Pergi Hilang Dan Lupakan [ ON...

By ZihanP

1K 296 265

Seorang gadis cantik yang memiliki kulit putih bersih dan wajah berseri. Baginya, hidup itu memang hanyalah t... More

Prolog
Pagiku Cerahku
Indah hari tua bersamamu
Kenapa harus kembali?
Ikhlas
Sakit
Menyesal
Pahamilah
Menjijikkan
Terungkap
00.00
Memutar waktu

Maaf

26 4 0
By ZihanP

Hidup ini memang sebuah fiksi yaitu penuh dengan imajinasi.

______🍁🍁🍁______

Happy Reading^^

Tingg ... tongg ...
Suara bel rumah berbunyi hampir sepuluh kali berturut-turut, namun tidak ada satupun orang rumah yang membukakan pintu.

Apakah Zya sudah tidur? gumamnya dalam hati.
Baru satu langkah berjalan mundur, dan berbalik menuju gerbang rumah.
Tiba-tiba ....

"Adrian! Kamu mau kemana?"

Saat menengok pada arah seseorang yang telah membukakan pintu untuknya, Adrian tidak berkedip sama sekali. Rasanya dia benar-benar tidak percaya.

"Zya?" Dengan herannya dia menunjuk Zya, yang sudah membukakan pintu untuknya.

"Hoam ... iya Adrian, maafkan aku. Tadi aku ketiduran, bisa terbangun karena mimpi ada yang memencet bel saat sedang asik berhalu." Mengucek kedua matanya pelan, Zya tidak malu mengungkapkan hal itu, terlebih mengenai mimpinya yang sedang asik berhalu, namun terganggu oleh suara bel.

"Maaf karena aku-,"

"Sussttt ..." Dengan gerakan cepat, tangan Zya menutupi mulut Adrian. Membuatnya tidak bisa melanjutkan kata-katanya.

"Nggak perlu minta maaf Adrian, ayo masuk," ucapan itu sontak saja membuat Adrian terkekeh pelan. Pasalnya, gadisnya itu tidak pernah berubah perihal tempat dan suasana. Seperti itulah Zya, saat malam dia lebih suka berbicara di dalam ruangan, namun saat pagi dan siang? Jangan ditanya, dia paling suka duduk dan berbincang di taman atau halaman rumah-nya.

"Tapi, Zya. Di rumah nggak ada siapa-siapa kan?" Alih-alih menjawab pertanyaan, Zya malah menyeret Adrian untuk masuk ke dalam rumah-nya.

"Wait ... Bi Esih, Bi!" Teriak Zya dengan mata kantuknya, yang sekarang masih saja merem melek, merem melek.

Dengan segera, seseorang yang dipanggil pun datang dihadapan Zya.

"Iya, Non. Ada apa? Ingin sesuatu? Biar Bibi buatkan,"

"Tolong, buatkan minum untuk Adrian ya Bi,"

"Nggak, nggak usah Bi." Tolak Adrian segera, sambil bergeleng keras.

"Eh, ko nggak mau minum? Kalo kamu marah sama aku nggak apa, marah aja. Asal jangan marah sama sesuatu, contohnya marah sama makanan dan minuman." Dengan kepala yang tertunduk Zya mengatakannya.

"Nggak ko, siapa bilang yang marah? Nggak marah Sayang,"

"Hm ...,"

"Bi, Bi Esih bisa kembali tidur Bi. Maaf udah ganggu Bi Esih malam-malam gini,"

"Eh jangan gitu Den, jangan bilang maaf. Ini emang tugas saya, tadi juga kebetulan saya masih ada di dapur ko. Lagi beres-beres, sekalian mau ngasih susu hangat ke Non Zya,"

"Nggak perlu Bi, Zya lagi nggak pengen susu hangat,"

"Tapi Non, sebelum Nyonya pergi. Dia bilang, jangan sampai lupa memberi susu hangat pada Zya sebelum dia tidur,"

"Tuh, Zya denger. Minum susu hangat dulu gih." Dengan lembutnya Adrian mengatakan itu, entah mengapa kalimat itu bagaikan sihir yang membuat Zya hanya mengangguk tanda meng-iyakan bahwa dia akan minum susu hangatnya.

"Tolong bawa sini ya Bi, susu hangatnya," ucap Adrian.

"Baik Den, akan Bibi panaskan dulu sekarang. Tunggu sebentar ya,"

***

Setelah susu hangat yang ada di tangan Zya habis, Adrian langsung mengambil gelasnya, dan menaruhnya di meja yang ada dihadapannya.

"Tidur gih," ucapnya dengan lembut, karena tidak tega melihat gadis-nya yang tengah menahan kantuk.

"Aku punya hutang penjelasan ke kamu," menatap mata Adrian dalam, membuat Zya dan Adrian saling menatap lekat. Lama? Sangat lama, lebih dari 5 menit.

"Aku percaya sama kamu Zya," satu kalimat yang mampu memecah keheningan, dan pengalihan pandangan.

"Kalau percaya, kenapa kamu pergi ninggalin aku di rumah sakit pas sore?" Layaknya menginterogasi, Zya mulai menanyakan hal yang menjadi tanda tanya besar dibenaknya.

"Karena aku, aku tidak tau Zya. Aku tidak tau, apa alasan yang tepatnya. Yang aku tau, saat itu aku merasa sakit. Bukan sakit di kepala, tangan, atau kaki. Melainkan, sakit di sini." Tunjuk Adrian pada bagian atas perutnya yang sebelah kanan.

"Maafkan aku Adrian, aku tau aku salah. Tapi, apakah salah menolong seseorang yang tengah sakit dan terbaring lemah seperti itu?" Kembali menatap mata Adrian lekat, berharap menemukan sesuatu untuk jadi jawaban dari pertanyannya itu.

"Tentu nggak, nggak salah ko Zya. Cuman aku yang salah, terlalu terbawa perasaan," senyum hangat Adrian yang ditujukan pada Zya dengan begitu tulusnya itu. Membuat Zya, kembali tersenyum tipis.

"Udah jadi kebiasaan kamu, saat aku ngelakuin kesalahan. Pasti kamu bakal ngelak, bakal nganggap bahwa diri kamu yang salah. Hey ... liat aku, liat aku, Adrian. Aku tau sebesar apapun kesalahanku, kamu akan tetap menganggapku benar. Dan kamu? Kamu akan selalu menganggap, bahwa diri kamu yang selalu salah. Come on, jangan bertindak seperti itu, Adrian. Seakan-akan semuanya telah berlalu, dan yang salah hanya kamu selalu. Kamu tau kan? Bahwa aku, aku tidak membenarkan setiap tindakan yang sudah jelas salahnya. Seperti kata orang, cewek selalu benar. Itu salah, yang benar itu. Cewek selalu salah, begitupun sebaliknya, cowok selalu salah." Dengan penuh perhatian Zya berbicara seperti itu, berharap Adrian bisa mengerti dengan maksud yang dikatakannya.

"Iya, Zya. Aku tau, tapi memang aku yang salah hari ini. Bisa-bisanya, aku ninggalin kamu yang tertunduk lemah di taman rumah sakit. Maaf ya, maaf karena udah buat kamu sedih, udah buat kamu khawatir, udah buat kamu nahan kantuk seperti sekarang ini,"

Adrian idaman banget emang. gumam Author di sela-sela kegiatannya.

"Biar aku jelaskan semuanya Adrian, supaya kamu bisa paham, dan mengerti tentang yang terjadi tadi siang hingga sore,"

"Nggak perlu Zya, aku tau. Aku tau, dan aku paham. Sudahlah lupakan masalah ini, sana pergi tidur." Usir Adrian segera mendorong Zya untuk naik ke lantai dua, menuju kamar Zya. Dengan gelagapnya, Zya berusaha membuat Adrian berhenti untuk mendorong dirinya untuk pergi kamarnya, namun tidak bisa. Tangan Adrian, benar-benar membuat Zya hanya bisa bungkam dan mengikuti arah yang ditujukan.

"Nah, udah sampai Sayang. Tidur gih," ucapnya sembari tersenyum manis di pintu kamar Zya.

"Aku kan udah bilang Adrian, kalo-,"

"Iya iya, aku tau Zya. Nggak mau dipanggil Sayang kan?"

"Bukan nggak mau Adrian, tapi nggak enak didengernya. Emang kita suami istri?" tanya Zya dengan wajah cengo-nya.

"Iya kan, kan kita calon suami istri," dengan percaya dirinya Adrian mengatakan kalimat 'calon suami istri.'

"Eh apaan si, kamu ini," ucap Zya malu-malu, dengan pipi yang sekarang ini sudah merah semu.

"Tapi, iya kan? Memang seperti itu, setelah kita gapai cita-cita kita, kita akan menikah nanti,"

Iya, yu nikah yu Adrian. Lagi-lagi Author hanya bisa bergumam dan berharap:v

"Eh nggak," tolak Zya dengan cepat, membuat Adrian membelalakkan kedua matanya, karena dia tidak menyangka Zya sudah menolaknya terlebih dahulu, bahkan sebelum Adrian meminta restu pada kedua orang tua Zya.

"Kenapa nggak mau nikah sama aku Zya?"

"Bukan nggak mau Adrian, tapi nggak seharusnya, sekarang ini kita membahas hal ini. Kita kan masih sekolah,"

"Iya, tapi aku kan mau lulus,"

"Itu si kamu, aku masih satu tahun lagi untuk lulus,"

"Iya, tapi apa salahnya? Nanti, setelah kelulusan, aku akan minta restu pada kedua orang tua kamu. Tapi, aku nikahin setelah aku gapai cita-citaku nanti," persetan dalam hitungan detik, pipi Zya benar-benar merah. Dengan cepat dia menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya, berharap Adrian tidak melihatnya dalam keadaan yang mendebarkan itu.

"Nggak usah ditutupin gitu, udah tau ko. Itu pipi atau tomat?"

"Hm ... aku ngantuk nih. Kamu bisa pulang nggak? Aku mau tidur," ucapan yang terkesan mengusir secara halus itu, membuat Adrian hanya menggelengkan kepalanya.

"Ceritanya, aku ini di usir Zya?"

"Nggak gitu, tapi ini kan udah malam. Besok lagi, besok kita ketemu di sekolah,"

"Oke, kalo gitu. Good night and have a nice dream baby,"

"To Adrian, aku nggak anter kamu sampe pintu ya? Nggak apa kan?"

"Nggak apa, masuk gih. Pergi tidur,"

"Iya, hati-hati di jalan,"

"Iya siap,"

"See you tomorrow,"

"See you to." ucap Adrian dengan segera pergi dari rumah Zya.

______________

"Dokter, kira-kira dia bisa sadar kapan?" ucap wanita paruh baya, pada Dokter yang tengah memeriksa keadaan pasien, yang tidak lain pasien itu adalah Afka.

"Dia kehilangan banyak darah, dan baru mendapat transfusi darah saat sore ini. Awalnya, nyawanya bisa terbilang dalam bahaya. Namun, sekarang dia tidak dalam keadaan bahaya, tapi masih belum bisa siuman karena dia masih berada di masa kritisnya. Lima hari kedepannya, pasti dia akan siuman," berusaha menjelaskannya, membuat wanita paruh baya itu kembali menitikkan air matanya.

"Separah itu kah dia? Sampai bisa siuman setelah lima hari ke depan?" tanyanya dengan mata sendu.

"Dia hampir memutuskan urat nadi yang berada di pergelangan tangannya, seretan pisau ditangannya sangat dalam, hampir 1 cm lagi pisau itu mengenai urat nadinya. Sepertinya juga, pasien sudah terluka dari semalaman, sampai akhirnya dibawa ke sini saat siang hari. Itulah yang mengakibatkan pasien jadi sangat lemah, dan kondisinya masih rentan,"

"Tolong lakukan yang terbaik, untuk kesembuhannya Dokter," wanita paruh baya itu memohon kepada dokter yang berada dihadapannya.

"Kami akan usahakan yang terbaik, untuk kesembuhan pasien," ucap dokter dengan tersenyum.

"Dokter, bisakah telepon saya saat terjadi sesuatu pada Afka?" ucap wanita paruh baya itu dengan menyodorkan kartu nama, yang berisi nomor telepon dan data dirinya.

"Baiklah Bu, atas nama Ibu Rika ya," sambil mengambil kartu nama itu, dan membacakan nama yang tertera di sana.

"Iya, Dokter. Tolong hubungi jika ada apa-apa,"

"Baiklah Bu, saya permisi." Dengan segera dokter itu pergi, meninggalkan wanita paruh baya itu yang berada satu ruangan bersama Afka.

"Cepat sadar ya," lirihnya, sambil mengusap punggung tangan Afka.

_____________

Malam berganti pagi, kini seorang gadis dengan senyum manisnya. Mulai turun dari lantai dua, menuju lantai satu. Dengan langkah terburu-buru, dia duduk di kursi yang berada di depan meja makannya.

"Ada apa Sayang? Kenapa sepertinya kamu buru-buru sekali?" tanya Bunda-nya sambil membawa susu hangat ditangannya.

"Adrian akan menjemputku Bunda, aku nggak mau kalo dia harus nunggu lama nanti. Jadi, aku akan sarapan dengan cepat, supaya dia nggak nunggu," dengan cepat tangannya mulai mengoleskan selai cokelat pada rotinya.

"Adrian kan bisa ikut sarapan bareng kita dulu Sayang,"

"Nggak Bunda, dia bilang dia sudah sarapan. Bahkan, tadi bilangnya dia akan on the way ke sini," dengan mulut yang penuh roti, Zya berusaha mengunyah roti yang ada dalam mulutnya. Membuat Bunda hanya bergeleng-geleng, melihat tingkah Zya di pagi hari ini.

"Pelan-pelan Sayang, nanti tersedak," sambil menyodorkan air putih pada Zya.

"Eh iya Bunda, kemana Ayah?" tanya Zya, setelah meminum air digelas yang berisi air putihnya.

"Ayah kamu sudah pergi pagi-pagi sekali, kamu tau? Bahkan, minggu depan Ayah-mu akan pergi ke luar negeri,"

"Ke luar negeri? Kenapa jauh sekali Bunda?"

"Seperti biasa, ada urusan bisnis,"

"Bunda nanti ikut?"

"Nggak ko, Bunda tetap di sini. Mana mungkin Bunda meninggalkan kamu sendiri di rumah, ya walau di rumah ada Bi Esih. Tapi, Bunda akan tetap di sini. Seperti yang kamu tau, Sayang. Butik Bunda, juga tengah ada konflik yang harus segera terselesaikan," dengan penuh perhatian Bunda menjelaskannya, berharap putrinya bisa memahami maksud dari pembicaraan tersebut.

"Baiklah Bunda, jangan bekerja terlalu keras ya. Jangan lupa untuk istirahat dan makan," ucap Zya lembut, sembari tersenyum pada Bunda-nya dan membuat hati Bunda-nya tersenyum hangat.

"Iya, Sayang."

__________________

"Zya! Zya!" Teriakan itu, lantas membuat Zya dan Adrian menoleh ke belakang.

"Nggak usah teriak-teriak gitu, bisa kan?!" timbal Adrian dengan wajah kesalnya.

"Nyenyenye," ledek seorang gadis yang sudah meneriaki nama Zya tadi.

"Ada apa, Sya? Kenapa teriak-teriak gitu?" ucap Zya, dengan tatapan herannya.

"Nggak ada apa-apa ko, kita bareng ke kelas yu," perkataan itu, sontak membuat Adrian geram. Lain halnya dengan Zya, yang hanya mengerjapkan kedua matanya.

"Ishh ... kamu mah! Kirain ada apa!" ucap Zya sembari menunjukkan mata kesalnya.

"Hehe ... ya maaf, tadi aku sendiri soalnya," dengan cengengesan Misya mengatakannya. Gadis itu Misya? Ya, memangnya siapa lagi gadis itu, kalo bukan Misya?

"Sendiri? Ke mana Karan?" tanya Adrian yang mengalihkan pandangan Zya.

"Eh iya, di mana Karan?" tanya Zya, dengan melihat pada sekitarnya.

"Katanya, dia akan berangkat telat," dengan entengnya Misya mengatakan hal itu.

"Alasannya?" tanya Adrian dan Zya secara bersamaan.

"Lah, mana saya tau. Intinya, dia berangkat telat hari ini," ucapan itu sontak membuat Adrian dan Zya hanya menggelengkan kepalanya.

Benar-benar tidak berubah, ck .... gumam Zya pelan.

"Bener-bener nih anak, bukannya ditanyain alasannya apa? Malah nggak!" ucap Adrian geram, sambil menunjuk-nunjuk Misya.

"Heh! Ya mau ngapain juga tau. Nggak semua hal yang dilakuin Karan aku harus tau! Emangnya, aku ini babunya?" dengan penuh penekanan pada setiap kata Misya mengatakan hal itu, tidak lupa juga dengan mata sinisnya, yang dia tujukkan pada Adrian.

"Udah lah, udah. Ayo ke kelas." Ajak Zya segera meraih tangan Misya, dan keduanya pergi begitu saja meninggalkan Adrian yang masih berdiri di tempatnya.

Saat sudah masuk kelas, Zya dan Misya disuguhkan oleh pemandangan yang sangat langka. Bagaimana tidak? Keduanya melihat interaksi Shanaya dan Rayhan yang terlihat sangat akrab. Tidak biasanya bukan?

"Wih ... pagi-pagi udah dapet pemandangan yang ena aja nih," ucap Misya sembari duduk di kursi yang letaknya di depan Shanaya.

"Apaan sih Sya!" timbal Shanaya dengan mata melototnya.

"Eh, santai santai. Nggak usah melotot gitu matanya," ucap Misya dengan nada takutnya.

"Jadi, apa yang kalian lagi lakuin berdua kali ini?" tanya Zya heran.

"Nggak ada ko Zya, kita hanya sedikit berbincang-bincang saja," perkataan itu, sontak membuat Misya menatap lebih jelas mata Shanaya, tidak percaya dengan apa yang telah diucapkan Shanaya barusan.

"Bagaimana bisa berbincang-bincang? Nampaknya serius sekali!" timbal Misya dengan ledekan dan mata sinisnya.

"Di mana Karan?" tanya Rayhan, yang berusaha mengalihkan pembicaraan.

"Heleh! Nggak usah nanya orang yg nggak ada, cuman demi ngalihin topik pembicaraan!" saut Misya dengan mata melototnya, membuat Rayhan, Shanaya, dan Zya bergedik ngeri.

"Eh eh kalian tau nggak? Di kantin, lagi ada keributan tadi, ntahlah ada apa. Cuman, kata anak-anak lainnya yang ribut murid kelas ini dengan Kaka kelas."

"Oh ya?"

Seketika kelas yang awalnya tenang, berubah menjadi kalang kabut, bukan karena khawatir, melainkan karena penasaran. Dengan segera anak-anak di kelas pergi ke kantin, membuat Zya, Misya, Shanaya, dan Rayhan ikut bergegas juga.

Brakkk ....

Suara dengkuman keras di meja kantin yang di geprag dengan satu tangan kanannya.

"Berani-beraninya lu! Berani-beraninya lu ngatain cewek gue! Sini lu kalo berani, nggak usah ngomongin dari belakang, dasar banci!" Ucap cowok itu sambil mencekal kerah anak yang katanya telah membicarakan pacarnya itu.

"Berani lu sama gue? Lu cuman adik kelas, nggak perlu sok berani lu!" Ucap Kaka kelas tersebut, sembari mencekal balik kerah baju cowok tadi.

Brughhh ....

***

Waduh kenapa tuh?

Sebelum itu, adakah yang kenal dengan Ibu Rika, yang tadi sempat mengobrol dengan Dokter?

Jazakallah khairan katsiron yang udah baca^>^

Salam
ZihanP

Continue Reading

You'll Also Like

5.1M 379K 53
โ—Part terbaru akan muncul kalau kalian sudah follow โ— Hazel Auristela, perempuan cantik yang hobi membuat kue. Dia punya impian ingin memiliki toko k...
6.5M 215K 74
"Mau nenen," pinta Atlas manja. "Aku bukan mama kamu!" "Tapi lo budak gue. Sini cepetan!" Tidak akan ada yang pernah menduga ketua geng ZEE, doyan ne...
5M 266K 60
Dia, gadis culun yang dibully oleh salah satu teman seangkatannya sampai hamil karena sebuah taruhan. Keluarganya yang tahu pun langsung mengusirnya...
672K 49.2K 31
Aneta Almeera. Seorang penulis novel legendaris yang harus kehilangan nyawanya karena tertembak oleh polisi yang salah sasaran. Bagaimana jika jiwany...