Dear, Imam Ku

Autorstwa Aifhyma

5.1K 3.1K 1.2K

"Dear, Imam Ku❤ Jika suatu hari nanti kau lah satu-satunya pria yang ku beri julukan itu atas izin Allah, mak... Więcej

Opening ⛅
Prolog
Chapter 1
Chapter 2
Chapter 3
Chapter 5
Chapter 6
Chapter 7
Chapter 8
Chapter 9
Chapter 10
Chapter 11
Chapter 12
Chapter 13
Chapter 14
Chapter 15
Chapter 16
Chapter 17
Chapter 18
Chapter 19

Chapter 4

300 209 81
Autorstwa Aifhyma

"Aku adalah aku! Dan tidak akan mungkin bisa seperti dia ataupun mereka! Karena yang seperti aku tidak akan ada!"
⭐⭐⭐

Setelah melaksanakan sholat Isya, aku mulai berkutik dengan tugas-tugasku di kamar. Bukan hanya aku saja, tetapi juga ada Syifa yang tengah belajar di atas tempat tidur. Sementara aku di meja belajar, karena aku tidak bisa menulis sambil menelungkup. Kita tidak saling bicara dan sama-sama fokus dengan tugas masing-masing.

"Syah, dosen baru itu ganteng yah." Kata Syifa buka suara.

Sejenak aku menghentikan gerakkan pulpen ku, kemudian melanjutkannya lagi dan berkata, "Trus kenapa kalo ganteng, kamu suka?" Tanyaku tanpa menoleh.

"Lumayan tertarik sih.. Dia itu cool, keren, bijak mungkin, masih muda udah sukses!" Jawab Syifa memuji Prof. Hafiz.

Aku hanya menyumbingkan sedikit senyumku setelah mendengarnya, kemudian menoleh padanya, "Kalo seandainya dia juga tertarik sama kamu, trus dia ngajak kamu nikah, gimana? Apa kamu mau?" Tanyaku.

Aku melihat Syifa tersenyum sebelum akhirnya dia menjawab, "Mana mungkin bisa secepat itu, Syah. Aku kan udah janji sama almarhum Mama Papa, kalo aku gak akan nikah sebelum wisuda. Entah itu wisuda S1, atau S2. Lagiankan prinsip aku gak akan terima pria manapun sebelum aku mendapatkan gelar sarjana." Jawab Syifa serius.

Jika itu adalah prinsip Syifa, maka prinsipku adalah tidak akan pacaran sebelum halal.

Dulu Bunda pernah bilang, kalau wanita sholehah itu tidak pacaran. Karena pacaran itu akan menjerumuskan pada maksiat. Dan Allah sangat tidak menyukainya! Mungkin pacaran memang tidak selalu berakhir zina. Tapi hampir semua zina diawali dengan pacaran. Sementara dalam Al-Qur'an tertulis firman Allah SWT, "Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan suatu jalan yang buruk." (Q.S. Al Isra:32)

Sering kali Syifa memuji pria seperti itu, namun ketika aku tanya jawabannya selalu sama dan tidak pernah berubah. Entah kenapa aku bisa bernapas lega sekarang. Aku merasa sebagian beban di pundakku lepas begitu saja. Apa ini artinya aku sedang bersyukur karena kemungkinan Zeyn untuk bisa bersama dengan Syifa sangatlah kecil? Tapi kenapa hatiku jadi tidak tega kalau Syifa tidak bisa membalas perasaan Zeyn? Astaghfirullah, apa ini yang sedang ku pikirkan. Untuk apa aku harus merasa senang di antara masalah mereka?

Aku harus tetap memutuskan kalau aku akan mengikhlaskan perasaan ini. Akan aku kubur dalam-dalam perasaan ini dan tidak ada lagi yang namanya cinta dalam diamku untuknya. Aku tidak boleh egois dengan hal yang tidak bisa ku miliki. Karena aku tahu, Allah sudah mengatur jodoh hamba-Nya masing-masing. Termasuk aku.

"Oh iya, Fa! Aku ingat dulu kamu pernah bilang, kalau kamu menyimpan rasa pada seseorang sejak masih di bangku SMA. Trus sekarang gimana, apa kamu masih mencintai pria itu?" Aku menanyakan kembali hal yang dulu pernah di ceritakan Syifa padaku. Tetapi dia tidak menjawab pertanyaanku, melainkan dia hanya tersenyum dan sedikit mengangguk. Yang artinya iya, dia masih mencintai pria itu.

Aku semakin penasaran, sebenarnya siapa pria yang dicintai oleh Syifa itu? Kita sama-sama mencintai masing-masing seorang pria sejak SMA secara diam-diam, tetapi kita tidak pernah mau menyebutkan nama pria itu antara satu dan yang lainnya.

"Hmm, memangnya pria itu siapa Fa?"

"Bukan siapa-siapa kok, Syah! Entar kalo udah waktunya aku kasih tau. Atau mungkin gak sama sekali," Jawab Syifa seraya tersenyum padaku.

"Lho, kenapa gitu Fa?" Tanyaku penasaran, karena sepertinya ada yang sedang ditutupi oleh Syifa dariku. Memang selama ini dia adalah orang yang suka berbagi cerita padaku tentang semua masalah dan keluhannya semenjak kita tinggal bersama. Tetapi Syifa tidak pernah bercerita tentang pria yang dia cintai.

Syifa terlihat sedang menarik dalam napasnya, dan merubah posisi yang tadinya menelungkup, sekarang duduk, "Aku rasa dia juga mencintai wanita lain, Syah!" Jawab Syifa dengan raut wajah kecewa tanpa menatapku.

Begitu aneh kan, aku mencintai seorang pria yang mencintai wanita lain, yaitu Syifa. Dan Syifa juga mencintai seorang pria, yang dia sendiri mengira kalau pria itu juga sedang mencintai wanita lain?

"Syah, dengar deh! Dibawah kayak lagi ada keributan. Aku juga mendengar adanya suara Ayah disana," Ujar Syifa yang membuat pikiranku terfokus dengan apa yang dia katakan. Dan ternyata benar, aku juga bisa mendengarnya. Tapi samar dan tak jelas dengan apa yang sedang mereka ributkan di bawah sana.

Sontak aku dan Syifa terkejut saat ada yang tiba-tiba membuka pintu kamar tanpa memberi aba-aba terlebih dulu.

"Aisyah! Ayo turun, Ayah ingin bicara sama kamu!" Kata Kak Tari yang membuat aku langsung meninggalkan tugasku dengan setumpukkan buku di atas meja.

"Bunda," Kataku langsung menghampiri Bunda yang tengah duduk dengan raut wajah sedihnya di sofa. Sementara Ayah masih berdiri dan terlihat sedang emosi dengan wajah yang memerah disana.

"Aisyah!! Sebenarnya apa lagi masalahmu dengan Ayah? Kenapa lagi-lagi kamu memancing emosi Ayah? Apa kamu ingin Ayah benar-benar pergi dari dunia ini?" Sederetan pertanyaan mulai di lontarkan Ayah yang membuat tulang belulangku terasa melemah sekarang. Bahkan aku merasa kalau kakiku tengah gemetar di bawah sana.

Namun perlahan aku berdiri dan menjawab pertanyaan dari Ayah, "Masalah apa yang Ayah maksud? Aisyah gak ngerti____"

Jawabanku terpotong oleh Ayah yang membuatku sedikit terperanjat, "Untuk apa kamu memasukkan lamaran pekerjaan part time di Kemuning Resto, huhh? Apa kamu mau Ayah di anggap pengecut oleh orang-orang di luar sana? Apa kamu mau semua rekan bisnis Ayah dan Zakky menertawakan kita? Aisyah! Apa kamu tidak bisa menghargai Ayah sedikitpun juga?" Tanya Ayah dengan sedikit bentakkan.

Seketika wajahku memanas dan mata ini begitu mudah mengalirkan airnya, "Ayah tahu darimana kalo Aisyah____"

Lagi-lagi ucapanku langsung di potong oleh Ayah, "Pemilik resto itu adalah teman Ayah sendiri. Sekarang katakan pada Ayah, kamu perlu uang untuk apa sehingga kamu ingin kerja di luar jam kuliah kamu!"

Sejenak aku memalingkan wajahku dan mengusap airmata yang tanpa henti mengaliri wajahku, "Aku tidak ingin terus-terusan merasa dikekang oleh sikap Ayah yang begitu ambisius terhadap nilai dan pendidikanku selama ini. Aku tidak mau terus menerus membuat Ayah kecewa karena nilai ku rendah. Aku hanya tidak mau membuat Ayah merasa rugi karena telah bersusah payah membiayai pendidikanku selama ini, sementara aku tidak bisa membuat Ayah bangga. Dan aku tidak suka dengan cara Ayah yang selalu membandingkan nilai pendidikanku dengan Ellya dan juga Syifa!" Jawabku beriringan dengan airmata yang terus mengaliri wajahku. Dengan keberanian yang cukup, aku mengatakan semuanya pada Ayah. Semua hal yang membebani hidupku selama ini. Ayah mengusap wajah frustasi dan menarik napasnya kemudian melepasnya kasar.

"Jadi itu alasannya! Aisyah! Kamu itu juga putri Ayah. Ayah ingin suatu saat kamu juga ikut andil dalam mengurus bisnis Ayah kedepannya. Karena Tari tidak bisa Ayah harapkan. Oleh karena itu Ayah mohon sama kamu, tolong jaga martabat Ayah!" Jawab Ayah dengan nada memohon, kemudian melangkah pergi keluar rumah.

Tangisku pecah dan aku kembali terduduk lemah di sofa. Kenapa lagi-lagi Ayah harus memaksaku mengikuti semua kemauannya. Seakan-akan aku merasa adalah sebuah robot yang di kendalikan remot oleh Ayah. Walaupun selama ini Ayah dan Bunda sudah pisah, Ayah memang tidak lepas tanggung jawab dari keluarga ini. Tetapi kenapa harus selalu mengemukakan kehendak dan egonya. Bunda dan Kak Tari memelukku bersamaan, "Bund, apa melakukan pekerjaan yang halal itu juga bisa menjatuhkan martabat seseorang? Hiikkss..hikkss..." Tanyaku di sela-sela isakkan tangis. Bunda hanya menggeleng, kemudian mengecup lembut kepalaku.

"Maafin Kakak ya, Syah! Gara-gara Kakak dulu yang ngotot banget jadi dokter, kamu jadi imbasnya sekarang. Kamu gak bisa meraih apa yang dulu kamu cita-citakan," Kata Kak Tari penuh dengan rasa bersalah seraya ikutan sedih melihatku.

Aku hanya mengangguk tanpa berkata apapun lagi. Hatiku sangat sedih karena lagi-lagi apa yang ku inginkan tidak bisa ku lakukan. Ayah memang tidak pernah berubah dari dulu hingga sekarang, dia selalu mementingkan kedudukan dalam bisnisnya saja. Mungkin Ayah lupa kalau aku juga seorang anak yang berhak punya cita-cita sendiri. Bahkan sebelum Ayah pergi meninggalkan rumah. Apa itu tidak penting menurutnya? Otakku jadi berkecamuk sekarang, belum lagi ada tugas kuliah yang harus aku selesaikan malam ini juga.

Siang ini aku berangkat ke kampus bersama Syifa. Tepat di depan kantin, kita berpapasan dengan Zeyn. Mood ku sangat tidak baik saat ini dan tidak ingin berlama-lama di antara mereka, "Aku ke kelas dulu ya," Ucapku kemudian beranjak meninggalkan mereka, tanpa peduli apa yang akan di katakan oleh Zeyn tentangku.

"Lho, Ai! Kok langsung pergi aja sih?" Panggil Zeyn yang tidak ku respon sama sekali. Aku bahkan tidak berniat untuk cemburu pada mereka saat ini.

Setelah jam mata kuliah PS selesai, sekarang waktunya mata kuliah EI akan di mulai oleh dosen baru itu. Dengan mengenakan celana katun dan kemeja panjang warna hitam di lipat hingga lengan, penampilannya selalu memukau setiap mata kaum Hawa yang memandangnya di kelas ini. Kecuali aku! Aku sama sekali tidak peduli dengan apa yang dia kenakan dan tidak tertarik sama sekali untuk melihatnya. Seperti dia yang tak suka dengan sikap bicaraku, aku juga tidak suka dengan gayanya yang sok keren itu.

"Astaga! Deb, liat tuh! Prof. Hafiz jadi menggunakan kacamata karena ulah mata centil kamu waktu itu," Seru Shellin antusias pada Debby.

"Beneran tuh! Jangan-jangan karena kedipan kamu itu, mata Prof. Hafiz jadi ada kelainan sekarang! Tega banget sih kamu, Deb..." Tambah Sari.

"Iiihh.. Apaan sih kalian! Gitu-gitu kan Prof. Hafiz tetap ganteng.... Syah, belain dong!!" Ujar Debby padaku, aku benar-benar risih dengan cara mereka menilai dosen yang satu itu.

"Duuhh.. Udah dong, gak usah berlebihan gitu!" Protesku tak suka.

"Aisya Zillyana Wilson!"

Lagi-lagi namaku terpanggil lebih awal. Aku langsung menutup pulpenku dan mengangkat tangan kananku, "Hadir Prof." Jawabku malas.

"Kumpulkan tugas kamu kedepan!" Katanya jelas dengan nada memerintahnya.

Tanpa menjawabnya aku langsung berjalan ke depan mengumpulkan tugasku dan meletakkannya di atas meja tanpa berkata-kata. Kemudian berbalik arah menuju tempat dudukku. Namun baru beberapa langkah, dosen itu mengatakan sesuatu, "Berhenti disana!" Katanya seakan-akan menjadi rem dadakan bagi kakiku.

Degg..

Jantungku tiba-tiba berdebar seiring dengan berhentinya langkahku, dan untungnya aku membawa pulpen, jadi tanganku tidak kelihatan sedang gemetar sekarang. Sudahku duga dosen itu akan mengkritik tugasku. Perlahan tapi pasti, aku memutar kembali tubuhku dan menghadap padanya, "Perjuanganmu menyelesaikan tugas ini hingga matamu sembab, sia-sia! Kamu membuatnya asal-asalan. Di dunia bisnis, ini sangat kacau. Karena investor luar negeri begitu teliti soal tawaran kerja sama. Dan kata-kata yang kamu gunakan, sangatlah keliru." Katanya seraya fokus pada lembaran tugasku.

Aku jadi salah tingkah sekarang. Karena rata-rata semua mata sedang tertuju padaku saat ini. Apa sembab di mataku begitu jelas hingga siang-siang begini? Atau hanya karena Prof. Hafiz sendiri yang tengah memakai kacamata berlensa hari ini? Karena masalah tadi malam dengan Ayah, aku jadi tidak fokus mengerjakan tugasku dengan baik. Dan akibat menangis ditambah begadang, akhirnya mataku jadi bengkak begini. Dengan ragu-ragu aku pun buka suara, "Maaf Prof. Saya akan revisi ulang. Dan akan lebih teliti di tugas-tugas selanjutnya." Kataku seraya menunduk memainkan sebuah pulpen yang ada ditanganku tanpa melihat padanya.

"Menurut analisis saya, mahasiswa FEB semester 6 sudah selesai magang. Dan mengingat soal nilai-nilai pengerjaan tugas kamu sebelumnya, boleh saya tahu berapa nilai yang kamu dapatkan di perusahaan tempat kamu magang?" Tanya Prof. Hafiz dengan tatapan menyelidik padaku. Seharusnya dia tidak perlu beranalisa segala dengan ingatannya, karena aku yakin dia sendiri juga tahu soal itu dan pernah berada di posisi itu dulu.

Perlahan aku mulai melihat wajahnya, tetapi tidak menatap matanya secara langsung,
"Maaf Prof. Saya tidak ingat. Tapi yang saya tahu rata-rata nilai saya waktu itu bagus semua Prof." Jawabku dengan percaya diri.

Prof. Hafiz tersenyum sengir mendengarnya, layaknya orang yang sedang tidak yakin dengan kemampuanku. Entah kenapa aku merasa di tampar oleh seringaiannya itu. Merasa tidak suka, aku pun menawarkan sesuatu, "Kalau Prof. tidak percaya, saya akan bawa sertifikatnya besok." Kataku menegaskan.

"It's okey!" Jawabnya santai masih dengan senyum sinis miliknya.

Dia menyerahkan kembali tugasku. Dan aku pun langsung menuju tempat dudukku. Entah kenapa aku merasa di tantang dengan penuh keraguan oleh dosen yang satu itu. Wajar saja kalau memang nilai tugas-tugas ku tidak memuaskan, karena berada di Fakultas Ekonomi Bisnis bukanlah atas kehendakku. Melainkan atas keinginan Ayahku.

Di kantin, aku hanya memesan minuman sejenis jus saja. Mengingat beberapa masalah yang harus di selesaikan, selera makanku jadi hilang.

"Oh iya, Syah! Soal chat kamu tadi malam itu, benar? Kamu gak jadi ngambil kerja part time itu?" Debby menanyakan soal pembahasan kita semalam di WA. Setelah perdebatan dengan Ayah, aku langsung mengabari Debby soal loker tersebut.

Aku tersenyum sambil mengaduk-aduk jus ku dengan sedotannya, "Iya, Deb. Maaf ya, bukannya aku gak menghargai usaha kamu. Tapi____" Ucapanku langsung di potong oleh Debby.

"Udah gak apa-apa. Lagipula kamu tuh ya, ngapain coba mau kerja part time segala. Seorang putri konglomerat itu seharusnya nikmatin hidup di masa kininya," Seru Debby.

"Udahlah Deb, gak usah bahas itu." Kataku malas. Apalagi Sari sudah mulai terlihat bingung dengan topik pembahasan kita.

"Woii! Bengong ajaa," Ujar Debby menepuk tangan Sari, yang membuat Sari terkejut. Kemudian menormalkan kembali mimik wajahnya.

"Syah! Lembaran kosong CV taaruf ku waktu itu masih di kamu kan?" Tanya Sari seraya mengaduk semangkok bakso di depannya.

Aku pun mengangguk dan berkata, "Masih kok. Emang kamu butuhnya kapan, Sar?" Tanyaku setelah mengingat-ingat.

Dia tersenyum lebar, kemudian menjawab, "Aku udah gak butuh, Syah! Buat kamu aja. Soalnya aku pengen fokus sama Prof. Hafiz aja... Heheehe.." Jawabnya terkekeh memperlihatkan barisan giginya.

"Ya udah, tapi saran aku mending gak usah terlalu berlebihan. Kecewa itu gak enak kali, Sar..." Aku memberi saran padanya.

"Iya sih.. Namanya juga orang lagi bermimpi, Syah. Kali aja kenyataankan. Heehehe.." Kata Sari penuh harap.

"Sebelum dia sama kamu, aku harus bisa dapetin tuh dosen duluan!" Sela Debby antusias.

Sari jadi tersendak mendengarnya, "Iiiih.. Apaan sih kamu, Deb! Main nyambar-nyambar aja! Gak baik tau!!" Bantah Sari tak terima.

"Berharap berlebihan itu yang gak baik!! Benarkan, Syah?" Tanya Debby meminta pendapatku.

"Udah deh, atur aja sama kalian! Tapi jangan lupa, jodoh kita masing-masing sudah ada yang ngatur lho." Jawabku seraya tersenyum pada keduanya, karena memang Shellin tidak ikut kita ke kantin saat ini dan memilih pulang lebih awal untuk menemani ibunya yang sakit.

"Tuuhh denger... Jodoh udah ada yang ngatur..."

"Ya kali aja jodoh aku memang Prof. Hafiz gimana? Ayyoo.. Kamu pasti gak terima kan, hehehe.."

Aku hanya menggeleng-geleng kepala melihat keduanya yang masih mendebatkan tentang Prof. Hafiz, seorang dosen judes yang sok keren itu. Apa spesialnya coba? Pikirku. Aku menerguk habis minumanku, kemudian tak sengaja tersembur kembali saat aku mendengar sebuah kalimat yang terucap dari mulut Debby, "Siapa tau aja tuh Prof. Hafiz jodohnya Aisyah," Katanya yang membuatku tersendak dan menyemburkan keluar kumpulan air yang berada di dalam mulutku.

"What?" Seru Debby dan Sari bersamaan.

Kedua mataku melotot saat melihat pakaian seseorang terkena semburan air yang ditumpahkan dari mulutku. Refleks aku langsung menutup mulutku, kemudian mengambil beberapa helai tisu untuk membersihkan baju orang itu dengan terus mengucapkan kata, "Maaf, maaf, aku tidak sengaja! Aku benar-benar ti____" Ucapan dan aktivitas tanganku seketika terhenti saat aku mendongakkan kepala dan melihat wajah orang tersebut yang begitu tinggi, "Pro-Prof. Hafiz..." Kataku seraya berdiri perlahan di hadapan dosen baru itu, tanpa berani menatap wajahnya langsung. Aku langsung menunduk dengan mata sedikit terpejam dan bersiap-siap menunggu amarahnya.

"Tamat sudah riwayat kamu, Syah..." Bisik Sari hirotis padaku saat melihat tatapan menyelidik dari Prof. Hafiz.

Perlahan aku mulai melihat wajahnya lagi dengan ekspresi was-was sedikit takut, kemudian kembali menunduk, "Maaf ya Prof., Saya tidak sengaja!" Kataku mengulangi kalimat tadi dengan rasa bersalah.

"Lalu?" Prof. Hafiz buka suara dengan nada datarnya.

"Ya, maaf..." Kataku lagi dengan nada memohon padanya. Aku melihat otot perutnya bergerak naik ke atas tandanya dia sedang menarik napasnya, "Inilah kebiasaan kaum Hawa zaman sekarang. Bukannya menghindari pertikaian dengan lawan jenisnya, tapi justru mereka malah sengaja mencari-cari kesempatan itu." Katanya yang begitu lugas membuat perutku terasa bergetar dan ingin muntah saat ini juga. Dia berkata seakan-akan dia adalah seorang ulama disini, "Kenapa? Kamu mau memuntahkan sesuatu lagi, tapi kali ini akan mendaratkannya di sepatuku?" Itulah pertanyaannya yang membuatku terkejut. Bagaimana bisa dia tahu dengan apa yang sedang ku pikirkan? Apa selain dosen, dia juga seorang peramal? Astaghfirullah..

"Gak gitu, Profesornya aja yang berlebihan menanggapi maksud diamnya saya. Dan iya, sebagai seorang dosen seharusnya Prof. Hafiz itu tidak boleh mudah beranggapan lebih dan salah paham terhadap mahasiswinya sendiri! Apalagi sampai mengira kalo saya sedang mencari-cari kesempatan untuk mendekati Prof. Hafiz. Itu salah besar dan malah sebaliknya! Jika saja bisa, mungkin saya akan menghindari waktu pertemuan dengan Profesor." Jawabku panjang lebar dengan emosi tak terkendali tanpa mengingat dampak buruk dengan apa yang ku katakan barusan, kemudian langsung beranjak pergi dari hadapannya tanpa peduli lagi dengan bajunya yang kotor dan sedikit basah karena ulahku.

"Syah! Mau kemana?"

Aku mendengar panggilan Debby saat langkah ku belum terlalu jauh dari mereka. Astaghfirullah, aku menghentikan langkahku dan mengusap dadaku. Kenapa pertemuanku dengan dosen baru itu selalu menimbulkan pertikaian? Apalagi tadi emosiku benar-benar meledak dan aku hampir kehilangan kesabaranku sejak tadi malam. Yaa Allah.. Ampuni aku jika yang ku katakan itu salah! Dan sekarang, aku tinggal menunggu hasil dari konflik tadi antara aku dan dosen baru itu di pertemuan selanjutnya.
.
.
.
.
.
Alhamdulillah..
Terimakasih udah mampir di ceritaku
Jangan lupa tinggalin jejaknya ya, VOTE n COMMENT 🙏
Jazakumullah khairan katsira 😇

Wassalamu'alaikum

Czytaj Dalej

To Też Polubisz

539K 9.2K 20
Mature Content || 21+ Varo sudah berhenti memikirkan pernikahan saat usianya memasuki kepala 4, karena ia selalu merasa cintanya sudah habis oleh per...
1M 108K 49
Kehidupan Dinar Tjakra Wirawan berubah, setelah Ayah dan kakak laki-lakinya meninggal. Impiannya yang ingin menjadi seorang News anchor harus kandas...
289K 37.8K 43
Ini adalah Kisah dari Kila. Kila Prastika yang ternyata memiliki seorang bapak kos yang kebelet kawin ... "Nikah sama saya, kosmu gratis seumur hidu...
412K 29.2K 34
Adhitama Malik Pasya pernah menikah dengan gadis belia. Satu bulan pernikahan, lelaki itu terpaksa bercerai dari istrinya. Tujuh tahun berlalu, ia t...