TIGA BELAS JIWA

By slsdlnrfzrh

1.3M 188K 71K

Cerita ini adalah penggalan kehidupan dari tiga belas jiwa yang bekerja di rumah sakit jiwa. Kalian akan mene... More

Tiga Belas Jiwa
[SC] Raga
[JH] Johan
[JS] Joshua
[WJH] Arel
[KSY] Catra
[JWW] Dipta
[WZ] Khrisna
[DK] Arthur
[KMG] Pram
[XMH] Mada
[BSK] Gatra
[VN] Vernon
[DN] Dino
1.1 Raga
1.2 Johan
1.3 Joshua
1.4 Arel
1.5 Catra
1.6 Dipta
1.7 Khrisna
1.8 Arthur
1.9 Pram
1.10 Mada
1.11 Gatra
1.12 Vernon
1.13 Dino
2.1 Raga
2.2 Johan
2.3 Joshua
2.4 Arel
2.5 Catra
2.6 Dipta
2.7 Khrisna
2.8 Arthur
2.9 Pram
2.10 Mada
[Special Part] Manjiw Squad Girls
2.11 Gatra
2.12 Vernon
2.13 Dino
3.1 Raga
3.2 Johan
3.4 Arel
3.5 Catra
3.6 Dipta
3.7 Khrisna
3.8 Arthur
3.9 Pram
3.10 Mada
3.11 Gatra
3.12 Vernon
3.13 Dino
4.1 Raga
4.2 Johan
4.3 Joshua
4.4 Arel
4.5 Catra
4.6 Dipta
4.7 Khrisna
4.8 Arthur
4.9 Pram
4.10 Mada
4.11 Gatra
4.12 Vernon
4.13 Dino

3.3 Joshua

16.4K 2.5K 787
By slsdlnrfzrh

Joshua

Punya kehidupan yang sempurna bukan berarti bahagia.

Ralat, gue bahagia, nggak pernah sehari pun gue berhenti bersyukur atas apa yang gue punya. Cuma terkadang, saat mengingat lagi hakikat gue sebagai manusia— dan pria, gue seringkali terdiam karena lagi-lagi perasaan gue hampa.

"Joshua, kamu mau menikahi Alexa?"

Saat Mama pulang ke Indonesia seminggu lalu, dia melontarkan pertanyaan tersebut yang mana membuat gue membisu seketika. Masih untung Alexa udah pulang, malam itu dia nginap di apartemen gue dan menunggu Mama Papa datang di jam dua malam. Bukannya istirahat, kita semua malah ngobrol hingga pagi datang. Pagi sekali, Alexa pamit pulang karena punya jadwal ke laboratorium binaannya.

"Josh nggak mikir sejauh itu, Mam."

"It's okay, nikahin aja, toh kamu juga suka dia."

"Should I?"

"Kok nanya Mama? Tanya ke diri kamu, harus atau enggak?"

Mama atau Papa bukan orang yang suka memaksa atau menuntut. Malah kayaknya, gak pernah sekali pun gue mendengar mereka melarang gue untuk melakukan apa yang gue mau— terkecuali konteksnya negatif. Meski berasal dari keluarga usahawan, mereka gak keberatan saat gue mengambil kedokteran. Karena bagi mereka, hidup orang itu tak bisa dipaksakan dan mereka tak punya hak untuk mengendalikan.

Udah beberapa hari ini gue gak ketemu sama Alexa, mungkin semenjak kedatangan Mama Papa ke Indonesia. Gue juga sedikit sibuk sih, apalagi kemarin sempet repot sama ulang tahun Rumah Sakit Jiwa. Gue jadi gitaris disana, perform dua lagu aja persiapannya dua tahun. Mana kepala-kepala itu pada gak bisa diatur banget alias latihan isinya bercandaan semua.

Belakangan kondisi gue selalu dalam keadaan baik. Karena kalau ada yang salah sama diri gue, gue pasti akan menghubungi Alexa untuk mengabari apa yang gue rasa. Bodohnya, gue malah berharap kalau gue drop walau satu hari aja. Entah alasannya apa, namun perasaan gue mengakui kalau sepertinya gue ingin bertemu dengan perempuan bernama Alexandra itu.

Biasanya kalau minggu, gue akan menghabiskan waktu dengan cara tiduran sambil nonton film. Tadi udah coba kontak Arel sama Catra, ngajakin mereka ke apart namun dua-duanya bilang gak bisa karena lagi ada acara. Catra mau kondangan, sedangkan Arel ... tadi gak jelas. Kalo gak salah denger sih mau reunian. Kadang sendirian itu gak enak, gue udah bosen banget ngobrol sama pikiran sendiri yang topiknya itu lagi, itu lagi.

Gue sedikit tersentak ketika ponsel yang baru aja disimpan diatas tempat tidur itu bergetar. Awalnya gue pikir yang nelepon salah satu anak manjiw, namun ternyata gue salah karena nama yang terpampang di layar depan rupanya adalah Alexa, dr. Alexa.

"Dokter Joshua di rumah?" Tanpa sapaan dia langsung mengatakan inti pembicaraan.

"Iya, kenapa?"

"Alexa ganggu gak?"

"Nggak kok, ada apa?"

"Mau ... anter saya gak?"

Tanpa sadar gue tersenyum, "Kemana?"

"Nikahan temen."

Posisi gue sontak beralih menjadi duduk, "Kok ngajak saya?"

"Randomly kepikiran. Lagian pasti lagi sendiri, kan?"

"Ya udah, saya jemput dimana?"

"Di lab, serius mau ikut?"

"Kalau diajakin kan gak enak nolak, ya saya ikut. Saya siap-siap dulu, ya, satu jam lagi sampai."

Setelah mengucapkan selamat tinggal, panggilan terputus dan menyisakan gue yang tersenyum sendirian. Josh, lo kenapa sih? Beneran sesuka itu ya sama Alexa sampai-sampai denger suaranya aja berhasil bikin lo bersemu kayak gini? Lo jilat ludah sendiri apa gimana? Yakin bisa menghandle semuanya kalau-kalau perasaan lo makin besar lagi?

Gue menggeleng, cepat-cepat menepis semua pikiran sialan itu untuk bersiap pergi menemui Alexa. Kalau ke undangan, sepertinya gue harus berdandan formal soalnya gak mungkin pakai kaos dan outer doang. Kudu ganteng pokoknya, takut senasib sama Johan dan dituduh bapak-bapak anak dua gara-gara style pakaian doang.

Jarak dari apartemen ke laboratorium Alexa lumayan jauh. Gue memilih menggunakan akses jalan tol supaya waktu tempuh nggak terlalu memakan waktu. Dari tol Pasteur, gue mengambil arah ke exit tol Muhammad Toha. Daerah sini langganan macet, apalagi gue harus melalui satu lampu merah dan pasar tradisional sebelum akhirnya tiba di klinik milik Alexa.

Ketika sampai, kliniknya keliatan sepi walau sebenarnya tetap buka. Gue disambut oleh perawat yang bekerja disana, mereka udah kenal lagi soal siapa gue makanya langsung menyapa dengan ceria. Gue mengabari Alexa, duduk di kursi tunggu sambil sesekali mengobrol dengan perawat-perawat ramah itu.

"Dokter Joshua sama dokter Alexa mau kemana?" Tanya salah satu yang punya tahi lalat dekat hidung.

"Katanya sih ke undangan, mbak."

"Ih, kirain prewedding, cakep banget soalnya haha." Dua perawat itu tertawa, sementara gue cuma tersenyum sambil melihat tubuh gue sendiri melalui pantulan dinding kaca yang tertutup tirai dari dalam. Emang gue terlalu formal ya? Mirip pengantin? Enggak ah kayaknya, biasa aja walau— iya deh, ngapain gue pake jas sebagus ini coba?

"Maaf nunggu, dok." Suara sepatu hak yang bersentuhan dengan lantai membuat gue menoleh. Tanpa janjian sebelumnya, Alexa memakai dress hitam dibawah lutut yang memiliki renda abu-abu pada bagian ujungnya. Rambutnya dicepol sehingga meninggalkan kesan berantakan yang elegan. Sejenak gue terdiam, soalnya ini baru pertama kali gue melihat Alexa melepaskan imagenya yang sederhana.

"Yuk?" Ajaknya sambil tersenyum lebar.

Gue mengangguk, mengikuti dia dari belakang dan menghiraukan kata 'cie' yang perawat itu lontarkan. Gue mempersilakan Alexa naik ke mobil, kemudian ikut masuk melalui pintu kursi pengemudi dan sedikit gelagapan ketika suasana begitu hening.

"Gimana kondisinya? Jarang banget hubungin saya kayaknya."

Jari gue menyentuh tombol power pada media player, tak lama alunan lagu beraliran akustik yang dicover oleh Alexandra Porat memenuhi seisi kendaraan.

Salah sih, suasananya nggak mellow, tapi gue play lagu All I Want yang terkenal diperuntukkan bagi orang-orang patah hati.

"Akhir-akhir ini kondisi saya sangat bagus."

"Sampai gak butuh saya lagi, ya?"

Pertanyaannya membuat konsentrasi gue yang hendak menyeberangi jalanan buyar tiba-tiba. "Maybe yes, bukannya bagus ya kalau saya gak hubungin dokter Alexa?"

"Iya kalau urusannya soal kesehatan dokter Joshua, tapi enggak kalau urusannya sama perasaan saya." Gue gak berani noleh sama sekali, "Kita ... udah resmi kan?"

"Apanya?"

"Ya kita."

Senyuman gue tak dapat ditahan lebih lama lagi, "Maksudnya apa sih?" gue pura-pura bodoh.

"Minggu lalu kan, di rumah dokter Joshua, kita saling ngakuin perasaan masing-masing. Dokter Joshua suka ke saya, saya apalagi. Jadi ... we are official now, right?"

"Hm, ya." jawab gue singkat, namun berhasil membuat perempuan di sebelah gue hampir memekik sangat kencang. "Katakan begitu."

"God." lirihnya, "Still can't believe this, apalagi ini keluar dari mulut dokter Joshua langsung."

"Stop call me doctor then. Josh, just call me Josh." Kata gue, meliriknya sebentar sampai wajah berserinya kelihatan.

"Okay, Josh." Katanya kaku, "Seminggu ini ... kemana aja?"

"Ada aja, berkegiatan seperti biasanya, nggak ada yang spesial kecuali pas ulang tahun RSJ tadi malam." Gue belum tau arah perjalanan kita kemana, namun sok tau dengan mengarahkan kendaraan menuju pusat kota. "Kalau kamu, Alexa?"

Emang beneran canggung kayaknya kalau cuma manggil nama aja.

"Seperti biasa, sibuk di lab dan praktek di RS, nothing special." Jawabannya hampir persis dengan jawaban gue, "Ke arah Juanda, hotel deket Borromeus." dia memberitahu ketika sadar bahwa dirinya belum mengatakan kemana kita harus pergi.

"Yang nikahan siapanya kamu? Temen kuliah?"

"Mantan."

Kalau gue adalah Catra atau Johan, sudah dipastikan bahwa yang pertama kali gue lakukan adalah mengumpat.

"Ngapain dateng?"

"Mau ngucapin selamat aja, lagian kan diundang, temen kuliah juga. Pacarannya cuma tiga bulan kok, mantan selewat."

Ada ya mantan selewat?

Sebenarnya Alexa itu kayak apa? Kok gue ngerasa kalau gue belum cukup mengenal dia? Sepertinya masih banyak sisi dari dirinya yang harus gue tau selain ini.

"Terus tau gak kenapa saya ngajak dokter— sorry, I mean, ngajak kamu?"

"Kenapa?"

Dia terkekeh pelan, "Nanti aja deh, takut gak berhasil soalnya."

Gue meliriknya bingung, penasaran mau tau ada apa cuma kayaknya dia lagi kesenengan tanpa sebab. Alhasil gue cuma menarik napas panjang dan menggeleng pelan, lebih memilih fokus pada jalanan yang lumayan padat dan sesekali bersenandung kecil. Gue lagi suka banget lagu Jealous dari Labrinth soalnya, padahal lagi nggak galau tapi playlist sedih semua.

"Moodnya bagus banget kayaknya." Celoteh Alexa yang sejak tadi tak henti memandangi gue barang sedetik saja. Seolah kalau dia memalingkan tatapannya, dia bisa aja kehilangan gue untuk selamanya.

"Akhir-akhir ini lagi suka lagunya, kebetulan keputer."

"Jealous." Dia menyebutkan judul lagu yang sedang terputar, "I love this song too, soalnya relate sama apa yang terjadi."

Gue nggak bertanya apa, soalnya tanpa menanyakannya pun gue sudah tau jawabannya; dia cemburu pada apapun yang ada disekitar gue. Dia menyisihkan tema perpisahan disana, dia cuma mengambil beberapa penggalan lirik yang gue duga menjadi alasan kenapa dia mengatakan suka juga pada lagu ini.

"Alexa, are you jealous of the wind, the rain, and the nights? Why?"

"Sama seperti lagunya, karena mereka lebih dekat dengan kamu dibanding aku." Sedikit belum terbiasa oleh sebutan aku-kamu, rasanya masih asing di telinga. "And nights ... I always wonder who you lay next to. Apakah ada orang lain? Yang mungkin mengambil tempat itu lebih dulu daripada aku?"

"Kamu harus berhenti cemburu kalau begitu." Gue sendiri gak tau apa yang membuat gue meraih tangannya tanpa aba-aba seperti sekarang ini. Seluruh syaraf dalam tubuh gue tak bisa dikendalikan, dia bergerak tanpa diperintah hingga akhirnya kelima jari tangannya berhasil gue genggam.

"Because the place is yours, tempat itu punya kamu."

Ah, sumpah.

Sejak kapan Joshua jadi bermulut buaya seperti ini?

"And I wonder ... aku bertanya-tanya apakah aku bisa di tempat itu selamanya atau enggak?"

Seharusnya kita nggak membicarakan ini di siang yang terlalu indah untuk kita rusak. Pertanyaannya belum bisa gue beri jawaban. Gue sendiri gak tau, gue gak tau apakah dia bisa terus ada disebelah gue atau malah sebaliknya.

"Yah, lampu merah." eluh gue saat mobil kebetulan berhenti karena lampu lalu lintas yang berubah merah. Gue harus berbelok ke kanan dan mengambil arah ke jalan Moch Ramdan. Bisa sih lurus, tapi macetnya suka parah apalagi di daerah Kebon Kalapa.

"Kayak temen kamu." Awalnya gue gak ngeh sebelum Alexa berbicara demikian. Gue melihat kemana dia menatap, lalu membuka kaca jendela ketika kendaraan roda dua disebelah gue rupanya dinaiki oleh seseorang yang amat gue kenal.

Jourell Ravinsa.

Entah sama siapa, yang pasti sih sama cewek.

"Bro, bukannya reuni?" Arel sedikit tersentak, dia langsung tersenyum lebar sampai semua giginya kelihatan saat tau gue yang menyapa.

"Eh, Jo, baru balik ini. SMA gua disono noh, deket pasar." katanya, menunjuk-nunjuk arah belakang dan hampir menampar wajah cewek dibelakangnya.

"A Arel ih!" perempuan itu menepuk bahu Arel, gue dan Alexa sontak ketawa namun langsung menghentikannya— gak enak soalnya.

"Kemana lu? Eh, ada dokter Alexa, siang dok!" Sapanya.

"Siang, Mas Arel." Alexa tuh ramah banget ya sama orang? Nada suaranya ... terdengar santun dan akrab.

"Anjing, monyet!" Gue sama Alexa panik ketika Arel berteriak. Gue pikir dia maki-maki orang, tapi ternyata Arel kaget gara-gara ada topeng monyet yang monyetnya keliling mintain saweran deket kakinya dia. Khawatirnya dia hilang keseimbangan, soalnya anaknya kaget banget sampe cengo kayak gitu.

"Nyet! Kira-kira dong lu, gua pikir mau naik ke kaki gua!"

"Punten bang, monyetnya baru, masih agak liar."

"Lu lagi mang, eksploitasi terhadap hewan liar apalagi primata tuh gak boleh! Ken, kasih cebu."

"Iya A, iya, jangan marah-marah ah, malu." Gebetan Arel— sebut saja begitu, mengeluarkan selembar uang dua ribuan dari dalam tasnya. Bersamaan dengan itu, penghitung mundur waktu didepan sana sudah ada di angka sepuluh yang berarti sebentar lagi kita udah bisa mulai jalan lagi. Tampaknya Arel juga mau ambil arah yang sama, sebelum menutup kaca helmnya dia sempat berpamitan dengan gue dan juga Alexa.

"Ketemu besok, bro!" katanya.

"Yo!" balas gue.

"Lawak banget sih temen-temen kamu." Tawa Alexa masih belum juga berhenti karena tragedi monyet tadi. "Semuanya kayak gitu ya? Kamu juga, Josh?"

"Nggak, aku nggak separah mereka." Gue menolak digeneralisir dengan mereka. "Arel anaknya emang rada absurd, jalan pikirannya agak beda sama yang lain."

"Kok bisa? Emang kerjanya apa dia?"

"Psikolog."

"Oh, pantes." Dia memaklumi, "Jadi pengen ketemu sama temen-temen kamu itu, deh."

"Sebaiknya sih jangan, sebaiknya ya." Gue memperingatkan, "Aku aja kadang heran kok bisa temenan sama mereka. But they are really good, dan kayaknya ketemu mereka adalah sebuah berkah buat Joshua."

Meski gue selalu geleng kepala tiap kali liat kelakuan mereka, gue tetap bersyukur karena bisa menjadi bagian dari Manjiw Squad. Mereka adalah apa yang nggak mungkin untuk orang lain dapatkan. Dan lo, lo gak akan bisa menemukan spesies langka seperti manusia-manusia itu dimanapun kecuali di Rumah Sakit Jiwa. Gak akan.

"Senang mendengarnya, orang baik emang pasti ketemu sama orang baik lagi." Iya, mereka baik, dan lo juga baik. "By the way, you look so good with this suits."

Gue berdecih pelan, "Nggak berlebihan kan kalau berpakaian seformal ini? Soalnya bilangnya undangan, jadi pakai ini."

"Nggak, as I said, it suits you well."

"You too." Gue memujinya balik, "Kamu cantik pakai baju dan riasan itu."

"Aneh gak sih aku make up setebal ini?" Dia mendekatkan wajahnya, mengibaratkan seolah-olah gue ini adalah cerminnya.

"Cantik, kok. Semakin dewasa."

Harusnya gue jawab cantik banget, tapi masih ngerasa canggung dan takut dicap gombal sama dia. Obrolan seputar selera pakaian mengalir gitu aja, soal dia yang suka banget kaos dan blouse sederhana, atau soal gue yang lebih prefer pakai outer seperti blazer ataupun kemeja kalau pergi kerja. Tanpa terasa, mobil sudah memasuki jalan Ir. Juanda. Daerah sini memang banyak sekali hotel, mulai dari yang biasa sampai yang bintang lima.

Gue sedikit kaget saat pernikahannya mengusung adat Sunda. Kedua mempelai bermuka oriental dan nggak keliatan seperti tipe orang yang suka dengan adat-adat tradisional. Saat tiba, acaranya sedang diisi oleh pemberian lagu dari orang-orang terdekat mempelai. Lumayan ramai suasananya, apalagi secara kebetulan teman-teman Alexa masih berada disana hingga suasana terkesan semakin ramai.

Gue yang kurang suka berada di kerumunan asing jelas merasa tidak nyaman. Apalagi Alexa sedikit kewalahan saat menjawab pertanyaan soal siapa lelaki yang ada disampingnya. Kita gak punya status, dan itu menyulitkan Alexa untuk menjawab jenis hubungannya sekarang. Tak mau membuatnya semakin kebingungan, gue berinisiatif untuk menjawab mereka dalam satu kalimat saja.

"Saya tunangannya."

Dua kata, namun efeknya mampu membuat mulut-mulut itu terdiam.

Gak hanya teman-temannya yang merasa kaget, tapi juga perempuan bernama lengkap Alexandra Intania. Gue menggenggam tangannya, memasang senyum terbaik yang gue punya kepada mereka semua.

"Kok gak ada cincin?"

Jeli deh matanya, sampai merhatiin sejauh itu.

"I'm a neurologist, and she's a pathologist. Saya punya operasi kemarin, pun dengan Alexa yang baru keluar dari lab."

Kepalanya mengangguk percaya, "Ah iya, kan gak boleh pakai aksesoris." katanya.

"Eh, mau pada lempar bunga tuh, ikutan yuk! Ikutan!" Ajak salah satu temannya yang sejak tadi cuma bersorak kagum kepada Alexa. Orang-orang itu langsung mendekat ke pelaminan, juga dengan Alexa yang kelihatan antusias dan berniat pergi sebelum gue menahan pergelangan tangannya.

"Josh, kita juga ikutan!" Katanya saat sadar kalau gue mencekalnya.

"Gak perlu, mitos aja lagian."

"Gak apa-apa, seru. Inget kan alasan aku ajak kamu kesini apa? Nangkap bunga—"

"Di nikahan mantan?"

"Josh!" pekiknya, "Please ... just once ... okay?"

Mukanya langsung melas mirip anak kucing, "Okay, just once."

"Yeay!"

Gue mengikuti langkah Alexa, dia membuat ancang-ancang sambil sesekali menabrak bahu gue. Fokusnya cuma sama buket bunga, sampai nggak peduli pas orang-orang disebelahnya hampir buat dia jatoh. Untung aja gue cukup cekatan buat nahan bahu dia, dianya sih masih gak sadar juga dan malah neriakin kata lempar bareng temen-temennya yang lain.

Minat gue nggak begitu tinggi sih, malah kesannya gak peduli. Tapi entah gimana ceritanya, bunga itu justru malah mengarah kepada gue hingga refleks saja tangan gue terangkat untuk menangkapnya. Gue pikir akan meleset, tapi sepertinya, apa yang gue pegang dengan tangan kanan sekarang betulan buket bunga mawar yang masih aja diperebutkan.

"Josh, you got it!" Alexa bertepuk tangan kencang, "Woah, I don't expect that you got it!"

"Ini kan yang kamu mau?" Gue memberikan buket bunga itu kepadanya, "Karena udah dapet dan ini udah mau sore, yuk, kita pulang."

Perempuan itu menatap gue bingung, "Josh?"

***

"Kenapa kamu yang dapet? Kenapa nggak aku? Kenapa nggak kita berdua? Ih, kesel banget!"

"Kan yang penting dapet."

Jas yang tadi gue pakai ditinggal didalam mobil dan menyisakan gue dengan kemeja hitam saja. Tadinya mau langsung pulang aja, tapi pas kebetulan lewat ke balai kota, gue jadi keingetan kalau gue udah lama penasaran pengen berkunjung ke tempat ini.

Dan disinilah kita berada, di sebuah bangku dekat labirin yang menghadap langsung pada keramaian di tengah-tengah taman. Rasanya adem, sejuk, dan lebih tenang dibanding harus berada dalam pesta pernikahan yang lebih didominasi dengan pamer pasangan dan pekerjaan itu.

"Tapi aku maunya ... yaudah deh, lagian buat apa kan cuma bunga." Dia menyimpan bunga itu sembarangan, tidak seperti tadi yang terus dia pegang.

"Mau bunga apa? Berapa banyak? Gak perlu desek-desekan gitu, aku bisa beliin buat kamu, Alexa."

"You'll married soon." Gue gak paham dia bahas apa, "Tapi aku nggak tau, nikahnya sama siapa soalnya kamu cuma pegang bunga itu sendirian."

"Itu mitos."

"Tapi aku percaya."

Seperti yang lo tau, gue gak mungkin menikah karena kondisi gue yang sekarang.

"Alexa, kamu kenapa sih?"

"Joshua," tatapannya terasa dalam, "Kamu beneran suka atau cuma kasihan sama aku?"

"Maksudnya?"

"Maaf, aku gak bermaksud."

"I love you, dan kamu tau itu. Sekali bilang nggak cukup ya? I love you, I love you, I love you. Really love you."

"Kamu ... " Seluruh wajahnya memerah dengan tawa yang tiba-tiba keluar, "Stop, itu bikin geli." katanya sambil menepis muka gue yang tadi sengaja didekatkan kearahnya.

"Jangan bikin aku terus ngulang apa yang udah aku katakan. Meski sekali, semuanya aku pertanggungjawabkan. I'm serious about it, and i hate to replay it. Ngerti?"

"Tapi aku suka kalau kamu terus bilang itu."

Aku nggak suka. Karena jantung aku gak pernah baik-baik aja tiap aku bilang itu.

"Bahagia selalu, Josh." I love the way she call me Josh, sounds great. "Dengan siapapun itu, tolong bahagia selalu."

"Kenapa ada kata dengan siapapun itu?"

"Karena aku gak tau kamu akan hidup sama siapa kedepannya. Mungkin aku, atau mungkin perempuan beruntung lain."

Kenapa yang gue dapatkan justru adalah rasa hilang harapan?

Kita memang gak punya harapan setinggi orang-orang. Tapi tolong selalu ingat, meski gak tinggi, harapan itu ada karena gue juga manusia, ingin hidup normal mengikuti aturan dan kodrat.

"Bunga ini buat kamu." Gue memberikan bunga yang dia simpan asal itu ke pangkuannya, "Aku yang dapat, dan aku ngasih ini buat kamu. Tau apa artinya?"

Dia menggeleng,

"Kalau mitos itu benar, maka kamu yang jadi pasangannya. I hate to repeat, simpan itu baik-baik di kepala kamu dan jangan sampai lupa."

"Ayo pulang." Dia begitu tergesa-gesa sampai gue kaget sekali saat tangannya menyeret gue dari sana. Sesekali dia mengusap pipinya, isakan pelan juga terdengar walau gue gak paham dengan situasinya sekarang. Perkataan gue ada yang salah ya? Atau apa? Kenapa dia tiba-tiba—

"Thank you, thank you for saying that."

Gue nyaris terjengkang ke belakang saat Alexa memeluk gue di parkiran. Gue yang semula berpegangan ke bahunya balas memeluknya, lalu tersenyum saat mengerti kalau ajakan pulangnya adalah untuk menghindar dari keramaian supaya bisa memeluk gue seperti sekarang.

"Lemah, gitu aja nangis, cengeng ah." ucap gue sambil menepuk punggungnya pelan.

"Kata-kata aja udah cukup kok, Josh. Gak perlu direalisasikan, cukup terus katakan itu supaya aku bahagia."

"Manusia itu gak boleh pasrah." Tengkuknya gue usap, "Kita cari cara kalau memang kamu sepengen itu buat bersatu sama aku."

Karena sepertinya, gue juga mau hidup bersama lo, Alexandra.

Gue ingin melupakan kefatalan yang gue anggap gak bisa dipersatukan. Gue ingin hidup selayaknya alasan kenapa manusia diciptakan; berpasang-pasangan. Gue ingin mencoba, apapun hasilnya, gue hanya ingin mencoba.

Karena menjadi satu itu bukan dosa,

Menjadi sakit itu juga bukan dosa.

Tugas manusia hanya berusaha, apapun yang terjadi kedepannya, tugas kita ... hanya berusaha.





✡️✡️✡️


Finally, Joshua

Maaf menunggu lama, sibuk bgt aku kayak pejabat

Continue Reading

You'll Also Like

22.6K 3.4K 28
Jung Soonyoung, remaja laki- laki tampan, lucu dan baik. Keberuntungan- keberuntungan kerap kali datang pada hidupnya. Namun keberuntungan itu diawal...
oh, haris By .

Fanfiction

442K 91.7K 29
Tentang bagaimana aku mencintai seorang Haris Januar.
217K 33.1K 60
Jennie Ruby Jane, dia memutuskan untuk mengadopsi seorang anak di usia nya yang baru genap berumur 24 tahun dan sang anak yang masih berumur 10 bulan...
18K 4K 22
🕊 la confianza series : jisung jiheon🕊 awalnya jisung penasaran gara-gara renjun ke la confianza, tapi malah jatuh hati sama tetangga. 'la confianz...