TIGA BELAS JIWA

Autorstwa slsdlnrfzrh

1.3M 188K 70.7K

Cerita ini adalah penggalan kehidupan dari tiga belas jiwa yang bekerja di rumah sakit jiwa. Kalian akan mene... Więcej

Tiga Belas Jiwa
[SC] Raga
[JH] Johan
[JS] Joshua
[WJH] Arel
[KSY] Catra
[JWW] Dipta
[WZ] Khrisna
[DK] Arthur
[KMG] Pram
[XMH] Mada
[BSK] Gatra
[VN] Vernon
[DN] Dino
1.1 Raga
1.2 Johan
1.3 Joshua
1.4 Arel
1.5 Catra
1.6 Dipta
1.7 Khrisna
1.8 Arthur
1.9 Pram
1.10 Mada
1.11 Gatra
1.12 Vernon
1.13 Dino
2.1 Raga
2.2 Johan
2.3 Joshua
2.4 Arel
2.5 Catra
2.6 Dipta
2.7 Khrisna
2.8 Arthur
2.9 Pram
2.10 Mada
[Special Part] Manjiw Squad Girls
2.11 Gatra
2.12 Vernon
2.13 Dino
3.1 Raga
3.2 Johan
3.3 Joshua
3.4 Arel
3.5 Catra
3.6 Dipta
3.8 Arthur
3.9 Pram
3.10 Mada
3.11 Gatra
3.12 Vernon
3.13 Dino
4.1 Raga
4.2 Johan
4.3 Joshua
4.4 Arel
4.5 Catra
4.6 Dipta
4.7 Khrisna
4.8 Arthur
4.9 Pram
4.10 Mada
4.11 Gatra
4.12 Vernon
4.13 Dino

3.7 Khrisna

15.6K 2.5K 2.1K
Autorstwa slsdlnrfzrh

Khrisna

"I'm trying so hard, but I can't hold up."

Gue masih ingat betul dengan pesan Freya minggu lalu yang langsung dia tarik begitu gue membacanya. Awalnya gue pikir dia cuma lagi kumat sama kebiasaannya, tapi semakin sini gue semakin tau kalo ternyata Freya emang udah capek sama hidupnya, sama semuanya.

Khrisna Adhyaksa itu, meski gak berbakat buat pasang image baik sebagai orang yang punya sifat pedulian, jauh didalam dirinya dia juga kepikiran sama setiap keadaan. Walaupun gue pengen jual Freya, walaupun Freya pengen banget resign jadi adik gue, kita berdua sebetulnya selalu saling melindungi dan menutupi satu sama lain. Like ... we wouldn't let each other to getting hurted.

Gue sudah paham konsekuensinya apa, dan gue sudah siap dengan segala kemungkinan makanya gue menyuruh Freya pulang. Karena menurut gue, memaksakan diri untuk bertahan di tempat yang tidak nyaman itu bukanlah sebuah pilihan yang benar. Lo berhak menentukan akan membawa hidup lo kearah mana, karena sejatinya orang lain gak punya hak atas diri lo sekali pun mereka orang tua lo.

"Papa nyari gue ke lo?"

"Iya."

Gue menggigit lembaran roti yang diolesi selai cokelat itu dengan tidak berselera.

"Sorry, ngerepotin."

"Bakalan lebih repot kalo di Scotland lo bunuh diri."

Dia ketawa, "Ya, hampir." katanya.

"Diem di rumah, istirahat. Punya duit gak lo?"

"Ada, kemarin di airport gue ke money changer soalnya." Matanya sedikit sembab, yang gue tau sih semalem dia sesenggukan parah pas gue balik nganterin Lussy ke rumahnya. Abis nangis ke cowoknya kali, makanya rada bengkak kayak diompolin cecunguk gitu.

"Gue berangkat, gak tau balik jam berapa. Kalo misal pergi pintu harus dikunci, pager juga. Mau salim dulu gak lo sama gue?" Tangan gue terulur kearahnya, namun perempuan gak punya adab itu malah menepisnya kencang dengan wajah meremehkan.

"Mertua gue juga bukan, najis banget." umpatnya, dasar cewek sialan.

Gue tidak menanggapi apapun lagi, memakai jaket dengan segera kemudian pergi begitu saja setelah menggetok kepala udangnya itu. Dia berteriak kesal, sementara gue cuma ketawa puas dan membanting pintu dengan kencang. Bugatti yang akhir-akhir ini demen banget gue pake ini kembali gue kendarai. Alih-alih langsung mengambil arah menuju tol, gue malah mampir dulu ke sebuah perumahan yang tampak ramai di jam sepagi ini.

Aman, Arthur kayaknya udah berangkat jadi gue gak perlu dicengin sama cowok yang suka ngobral ketawa itu.

"Dokter Khrisnaaa!"

Sebel banget gue tiap denger Lussy teriak mirip bocah gitu, tapi gue juga gemes sampe gak sadar suka ketawa sendiri saat ngedengernya.

"Hari ini jangan kerja ya." Jelas mukanya langsung kaget, "Pergi sama saya, udah saya bilangin ke HRD kok."

"Hah? Pergi kemana?" Susunan kalimat Lussyana Mutiara itu adalah; Hah - Subjek - Predikat - Objek - Keterangan. "Ih, kan gak boleh bolos. Kalau UGD rame gimana?"

"Ada koas sama residen kok, Johan Raga juga. Buruan, keburu panas." Gue menarik pergelangan tangannya sampai dia sedikit terseret ketika mengikuti langkah gue. Wangi parfumnya yang mirip bunga chamomile langsung menyapa hidung gue ketika dia berhasil gue masukkan kedalam mobil sport yang gue bawa.

"Kemana, dok? Makan-makan sama Sabilulungan Squad lagi?"

"Temenin aja, cukup temenin saya aja, gak usah banyak nanya. Kamu paham kan maksud saya?" Tanya gue sembari menyalakan mesin kendaraan. Sekarang gue udah gak manggil dia 'heh' lagi, abis anaknya suka soak gitu tiap gue nyapa dia dengan panggilan seperti tadi.

"Paham." Jawabnya.

"Apa?"

"Kan temenan, jadi minta ditemenin maen. Iya kan?"

Bangga gue punya manusia yang otaknya masih pentium dua, kayak punya harta karun; barang antik.

"Iya, pinter banget ntar dikasih hiu lagi."

"Asik!" Pekiknya girang, lumayan kan kalo bawa dia jadi ada hiburan? Meski gue harus menyalahgunakan kekuasaan, gak apa-apa deh yang penting gue pergi nggak sendirian. "Oh iya, kemarin kan ada cicak kepeleset kedalem toples bayi hiu, eh ... dimakan sama dia. Kaget banget, padahal cicaknya gede kayak tokek."

"Emang kamu pernah liat tokek?"

"Belum sih, paling kadal."

"Kalo kadal mah saya juga sering liat, di rumah sakit tuh dokter cowoknya kadal semua tau, Ssy."

"Hah? Emang kadal bisa jadi dokter, dok?"

Salah banget emang, salah.

"Oh, haha." Sedetik kemudian dia ketawa, "Peribahasa kan? Hahaha, maaf, baru ngeh. Kalo kadal semua dokternya, dokter Khrisna juga termasuk dong?"

Leher gue menoleh perlahan-lahan, "Iya, saya termasuk. Kenapa?"

"Nggak cocok, hehe." Saat tercengir, dia malah mengingatkan gue pada sosok Arthur— kakak sepupunya. "Oh iya, kita kemana? Kok masuk ke tol?"

"Ketemu Jokowi ke Jakarta."

"Ah, buat apa?"

"Sun tangan."

Kepalanya mengangguk percaya, membuat tawa gue pecah sampai tanpa sadar tangan gue mencubit pipi kanannya yang menggembung. "Kamu tuh ... astaga, awas ya, gak boleh pergi kemana-mana sendirian atau sama orang yang gak dikenal. Kalo mau pergi bilang saya aja, saya yang antar."

"Iya." Tumben cuma jawab iya. "Dokter Khrisna baik." ucapnya tiba-tiba.

"Terus jadi orang baik, ya? Gak cuma ke saya aja, tapi ke semua orang yang ada di sekitar dokter Khrisna." Senyumannya yang tulus sedikit membuat gue salah tingkah, "Bahagia juga, soalnya dokter Khrisna tuh gak cocok buat sedih, cocoknya seneng terus, ketawa terus, biar gak serem auranya."

"Ssy," gue memanggilnya, "Nanti, disana, apapun yang kamu denger, anggap aja gak pernah kamu denger. Jangan pernah bilang ke siapa-siapa soal apa yang akan terjadi nanti. Janji?" Bodohnya, kelingking gue malah terulur kepadanya, menunggu perempuan yang rambutnya diikat asal itu untuk balas menautkan kelingkingnya disana.

"Bingung sih, tapi saya janji." katanya tanpa banyak bertanya apapun lagi.

Perjalanan pagi itu terasa sangat panjang. Meski mampu melaju dalam kecepatan tinggi, gue tidak bisa bertindak gegabah karena ada orang yang gue bawa juga didalam sini. Awalnya gue gak berniat buat ajak Lussy pergi. Namun ketika gue mengingat lagi bahwa gue butuh diredamkan jika seandainya tersulut oleh emosi, pada akhirnya gue memutuskan untuk membawa Lussy kesini.

Dia tertidur di tiga perempat perjalanan, bahkan sepertinya Lussy gak sadar bahwa sekarang dia udah ada di kota dan provinsi yang berbeda. Mobil hitam gue mulai memasuki wilayah yang asing, wilayah yang berbanding terbalik dengan jalanan hijau menuju RSJ Provinsi Jawa Barat. Sebuah gedung lima tingkat yang berada di kawasan Daan Mogot menjadi tujuan gue sekarang. Sekilas keliatan sepi, mungkin karena jarum jam yang masih berada di angka sebelas lebih dua puluh siang.

"Ssy, udah sampe." Gue mencolek lengannya untuk menyadarkan perempuan di sebelah gue.

"Oh, rumah sakit juga ya ini, dok?" tanyanya dengan mata yang masih dia sesuaikan cahayanya.

"Bukan. Kamu mau tunggu disini apa ikut saya ke dalem?"

"Ikut, takut soalnya."

"Yaudah, turun kalo gitu."

Udara yang gue dapati terasa panas dan juga penuh sesak. Gue merangkul bahu perempuan itu, sengaja mempertipis jarak supaya cewek oon ini gak bikin ulah macem-macem. Saat memasuki gedung, gue langsung disambut oleh petugas keamanan. Namun sepertinya mereka sama sekali tidak mengenal gue, bahkan nyaris kebingungan ketika gue memaksa untuk naik ke lantai tiga.

"Harus ada janji temu dulu, pak."

"Saya Khrisna Adhyaksa, ini." Pada akhirnya gue mengeluarkan sebuah kartu berwarna hitam yang memiliki tulisan all access to Adhyaksa Manufacturing Company. Setelah mengecek kebenarannya pada beberapa pihak, akhirnya gue diizinkan naik tanpa pengawalan.

"Ini tempat apa sih dok?"

"Neraka." Harusnya gue gak boleh asal ngomong didepan orang seperti Lussy, tapi apa yang gue ucapkan tidak sepenuhnya salah, malah cenderung seratus persen benar.

"Kayak di film-film dong, terus ntar tiba-tiba ada yang berantem, haha."

"Emang mau berantem, makanya saya suruh kamu diem." Tatapan gue sedikit tajam, terbukti dari reaksi Lussy yang langsung gelagapan seraya memalingkan pandangan. Jantung gue udah gak karuan, soalnya ini adalah kali pertama gue datang kesini untuk menemui seseorang yang udah lama banget nggak gue jumpai.

"Tangannya dingin." Ketika tak sengaja menyentuh jari gue, Lussy berbicara. "Dokter Khrisna gak apa-apa kan?"

"Kalo kamu gak kemana-mana, saya pasti gak apa-apa." Mudah-mudahan otak lo yang buffering itu bisa paham sama maksud omongan gue. Merasa situasinya gak pas buat nanya lebih, Lussy cuma diem lalu mengekori gue ketika pintu lift terbuka lebar-lebar. Gue gak tau sih lokasinya dimana, tapi kayaknya ada di sekitar sini soalnya kata Freya ruangan Papa ada di lantai tiga.

"Loh, Khrisna?"

Ya, suaranya gak berubah, tetap ramah dan berwibawa.

"Beneran Khrisna kan? Kok disini? Kenapa gak kabarin Papa dulu?" Gue meraih tangannya lalu menciumnya dengan sopan. Se-gak suka apapun gue sama Papa, dia tetep orang tua gue, layak dihormati.

"Mama dimana?"

"Ngasih kuliah di Bangkok, udah dua hari." As I guess, nyokap emang guru besar ekonomi dari sebuah universitas negeri. Jadi gak heran kalo kerjaannya ngasih tutor atau kuliah ke sekolah-sekolah di beberapa negara Asia.

"Pa, Khrisna cuma mau bilang, boleh lepasin Freya dari semua perusahaan di Scotland?"

Mendengar gue yang langsung menyasar poin utama pembicaraan, dia langsung berdeham sembari menatap cewek disebelah gue dengan tatapan kurang nyaman.

Gue merangkul Lussy mesra, "Pacar Khrisna, bentar lagi juga nikah, gak masalah meski denger." Toh anaknya gak akan ngerti juga. Iya kan?

"Kalo Freya lengser, yang ganti nanti siapa? Kamu?" Jangan ketipu sama muka dan omongannya. Meski terkenal di televisi sebagai pengamat politik dan pebisnis sukses nomor sekian di Indonesia, Arifin Adhyaksa sejatinya gak lebih dari sosok-sosok serakah yang mengerikan di drama-drama Korea. "Gak usah ngaco, dia di posisinya sekarang juga gara-gara kamu, kan?"

Karena kalau gue gak minggat dari rumah kayak waktu itu, Freya gak harus menanggung beban yang justru menjadikan dia down seperti sekarang.

Gue yang salah, gue yang egois, makanya gue bertanggung jawab buat ngebebasin Freya juga.

"Freya gak akan balik ke Scotland." Tegas gue, masa bodoh dengan perempuan yang kebingungan disebelah gue. "Khrisna yang jamin."

"Ambil alih kantor ini kalo gitu, Papa yang ke Scotland."

"Gak ada yang diambil alih, Khrisna sama Freya memilih lepas dari semua ini."

"Mau hidup kayak apa kalian kalo tanpa Papa?"

"Loh, emang selama ini Khrisna pake duit Papa? Enggak kok, hidup Khrisna kaya-kaya aja. Rumah mewah, duit banyak, mobil Bugatti. Masalah motor yang jadi hadiah, ambil lagi aja, gak butuh gratisan."

Mukanya langsung merah, seperti menahan amarah. "Kamu bisa, tapi adek kamu gak mungkin bisa."

"Ambil aja semua asetnya, gak apa-apa, Khrisna yang jamin. Mau dinikahin juga anaknya, paling ntar Khrisna yang jadi wali. Jaman sekarang gampang, bilang aja ayahnya mati supaya bisa diwakili sama kakaknya." Gue udah siap banget kalo seandainya gue digampar sama laki-laki bertubuh besar ini, "Jangan paksa Freya lagi, urus semua sendiri, maaf karena Khrisna sama Freya udah jadi anak yang gak tau diri."

"Kamu yang ambil alih semua perusahaan di Scotland, gak usah jadi dokter, gak ada untungnya."

"Takut terlalu kaya, nanti serakah deh. Makasih tawarannya, gak apa-apa, coret aja Khrisna sama Freya dari daftar warisan, gak masalah kok. Jangan ganggu Freya lagi, kalo masih ngotot, Khrisna bisa aja gagalin Papa maju ke Pilkada Jakarta. What a shit, I have so many keys to getting you down."

Seketika mulutnya bungkam, dia berkedip dengan cepat sembari melihat sekelilingnya. Dunia bisnis itu keras, gue yang khatam luar dalam sama perusahaan Papa jelas tau hal-hal apa aja yang dia sembunyikan. Entah dari jumlah kekayaan, jumlah perusahaan yang gak terdaftar alias berdikari dalam nama orang lain, hingga permainan elit yang berputar diatas roda-roda pemerintahan.

"Pamit pulang, mudah-mudahan segera sadar kalo menekan anak demi keuntungan itu bukan hal yang dibenarkan." Setelah memandang matanya yang melihat gue tajam, gue merangkul Lussy lalu membawanya pergi dari sana. Cewek yang menjadi saksi gimana tegangnya pembicaraan gue dengan orang yang sering banget muncul di talkshow politik itu cuma bisa diam dan membisu, seolah masih mencerna soal apa yang terjadi barusan antara gue dan juga laki-laki itu.

"Khrisna," jari gue baru saja akan menekan tombol pada dinding sebelah lift ketika panggilannya terdengar oleh telinga gue. "Kalau Freya Papa lepaskan dari jabatannya, kamu bisa turuti satu keinginan Papa kan?"

Sesaat gue terdiam, menatap sosoknya yang terus mendekat hingga pada akhirnya jarak diantara kita hanya tinggal terhitung jengkal.

"Soal apa?"

Dia tersenyum, sementara gue nyaris saja mengumpat ketika mendengar kemauannya.

***

"Dokter Khrisna ... "

Gue bergeming, tidak merespon apa-apa ketika telunjuk Lussy yang lentik itu menekan lengan atas gue dengan pelan.

"Pelan-pelan bawanya." lirihnya yang sejak tadi cuma bisa menatap khawatir kearah jalanan setengah ramai didepan kita berdua. "Berhenti dulu kalau capek, jajan dulu, saya yang ... saya yang beliin deh, gimana?"

Semula gue tidak memiliki mood untuk sekedar berbicara, namun ketika mendengar kalimat dan juga cara dia merayu gue sekarang, gue malah tertawa kencang seperti orang gila. "Apa sih? Kamu laper?"

Kepalanya mengangguk cepat, "Iya! Laper!" ucapnya girang. Padahal ekspresi cerianya sekarang dia berikan gara-gara dirinya berhasil membuat gue bersuara lagi; sukses menjadikan mood gue tidak seburuk tadi. "Hm ... Indomaret aja, tuh, didepan."

"Ke restoran kalo laper."

"Indomaret aja, belanja puas harga pas hehe."

"Itu slogan Alfamart, kamu salah server. Bloon banget sih?" Kayaknya sehari tanpa noyor keningnya itu merupakan sebuah dosa ya?

"Terus kalo slogan Indomaret apa?"

Bodohnya gue mikir, "Mudah dan hemat." ucap gue.

"Oh, iya. Yaudah ke Indomaret aja, ke pinggir buruaaannn!" Suruhnya seraya memukul-mukul tangan gue kencang. Untungnya lalu lintas dibelakang gue gak terlalu rame, jadi gue bisa menepi dengan aman ke pelataran minimarket yang khas banget oleh ikon semut kuningnya, si Domar.

"Dokter Khrisna gak apa-apa?" Pergerakan tangan gue terhenti, urung membuka sabuk pengaman yang masih melingkar di tubuh gue saat ini. "Dokter Khrisna ... baik-baik aja?" ulangnya.

Dengan sengaja, gue mencondongkan tubuh kearahnya hingga dia sontak mundur sampai kepalanya mengenai sandaran jok yang didudukinya. "Kalau saya gak baik-baik aja, kamu mau apa?"

"Mau bilang gak apa-apa meski gak baik-baik aja." Satu hal yang gue sukai dari Lussy, dia selalu menatap gue tepat di mata ketika mengajak berbicara. "Saya cuma ... baru ngerti sama apa yang terjadi tadi, dan dokter Khrisna beneran orang baik." Ini sudah kali kedua gue mendengar dia mengatakan hal yang sama.

"Memang yang kamu tangkap itu apa sehingga bisa berpikiran kayak gini? Hm?" Gue mengakhiri posisi ambigu tersebut lalu bersiap untuk turun.

"Mbak Freya gak mau pulang ke Scotland, mau keluar dari perusahaan. Terus dokter Khrisna kesini buat bantuin mbak Freya, ketemu sama Papa-nya dokter Khrisna. Dan dokter Khrisna ... berkorban untuk mbak Freya." Dia menjeda ucapannya, "Hal apa yang bikin dokter Khrisna mau pimpin rumah sakit baru punyanya Adhyaksa Corporate di Bandung kalo bukan karena dokter Khrisna adalah orang baik?"

Gue tidak menjawab, masih tenggelam dalam tatapannya yang dalam.

"Dokter Khrisna sayang banget ya sama mbak Freya? Dokter Khrisna kakak yang baik, baiiikk banget. Makasih."

"Kenapa kamu yang berterimakasih?"

"Gak kenapa-napa, cuma pengen bilang makasih aja. Makasih, ya, dokter Khrisna."

Senyumannya yang tulus itu memiliki sifat menular sehingga gue ikut melakukan hal serupa. Tangannya terulur, dia mengusap kepala gue beberapa kali layaknya gue ini adalah seorang anak kecil yang pantas mendapat pujian setelah melakukan kebaikan. Dada gue menghangat, lalu dengan lancang gue menarik tubuhnya, memeluk perempuan yang sedikit kebingungan namun tak berani memberontak dari dalam dekapan.

"Keputusan saya benar kan, Ssy?" Bisik gue pelan.

Dia mengusap punggung gue ragu, "Iya, benar. Dokter Khrisna udah melakukan hal yang benar."

"Freya gak akan marah kalo tau kan, Ssy?"

Karena yang gue takutkan sekarang adalah tanggapan Freya nanti saat tahu kalau gue akan mengambil alih Rumah Sakit Yaksa Siaga demi melepaskan dirinya dari segala sesuatu yang ada di Scotland sana.

"Mbak Freya akan ngerti kok, dok." Tepukannya berhenti, "Udah belum peluknya? Badan dokter Khrisna berat."

"Gak mau, kamu diem dulu." Gue semakin menekan badannya, "Kalo protes, bayi hiu kamu saya ambil lagi."

"Jangan! Iya, peluk!" Kedua tangannya membalas pelukan gue dengan sama erat. Namun bedanya, cewek bloon ini melakukan hal tersebut karena takut kehilangan seekor ikan piranha yang gue berikan kepadanya satu minggu lalu. Lagi-lagi gue cuma bisa terkekeh, tanpa memiliki sedikitpun niat untuk menjauh dari pelukannya.

Perlahan, gue menarik napas dalam-dalam. Pikiran gue gak jernih hari ini. Semenjak melihat kondisi Freya yang benar-benar frustrasi kemarin sore ketika pertama kali datang ke rumah gue, gue jadi marah tanpa sebab dan berambisi buat mengabulkan permintaannya yang justru tidak seberapa. Jika saudara lain saling berebutan untuk menjadi pemimpin perusahaan keluarga, lain halnya dengan gue dan Freya yang justru berlomba untuk menghindar dari sana.

Masa muda Freya habis seluruhnya oleh pekerjaan. Dia gak bisa kayak cewek lain seusianya karena harus mendedikasikan diri pada perusahaan. Dia gak bisa hangout di akhir pekan, dia gak bisa kenalan sama cowok sampai jadian, bahkan sepertinya bisa tidur satu jam per hari pun sudah menjadi hadiah paling besar buat dia. Di satu sisi, gue ngerasa bersalah. Karena kalau aja gue gak minggat dari rumah, mungkin yang kini merasakan semua hal mengerikan itu adalah gue, bukan malah Freya.

"Haaahh." Napas gue terhembus kasar, masih sedikit gak percaya bahwa Khrisna Adhyaksa yang udah berkomitmen buat gak menghandle apapun dari salah satu bisnis bokapnya akan berujung seperti ini. "Lussy, kamu mau punya pacar direktur rumah sakit gak?" tanya gue.

"Mau, kaya soalnya, keren juga punya jabatan." Jawabnya polos, kini gue telah melepaskan pelukannya karena tampaknya Lussy beneran keberatan pas gue numpu dagu di bahunya.

"Yakin mau?"

Dia mengangguk mantap, "Iya, mau. Apalagi kalo ganteng, tiap cewek juga mau. Kenapa emang?"

Bolot atau tolol sih? Perasaan dia denger semua yang diomongin bokap gue deh tadi.

"Soalnya kalo kamu mau, saya bakalan ikhlas ngejalanin peran jadi direktur RS Yaksa Siaga."

"Hah?" Keningnya agak mengkerut, "Kalo dokter Khrisna beneran jadi direktur disana, terus ... UGD RSJ gimana?"

"Gak gimana-gimana, saya tetep disana, sama kamu."

Mungkin.

Mungkin gue bisa aja tetap disana, atau justru pergi dari sana.

"Yaudah kalo gitu, yang penting sih dokter Khrisna tetep di RSJ, hehe." Haha-hehe Lussy seketika mengingatkan gue sama kebiasaan Arthur. "Oh iya, emang dokter Khrisna mau jadi pacar saya? Suka gitu sama saya?"

Melihat gue yang sudah turun dari dalam sana, Lussy mengikuti. Kita menutup pintu mobil hampir bersamaan, lantas berjalan berdampingan menuju pintu masuk indomaret untuk sekedar membeli makanan ringan. Gue merangkul bahunya, entah kenapa akhir-akhir ini gue mengaku kalo gue jadi lebih agresif dan protektif sama Lussy. Abis anaknya tolol banget, perlu dilindungi kayak satwa langka.

"Kamu mau main logika sama saya gak?" Gue mendekat kearah mesin seduh kopi otomatis yang bersebelahan dengan etalase berisi roti-rotian. "Menurut kamu, kenapa saya selalu antar jemput kamu setiap hari buat kerja? Kenapa saya sering bawa kamu ke rumah? Kenapa saya juga sering ajakin kamu jalan? Dan ... kenapa saya bawa kamu kesini disaat semestinya gak boleh ada orang yang tau soal ini?"

Setelah menekan tulisan 'coffee latte' pada mesin tersebut, Lussy menjawab. "Karena ... dokter Khrisna ... kakak saya?"

Anjing.

Gemes banget gue, pengen gigitin orangnya sampe bergelar almarhumah.

"Yang di pikiran kamu cuma itu?" Tanya gue kesal.

"Enggak sih, tapi saya gak percaya aja kalo jawaban saya yang lain benar."

"Jawaban kamu yang lain itu apa?"

"Dokter Khrisna suka ke saya, beneran suka."

Gue tersenyum miring lalu membawa membawa gelas kopi kilik gue ke kasir. Sebelumnya gue telah mengambil dua roti tuna untuk mengganjal perut kita berdua. Perempuan itu tetap mengekor di belakang, namun tak lagi berani bersuara meski saat itu kita berdua sudah duduk bersebelahan di kursi dan meja didepan minimarket.

"Hidup saya itu ... begini." Tanpa alasan yang jelas, gue mulai bercerita. "Dari dulu saya gak pernah kepikiran buat suka sama orang. Tapi gak tau kenapa, semenjak ketemu cewek bloon yang kalo udah kumat tololnya kayak minta dikarungin terus dibuang gitu, saya tiba-tiba kepikiran soal masa depan. Haha."

"Saya gak bisa ngutarain perasaan kayak cowok lain, sok romantis, atau apa lah. Saya cuma ngomong ini sekali aja sama kamu, jadi kamu harus dengarkan baik-baik supaya gak usah nanya lagi." Karena gue benci untuk mengatakan hal yang sama sebanyak dua— atau berkali-kali. "Saya suka sama kamu, bukan lagi sebagai teman, tapi sebagai lelaki pada perempuan."

Tiupannya pada bibir gelas karton yang dia pegang terhenti. Sesaat otaknya yang ber-spek rendah itu sempat loading cukup lama sebelum akhirnya dia memasang raut terkejut pada wajahnya. "T-tapi kan, saya ... " ucapnya terbata, "dokter Khrisna gak salah? Dokter Khrisna gak malu suka sama saya? Kita beda banget, dalam segala hal."

Sebelah alis gue yang terangkat sudah cukup mewakili sebuah kalimat 'memang kenapa?'

"Dokter Khrisna cerdas, saya enggak. Dokter Khrisna mapan, kaya, saya biasa aja. Dokter Khrisna tampan, saya ... kentang. Dokter Khrisna itu sempurna, sementara saya ... "

"Jadi kamu gak mau?" Satu lagi deh, gue gak suka sama jawaban yang bertele-tele. "Alasannya apa selain tiga yang gak logis tadi? Karena keadaan keluarga saya? Maaf karena kamu harus liat kejadian kayak tadi, saya bukannya gak respect sama orang tua, tetapi ... mungkin kamu akan tau detailnya nanti, kalau udah makin dekat sama saya."

"Bukan, bukan itu kok." Tangannya bergerak untuk membuka kemasan roti tuna yang entah kenapa menurut gue kurang menggugah selera itu. "Cuma ngerasa gak sebanding aja, saya minder, hehe."

"Lussyana, liat sini." Gue menyentuh dagunya hingga dengan terpaksa wajahnya tertoleh kepada gue, "Saya gak suka ya kalo keinginan saya gak dikabulkan. Pokoknya. kamu. punya saya."

"Loh? Kok gitu?" Pekiknya tak terima, "Kan yang namanya nembak itu cewek punya dua pilihan, nerima atau nolak."

"Dan kamu nolak? Kalo gitu sana pulang sendiri."

"Jahat banget mamaaaaa dokter Khrisna-nya!" Kakinya menghentak kencang diatas lantai minimarket, "Itu mah pemaksaan namanya."

"Loh? Emang saya nawarin? Saya kan maksa, kamu. harus. jadi. punya. saya."

"Gak mau, saya belum mau pacaran."

"Harus mau, soalnya saya suka sama kamu."

Dia diam, pun dengan gue yang baru sadar kalau barusan gue mengakui perasaan secara gamblang.

"Kalo gak mau, besok saya sebarin ke seluruh RSJ kalo kamu pelukan sama saya di mobil."

"Jangan!" Jengitnya kencang, "Yaudah deh, saya mau."

Senyuman gue melebar, "Mau apa?"

"Mau jadi punyanya dokter Khrisna."

"Pinter." Gue menepuk puncak kepalanya dua kali, "Makasih ya udah temenin saya hari ini. Seenggaknya, karena ada kamu, saya bisa tahan diri buat ngelakuin hal-hal yang kurang ajar sama Papa saya."

"Iya, sama-sama." Jawabnya, "Se-gak suka apapun dokter Khrisna sama Papa dan Mamanya, dokter Khrisna tetep gak boleh jahat sama mereka. Harus tetep baik, tetep hormat, karena sampai kapanpun yang namanya orang tua itu gak bisa ganti status jadi bekas orang tua atau semacamnya."

"Nanti, kalo misal dokter Khrisna capek, dokter Khrisna cari saya aja. Saya kan sekarang punyanya dokter Khrisna, jadi kalo misal dokter Khrisna mau cerita, mau cari hiburan, dokter Khrisna ke saya aja."

Tanpa lo minta pun, gue udah begitu kok, Ssy.

Si penikmat kesendirian ini mulai benci menyendiri. Gue selalu pengen ditemani, berbicara banyak hal soal sesuatu yang gak penting untuk sekedar menghibur diri. Gue juga gak ngerti, masih gak paham kenapa orang yang gue cari dan gue butuhkan itu harus diri lo, Lussyana, si oon yang sayang banget sama ikan piranha bernama bayi hiu.

Kalau seandainya salah satu dari Manjiw tau gimana gobloknya gue hari ini, sudah dipastikan gue akan menjadi bulan-bulanan mereka selama seminggu kedepan. Selama perjalanan pulang, gue tak sedetik pun melepaskan genggaman gue pada tangan kanannya. Bukan bucin, lebih ke ... nyaman aja kali ya? Pasalnya, perasaan gue yang kalut karena kejadian tadi bisa tenang gitu aja hanya dengan melakukan hal sesederhana ini.

Gue memulangkan Lussy di jam lima sore, bertepatan dengan Arthur yang juga baru pulang dari Rumah Sakit. Matanya menatap gue tajam, kemudian jari telunjuk dan jari tengahnya dia dekatkan pada matanya lalu balik diarahkan kepada gue dari kejauhan. Alih-alih takut oleh ancaman Arthur, gue malah ketawa sambil mencebikkan bibir kearahnya.

"Istirahat ya, makasih buat hari ini, saya bahagia."

"Dokter Khrisna hebat!" Entah tujuannya apa, namun sekarang perempuan yang rambutnya mulai acak-acakan itu mengepalkan tangannya ke udara. "Saya juga bahagia karena bisa nemenin dokter Khrisna. Hati-hati dijalan, sampai ketemu besok."

Sebelum membiarkannya masuk kedalam pagar rumah, sesegera mungkin gue mencekal pergelangan tangannya. "Kan udah bukan temen, pamitnya gak boleh cuma itu aja."

Kepalanya sedikit miring; bingung. "Terus gimana?"

"Sini, saya kasih tau." Gue memegang kedua sisi wajahnya, kemudian mempertipis jarak antara gue dan juga dirinya hingga bibir gue mendarat di keningnya. Sekejap, sekilas, bahkan gue sendiri ragu apakah kecupan itu memakan waktu satu detik atau justru hanya nol koma saja.

"Gitu." kata gue.

Dia gelagapan, "d-dok, itu ... saya ... pertama kali."

"Saya juga." gue memastikan, "Jangan khawatir, saya bertanggung jawab kok, kan saya udah bilang dari dulu. Tunggu aja, setelah kondisinya kondusif saya pasti pertanggungjawabkan semuanya ke kamu."

Tanpa mengatakan apapun lagi, gue langsung masuk kedalam mobil dengan jantung yang bergemuruh kencang. Perempuan itu masih mematung di tempatnya ketika gue melihat dia melalui kaca spion. Siapapun tolong bantu gue, lain kali kalo gue lagi stress kayak gini, tolong jauhkan gue dari Lussy supaya gue gak berbuat macam-macam sama dia.

Seluruh wajah dan badan gue memanas, bahkan ketika gue sampai ke rumah pun, badan gue masih gemeteran. Nyaris aja gue berteriak frustrasi, bukan karena kasus antara gue dan bokap lagi, tapi karena kelancangan gue yang udah seberani itu buat ngapa-ngapain anak orang. Lo beneran udah gila, Khris, dewa dari Vrindavan pasti bakalan marah banget sama lo kalau tau kelakuan lo kayak gini.

Bentar, kok gua juga makin goblok gini sih sampe keingetan Vrindavan segala?

Anjing emang si Arthur, racun banget omongannya.

"Dari Jakarta abis ngapain lo?"

"Gak gue apa-apain anaknya, serius."

"Khris?"

Goblok. Khrisna goblok.

Kenapa sih pertanyaan Freya di telinga gue malah kedengeran kayak 'Anak orang abis diapain sama lo?'

"Eh, apa tadi?"

"Abis ngapain lo dari Jakarta?"

Pasti Dipta yang ngasih tau. Kalo enggak, ini cewek buka bekas chat antara gue sama Dipta makanya bisa tau.

"Menurut gue sih lo udah tau gue ngapain kesana."

"Oke gue ganti, ngapain ketemu bokap?"

"Pengen aja, udah gue urus semuanya lagian, lo gak akan dipaksa balik ke Scotland." Gue melepas beberapa kancing kemeja lalu duduk diatas sofa, diikuti oleh Freya yang kini menjatuhkan dirinya disebelah gue. "Diem aja sama gue disini, sampe cowok lo nikahin lo. Mudah-mudahan Dipta seterusnya gak sadar ya supaya beneran ngawinin lo."

"Khris, gue tau Papa kayak apa. Give and take-nya apa? Lo gak ... ke Scotland buat gantiin gue kan?"

"Najis, emang gua kakak apaan yang sebaik itu sama adeknya?" Gue menatapnya jijik, "Udah pokoknya lo tau beres aja, ribet banget."

"Bilang sama gue give and take-nya apa." Gue kesel banget kalo Freya udah cengeng gini. Suaranya bergetar, matanya juga berkaca-kaca, sukses membuat gue menarik napas panjang sembari menatapnya dalam.

"No need to know, itu urusan gue. Hidup aja yang bener disini, tenangin diri lo, jadi diri lo, dan lakukan semua yang belum pernah lo lakukan selama di Scotland sana. Ngerti lo, Freya Oswald Adhyaksa?"

"Gue gak mau kalo yang terbebani sekarang adalah lo. Gue gak mau kalo misal lo berkorban buat gue. Gue gak mau, Khris." Gue masih mendengarkan, "Idup lo juga sama beratnya sama gue, dan sekarang lo lagi bahagia-bahagianya disini, gue gak mau gue ngerusak itu karena keegoisan gue."

"Gak ada yang egois, gue ikhlas, gimanapun lo adik gue, dan gak ada satu pun kakak yang gak peduli sama adiknya, termasuk gue." Air mata Freya semakin deras, lalu dia semakin mendekat kearah gue hingga kini tubuhnya menabrak tubuh gue cepat. "RS Yaksa Siaga, cuma itu." ucap gue tanpa penjelasan lebih.

"I'm sorry, thank you." Ucapnya disela-sela isakannya.

Karena kalau gue bisa baik sama orang lain, maka gue juga bisa sangat baik sama adik gue sendiri.

Meskipun ada sebagian hal yang mungkin harus gue lepaskan didalam hidup gue sekarang, gue gak keberatan karena bagi gue lo lebih penting dari beberapa yang juga penting.

✡️✡️✡️

Karena aku sedang oleng ke Woozi, maka part ini aku dedikasikan khusus untuk Khrisna Adhyaksa dengan 4400 kata!

Selamat hari raya semuanya!

Dan selamat ... Hari Kejepit Nasional di keesokan hari ehehehe

Siapa yang besok masih masuk kerja padahal kagok banget lusa-nya Minggu? :(((( Zbl teteh kantin, zbl

Czytaj Dalej

To Też Polubisz

382K 39.5K 35
Menceritakan tentang seorang anak manis yang tinggal dengan papa kesayangannya dan lika-liku kehidupannya. ° hanya karangan semata, jangan melibatkan...
18K 4K 22
🕊 la confianza series : jisung jiheon🕊 awalnya jisung penasaran gara-gara renjun ke la confianza, tapi malah jatuh hati sama tetangga. 'la confianz...
4.9K 1.7K 40
[ kim doyoung ] Yang melepas dan yang dilepas harus ikhlas. Kalau kembali, artinya Tuhan mengimbali. Karena yang ikhlas pasti akan berbalas. Sedangka...
141K 25K 64
Lautan, satu kata yang memiliki arti berbeda di diri setiap orang. Ada yang mencintai bentangan perairan biru bernama lautan itu dengan tulus dan ikh...