dua orang wanita hendak masuk ke toko. Kini keduanya telah berdiri pada bagian lain di luar toko. Tepat di bawah rangkaian bunga-bunga yang dipasang indah dengan sedemikian rupa pada jendela.

"Iya, ini gue mau langsung pulang. Kayaknya kita udah lama banget, ya, gak ketemu?"

Flower mengerucutkan bibir seraya mengangguk dua kali. "Kamu, sih, sibuk terus."

"Aduh, gimana, ya? Lo, kan, tau sendiri mahasiswa semester akhir itu gimana? Gue lagi banyak tugas, Flow. Belum lagi udah disuruh ngurusin usaha orang tua gue. Makin sibuk, kan, jadinya."

Gadis ini tidak menjawab, hanya terus memandangi Barli dengan raut sedikit kesal. Namun, perasaan buruk itu berangsur sembuh karena sentuhan Barli pada puncak kepalanya.

"Doain gue lulus, ya. Nanti kalau gue udah diwisuda, lo bakalan gue traktir teh hijau, deh, sepuasnya."

"Tau aja, sih, Mas, cara nyogok aku gimana."

Barli tertawa hanya karena kalimat barusan. Sejenak, ia memperhatikan Flower yang tampak lebih kurus dari pertemuan terakhir mereka. Kulit wajahnya juga terlihat pucat dengan kantung mata yang semakin hitam.

"Gimana keadaan lo akhir-akhir ini?" Barli bertanya setelah diam beberapa detik.

"I'm okay. Kamu sendiri gimana, Mas?"

"Gue baik."

"Syukurlah," Flower tersenyum tipis lalu kembali berkata, "Boleh aku nanya sesuatu, Mas?"

Tak perlu dikatakan, Barli sudah tahu pertanyaan apa yang akan gadis ini tanyakan. Di setiap kesempatan yang berbeda, Flower selalu menanyakan hal yang sama. Seharusnya Flower tak perlu lagi melakukan hal itu. Setiap kali bertanya, secara tak langsung dirinya juga menguak luka lama.

"Soal Mas Genta ... kamu punya kabar gak tentang dia?"

Barli menelan ludah, memberanikan diri untuk terus menatap Flower tepat di matanya. "Sorry, Flow. Sampai sekarang, gue belum dapat kabar apa pun tentangnya."

Jendela toko dengan rangkaian bunga adalah saksinya. Saat Barli menyembunyikan sebelah tangan di belakang punggung untuk digenggam dengan sangat erat. Dia sebenarnya tahu jika yang tadi itu telah menghancurkan Flower. Dan, kali ini, tampaknya dia ingin merasakan sakit yang sama.

Genggaman itu semakin erat dan kuat. Sama halnya dengan semua luka Flower, Barli pun membiarkan kuku-kukunya menancap penuh pada telapak tangan. Mengeluarkan darah, membuatnya meringis tanpa suara.

* * *

"Kalau yang kuning ini, namanya kaktus apa, Nak?"

"Yang kuning ini namanya kaktus gymno, Bu. Harganya murah, kok. Satu pot cuma 50 ribu. Kaktus ini akan dapat berbunga apabila dirawat dengan baik. Warnanya bervariasi. Ada yang kuning, jingga, ungu, dan pink. Tapi, yang tinggal cuma yang kuning doang. Yang lain udah diborong kemarin."

Seorang wanita tua dengan umur hampir mendekati angka enam puluh terlihat mengangguk-anggukan kepala. Ia kembali melangkah, menatap jenis-jenis kaktus lainnya yang masih tersisa.

"Besok anak bungsu saya yang kerjanya di Amerika akan pulang. Dia itu penyuka kaktus semua jenis. Jarang-jarang dia pulang ke sini. Sekalinya dia pulang, saya mau menyambutnya dengan bunga kesukaannya. Saya mau buat dia bahagia, Nak."

Karena ucapan itu, Flower menciptakan senyum di bibirnya. Ia selangkah mendekati wanita tersebut, sejenak membantunya saat tongkat yang ia gunakan sedikit susah digerakkan.

"Ibu pasti senang banget."

"Tentu, Nak. Ini adalah penantian terlama saya. Saya udah ditinggal lama banget sama dia." Wanita itu menatap Flower yang enggan memindahkan mata ke lain arah. Selanjutnya, bibir keriputnya kembali mengeluarkan suara, "Saya mau semua jenis kaktus yang ada di sini. Antarkan secepatnya ke mobil saya."

"Baik, Bu. Akan segera saya persiapkan." Flower tersenyum dan sedikit membungkukkan badan saat wanita itu pergi.

Hingga ketika bayangannya sempurna hilang dari pandangan, barulah Flower membuang napas yang tertahan.

Rasa sesak menyiksa dirinya saat berbicara tentang penantian dan kepulangan. Jika wanita itu merasa begitu bahagia, apa kabar dengannya? Dia sudah menanti terlalu lama, tetapi mengapa kepulangan itu belum juga tiba?

* * *

"Kamu tak perlu menjadi sempurna untuk bisa kucintai sepenuh hati. Cukup jadi dirimu sendiri. Yang suka berbicara tanpa henti. Yang suka meneguk teh setiap pagi. Yang selalu bersamaku melewati banyak hari. Karena jika itu bukan kamu, aku tak tau harus menjatuhkan hatiku kepada siapa lagi."

"Bukunya disimpen dulu." Flower terkejut sewaktu Lion masuk dan menarik buku bersampul biru dari tangannya." Masih pagi, lo, ini. Gak capek apa sedih-sedihan terus? Lagipula muka kamu itu udah jelek. Kalau kamu sedih, tingkat kejelekannya bakalan bertambah."

"Enak aja ngatain aku jelek. Orang cantik gini juga," ketus Flower mencebikkan bibir dan mengabaikan Lion yang tertawa tak berdosa.

Namun, kalau dipikir-pikir lagi perkataan Lion ada benarnya. Tak seharusnya ia kembali bersedih setelah puas menangis malam hari saat menunggu Genta.

Kedua matanya bahkan masih bengkak dengan hidung yang memerah. Singkatnya, wajah Flower memang terlihat jelek seperti yang laki-laki menyebalkan itu katakan. Namun, untuk kali ini Flower ingin berterima kasih kepada Lion. Jika malam tadi ia tidak ditemukan, mungkin saja hari ini dirinya akan menjadi gila.

"Kayaknya kamu lagi butuh ini."

Saat menoleh, Flower mendapati beberapa permen cokelat di tangan Lion. Ia mengambil semuanya lalu membuka salah satunya.

"Kalau malam tadi kamu gak datengin aku, kira-kira bakalan gimana, ya, jadinya?"

"Kalau diliat dari tangisan kamu, sih, kayaknya bakalan pingsan, deh."

"Emangnya tangisan aku separah itu, ya? Perasaan biasa aja," gumam Flower bingung.

"Buat kamu mungkin biasa aja, tapi buat aku enggak. Soalnya menangisi orang yang kayak Genta itu percuma, gak ada gunanya. Kamu bisa mati karena itu."

"Maksudnya?"

Lion membuang napas sewaktu memutar stir ke arah kanan. Seperti biasa, jalanan ibu kota selalu ramai dan macet. Berkendara pun tidak bisa dengan kecepatan tinggi.

"Maksudnya, stop buang-buang waktu buat orang yang gak menghargai keberadaan kamu. Apa lagi yang kayak malam tadi. Kamu itu cuma menyakiti diri sendiri tau gak? Genta aja gak peduli kamu masih hidup atau enggak. Kamu baik-baik aja atau enggak. Sementara kamu, terus-terusan tangisin dia tiap malam. Buat apa? Buat buktiin kamu setia atau buat buktiin kalau kamu gak ada kerjaan lain selain mikirin dia?"

"Kok, kamu ngomongnya gitu, sih? Bukannya kamu udah janji buat gak marah-marah lagi terkait masalah Mas Genta?" tanya Flower dengan suara bergetar.

"Tapi, ini juga menyangkut keadaan kamu, Flower. Dengan kamu berlarut-larut dalam keadaan seperti ini yang ada kamu bisa terluka. Apa yang bisa kamu harapkan dari Genta? Jangankan menyembuhkan, mendampingi kamu aja dia gak bisa."

Keadaan berubah hening, Flower bertahan dalam diam. Gadis itu hanya menunduk, memilin semua jemarinya dengan gelisah.

"Semua orang punya masa lalu, kenangan yang menyakitkan atau luka yang sulit disembuhkan. Tapi, di sini, kamu yang bertanggungjawab atas hidupmu. Kamu gak bisa cuma duduk diam dan menunggu orang lain buat nyembuhin atau membantu. Karena yang mempunyai kekuatan itu adalah kamu. Cuma kamu yang berhak atas dirimu. Semakin cepat kamu menyadarinya, semakin cepat pula hidupmu berubah. Semakin cepat kamu sadar Genta bukan lagi milikmu, semakin cepat pula kamu menjadi tenang."

* * *

Continue Reading

You'll Also Like

16.9M 749K 43
GENRE : ROMANCE [Story 3] Bagas cowok baik-baik, hidupnya lurus dan berambisi pada nilai bagus di sekolah. Saras gadis kampung yang merantau ke kota...
2.8M 300K 50
Bertunangan karena hutang nyawa. Athena terjerat perjanjian dengan keluarga pesohor sebab kesalahan sang Ibu. Han Jean Atmaja, lelaki minim ekspresi...
506K 19.3K 45
⚠️ WARNING!!! : YOUNGADULT, 18+ ‼️ hars word, smut . Tak ingin terlihat gamon setelah mantan kekasihnya berselingkuh hingga akhirnya berpacaran denga...
1.8M 87.8K 55
Rasa cinta terlalu berlebihan membuat Lia lupa bahwa cinta itu tidak pernah bisa dipaksakan. Rasanya ia terlalu banyak menghabiskan waktu dengan meng...