The Masquerade PRINCE [COMPLE...

By D-Vinchi

691K 40.3K 2K

#1 The Eagle Five Series. Ini adalah draft pertamaku. Masih banyak kekurangan dan belum direvisi. ___________... More

BLURB
The Masquerade PRINCE | PROLOG
The Masquerade Prince | Chapter 1 - Haughty Man
The Masquerade Prince | Chapter 2 - A Promise
The Masquerade PRINCE | Chapter 3 -- Park Incident
The Masquerade PRINCE | Chapter 4 - Returning The Favor
The Masquerade Prince | Chapter 5 - They Must Be Safe First
The Masquerade Prince | Chapter 6 - Business Meeting
The Masquerade Prince | Chapter 7 - Mired
The Masquerade PRINCE | Chapter 8 - Fake Help
The Masquerade Prince | Chapter 9 - New Job
The Masquerade Prince | Chapter 10 - There's No Second Help
The Masquerade Prince | Chapter 11 - Truly a Prince
The Masquerade Prince | Chapter 12 - Meet Riana
The Masquerade Prince | Chapter 13 - Revenge Will Return
The Masquerade Prince | Chapter 14 - A Maid
The Masquerade Prince | Chapter 15 - Flower Seeds
The Masquerade PRINCE | Chapter 16 - Shocking Incident
The Masquerade PRINCE | Chapter 17 - They (Again)
The Masquerade PRINCE | Chapter 18 - Dinner
The Masquerade PRINCE | Chapter 19 - Sensitive Thing
The Masquerade PRINCE | Chapter 20 - Her Favorite Place
The Masquerade PRINCE | Chapter 21 - Sick
The Masquerade PRINCE | Chapter 22 - Tears
The Masquerade PRINCE | Chapter 23 - Before It's Too Late
The Masquerade PRINCE | Chapter 24 - Puzzles
The Masquerade PRINCE | Chapter 25 - Nightmare
The Masquerade PRINCE |Chapter 26 - A Piece Of Fact
The Masquerade PRINCE | Chapter 27 - Puzzles (2)
The Masquerade PRINCE | Chapter 28 - A Piece of Fact (2)
The Masquerade PRINCE | Chapter 29 - What's Wrong With Her
The Masquerade PRINCE | Chapter 30 - Is He a Stalker?
The Masquerade PRINCE | Chapter 31 - Always Wrong
The Masquerade PRINCE | Chapter 32 - A Little Fact
The Masquerade PRINCE | Chapter 33 - Acting Up
The Masquerade PRINCE | Chapter 34 - Care or Don't Care Actually?
The Masquerade PRINCE | Chapter 35 - Her Fiance?
The Masquerade PRINCE | Chapter 36 - Fall down
The Masquerade PRINCE | Chapter 37 - I'll Keep You Safe
The Masquerade PRINCE | Chapter 38 - Play The Game
The Masquerade PRINCE | Chapter 39 - Play The Game (2)
The Masquerade PRINCE | Chapter 40 - Big Secret
The Masquerade PRINCE | Chapter 41 - Unexpected
The Masquerade PRINCE | Chapter 42 - Show You
The Masquerade PRINCE | Chapter 43 - You Play My Emotions
The Masquerade PRINCE | Chapter 44 - Being Frustrated
The Masquerade PRINCE | Chapter 45 - Fall in Love
The Masquerade PRINCE | Chapter 46 - Make You Feel Valuable
The Masquerade PRINCE | Chapter 47 - Closer
The Masquerade PRINCE | Chapter 48 - Her Fear
The Masquerade PRINCE | Chapter 49 - Become My Future
The Masquerade PRINCE | Chapter 50 - Under The Stars
The Masquerade PRINCE | Chapter 51 - You Destroy Me
The Masquerade PRINCE | Chapter 52 - The Truth
The Masquerade PRINCE | Chapter 53 - Painful
The Masquerade PRINCE | Chapter 54 - Alessia's Plan
The Masquerade PRINCE | Chapter 55. 2 - Unexpected Answer
The Masquerade PRINCE | Chapter 56 - Unstoppable
The Masquerade PRINCE | Chapter 57 - Drive Me Crazy
The Masquerade Prince | Chapter 58 - I beg you
MEET THE CHARACTERS
The Masquerade PRINCE | Chapter 59 - Stay By My Side
The Masquerade PRINCE | Epilog
EXTRA PART

The Masquerade PRINCE | Chapter 55. 1 - Unexpected Answer

7.9K 506 45
By D-Vinchi

Update!

Happy reading!

______________________________________

Playlist : Stockholm Syndrome--Sofia Karlberg

____________________________________

Madrid, Spain. 10.00 AM

Gadis yang pagi ini mengenakan dress putih tulang dengan bandana melekat di kepala, tampak duduk gelisah di bangku penumpang belakang dan terus berkeringat dingin. Kedua tangannya saling meremas di pangkuan. Semalam, setelah perbincangan menguras emosi selesai, Alessa mengatakan pagi ini Anna akan diajak bertemu John Martin.

Awalnya Anna jelas menolak. Ia belum siap bertemu orang yang telah berjasa sekaligus menyakitinya begitu pelik. Namun, dengan segala bujuk rayuan, Alessa berhasil meyakinkan Anna bahwa semua akan baik-baik saja.

Di tengah perasaan cemas dan takut yang mendominasi, Anna sebenarnya juga merasa rindu begitu dalam. Sayangnya, bayangan kekerasan yang pernah John Martin lakukan padanya, menutup rasa rindu itu.

Kening Anna berkerut dalam saat mobil yang membawanya bersama Alessa memasuki gerbang tinggi yang dijaga ketat. Mereka bahkan diharuskan melalui serangkaian pemeriksaan sebelum masuk ke sebuah bangunan besar beraura sedikit menyeramkan.

"Kak, kenapa kita ke sini?" tanya Anna ketika mereka berdua berjalan di belakang pria berseragam kepolisian. Gadis itu memandang ngeri setiap tahanan di balik jeruji besi yang berada di sisi kanan dan kiri lorong panjang.

"Kalian tunggu di sini." Pria berkumis tebal tadi berujar begitu mereka sampai di ruangan berukuran tak terlalu luas. Di tengah-tengah ruangan tersebut ada meja lebar dengan dua kursi yang saling berhadapan.

Alessa hanya mengangguk sebelum menatapnya teduh. Wanita berambut blonde itu mengusap punggung Anna berulang kali. "Bertemu papa tirimu. Apa lagi?"

"Tapi kenapa di sini--"

Anna menghentikan ucapannya saat polisi tadi datang bersama seorang laki-laki yang mengenakan seragam tahanan dan tangan diborgol ke depan. Gadis itu terkesiap, tangannya langsung menutup mulutnya tidak percaya.

"Waktu kunjungan kalian hanya lima menit," ucap pria berseragam kepolisian usai mengantarkan John Martin ke hadapan mereka, kemudian keluar dan mengawasi dari balik pintu kaca.

Sosok John Martin masih mengamati wajah Anna dalam diam. Mata lelaki itu tampak berkaca-kaca.

"Papa," lirih Anna, ragu-ragu mendekati papanya. Ia terkejut saat John tiba-tiba beringsut maju dan bersujud. Pria itu bersikukuh memegang kakinya ketika Anna memaksanya bangun. "Berdiri, Papa, jangan seperti ini."

John Martin menggeleng berulang kali. "Maafkan aku, Anna, maaf. Aku bukan Papa yang baik untukmu. Aku tidak pantas menjadi Papamu."

"Papa ... kumohon, jangan bicara begitu." Anna ikut menjatuhkan tubuh dan memeluk papanya erat. "Aku sudah memaafkan, Papa. Jauh sebelum Papa meminta maaf."

Mereka terisak. Untuk beberapa detik John Martin terus menggumamkan kata maaf yang dibalas gelengan kecil Anna.

"Sudah, Papa. Sekarang kita buka lembaran baru ya? Semua sudah terjadi. Papa tidak perlu menyesalinya." Anna melerai pelukan lalu merangkum wajah papanya, menghapus jejak air mata yang membasahi pipi John Martin.

"Papa mohon maaf sebesar-besarnya, Anna. Waktu itu Papa kalut karena terdesak hutang-hutang pasca membiayai pengombatan mamamu. Selama ini baik papa ataupun mama sengaja merahasiakan penyakit yang mamamu derita agar kau fokus menyelesaikan pendidikan. Papa akui waktu itu sangat bodoh dengan menyakiti fisikmu. Tapi percayalah, Papa sebenarnya tidak tega melakukannya." John Martin meraih kedua tangan Anna dan meremasnya pelan. Mata pria itu begitu terluka seiring bibirnya melanjutkan ucapan, "Papa hanya tidak ingin kau bernasib sama seperti anak kandung Papa."

"Anak kandung Papa?" tanya Anna, menetralkan suara.

"Sebelum kau diadopsi, kami sempat mempunyai anak perempuan. Tapi kami harus merelakannya ketika baru berumur lima bulan diambil rentenir sebagai ganti pembayaran hutang." John Martin menunduk. Bahu lelaki itu terguncang hebat. "Satu minggu setelah putri kami diambil paksa, kami menyelamatkanmu dari kecelakaan tragis. Dan kami sengaja tidak mengembalikan atau mencari tahu keluargamu karena kami begitu menginginkan kehadiran anak, setelah istriku sempat divonis tidak dapat mengandung lagi."

Anna semakin tergugu di depannya. Alessa yang menyaksikan tak jauh dari mereka ikut terharu. Perempuan itu menarik napas berulang kali sembari menghapus butiran air mata yang jatuh.

"Tapi ... sekarang Papa sangat berterima kasih kepada kakakmu yang telah menyadarkan betapa brengseknya Papa sebagai orang tua." John Martin mendongak, menatap Alessa berkaca-kaca. "Terima kasih, Nak."

Alessa hanya tersenyum, lalu mengangguk.

"Jangan menangis, Papa. Kau adalah Papa terhebat yang aku punya. Berkatmu dan mama aku dapat merasakan kasih sayang orang tua." Anna beringsut memeluk dan kembali menangis di bahu John Martin.

Pria itu memejamkan mata erat seraya mengelus rambut Anna sayang. "Terima kasih juga telah memaafkan Papa." Gadis dalam dekapannya mengangguk-angguk. "Nak, bila suatu saat kau bertemu dengan putri Papa, maukah kau memintakan maaf?"

Anna melonggarkan pelukan. John Martin bergerak menghapus air mata yang terus membanjiri wajah putri angkatnya. "Aku akan mencari keberadaan putri Papa dan memintakan maaf. Tapi ... siapa nama putri kandung Papa?"

John Martin mengulas senyum tanda terima kasih. Baru saja lelaki itu hendak membuka mulut, seorang polisi yang sejak tadi mengawasi mereka masuk dan memberitahukan jika jam besuk sudah habis. Anna terpaksa mengucapkan salam perpisahan dan berjanji akan sering mengunjungi John Martin setelah ini.

"Bagimana perasaanmu? Apa kau senang bisa bertemu papamu?" tanya Alessa saat mereka berjalan menuju mobil yang sudah menunggu mereka di luar.

"Aku merasa lega. Tapi juga tidak tega melihat papa dipenjara."

"Dia pantas mendapatkannya setelah semua penganiayaan yang dia lakukan padamu, Anna."

Mendengar kakaknya menjawab dengan nada tak suka, Anna mengulas senyum. "Iya, Kak. Aku hanya tidak tega bukan tidak setuju papa ditindak pidana." Alessa tidak bersuara. "Kenapa Kakak baru mempertemukanku dengan papa sekarang?"

"Karena Kakak rasa ini waktu yang pas," sahut Alessa sebelum mengerutkan kening melihat seorang laki-laki berkacamata tergopoh-gopoh menghampirinya saat mereka sampai di dekat mobil. "Ada apa?"

Laki-laki itu terlihat mengontrol napas sebelum mengangsurkan map. "Saya sudah berhasil mendapatkan semua informasi yang Anda dan Tuan Abraham minta, Nona."

Raut wajah Alessa seketika berubah serius. "Termasuk identitas anak John Martin?"

Melihat laki-laki itu mengangguk, Anna tidak dapat menahan pertanyaan. "Informasi apa, Kak?"

Alessa menolehnya. Perempuan itu menarik lengan Anna agar segera masuk mobil. Begitu duduk berdampingan di bangku belakang, Alessa membuka map tergesa-gesa.

"Sejak pembicaraan kita semalam, sebenarnya Kakak mencurigai satu hal. Dan mari kita buktikan kebenarannya."

Bola Mata Alessa bergerak-gerak saat membaca informasi yang tercantum di kertas yang dikeluarkan dari map. Sebelum Anna sempat ikut membaca, perempuan itu terburu-buru mengeluarkan kertas lain.

Alessa terlihat membelalakan mata dan menutup mulutnya tidak percaya. "An--na ...."

"Ada apa, Kak?" Anna menggeser duduknya lebih dekat, ikut merasa gusar.

"Kau harus baca ini." Alessa mengamati lekat perubahan yang terjadi pada raut wajah adiknya. Ia tahu Anna tidak mudah percaya, terbukti gadis itu berulang kali menatapnya memastikan.

"Kak ...."

"Ya ... informasi yang kau baca saat ini valid, Anna." Ia mengulurkan tangan mengelus pundak Anna yang menunduk tergugu. Tak tega melihatnya semakin terguncang, Alessa mendekap Anna dari samping. "Putri John Martin adalah orang yang sama yang telah menjebakmu di pesta malam itu. Dia mengira kau telah merebut John dan Camilla Martin darinya."

***

Rexonne bersandar santai di badan mobil sembari memainkan ponsel. Saat mendengar derap langkah melewatinya, ia mendongak sebelum membenarkan letak kacamata hitam yang bertengger di hidung.

"Sensor detected."

Seraya mengunyah permen karet, Rexonne memasukkan sebelah tangannya ke dalam saku celana, memandang ke arah pintu masuk restoran yang sesaat lalu dilewati seorang laki-laki jangkung berwajah blasteran.

"Data terkirim," gumamnya lagi kepada orang di seberang sambungan invisible earpiece.

Orang-orang yang melihatnya mungkin mengira Rexonne hendak makan siang di restoran Los Montes de Galicia dan sedang menunggu kedatangan seseorang. Padahal ia berdiri di sana untuk men-scan setiap pengunjung menggunakan kacamata yang ia kenakan.

"Sialan, data mereka cocok."

Rexonne menyeringai. "Sudah kuduga."

"Terus awasi pergerakan mereka, Five." Suara lain menyahut lebih tenang. "Satu target lagi."

"I will." Rexonne bergumam kemudian berpura-pura menelpon saat pria tadi keluar bersama seorang wanita berambut merah bata dan masih mengenakan seragam pelayan.

Melihat mereka berjalan tergesa-gesa, Rexonne segera memasukkan benda kecil ke dalam mulutnya sebelum mengeluarkannya bersama permen karet. Bekas permen karet itu langsung menempel di sepatu pria tadi. Rexonne lantas tersenyum remeh kemudian memberi instruksi orang di seberang sambungan seraya berjalan masuk ke mobil.

"Segera meluncur."

Sembari memanuver mobil mengikuti jejak kendaraan yang baru saja keluar area parkir, Rexonne menyambungkan ponsel yang terhubung alat penyadap suara dalam permen karet, ke interkom di atas dashboard. Suara orang berdebat langsung terdengar sepersekian detik berselang.

"Ini gawat. Lelaki brengsek itu bisa saja menyebutkan namaku. Sialan, kenapa kau tidak bertindak, Bastard?"

"Kau pikir aku tidak memiliki pekerjaan selain terus mengawasi Anna, huh?"

"Tapi ... setidaknya kau bisa--"

"Bisa apa, hah? Sampai berani kau mencela, kubenturkan juga kepalamu supaya otakmu encer." Suara bass terdengar menggeram. "Jangan mentang-mentang sudah berhasil menempelkan chip di belakang telinga Anna, lantas kau berada di atas angin. Lawan kita bukan orang remeh, Sialan!"

"Kau dengar sendiri, One? Sejak kemarin aku sangat percaya bahwa Anna tidak bersalah." Rexonne terkekeh meremehkan. "Sudah kubilang, aku lebih cocok menggantikanmu sebagai calon mempelai pria."

"Sial. Tutup mulutmu, Brengsek." Dexter menggeram rendah. Nada suaranya terdengar mengancam. "Fokus saja mengawasi mereka."

Rexonne kian menyeringai. Matanya tidak pernah lepas memantau laju kendaraan di depannya.

"Tetap saja semua ini ulahmu. Kalau malam itu kita bergerak cepat, sekarang Anna sudah ada di tangan kita."

"Kau pikir Abraham sialan itu orang biasa yang bisa diremehkan begitu saja? Dia seorang pebisnis, Bodoh, mustahil bila ia tidak menyewa mata-mata untuk mengawasi Anna."

Perdebatan kakak beradik itu mengundang pertanyaan setiap kepala yang mendengar, kecuali Dexter.

"Jadi Anna saat ini ada di tangan Abraham? Tapi siapa Abraham?" Fexonne menyerukan pertanyaan, mewakili lainnya.

"Dia kakek Anna, benar kan, One?" Alex justru yang menjawab. Rexonne yakin di tempat mereka berada sekarang, Dexter sedang menatap Alex curiga. Terbukti sepersekian detik setelahnya Dexter bertanya dengan nada interogasi.

"Dari mana kau tahu?"

Alex terdengar terkekeh singkat. "Have you forgotten if Alessa is mine?"

"Shit." Mereka saling mengumpat.

"Ya Lord, aku hampir lupa bahwa Alex pria paling gila di dunia. Maybe Dextier will imitate soon?"

Dexter sekali lagi mengumpat, "Go fuck yourself, Five."

"Kembali ke rencana, Guys. Berhenti bicara." Arume menginterupsi. "Five, kami segera sampai di titik poin. Kau sudah menyelesaikan langkah pertama?"

"Aku sudah menutup jalan lain. Mereka pasti melewati titik poin kita."

"Bagus. Terus awasi pergerakan mereka."

Lima belas menit kemudian--seperti yang diucapkan Rexonne, mobil yang diikutinya bergerak melewati jalanan sepi tanpa bangunan. Kakak beradik itu juga masih terdengar berdebat.

"Bisa tidak kau diam? Pikirkan suasana dukaku juga, Bitch. Ayahku meninggal tanpa aku tahu jasadnya dan kau selalu saja menyalahkanku di setiap kesempatan."

"Kenapa kau tidak terima dikatakan bodoh, padahal kenyataannya memang demikian?"

Suara bass terdengar membentak, "Beginikah caramu berterima kasih setelah aku dan daddy mengurusmu selama ini?! Ingat fakta bahwa kau dijadikan alat membayar hutang orang tuamu."

"Bajingan. Berhenti membahas fakta sialan itu!"

"Target masuk."

"I see. Let's play the game, Eagle Five." Arume menyahut.

Rexonne mengeluarkan pistol dari dalam jas, kemudian membuka kaca mobil di sisinya. "Sistem, ambil alih kemudi."

"Baik, Sir."

Setelah mendapat sahutan sistem yang tertanam di mobilnya, Rexonne mengarahkan pistol ke mobil yang melaju sedikit kencang di depannya. Peluru melesat mengenai ban mobil yang langsung meledak. Kendaraan roda empat itu sempat oleng sebelum menabrak pohon besar yang berada di sisi kanan jalan. Seruan panik dan umpatan kasar terdengar dari ponsel Rexonne yang masih memutar percakapan mereka.

Pria bermata abu itu menyeringai, lalu memerintah sistem untuk menghentikan kendaraan di dekat mobil yang bagian depannya telah mengeluarkan asap. Di waktu yang bersamaan, empat orang keluar dari balik semak-semak, saling menodongkan senjata api ke arah mobil target.

"Kalian terkepung. Keluar baik-baik atau kami seret paksa!" Dexter berseru kemudian menendang badan mobil.

Seorang pria keluar dari pintu kemudi seraya mengangkat kedua tangan. Gerakan memberontaknya dapat terbaca oleh Arume sebelum pria itu sempat merealisasikan. Arume mendendang tungkai pria itu sekali lagi lalu mengunci tangannya ke belakang tubuh. Satu tangannya mendekatkan moncong pistol ke pelipis pria itu.

"Diam atau kuledakkan kepalamu!"

Pria itu tak berkutik, meski mulutnya terus menggeram rendah. Wajahnya tampak memerah memendam amarah.

"KELUAR KAU!"

Di ambang batas kesabaran, Dexter menyeret paksa perempuan di dalam mobil, sebelum memukul tengkuknya hingga tersungkur ke tanah.

"Brengsek, dia wanita!" teriak laki-laki di bawah kuncian Arume tidak terima,

Dexter melayangkan tatapan menusuk.

"Kau pikir setelah semua kelakuan busuknya, adik jalangmu ini masih dapat disebut wanita?!" Tanpa menunggu reaksi lainnya, Dexter menyeret rambut perempuan tak berdaya itu menuju mobil yang terparkir tersembunyi.

Arume segera memborgol tangan laki-laki di bawah kuasanya kemudian mendorongnya paksa mengikuti Dexter.

.

.

.

.

.

Berlanjut ke bagian 55. 2

Continue Reading

You'll Also Like

1.1M 37.3K 54
OPEN PO!! Nicholas Franklin. Pria berwajah tampan pewaris tunggal perusahaan raksasa asal Amerika Serikat. Hidupnya terlihat sempurna, bahkan sanga...
1M 55.2K 47
(SUDAH TERSEDIA DI APLIKASI DREAME/INNOVEL UNTUK MEMBACA LENGKAP) Jasmine hidup dalam kemewahan dan penuh cinta, di cintai oleh banyak orang membuatn...
1.2M 49.6K 29
∽yakinlah, takdir tidak akan sekejam itu∽ Bagaimana perasaanmu saat seorang pria berjas yang tidak kamu kenal datang kerumahmu dan mengatakan bahwa d...
2.2M 70.3K 52
Tak mudah hidup sebatangkara. kesepian... itulah yang ku rasakan. beban hidup ku bertambah ketika aku bertemu dengannya, ya dia CEO di tempat ku beke...