Canistopia

By taejung21

63.5K 10.3K 3.7K

Sebuah dunia yang tidak akan pernah dimengerti oleh kaum manusia namun nyata adanya. July/2020 DON'T COPY MY... More

Prolog
Introductions
Canistopia - I
Canistopia - II
Canistopia - III
Canistopia - V
Canistopia - VI
Canistopia - VII
Canistopia - VIII
Canistopia - IX
Canistopia - X
Canistopia - XI
Canistopia - XII
Canistopia - XIII
Canistopia - XIV
Canistopia - XV
Canistopia - XVI
Canistopia - XVII
Canistopia - XVIII
Canistopia - XIX
Canistopia - XX
Canistopia - XXI
Canistopia - XXII
Canistopia - XXIII
Canistopia - XXIV
Canistopia - XXV
Canistopia - XXVI

Canistopia - IV

2.2K 410 142
By taejung21

.

.

Kaki-kaki berbulu itu terus berjalan menapaki tanah, melewati gerbang keemasan lalu menaiki undakan tangga menuju pintu utama yang kini sudah terbuka. Chris yang berdiri di sana mulai melipat kedua tangannya di dada kala Daves merubah dirinya untuk kembali berwujud seperti manusia biasa.

“Apa?” tanya Daves seraya merapikan pakaiannya.

“Dari mana? Melacak penglihatanmu lagi?”

Daves mendongak mengalihkan pandangannya dari pakaian. “Aku—”

“Merasakan sinyal bahaya lagi?” sela Chris.

“Aku tahu kau tidak akan percaya.”

Chris mendengus kesal. “Aku percaya, Daves! Tapi aku tidak ingin kau melacaknya sendirian! Ingat kejadian tahun lalu? Saat kau hampir jatuh dari tebing karena kau mendapatkan penglihatan sinyal bahaya itu? Kau melacaknya sendirian! Kau melakukannya lagi hari ini!”

“Aku hanya ingin memastikannya!” jawab Daves.

“Tidak perlu! Kau tahu kalau kami tidak pernah meragukanmu, Daves? Merasakan sinyal bahaya dari jarak jauh, merasakan kedatangan seseorang yang bahkan belum terlihat, mengetahui arah serangan bahkan dalam mata tertutup, dan dapat merasakan perbedaan suhu tubuh antara lawan dan kawan dengan akurat. Aku tahu semuanya.”

“Chris—”

“Daves! Berdasarkan kalimat-kalimat yang kusebutkan tadi, aku tahu bahwa melacak sinyal bahaya merujuk pada risiko, karena penglihatan adalah bakatmu. Aku bahkan tidak tahu bahwa ada bahaya yang sedang mengintai dikejauhan. Tapi apa kau harus menghampirinya sendirian? Kau mau membuat saudara-saudaramu ini khawatir?”

“Kau terus menyela ucapanku, Chris!” marah Daves.

Chris mengangguk. “Aku hanya ingin kau tahu bahwa aku peduli.”

“Kejadian di tebing itu terbukti bukan? Bersyukurlah bahwa Sean masih hidup hingga sekarang!” kesal Daves membuat Chris terdiam. “Sudahlah, aku hanya sedang memikirkan soal ikut membantu membawa 'dia' ke Canistopia,” ucap Daves akhirnya.

Kening Chris mengernyit. “Kenapa?”

“Sinyal bahaya itu ... mengincarnya.”

“Kau yakin?”

“Kau meragukan pelacakanku? Sinyal bahaya itu—”

“Akan selalu benar. Aku tahu. Itulah kenapa kami merasa beruntung, Daves. Bakatmu melindungi kami semua. Kalau kau memang harus ke Paris, maka pergilah. Setidaknya ada Sean dan Matt.” Chris menepuk pundak Daves kemudian menoleh saat seseorang datang dari dalam.

“Sean? Ada apa?” tanya Daves saat melihat raut wajahnya yang tak biasa.

“Nicholas.”

“Siapa?” Chris mengernyit.

Sean menghela napas. “Nicholas Jeon. Ayah angkatnya, ditemukan meninggal di laboratorium. Aku melihat berita pagi. Kau tahu 'kan? Dia seorang profesor di salah satu universitas besar.”

“Kenapa tiba-tiba begini?” Daves dan Chris membulatkan matanya terkejut.

“Kemungkinan ....” Sean mengernyit menoleh pada Daves. “Hei! Kau melacak sinyal bahaya lagi hari ini?!”

“Oh, astaga! Hei! Kau tidak boleh sembarangan membaca pikiranku, Sean!”

“Aku tidak bisa menahannya!” kesal Sean. “Daves! Jangan begitu! Kau memarahiku hanya karena pergi ke Paris, lalu kau sendiri-”

“Jangan katakan pada yang lain,” pinta Chris.

“Kau tahu?” Sean membulatkan matanya lebar.

Chris mengangguk. “Yang lain akan khawatir.”

“Kali ini bahaya apa lagi?” Pertanyaan Sean membuat Daves berkacak pinggang.

“Mereka ingin 'dia'.”

“Damien?” tanya Sean.

Daves mengangguk. “Sesuai apa yang aku dapatkan, mereka ingin mengembalikan sistem monarki di Canistopia.”

“Tapi kerajaan kita sudah berakhir, Daves. Kita tersisa hanya untuk meneruskan sistem garis keturunan kebangsawanan. Tidak lagi ada raja, ratu, pangeran atau apalah itu.” Chris mendengus kesal mendengarnya.

“Aku tahu, tapi kawanan mereka semakin besar.”

“Seharusnya kau membagi kepemimpinan wilayah sejak awal, Daves.” Sean menatap kakak tertuanya yang tampak khawatir.

Daves menggeleng. “Lalu membiarkan kalian terluka? Tidak! Ayolah, Sean. Kita pernah membahas ini.”

“Aku tahu,” angguk Sean. “Tapi aku harus ke Paris hari ini.”

“Melihat keadaannya?” tanya Chris.

Sean mengangguk. “Aku harus memastikan penyebab matinya Nicholas. Ada yang tidak beres.”

“Apa yang berita itu katakan?”

“Kurasa mereka menutupi kebenaran. Kau sadar? Pemerintah tidak mungkin mengatakan soal ‘serangan hewan buas yang masuk ke dalam gedung universitas’ bukan?”

“Di mana dia tinggal?” tanya Daves.

Rue de Belleville.”

“Aku ikut.”

“Daves!”

“Aku bisa mengidentifikasinya secara langsung, Sean. Mungkin ini berhubungan dengan sinyal bahaya yang ku dapat,” ucap Daves memaksa.

“Pergilah,” setuju Chris membuat Sean mendengus.

“Kau tahu apa yang aku khawatirkan tentangmu, Daves?” tanya Sean.

“Apa?”

“Justru bakatmulah yang mengundang mereka untuk mendapatkanmu. Selama ini kami tinggal dengan aman, karena bahaya-bahaya yang akan datang sudah lebih awal kau endus. Bahkan Mike pun belum sempat melihat soal apa yang akan terjadi, Daves.”

“Itu sudah tugasku.” Daves tersenyum.

“Kau terlalu berharga. Tidak. Kalian terlalu berharga.” Sean merendahkan suaranya.

“Kau sama berharganya, Sean.” Daves menepuk pundaknya menguatkan.

“Hanya dengan melihat emosi? Kelemahan dan kelebihan? Itu tidak begitu diperlukan selama kalian lebih kuat dibandingkan aku.”

Chris tertawa kecil. “Tegakkan bahumu! Kenapa kau jadi lemah begini?”

“Itu fakta.”

“Tidak, Sean. Ayolah! Kau sangat berguna!” omel Daves.

“Kalau bukan kau yang mengendus sinyal bahaya dari tebing saat itu, mungkin aku sudah ....”

“Sean, langit mendung!” Matt tiba-tiba muncul seraya menunjuk langit.

Huh?” Sean mengernyit.

“Matahari sedang sedih. Yeah, kurasa.” Matt mengedik. “Ada apa ini? Kenapa berkumpul di luar? Sedang menggosipkanku ya?”

“Percaya diri sekali kau.” Chris melenggang pergi kala musuh bebuyutannya datang.

“Hei! Kau mau kemana?!” teriak Matt.

“Hibernasi!” Jawaban Chris membuat Sean dan Daves tertawa.

“Di mana Mike dan Fred?” tanya Daves.

Matt mengedik. “Berburu di hutan belakang? Kurasa.”

“Astaga! Kubilang jangan—”

“Makan daging mentah? Mengerti. Lagi pula kami sudah tidak berselera,” ucap Matt.

“Kurasa hari libur kalian benar-benar tidak berguna. Melupakan tatakrama kebangsawanan, huh? Tidak. Bukan soal kebangsawanan, kalian ini benar-benar membuatku kesal tahu?”

“Apa salahku?” Matt mendelik.

“Kau dan Chris suka menyela pembicaraan Kak Daves. Kalian itu kembar, bukan musuh.” Sean menggelengkan kepalanya heran seraya masuk. Daves mengangguk kemudian mengekori.

“Kapan kita pergi, Sean?” tanya Daves.

“Aku akan bersiap dulu.”

Pembicaraan itu tentunya menggugah rasa penasaran Matt. “Hei! Pergi kemana?!” tanyanya sedikit berteriak. Sebenarnya tidak dijawab pun ia tahu apa yang terjadi, seorang Matt tidak mungkin ketinggalan berita. Hanya saja, ia ingin tahu secara langsung dari mereka.

“Kenapa berteriak, Kak Matt?” tanya seseorang dari arah pintu belakang rumah.

“Kurasa Sean dan Daves akan pergi.” Matt menoleh mendapati Mike dan Fred sedang merapikan rambutnya yang kusut.

“Kemana?” tanya Fred. Wajahnya memang tidak terlalu bersahabat dan sebenarnya lebih irit berbicara dibandingkan Mike.

“Menemui anak yang semalam kalian bicarakan? Ya, aku bisa melihatnya.” Mike tersenyum simpul membuat Fred menoleh. Ekspresinya sedikit terkejut kemudian berusaha merubahnya lagi agar kembali normal.

Matt mendesah gemas. “Ayolah adik-adik. Jangan seperti itu. Dia itu saudaramu juga.”

“Siapa bilang?” tanya Fred datar.

“Sejarah.” Matt mengedik. Benar, memangnya siapa lagi?

Mike terkekeh. “Sejarah yang mengatakannya. Lalu apa kami akan mengakuinya?”

“Jangan membuat Daves marah!” Matt berkacak pinggang memperingatkan.

Fred melenggang pergi menaiki anak tangga sementara Mike masih bertahan di sana. “Yah, kita lihat saja nanti. Kira-kira ... sebaik apakah dia?”

“Apa yang kalian buru di hutan belakang?” tanya Matt membuat Mike terdiam berpikir sejenak.

“Tidak ada. Mungkin hanya ... berlatih? ‘Untuk menyambut saudara baru kita’, ” ucap Mike penuh penekanan.

Matt mendelik curiga. “Apa yang kalian rencanakan?”

“Tidak ada.” Mike mengedik santai.

“Jangan main-main. Dia baru kehilangan ayahnya hari ini.”

“Lalu?”

Matt menatap tak percaya dengan respon Mike. “Setidaknya kau ikut berduka. Bagaimanapun juga, ayahnya sudah membantu kita untuk menjaganya, Mike.”

“Berduka? Apa kau pikir aku tidak berduka? Aku juga tidak memiliki ayah, juga tidak memiliki ibu. Lalu aku harus apa?” Mike mendengus marah.

“Mike.” Suara Fred tiba-tiba terdengar lagi membuat keduanya menoleh.

“Kau turun lagi?”

“Suaramu terdengar sampai kamarku. Jangan berdebat soal anak itu,” ucapnya tak minat.

“Terdengar sampai kamarmu?” Mike mengernyit. Ia tahu bahwa Fred berbohong karena ia melihatnya menguping di atas tangga sana tadi.

“Kau bilang kau mau mandi. Kenapa masih di sini?” tanyanya.

“Aku tahu.” Mike menatap Matt sebentar kemudian menghela napas. “Ya. Aku akan pergi ke kamarku sekarang.”

“Ada apa dengan kalian ini, huh?” tanya Matt tertawa kesal.

Fred tersenyum namun ekspresinya masih tetap merasa tak minat dengan pembahasan ini. “Tidak apa. Kau tidak pergi ke laboratorium?”

“Jangan mengalihkan pembicaraanku, Fred.” Matt berkacak pinggang.

“Kurasa ada yang berniat untuk mandi di sini.” Suara seseorang menginterupsi.

“Kak Sean.” Mike dan Fred yang membelakangi kemudian menoleh.

Sean tersenyum. “Tidak jadi mandi?”

“Ah, aku pergi.” Mike akhirnya pergi lebih dulu dibandingkan Fred.

“Kau akan melihat kondisinya hari ini?” tanya Fred.

“Kondisi?” Kening Sean mengernyit.

“Kudengar ayah angkatnya meninggal.” Fred mengedik.

Sean menggaruk keningnya yang tidak gatal kemudian mengangguk. “Ya, begitulah. Kurasa kau harus segera mandi, Fred.”

“Aku pergi.” Fred mengangguk kecil kemudian dengan segera menjauh dari sana.

“Ada apa, Matt?” tanya Sean membuat Matt terkekeh.

“Jangan basa-basi begitu. Kau datang melerai karena kau tahu apa yang barusan terjadi, Sean.” Matt mendengus kesal.

“Tidak, aku tidak tahu.” Sean menggeleng.

“Tukang bohong.” Matt melenggang pergi menuju laboratoriumnya kemudian tak lama Daves muncul mengalihkan kebingungan Sean.

“Ada apa?”

“Apa?” Sean mengernyit.

“Sepertinya aku mendengar suara dari lantai satu. Tapi tidak ada siapapun. Hanya kau?”

“Ya, hanya aku.” Sean mengedik membuat pemikiran Daves teralihkan.

“Jadi kita pergi sekarang?”

“Tentu,” angguk Sean kemudian membiarkan Daves keluar rumah lebih dulu.

Sean berbalik menyapu pandangannya ke dalam. “Hei kalian tukang menguping! Jangan ribut lagi, mengerti?!” teriaknya membuat Matt yang berdiri di balik lorong benar-benar pergi ke laboratoriumnya, Mike dan Fred yang terburu-buru melanjutkan langkahnya dari balik pilar atas tangga, dan Chris yang masuk kembali ke dalam kamar untuk melanjutkan hibernasi setelah memperhatikan dari pagar balkon di atas.

“Itulah kenapa aku selalu menghindar kalau kak Sean datang saat kita bertengkar,” ucap Mike.

“Seharusnya kau tidak mengatakan apa pun tadi pada Matt, Mike. Bersyukurlah bahwa Sean tidak suka mengadu, terlebih pada Daves.” Fred mendengus.

“Kita berbincang lagi nanti,” ucap Mike malas.

“Tentu.” Fred menghilang di balik pintu kamarnya yang sudah kembali menutup.

.

.

.

.

.

.

Continue Reading

You'll Also Like

937K 89.5K 30
Kaylan Saputra anak polos berumur 12 tahun yang tidak mengerti arti kasih sayang. Anak yang selalu menerima perlakuan kasar dari orangtuanya. Ia sel...
963K 81.5K 39
(𝐒𝐞𝐫𝐢𝐞𝐬 𝐓𝐫𝐚𝐧𝐬𝐦𝐢𝐠𝐫𝐚𝐬𝐢 𝟏) 𝘊𝘰𝘷𝘦𝘳 𝘣𝘺 𝘸𝘪𝘥𝘺𝘢𝘸𝘢𝘵𝘪0506 ғᴏʟʟᴏᴡ ᴅᴀʜᴜʟᴜ ᴀᴋᴜɴ ᴘᴏᴛᴀ ɪɴɪ ᴜɴᴛᴜᴋ ᴍᴇɴᴅᴜᴋᴜɴɢ ᴊᴀʟᴀɴɴʏᴀ ᴄᴇʀɪᴛᴀ♥︎ ___...
489K 39.7K 28
Apa yang kamu lakukan jika mengulang waktu kembali? Tabitha Veronika Miller sosok gadis yang diberi kesempatan untuk mengulang waktu kembali, kematia...
658K 45.2K 28
"kenapa foto kelulusanku menjadi foto terakhirku.."