Clap along if you feel like happiness is the truth
***
"Gue bangga sama kalian." kata Anna sambil tersenyum setelah mendengar cerita Desi dan Dipo tentang kemarin di kantor polisi.
"Gue sih lebih bangga sama sebelah gue. Hebat dan kuat banget." Dipo melirik ke arah Desi yang menatapnya balik.
Desi bingung. "Lah kok aku? Kamu lah!"
"Kemarin yang terus megang tangan aku siapa? Yang terus meluk aku dari awal hingga akhir siapa? Yang bantuin aku jelasin ke polisi pas aku kehabisan kata-kata siapa? Yang berani membantah semua perkataan Ferni tepat di depan komuknya?" Dipo menatap Desi dengan lembut. Tangan kanannya berada pada dagu Desi yang sekarang sedang malu-malu.
"That's because I love you..." Desi melepaskan tangan Dipo yang berada didagunya kemudian bergerak maju sehingga wajahnya dan wajah Dipo hanya berjarak satu kepalan tangan.
Anna dengan sigap berdiri dan memisakan mereka. "UDAH UDAH iye gue tahu lo semua hebat. Kalau Bu Susi mergokin lo lagi gimana?"
Decak tawa terdengar dari Desi dan Dipo. "Iri bilang boss."
Anna mendorong hidungnya sendiri hingga seperti hidung babi. "PDA lo semua!"
"Patent ductus arteriosus? Kelainan jantung?" tanya Desi bingung.
Desahan Anna terdengar berat. "PUBLIC DISPLAY AFFECTION. Gue tau cita-cita lo mau jadi dokter, tapi masa singkatan gitu aja gak tahu!" decak Anna kesal.
Desi dan Dipo terkekeh mendengar pernyataan dari Anna serta aura kecemburuannya. Mereka tahu, Anna kesal karena tidak bisa berbuat seperti apa yang Desi dan Dipo lakukan. Hubungannya dengan Pak Harry memang belum diketahui oleh siapa-siapa, selain mereka berdua. Anna merahasiakan ini karena tidak mau Pak Harry bermasalah dengan siapapun, terutama sekolah. Memang hubungan mereka terbentur dengan peraturan sekolah yang tidak memperbolehkan adanya hubungan khusus antara guru dan murid.
Anna sebenarnya merasa tidak enak karena belum memberi tahu orang tuanya. Memang, hubungan antara Anna dan Mama Papanya sangat dekat. Mereka seharusnya mengetahui semua keseharian Anna. Namun setelah dipikir, Papanya adalah saudara dari Bu Tia, yang notabene adalah mantan guru yang digantikan oleh Pak Harry di sekolah Anna. Pasti akan terasa aneh jika mengetahui anaknya menjalin hubungan dengan guru pengganti dari saudaranya.
Sesudah bel masuk berbunyi, Anna mengeluarkan buku tulis dan buku paket Biologi dari dalam tasnya. Desi serta teman sekelasnya juga melakukan hal yang sama, sebelum guru mereka yaitu Bu Susi masuk ke dalam kelas.
***
Lantunan musik pop tahun 2010an terdengar dari pemutar musik di ruang tengah dari kamar Pak Harry. Malam itu, Anna membantunya memasak makan malam dengan mencuci bersih dada dan paha ayam. Rencananya, mereka ingin membuat ulang masakan yang ditontonnya di salah satu acara TV.
Pak Harry mencincang bawang dan cabai, setelah itu memanaskan minyak dan mulai menumis semua bumbunya. Anna berada di balik badannya karena takut terkena cipratan minyak yang menurutnya sangat panas dan akan melukai kulitnya.
Anna membantu dengan menaburkan gula, garam, lada, dan sebagainya ke makanan yang sedang digoreng. Dan bantu mencicipi, tentu saja.
"Pas!" sahut Anna sambil mengacungkan jempol.
Pak Harry tidak langsung percaya. Diambilnya sendok bekas Anna dan mencicipi masakannya. "Hmm... Iya pas."
Anna berkacang pinggang. "Kok gak percaya sama perkataan saya sih, Pak?"
Pak Harry mengaduk makannya dan mematikan kompor. Lap dapur sengaja ditaruh dipundaknya sewaktu-waktu dibutuhkan untuk memindahkan wajan yang panas ke sisi kiri kompor.
"Pass me the plate, honey?"
Alih-alih menjawab pertanyaan Anna, Pak Harry malah meminta tolong dirinya mengambilkan piring untuk menaruh ayam yang sudah matang. Anna mendengkus dan tetap mengambilkan piring, meski dengan tatapan tidak ikhlas.
Pak Harry mencium pipi Anna cepat.
"Percaya kok. Saya cuma mau menggunakan sendok bekas kamu."
Seketika pipi Anna memerah. Rasa kesalnya pergi dan diganti dengan ribuan kupu-kupu yang sepertinya bersemayam di perutnya dan tidak ingin pergi.
Anna masih mengingat tentang Desi dan Dipo, bagaimana bahagianya mereka bisa menampilkan kemesraan mereka di depan publik. Saat makan pun, Anna tidak melontarkan pertanyaan-pertanyaan unik khas Anna ke Pak Harry. Dirinya lebih banyak diam dan mengunyah, sesekali menjawab pertanyaan dari Pak Harry atau hanya mendengarkan cerita Pak Harry.
Pak Harry dengan cekatan menaruh piring yang sudah kosong ke dalam wastafel.
"Oke. Ada apa?" tanyanya di dapur di sebelah Anna yang sedang memotong mangga.
Anna terus memotong mangga tanpa melihat Pak Harry. "Apa, apa?"
"Well, kamu diam. Kamu gak banyak bercerita. Kamu cuma menanggapi pertanyaan saya sekedarnya. Kamu hanya mendengarkan. This isn't Anna."
Anna membawa mangga hasil potongannya ke ruang tengah dan menaruhnya di meja depan TV. Lalu kembali ke dapur untuk cuci tangan tanpa mempedulikan pertanyaan Pak Harry. Anna menghentikan suara musik dari pemutar musik.
"Hey." Pak Harry memeluk pinggang Anna.
Anna memejamkan mata. Pelukannya terasa nyaman. Dibalikan badannya sehingga ia dan Pak Harry bertatapan satu sama lain. Ditaruh salah satu tangannya di dada keras Pak Harry dan tangannya yang lain memegang tangan Pak Harry yang sedang memeluk pinggangnya.
"Iri."
Pak Harry terperangah. "Sama?"
Anna menarik tangan Pak Harry menuntunnya menuju sofa ruang tengah. Anna terdudk di sofa lalu Pak Harry mengikutinya.
"Saya tahu ini belum genap dua minggu, tapi saya ingin lebih dekat. Saya ingin menunjukan ke dunia bahwa..." Anna tidak melanjutkan kalimatnya karena malu.
Pak Harry langsung paham dengan apa yang ingin dikatakan oleh Anna. "Hmm." Pak Harry mengangguk.
Anna menatap kedua mata Pak Harry yang besar sambil cemberut. "Saya kekanak-kanakan." akunya.
Tangan kanan Pak Harry membelai lembut rambut Anna. "No no no. Sangat wajar jika kamu ingin seperti itu. Saya paham. Saya sangat paham sekali."
"Terkadang saya suka iri melihat Desi dan Dipo berdua. Bahkan sebelum mereka jadian, mereka selalu berdua. Kemana-mana berdua, apa-apa berdua. Tanpa merasa takut dihakimi oleh orang lain, karena memang tidak ada yang menghakimi. Lalu saya melihat kita. Gak mungkin kan ngelakuin ini diluar apartemen?"
Bibir Anna mengkerut.
Pak Harry mendengarnya dengan seksama.
"Kamu benar."
"Maafkan saya Pak. Seharusnya saya lebih banyak bersyukur."
"Ya. Memang."
Anna melirik Pak Harry. Tidak ada tanda-tanda kesal atau marah dari perkataan maupun nada bicara Pak Harry. Anna mendengarnya lebih ke arah memaklumi, dari pada menghakimi.
Anna menyenderkan badannya ke punggung sofa.
Pak Harry mendekatinya dengan menindihnya seperti ingin menciumnya. Anna kaget dan mendorong badan Pak Harry menjauh, membuat Pak Harry terjatuh dan tertawa.
"Katanya mau lebih dekat?"
"BUKAN GITU MAKSUDNYA!!!" teriak Anna frustasi.
Tawa Pak Harry makin membesar mendengar teriakan Anna barusan. Sebenarnya, Pak Harry sudah mengetahui apa yang Anna mau. Hanya saja ia ingin sekali-kali menjahili kekasihnya ini.
"Anna, Anna. Saya tahu, saya hanya meledek kamu."
"Perv!"
Pak Harry bukannya sakit hati, malah memeluk dengan gemas. Menurutnya, Anna sangat lucu hingga ia tidak ingin melepas Anna dari pelukannya. Sementara Anna hanya memberontak ingin dilepaskan meski pada lubuk hatinya dia tidak ingin melepaskan. Semua hanya karena gengsi Anna yang begitu besar.
"Saya maunya tuh jalan-jalan sama Pak Harry. Pegangan tangan, ciuman di depan orang-orang, mengelus rambut Pak Harry, menggelitik Pak Harry, memeluk Pak Harry di depan orang-orang sampai saya puas. Saya mau! Tapi saya juga tahu kalau itu gak mungkin. Ya untuk saat ini."
Pak Harry membenarkan letak kaca matanya. "Padahal saya ingin kamu bersabar, An."
"Iyaaa memang," Anna memeluk bantal sofa dengan frustasi. "Maaf maaf maaf!"
Pak Harry lalu menuju ke ruang tidurnya dan menutup pintunya. Anna melirik dan merasa tidak enak dengan perkataanya barusan. Seharusnya ia bisa lebih bersabar. Setidaknya ia sudah memiliki Pak Harry. Itu yang terpenting.
Anna berjalan menuju pintu ruang tidur Pak Harry lalu mengetuknya lembut. "Pak?"
Tidak ada jawaban.
"Pak maaf, saya...nggak lagi deh... Suwer."
Tiba-tiba pintu kamar Pak Harry terbuka. Pak Harry muncul dengan wajah senang sambil memegang dua buah kertas. Anna melirik kertas itu dengan heran.
"Apaan ini?"
"Saya bilang kan, padahal saya ingin kamu untuk lebih bersabar. Seharusnya ini kejutan setelah UN nanti. Saat kamu sudah bukan lagi murid saya."
Anna dengan cepat merebut kertas di tangan Pak Harry. Anna terbelalak senang begitu membaca tulisan yang tertera di kertas itu.
Boarding Pass - Economy Class
Harry Widianto
Irianna Putri
7MAY
CGK - KOE
"PAK????"
"Rencana saya jadi berantakan. Kamu sih."
Anna memeluk Pak Harry dengan senang. "Kita ke Nusa Tenggara Timur?"
***