Life in Death 2 : Illusion

By iam_zzzy

26.5K 4.3K 380

(BACA LID SEASON 1 DULU) Life in Death season 2 telah hadir! Aku tak tahu selamat dari gedung berlantai 3 itu... More

HALO GAIS
I
II
III
IV
V
VI
VII
VIII
IX
X
XI
XII
XIII
XIV
XV
XVI
XVII
XVIII
XIX
XX
XXI
XXII
XXIII
XXIV
XXV
XXVI
XXVII
XXVIII
XXIX
XXX
XXXI
XXXII
XXXIII
XXXV
XXXVI
XXXVII
XXXVIII
XXXIX
XL
XLI
XLII
XLIII
XLIV
XLV
XLVI
XLVII
XLVIII
XLIX
L (Last Chapter)
Info / Pengumuman / Perpisahan

XXXIV

608 96 26
By iam_zzzy

Hari berikutnya, tak begitu berbeda jauh. Pembeda yang cukup jelas mungkin kali ini Ex banyak menghabiskan waktu dengan kakek dan neneknya. Hari yang cerah ini harusnya jadi hari yang baik, setidaknya, sebelum aku memikirkan apa yang harus kulakukan ke depannya. Ini bukan keputusan yang mudah, kode 'Ex, kau akan tahu kebenarannya' sudah terungkap. Yang artinya, kami harus melanjutkan perjalanan untuk menyelesaikan semua ini. Semakin lama kami berdiam diri, semakin kacau pula dunia karena zombie-zombie sialan itu.

Tapi sekali lagi, ini tidak mudah. Bukan soal bagaimana melanjutkan perjalanan ini, atau soal kekhawatiranku akan kematian. Bahkan secara teknis pun, aku hampir mati. Tak ada alasan bagiku takut akan kematian, kecuali mungkin; dosaku yang sudah bertumpuk. Bukan, ini bukan soal itu. Ini soal perang dalam diriku, perang dengan egoku. Aku berbohong bila aku berkata aku tak mau diam di sini. Tak bisakah kami hanya diam di sini dan menikmati sisa hidup kami yang kurasa tak akan lama lagi? Tak bisakah kami hanya menggunakan detik-detik hidup kami untuk menjalani hidup yang seharusnya, tanpa harus lelah menyelesaikan semuanya? Ah, pada akhirnya pun, pemikiranku selalu begini. Egoku, atau mungkin hanya aku yang brengsek yang bersembunyi di balik kata 'ego'.

Hari ini berlalu dengan singkat seperti yang kubayangkan. Aku menarik nafas pelan dan mengajak semua orang berkumpul di halaman depan rumah, mencoba mengajak mereka untuk membahas apa yang harus dilakukan kedepannya.

"Jadi, seperti yang telah kita tau, kode tentang Ex sudah terpecahkan" kataku memulai pembicaraan.

"Terima kasih, Mam!" seru Ex tiba-tiba sambil dengan senyum di wajahnya, sedikit melirik ke arah kakek dan neneknya.

"Seperti biasa, David. Apa lagi yang tertulis di bukunya?" tanyaku.

"Eh? Buku?" tanya David tiba-tiba. Ia terlihat linglung.

"Iya, buku. Kau pikir buku terlihat seperti apa?" Mark menyela.

"ASTAGA, BUKU!" teriak David tiba-tiba. Ia reflek berdiri. Perasaanku tak enak.

"Kenapa? Ada apa dengan bukunya?" tanya Ex kaget.

"Tertinggal di mobil..." jawabnya dengan suara yang semakin memelan.

"Astaga..." gumamku. Aku bahkan tak tahu harus berkata apa lagi. Hal yang tentu menjadi beban adalah jembatannya sudah roboh dan kurasa tak ada cara lagi untuk kembali ke sana.

"Lalu bagaimana sekarang? Apa kita hanya akan menunggu kematian tanpa berbuat apa-apa?" tanya Mark. Kalimat yang ia pilih tak cukup bagus.

"Huh? Kau pikir aku melakukannya dengan sengaja? Aku juga tak mau barang sepenting itu tertinggal" kata David yang sepertinya tersinggung.

"Sengaja atau tak sengaja, buku itu tak mungkin bisa berjalan ke sini, David" kata Mark. Sebenarnya, kata-katanya ada benarnya juga.

"Cukup, cukup. Berdebat seperti ini hanya membuang-buang waktu. Aku sudah cukup lelah. Mari lanjutkan saja rapatnya" kataku mencoba memisahkan.

"Tapi, El. Aku benar-benar tak sengaja meninggalkannya di sana" kata David membela diri.

"Dengar anak muda, aku bahkan tak tau apa yang tertulis di buku itu, tapi aku pernah mengalami masa-masa zombie ini, setidaknya 50 tahun lalu. Dan kurasa aku masih ingat beberapa hal tentang cara mengakhiri semua ini" kata Tn. Jonathan tiba-tiba, membuat semua orang melirik ke arahnya.

"Ah, benar juga. Jadi, bagaimana bila Tuan menceritakan kejadian itu pada kami?" tanyaku penuh harap.

"Malam itu adalah malam pertama salju turun. Aku dan yang lainnya hanya berjaga di ruangan besar milik teman kami, sedangkan Daniel, kakekmu, pergi mengikuti sebuah peta ke dalam gua. Ia tak berbicara apapun tentang apa yang ia cari, ia hanya bilang pada kami bahwa ia harus mencari sesuatu. Tak ada yang aneh, sampai kami menyadari bahwa sekelompok besar zombie datang, berkumpul, dan bersiap untuk menyerang. Kami bergegas ke depan dengan seluruh senjata kami, mencoba menghancurkan zombie-zombie itu. Namun, zombie-zombie lain dengan jumlah besar datang lagi. Rasanya seperti perang melawan zombie" kata Tn. Jonathan panjang lebar.

"Lalu, apa yang dilakukan oleh kakekku?" tanya David.

"Kakekku" bisikku padanya.

"El, aku tak akan berdebat soal itu sekarang. Aku sudah cukup dewasa" kata David so' bijak.

"Baiklah, kakekku" kataku membuatnya panas sekali lagi.

"Kita adik-kakak, El" kata David melirikku lelah.

"EHEM" Mark berdehem dengan suara yang cukup keras, yang kami sadar ia sedang menyuruh kami untuk diam.

"Kami hanya berjuang melawan zombie-zombie itu dengan sekuat tenaga, tapi mereka terlalu kuat. Jelas, dengan perbandingan kami yang sedikit melawan hampir seluruh populasi dunia bukanlah hal yang mudah. Beberapa dari kami bahkan ikut terinfeksi dan berubah menjadi zombie. Para kaum pengecut yang frustasi memilih bunuh diri, menusukkan senjata ke tubuhnya sendiri, tak sanggup bila harus berubah menjadi zombie" kata Tn. Jonathan serius.

"Bodoh" ucap Loui pelan dari arah belakang. Astaga, ternyata anak-anak itu juga ikut mendengarkan.

"Di tengah keputus asaan, Daniel kembali dengan sesuatu di tangannya. Aku tak ingat apa itu, tapi kuyakin itu bukan senjata atau barang berat lainnya. Lalu setelah itu-..." Tn. Jonathan berhenti bercerita. Wajahnya terlihat kosong secara tiba-tiba.

"Lalu?" Mark bertanya, menunggu kelanjutan kalimatnya.

"A-aku tak ingat. Aku harus istirahat" jawab Tn. Jonathan. Ia berpaling meninggalkan kami dan masuk ke dalam rumah. Ny. Daisy menyusulnya.

"Tak apa, tak apa" ucap Ny. Daisy menenangkan suaminya itu. Suaranya perlahan menghilang dari pendengaran kami.

"Kurasa mau bagaimana pun kita tak bisa memaksanya untuk bercerita" kataku pada yang lainnya.

"Jadi, yang harus kita lakukan adalah mencari tau apa yang harus kita cari dalam gua dan bagaimana menghentikan semuanya?" tanya David.

"Kurang lebih seperti itu. Tapi melihat ekspresi Tn. Jonathan, kurasa ada hal buruk yang terjadi" kataku.

Menit demi menit terlewati. Hasil rapat kali ini, kami akan melanjutkan perjalanan esok hari untuk kembali ke lab super milik Profesor Regis. Perjalanan terakhir, dan semuanya akan selesai. Tak ada lagi kisah yang melelahkan, tak ada lagi ancaman yang menunggu kami. Semuanya akan selesai dengan perjalanan terakhir ini.

Malam tiba, kami sibuk menyiapkan barang-barang yang kami bawa untuk kembali. Senjata kami sudah siap dan berjajar rapi. Luka-luka kami sudah kami perban dengan kuat. Sesaat setelah aku selesai berbenah barang-barangku, anak-anak kecil itu menghampiri, menatap dengan iba.

"Apa kalian akan kembali?" tanya Kiona pelan. Matanya menunjukkan kesedihan.

"Mungkin. Aku harap begitu" ucapku sambil tersenyum, mengusap kepala anak itu.

"Kembalilah" kata Loui pelan, memalingkan wajahnya.

"Hm?" tanyaku memastikan.

"Aku tak mau kau mati" katanya pelan. Ia masih memalingkan wajahnya ke samping menghindari kontak mata denganku.

"Aku tak akan mati, Loui" jawabku pelan. Sebenarnya aku juga tak yakin dengan apa yang aku katakan.

"OH WELL, TAK ADA YANG BISA MENJAMIN! BERHENTILAH BERPURA-PURA TEGAR DAN JAGA DIRIMU AGAR BISA BERTEMU KAMI LAGI!" teriak Loui penuh amarah. Wajahnya memerah dan matanya sedikit berkaca-kaca.

"Loui!" seru Rei mengingatkan.

"Berhentilah bersikap kurang ajar pada yang lebih tua!" seru Kimora.

"APA? AKU HANYA MEMINTANYA UNTUK MENJAGA DIRI" kata Loui penuh penekanan.

"Loui..." kataku pelan.

"Apa?!" tanyanya kasar, masih dengan nada tinggi dan wajahnya yang merah menahan emosi.

"Tak apa bila kau ingin menangis" jawabku dengan sedikit senyum di wajahku.

Satu detik, dua detik, ia masih diam. Kami hanya mematung untuk beberapa detik sampai akhirnya tangisnya pecah. Ia menangis dan berlari untuk memukulku. Pukulannya jelas tak terasa sakit, hanya saja kenyataan bahwa aku harus pergi meninggalkan anak-anak ini membuat sedikit goresan di hatiku.

"Kau harus kembali! Kau harus kembali!" teriaknya sambil mencoba memukuliku. Pukulan lemah yang penuh rasa putus asa.

Aku hanya tersenyum kecut. Demi apapun, bila aku sanggup, aku akan bersumpah bahwa aku akan kembali menemui mereka. Sayangnya, aku pun bahkan tak yakin apakah aku mampu bertahan atau tidak.

"Tak bisakah kau tinggal di sini saja?" tanya Ziu pelan dari belakang. Ia sedikit menunduk dan memainkan jarinya.

"Maaf, Ziu" jawabku, membuatnya mulai menangis diam-diam. Badannya terlihat bergemetar.

Ini semua rumit. Tak ada perpisahan yang menyenangkan. Hal-hal seperti ini menguras lebih banyak energi dan mental. Dan kurasa yang kubutuhkan hanya istirahat.

Sampai jumpa esok, perjalanan terakhir.


------------------------------------

Belom beresan ya gais plis tungguin huhu seriusan aku insecure banget nggak ada ide. beberapa bab lagi selesai btw, stay tune ya!

Continue Reading

You'll Also Like

326 89 23
Bagaimana jika sebuah Buku menjadi awal dari semua kisah petualangan penuh tantangan yang mereka lalui? Inilah kisah mereka, para remaja yang mencari...
3K 351 29
Bagaimana jika kau sedang bersantai di akhir tahun lalu tiba tiba seorang Ibu menghubungi bahwa anaknya dibunuh oleh sosok berjubah hitam? Kau mulai...
82.3K 162 4
-Cerita ini bukan untuk anak dibawah umur. 🔞 Cerita Dewasa ini hanya fiktif belaka. Jika ada kesamaan nama tokoh, tempat , foto, dan kejadian ataup...
4.5K 1.3K 22
"Tembak sekarang atau mati!" Slogan yang cocok untuk gadis pendiam yang brutal. Kehidupan berubah menjadi mengerikkan ketika wabah virus corona menye...