Mythomania

By AradeaPutra

412 25 7

Apa hal yang paling jahat di dunia? ~Kebohongan~ Satu kata yang dapat mengubah apapun menjadi sesuatu yang le... More

PROLOGUE
Chapter 01 | The Book of Old
Chapter 02 | Problems
Chapter 03 | Judgement and Final Descision
Chapter 04 | Untold story
Chapter 05 | Pre-test
Chapter 06 | Examination

Chapter 07 | New Class

13 1 0
By AradeaPutra

Selepas tiga hari dari ujian, hari ini adalah pengumuman kandidat yang akan masuk ke dalam kelas Xtraordinary. Para siswa tak sabar untuk melihat pengumuman yang akan dipampang di papan tulis digital.

“Yah masih dikunci!” ucap seorang siswi yang kecewa.

Devan yang tengah duduk melirik sekilas ke arah pintu aula. Memang masih dikunci dan lebih menjengkelkannya lagi, ini sudah lebih dari jam pemberitahuan untuk kumpul. Area depan aula sudah cukup terasa sesak. Apalagi banyaknya siswi yang duduk sengaja mendekati Devan.

“Van! Ayo kemari!” Terdengar suara Fabian memanggil dirinya. Tangannya memasukkan ponselnya ke dalam saku dan beranjak pergi.

“Hmmm, ada apa?” tanya Devan. Fabian membalasnya dengan senyum jahil.

“Aku tahu kamu pasti risih, jadi aku panggil kamu. Tak ada apa-apa kok,” timbalnya.

Devan berdecak kesal. Ternyata tak ada sesuatu pun yang penting. Ada-ada saja kelakuan Fabian.

“Tak usah marah begitu. Aku ini berbaik hati menolongmu dari sesuatu yang jahat. Kamu mungkin tak menyadari, tapi dari sini kamu dikerumuni oleh sepuluh cewek sekaligus. Tatapan-tatapan mereka mengerikan, kamu tahu? Mereka memang tak dekat dengan kamu, tapi aku bisa melihat mereka memerhatikanmu. Seakan harimau tengah menatap lapar mangsanya. Tatapan mereka ganas,” bela Fabian sambil tertawa kecil.

Devan mengedikkan bahunya. “Kamu terlalu berlebihan.”

“Tidak-tidak, aku ini serius. Kamu seperti kambing lugu yang hendak diterkam sepuluh singa sekaligus. Percayalah!” Tawa Fabian lepas.

Pintu Aula telah dibuka. Para siswa kelas satu dipersilakan masuk ke dalam aula.
Fabian segera pergi menuju aula. Devan hanya bisa mengikutinya dari belakang. Cukup sesak saat mereka memasuki aula yang sangat padat. Beberapa siswa merangsek mendekati papan pengumuman tapi ditahan oleh beberapa orang.

“Silakan berbaris tertib sesuai kelas. Ada yang akan disampaikan oleh Kepala Sekolah.” MC mencoba menertibkan kekisruhan.

Beberapa siswa yang mencoba menerobos penjagaan terlempar mundur. Mereka terduduk di lantai dengan wajah menahan malu. Tanpa menoleh ke sekitarnya karena tahu bahwa mereka akan menjadi tontonan, mereka langsung pergi menuju barisan kelasnya masing-masing.

Kepala sekolah sudah berdiri tepat di hadapan mikrofon. Dia menyapukan pandangannya ke setiap sudut. Di belakangnya berdiri para staf pengajar. Kepala sekolah menoleh ke belakang dan mengangguk hormat serta memberikan senyum hangat.

“Mungkin kalian sudah tak sabar ingin melihat pengumuman untuk orang-orang yang akan duduk di kursi kelas Xtraordinary. Semua sudah berusaha semaksimal mungkin dan bersungguh-sungguh dalam belajar demi mimpi besar ini. Kalian pasti sudah cemas dan gelisah apakah nama kalian ada di layar papan itu atau tidak. Tapi, yang pasti kalian sudah berjuang. Tepuk tangan untuk kita semua.”

Gemuruh tepuk tangan membahana di dalam aula. Senyum-senyum merekah di bibir mereka. Raut wajah bahagia dan sorak senang menjadi penghalau suasana yang sebenarnya sangat menegangkan ini. Tapi lebih baik begitu.

“Bapak ucapkan terima kasih kepada siswa-siswa yang bapak banggakan. Kalian telah berjuang dan bertarung untuk mendapatkan gelar kehormatan di sekolah ini. Bapak bisa bayangkan bagaimana keringat mengalir deras di pelipis kalian, air mata menetes dari mata kalian, pikiran yang tak karuan menghantui kalian. Tapi, mereka yang layak adalah mereka yang telah melampaui semua standar dan menghancurkan batasan di diri mereka masing-masing. Tinggallah nasib yang menentukan semuanya.” Kepala sekolah berhenti berbicara.

“Yang pasti. Kalian telah menjadi juara bagi diri kalian sendiri. Tak ada yang perlu disesali.”

Kepala sekolah pun mundur ke belakang berjajar bersama dengan guru-guru. MC pun maju mendekati mikrofon. Dia membuka selembar kertas dan membacanya sekilas.

“Terdapat satu pengumuman penting. Peserta dimohon untuk mendengarkan dengan tertib.” MC itu tersenyum.

“Pemilihan Dewan Sekolah telah dilaksanakan secara saksama dan dalam tempo yang singkat dengan pertimbangan matang. Pengumuman ini ditujukan untuk memperkenalkan kepada kalian, Dewan Sekolah masa jabatan yang baru. Tepuk tangan untuk mereka!” Gemuruh tepuk tangan menyahuti nama-nama yang akan dipanggil.

“Abimanyu Yudistira, kelas dua alpha, Dewan Kesehatan.” Gemuruh tepuk tangan kembali merebak diiringi jeritan para siswi saat melihat siswa berjalan menuju tengah panggung.

“Gantengnya minta ampun. Aku bakalan incar dia. Kalau begini aku mau sakit tiap hari biar bisa dijagain dia,” ucap salah seorang siswi di samping Fabian sambil berteriak histeris. “Sumpah ganteng banget untuk ukuran adik kelas. Bikin betah aja di sekolah. Udah tinggi, putih, wajahnya kalem begitu. Ya ampunnn!” timbal salah seorang temannya. Fabian hanya bisa menggelengkan kepala mendengar obrolan mereka.

“Ratna Dewina Anggita, kelas dua beta, Dewan Sekretariat.” Seorang siswi berjalan mendekati Abimanyu di tengah panggung dengan diiringi tepuk tangan.

“Delisa Ayu Bella, kelas dua alpha, Dewan Keamanan.” Seorang siswi berkacamata dengan rambut dikuncir dua dan menenteng sebuah buku mendekati kedua dewan sebelumnya.

“Bagaskara Dwianto, kelas dua gamma, Dewan Komunikasi dan Informatika.” Siswa berkacamata berjalan menuju tengah panggung—bergabung dengan yang lainnya.

“Naura Aurora Laksmi, kelas satu alpha, Dewan Peradilan.” Tepuk tangan masih terdengar, namun dengan suara bisikan yang membicarakan tentangnya. Banyak yang bertanya-tanya, kenapa bisa gadis bersarung tangan putih itu yang menjabatnya?

“Mohon perhatian!” Semua langsung senyap dan memerhatikan orang di depan sana.

“Kalian tak usah bertanya-tanya mengapa aku bisa berada di sini. Aku berada di sini karena pertimbangan semua guru dan juga kelayakanku. Sebenarnya kalian mampu, tapi hanya mimpi.” Sorakan langsung menghujani Naura. Banyak yang menantangnya melalui perkataan dan ada juga yang menghujatnya habis-habisan.

Naura hanya tersenyum sinis melihat reaksi mereka dan mendengar sorakan itu semua.

“Cukup-cukup! Silakan kembali ke tempat kalian, para Dewan!” MC mengisyaratkan untuk kembali dengan tangan.

“Selanjutnya kalian dipersilakan untuk melihat daftar siswa di papan digital. Dengan demikian, sambutan kami akhiri. Terima kasih,” MC menutup sambutan. Satu persatu guru meninggalkan panggung aula, begitu pun dengan kepala sekolah dan para dewan, kecuali Naura.

Fabian segera merebak kerumunan siswa. Dia sangat tergesa-gesa dan akhirnya sampai di depan papan tersebut. Dia langsung menyentuh kolom kelas omega dan menscrollnya ke atas dan ke bawah.
Tapi tak ada namanya tertulis di sana. Dia sedikit panik dan risau karena namanya tak ada.

“Untuk apa kamu melihat kolom itu?” tanya seorang siswa di sampingnya.

Fabian menoleh untuk menatapnya. “Yang benar saja, namaku tidak ada di sana!”

Sesaat keningnya berkerut saat mendapati seorang siswa setinggi Devan dengan kulit putih dan rambut yang klimis. Suaranya cukup bass dan berat sehingga menambah kesan maskulin pada siswa itu dan itu sangat jauh dengan suara Devan. Tapi yang aneh, Fabian tak pernah melihatnya.

“Sampai ketemu, Fabian. Di kelas Xtraordinary.” Siswa itu menatap Fabian sebentar dan melayangkan senyuman, lalu pergi dari hadapannya.

“Kenapa dia bisa tahu namaku?” gumam Fabian.

Tanpa pikir panjang dia langsung pergi ke ujung papan. Sedikit beradu badan dengan siswa lain. Dia melihat runtutan nama dari atas ke bawah satu persatu secara teliti.

Naura, satu alpha ; Elvano, satu alpha: Davin, satu beta; Friska, satu beta; Albert, satu beta; Kayla, satu gamma ; Rendra, satu -; Devan, satu omega ; Fabian, satu omega.

Mata Fabian terbuka sempurna. Tulisan di ujung kolom Xtraordinary terdapat namanya. Bagaimana bisa? Fabian masih tak menyangka semua ini terjadi kepadanya. Jika Devan masuk, itu sangat masuk akal. Tapi dirinya, bagaimana mungkin? Berulang kali dia pikirkan kembali, tapi tak ada jawaban. Sungguh aneh!

***

Fabian terdiam di seberang sebuah pintu kaca. Tulisan Xtraordinary terpampang besar di sana. Semua ini terasa seperti mimpi. Kini dia berdiri tepat di depan kelas yang menjadi incaran banyak orang.

“Ayo! Mereka pasti sudah menunggu,” ajak Devan mendaratkan rangkulan ke bahu Fabian. Fabian mengeratkan genggamannya pada tali tas miliknya.

Mereka persis tepat di hadapan pintu. Devan langsung menempelkan telapak tangannya ke pintu tersebut. Timbul tulisan ‘Selamat datang, Devan’ diiringi sambutan suara khas AI. Pintu berdesing dan bergeser membukakan jalan untuk Devan. Devan masuk ke dalam kelas itu dan pintunya langsung menutup, menghalau Fabian untuk ikut masuk.

Tampak Devan dari balik kaca langsung menempati sebuah kursi. Fabian bisa melihat Devan yang tersenyum untuk menyambut tatapan sinis dari beberapa siswa di sana. Bagaimana dengan dirinya? Dia bukan siapa-siapa dan bukan seorang pemilik sesuatu yang bisa dibanggakan.
Dengan mengumpulkan keberaniannya, Fabian menyentuh pintu kaca sambil memejamkan matanya.

Selamat Datang, Fabian.

Dia pun langsung masuk dan semua orang terpaku melihat dirinya yang baru saja masuk. Fabian hanya bisa terdiam. Satu persatu dia menilik wajah orang-orang baru di hadapannya, meskipun tatapan sinis dan aneh menyambutnya.

“Aku akan pergi!” terang Fabian dan langsung membalikkan badannya. “Duduklah!” tegas salah seorang di belakangnya. Itu bukan suara Devan.
Fabian kembali maju. “Kamu bisa duduk di sebelahku jika mau.” Seorang yang pernah bertemu dengannya di aula menawarinya kursi.

Fabian bisa bernapas lega karena kursinya dekat dengan Devan. Tak apalah meski dia harus duduk di sebelah orang baru, yang penting ada orang yang dikenalnya.

“Bukannya kamu akan pergi? Kami menunggu untuk itu!” teriak Naura yang tengah duduk di atas meja.

“Jaga ucapanmu!” bentak Devan.

Naura tersenyum sinis. “Aku hanya mengabulkan permintaannya,” tegasnya.

Devan berdelik kesal. “Sudahlah Naura, apa untungnya? Kamu terlalu mengurusi hidup orang lain! Kamu punya apa hingga bisa mengabulkan permintaanya, hah?!” Suara bass yang justru menimpali.

“Tutup mulutmu murid imigran gelap!” Fabian menoleh ke arah kirinya.

Dua pandang saling bertemu, tapi Fabian menatapnya heran. “Kamu siswa baru?” bisiknya. “Oh iya, benar sekali. Aku lupa memberitahu namaku padamu. Hai, aku Rendra.”

Fabian menyambutnya dengan senyuman. “Aku—”

“Fabian. Aku sudah bisa menebaknya,” selanya sambil tertawa.

Fabian mengalihkan pandangannya. Terdapat delapan siswa di kelas ini. Apalagi tampang mereka yang jenius, membuatnya seperti tak layak berada di kelas ini. Ditiliknya satu persatu wajah siswa, ada beberapa yang membuatnya sedikit terkejut.

Dia baru menyadari seseorang yang pernah ditemuinya di kelas beta ada di sini. Wajahnya mirip Devan, namun guratnya lebih bengis dan dingin. Semenjak tadi dia tidak berkutik sedikit pun.

“Van! Kembaranmu kah?” tanya Fabian berbisik. Matanya tetap tak berpaling dari sosok mirip Devan.

Devan mengikuti arah pandang Fabian. "Bukan! Sejak kapan aku punya kembaran?” jawab Devan.

"Ma-maksudmu? La-lalu siapa dia? Wajahnya mirip denganmu."

"Nanti aku jelaskan." Fabian membalas dengan anggukan.

Tapi masih terdapat satu kursi yang masih kosong. Entah siapa yang akan duduk di sana. Murid tersebut apakah lupa dengan kumpul hari ini atau bagaimana?

Pintu terdengar berdesing terbuka. Saat ini pasti akan ada seseorang yang masuk. Suara derap langkah cukup nyaring membuat tiap pasang mata penasaran terhadap orang yang baru saja masuk. Semua tatapan memerhatikan ke ambang pintu.

Seorang siswa berkacamata masuk dengan memperkenalkan tatapan sinisnya. Di belakangnya ikut masuk pula seorang pria berusia dua puluh tujuh tahunan dengan membawa tas. Siswa dan pria itu langsung menuju mejanya masing-masing.

Setelah menempatkan tasnya di atas meja, pria tersebut melenting lengan baju kemejanya hingga sesiku, membuatnya tampak berwibawa dan berkharisma.

“Baik anak-anak, silakan duduk di kursinya masing-masing!” suruh pria tersebut sambil melangkah ke depan kelas—tepat ditengah-tengah.

“Saya akan menjadi pengajar di kelas Xtraordinary ini. Kalian semua akan belajar dengan saya dan mulai hari ini, kalian akan meninggallkan kelas semula kalian, paham? Kalian semua akan menjadi tanggung jawab saya tanpa terkecuali, maka baik-baiklah kalian di kelas ini.” Pria itu terdiam sejenak.

“Selamat datang di kelas Xtraordinary! Kelas impian bagi semua siswa. Saya harap, kalian yang terpilih dapat mengembangkan bakat kalian di kelas ini dengan maksimal. Saya tahu siswa yang berada di hadapan saya adalah siswa-siswa yang terpilih karena memiliki bakat. Semoga kalian betah dan senang berada di kelas ini dengan saya.” Pria tersebut melemparkan senyumannya.

“Baiklah kita mulai saja kelas ini!” pungkasnya.

“Perkenalkan nama saya Arjuna Indra Laksmana. Kalian bisa memanggil saya Pak Arjuna atau Pak Juna, terserah kalian yang penting tidak memberikan julukan. Saya sudah mengajar di kelas Xtraordinary selama lima tahun. Saya akan menjadi walikelas dan juga pengajar di kelas Xtraordinary ini selama setahun ke depan.” Pak Arjuna tersenyum melihat para siswa di hadapannya.

“Baik ada yang ditanyakan mengenai saya?” tanyanya.

Naura mengacungkan tangannya. “Berapa usia bapak?” tanyanya yang disahuti sorakan dari seisi kelas.

Pak Arjuna tertawa kecil. “Dua puluh tujuh, memangnya kenapa? Saya masih seumuran kok sama kalian. Saya belum setua itu. Baik ada lagi?”

Fabian mengankat tangannya. “Pak, kalau untuk syarat masuk ke kelas ini apa, ya?”

Pak Arjuna mengernyitkan dahinya. “Kalau soal itu maaf saya tak bisa jelaskan yang pasti kalianlah yang terpilih. Bersyukurlah. Kenapa kamu bertanya seperti itu?”

“Aku berpikir kenapa aku bisa masuk kelas ini? Padahal dari diriku tak ada yang istimewa. Aku rasanya tak layak ada disini,” jawabnya dengan senyum kecut.

“Ternyata kamu sadar diri, Fab!” cerca Naura seketika.

“Kalau kamu sudah bisa duduk di kursi itu,” Pak Arjuna menunjuk kursi yang diduduki Fabian, “berarti kamu telah layak untuk berada di sini. Kamu tidak usah minder,” sambungnya.

“Atau jangan-jangan kelas ini menerima siswa sakit? Hanya karena kepalaku migrain saat ujian, aku masuk kelas Xtraordinary? Tak Dapat dipercaya.” Beberapa orang tertawa. Suara Rendra yang paling keras.

“Apakah ada yang masuk ke kelas ini karena diare? Mimisan? Pusing? Asma? Atau lainnya?” tanya Fabian polos.

Naura berdecak kesal. “Kamu sudah gila ya? Kamu pikir ini kelas penghimpun siswa berpenyakit, hah?” cibir Naura.

“Waraslah sedikit saja!” Suara laki-laki ikut menimpali.

Tapi Fabian berpikir jika memang itulah satu-satunya alasan mengapa orang-orang bisa berada di kelas ini, terutama dirinya. Dia bahkan tak sempat menjawab soalan nomor terakhir yang merupakan soal dengan poin terbesar, tapi kenapa dia bisa masuk ke dalam kelas ini? Lagipula rasa sakit yang waktu itu dia rasakan kemunculannya terlalu mendadak dan tanpa gejala sebelumnya. Ada apa dengan kelas ini sebenarnya?

***
Yeayy up lagi gaesss...
Masih bosenin ya:((? Maaf ya mentemen..
Tapi makasih udah sempetin waktunya buat baca....
.
.
.
Votment jangan lupa + bantu promosi biar berkembang terus...
Cari petunjuk dan jangan lupakan hal kecil apapun ya ^^

Hope you enjoy the storyy

Continue Reading

You'll Also Like

538K 97.2K 168
[TERJEMAHAN YANG SUDAH DI EDIT] *** Seluruh dunia menjadi sasaran ujian yang sangat berbahaya yang disebut Ujian Masuk Perguruan Tinggi Global. Peser...
8.1K 677 126
⚠️DISCLAIMER⚠️ Bukan karya saya, RAW (tidak diedit)!! Detail: Pengarang: Momoe Maru Jenis: perjalanan waktu dan kelahiran kembali Status: Selesai Pem...
22.4K 5.6K 200
16 MARET 2023 ⚠️MTL TANPA EDIT J U D U L Karakter Dicurigai Membuka Cheat! [Infinite]\该角色涉嫌开挂![无限] P E N U L I S Shi Wei Tu\十尾兔 S T A T U S 299 bab +...
8.2K 294 18
Namanya Naura Carmellia Erviena, yang bertrasmigrasi ke tubuh seorang cewek yang bernama Laura Carnetta Giena. "Laura bagi gue mereka yang nyakitin l...