ALNILAM & SIRSINA

By Fantascroller

721 106 35

[Update Setiap Sabtu] Alnilam terjebak pada kenyataan di mana dirinya harus menjadi raja di usia muda. Sang P... More

A&S | Prolog
A&S | Bekas Luka Bercahaya
A&S | Kuasa atau Bertaruh Nyawa
A&S | Rencana Berbahaya
A&S | Misi Harus Tetap Berjalan
A&S | Pelarian
A&S | Sirsina Kembali!
A&S | Perjalanan Dimulai
A&S | Hutan Berbentuk Mawar
A&S | Satu Petunjuk

A&S | Siapa Kumara Sebenarnya?

41 9 7
By Fantascroller

Mau kasih catetan lagi di awal.

Kalian boleh skip note ini daripada capek duluan sblm baca hihihi.

Sori buat kalian yg mungkin nunggu cerita ini. Minggu kemarin aku susah bgt nulis bab ini, bahkan sampai hari H, dan aku jg lagi ngelarin ceritaku yg lain. Maaf kalo gak bisa memprioritaskan cerita ini, wahai diriku :'( Jadi hari ini aku up 2 bab sekaligooos!

Cerita ini sebenarnya belum mateng banget. Enggak kayak ceritaku yg lain, cerita ini perlu kubaca berkali-kali biar sesuai harapanku. Aku gak tau apa karna ini fantasy pertamaku yg ngangkat soal jaman dahulu atau apa, cerita ini sulit bgt ditulis. Aku jadi merasa kurang total bikinnya (walaupun gak pernah ada ceritaku yg totalitas wahahah). Tapi, cerita ini harus menyentuh ending, semales apapun diriku menyelesaikannya.

Sori kalau lagi lagi aku mesti bilang, silakan baca kembali chapter sebelumnya supaya kalian yg baca cerita ini bisa paham bagaimana alur sebenernya karena aku rasa ceritaku ini paling kacau di antara cerita anak Fantascroller yg lain. Oh iya, ada beberapa yg kurevisi di chapter sebelumnya. Sengaja revisi awal-awal, biar alurnya lebih enak dan entar di akhir aku gak perlu revisi lebih banyak lagi wkwk.

Udah deh panjang bgt ini.

Oke ini dia ...

.
.
.

Sebuah sabana luas yang seolah tak berbatas terhampar di tempat Alnilam terbaring saat ini. Hanya ada ilalang yang cukup tinggi di sekitarnya, membeku, seakan tak ada angin yang berembus. Pemuda itu bangkit dari posisinya telentang menghadap langit. Menoleh ke kanan dan kiri dengan heran.

Tempat apalagi ini?

Sabana itu seperti sebuah lautan kehampaan. Sunyi dari kehidupan. Langit begitu putih dan cerah ditutupi awan yang kelihatan tak berpindah sama sekali. Dan ya, seperti tak ada udara pula, tapi ia masih dapat bernapas tanpa sesak kekurangan oksigen.

Segalanya seperti mati.

Alnilam berdiri. Ia dikejutkan dengan dua capung yang mengambang di udara. Tak ada pergerakan sama sekali. Ia menyentuh sayap-sayapnya dengan lembut, sebelum akhirnya melangkah lebih jauh. Demi mengetahui di mana ujung sabana tersebut berada.

Terus saja ia sisir ilalang yang kehilangan nyawa itu. Sampai didapatinya bercak-bercak kemerahan dan menghitam pada beberapa batang dan bunganya yang serupa bulu-bulu putih memanjang.

Darah?

Rasa ingin tahunya mulai muncul. Pemuda itu pun melangkah menuju sumber darah itu berasal, melewati jejak-jejak yang ada. Hingga ceceran darah itu membawanya pada sesuatu yang mengenaskan.

Namun, untuk pertama kalinya, Alnilam hanya memandangi hal itu dengan tatapan nyalang tanpa rasa iba sedikit pun. Seekor serigala putih terkapar di depannya. Matanya terbuka, tanpa napas, dan ada belati menancap di lehernya hingga ia bersimbah darah. Tiga kata yang mewakili keadaan serigala itu; tinggal raga semata.

Ia hendak berjongkok ketika dua ekor capung yang tadi ia lihat, kini beterbangan di atas mayat serigala. Alnilam tak menghiraukannya. Tak peduli pada sebuah tanda yang mereka beri. Ia hanya ingin tahu, apakah itu serigala yang selama ini menghantuinya atau bukan.

Alnilam meraba bulu lembut serigala tersebut. Lalu, saat itu juga awan-awan berarak. Angin kembali terasa menyentuh kulit dan embusnya dapat terdengar. Rumput-rumput bergoyang.

Dan serigala itu, tanpa diduga, masih bernapas dan melompat dengan agresif. Menubruk Alnilam dengan ganas.

***

Tubuhnya seperti baru saja terjatuh dari tebing yang tinggi dalam mimpi. Terperanjat kaget.

Alnilam mendapati dirinya masih duduk di meja tulisnya di dalam kamarnya sendiri. Yang kini sudah terang dicahayai oleh mentari pagi. Obor yang menjaga pencahayaan tempatnya menulis sudah mulai redup, minyaknya pasti hampir mengering diserap api.

Kertas-kertas di atas meja begitu berserakan, juga buku-buku yang tersibak. Bahkan tanpa Alnilam sadari, wadah tinta di pojok meja sudah terbalik dengan isi tumpah ke lantai. Beruntung tidak mengenai lembar-lembar papirus milik Kumara tersebut.

Oh, tidak. Ternyata ada yang lebih parah.

Alnilam membentuk pulau kecil tepat di sebuah kata 'padang rumput' dengan air liurnya yang mungkin mengalir selama ia tertidur. Pemuda itu melenguh jijik sambil menutup buku catatan Kumara tersebut. Ah, Kumara tidak akan mungkin menyinggung hal pelik di buku tersebut. Ia terlalu banyak membaca buku dan tak akan mungkin mengingat penampakan kertas sampai serinci itu.

Lalu, tiba-tiba saja Alnilam tersadar. Ia baru saja memimpikan dirinya dicengkam serigala putih itu di padang rumput yang begitu luas. Rasa lemas setelah terbangun dari tidur melayang begitu saja. Menerbitkan kengerian yang membuat bulu halus di kulitnya berdiri.

Kenapa mimpi itu semakin terasa nyata?

Akan tetapi, di balik semua perasaan tak enak itu, Alnilam sesungguhnya menyimpan harapan yang besar terhadap perkataan Kumara. Walau sampai saat ini ia belum tahu, dan Kumara juga belum mengemukakan seluruh apa yang ia ketahui tentang Alnilam.

"Tapi, kenapa kau mau mengantarku? Sungguh—ini bukan sekadar keinginanmu menjadi pahlawan seperti yang kau bilang. Ini adalah misi berbahaya dan kau tidak bodoh. Kau tentu tidak akan dengan gegabah ikut bunuh diri bersamaku, 'kan?"

Kumara hanya mengembangkan senyum tipis andalannya saat Alnilam bertanya demikian.

"Karena kau—"

Tok tok tok ...

Tergeragap, Alnilam menoleh ke segala arah dengan belingsatan sambil merapatkan tubuhnya ke meja di belakangnya. Tongkat obor sudah ada di tangannya. Cemas kalau saja mimpinya mengundang serigala itu datang ke kamarnya ini, setidaknya ia masih punya senjata untuk melakukan serangan. Degup jantungnya berangsur memelan begitu didapatinya seseorang dengan baju besi mengetuk-ngetuk jendela.

Alnilam sedikit terkejut melihatnya yang entah muncul lewat mana, bisa memanjat dinding sampai ke kamarnya di lantai ketiga menara barat ini. Ia mengerutkan kening ketika berniat membuka jendela raksasa itu. Akan tetapi, sosok di balik pelindung kepala yang terbuat dari besi yang entah siapa tersebut menggeleng.

Alnilam tak mengerti. Ia buka begitu saja jendela tersebut.

Untunglah tangan Alnilam dengan tapis terulur menggapai lengan orang itu. Karena ketika Alnilam menjeblak jendelanya keluar, sebilah belati yang sepertinya menjadi pegangan seseorang yang tak dikenalnya tersebut terhunus dari kerangka jendela.

Suara ombak yang pecah membentur batu karang nan tajam di bawah sana terdengar mengerikan. Alnilam tak kuat lagi menahan beban di genggamannya. Ditariknya tangan orang yang terbalut pelindung baja itu sekuat tenaga hingga urat nadinya keluar. Sambil berusaha meminimalkan suara supaya tak ada pengawal yang menunggu di depan kamarnya merasa curiga.

Alnilam terjengkang ke belakang dengan napas tersengal, begitu orang berpakaian seperti prajurit istana itu memanjat dinding dan melompat ke dalam begitu ia dapat meraih kerangka jendela. Pemuda itu sempat menyesal kenapa membiarkan orang asing yang bisa jadi punya maksud jahat itu masuk, bukannya melepaskannya supaya mendarat di tebing batu tadi.

Alnilam masih terduduk. Meringis merasakan panas menjalar ke pantatnya yang membentur lantai.

"Untuk ukuran cowok payah, kau kuat juga."

Suara itu membuyarkan konsentrasi Alnilam pada rasa sakitnya. Begitu memalingkan wajah, orang yang baru saja ia selamatkan nyawanya tersebut membuka pelindung kepala yang hampir menutupi seluruh wajah. Menampakkan rambut ekor kuda yang panjang, juga wajah garang dengan alis menukik tajam yang khas milik Sirsina.

Harusnya Alnilam senang Sirsina mengunjunginya, tapi ia justru menggertak dengan pelan. "Kurang ajar, kau! Kau hampir mati menabrak batu karang, kau tahu itu?!"

"Kau lupa aku suka tantangan, ha?"

"Ya, ya, ya." Alnilam berdiri. Sejenak mengamati penampilan Sirsina. Gadis maskulin itu cocok mengenakan pakaian seperti itu. Ia pasti mendapatkannya dari sang ayah yang memang bekerja sebagai salah satu prajurit istana ini. "Lewat dinding belakang itu sungguh berbahaya, Sina. Aku tak ingin kau mengulanginya," katanya dengan wajah yang sedikit khawatir dan telunjuknya bergerak menunjuki Sirsina.

Sirsina melepas seluruh lapis besi yang membalutnya, tak mau ambil peduli pada perkataan Alnilam. Alnilam tak akan membantunya hidup dua kali, jadi ia tak berhak mengomeli Sirsina soal hal-hal yang mengancam nyawanya. Ia menatap Alnilam yang kelihatan begitu berantakan. Dengan sebuah kantung mata kehitaman, rambut acak-acakan, dan wajah kuyu.

"Kau kelihatan kacau ...."

"Yah ...." Alnilam berdiri dan berjalan ke arah mejanya. Kemudian menata seluruh kertas yang bertebaran di mana-mana, menutup buku-buku yang terbuka, lalu menumpuknya. "Waktu tidurku jadi berkurang belakangan ini."

Sirsina kemudian duduk di ranjang empuk Alnilam. Sejenak merasakan betapa nikmat kehidupan seorang bangsawan. Alnilam saja yang bodoh ingin menjadi orang biasa seperti dirinya, pikir Sirsina. Sambil tersenyum sinis, Sirsina menyapukan pandang ke segala arah. Mulai dari pintu kamar raksasa yang berasal dari kayu pilihan, tembok kokoh yang terbuat dari batuan berhiaskan beberapa senjata, jendela-jendela yang bahkan terbuat dari kaca dan kristal, lantai berupa ubin terakota, sebuah tungku perapian.

Dan ia menemukan Alnilam sedang mengelap cairan hitam di bawah mejanya. Memerhatikannya sekian waktu sampai Sirsina sadar, bahwa kemewahan bukan satu-satunya hal di dunia ini yang selalu membuat seseorang puas. Seberapa megah dan nyaman sesuatu yang tampak, itu tetaplah fana.

Hampir tiga tahun mereka bersahabat, tapi baru kali ini Sirsina menginjakkan kaki ke bagian dalam menara istana. Itu pun harus menyamar dan menyelinap dari balik tembok-tembok batu yang licin. Sejak penyerangan seekor serigala pertama kali pada Alnilam, kerajaan memutuskan untuk membatasi orang-orang yang masuk ke dalam lingkup istana. Seluruh keamanan diperketat. Terlebih saat kondisi kerajaan diambang kekacauan seperti ini.

"Jadi ... apa kabar dirimu, Yang Mulia?"

Alnilam masih tampak serius menggosok lantai. Kemudian meninggalkan kain kotor dan noda itu begitu saja dengan sedikit merengut. Sejenak menatap Sirsina yang justru sedang membaringkan diri di atas ranjangnya dengan nyaman seperti di rumah sendiri, menatapi pilar-pilar ranjangnya yang penuh ukiran.

"Kau kotor, Sina!"

"Kau bisa menyuruh penatu membersihkannya, 'kan?"

Alnilam mendengkus dan menjatuhkan tubuhnya di kursi dengan sebal. Harusnya ia membuat janji pertemuan, bukannya mempersilakan si jorok Sirsina mengotori kamarnya.

"Aku akan diangkat jadi raja," celetuk Alnilam begitu saja.

Sirsina terbangun dan menatap Alnilam. Seringai tipis terlukis di wajahnya, bermaksud memperolok pemuda tersebut. "Adakah gurauan yang lebih lucu?"

"Apa aku kelihatan sedang bercanda?"

Melihat Alnilam yang sedang menampangkan air muka dengan pancaran gelisah seperti itu membuat Sirsina merasa tidak enak. Alnilam memang sedang serius, dan ayahnya pernah bilang, laki-laki yang sedang serius tidak baik diajak bercanda. Sepertinya laki-laki itu jadi tersinggung.

"Oh, baik, aku minta maaf. Apa yang sebenarnya terjadi, Nila?"

"Ata mencelakai Aka, lalu dia kabur. Sementara Aka masih belum sadar hingga saat ini. Dan karena itu, ibuku tak punya pilihan lain."

Dari cara Alnilam bicara, Sirsina menangkap sesuatu. Pemuda itu juga menahan hal lain, yang sebenarnya juga hendak dikatakannya.

"Jadi, kau punya sebuah rencana?"

Alnilam menyunggingkan senyum dengan ejekan tersirat. "Aku senang insting wanitamu masih bekerja."

"Kepekaanku memang patut diandalkan."

"Nah, aku—AGH!" Alnilam menjerit dengan badan yang tiba-tiba menganjur ke depan. Ia terbungkuk memegangi lehernya dengan erat.

Sirsina yang terkejut sontak berdiri mendekat ke arah Alnilam. Ada berkas-berkas cahaya yang keluar dari sela-sela jarinya. Akan tetapi, Sirsina urung menghampiri Alnilam begitu ketukan keras terdengar dari pintu besar itu.

"Yang Mulia, apa ada masalah di sana?" kata seseorang di balik pintu, suara laki-laki.

"Tida–oh, sialan!" Lagi-lagi seperti ada sesuatu yang menikam lehernya dari dalam. Dan Alnilam tidak tahu apa sebabnya, selain karena kemungkinan lehernya lagi-lagi bercahaya. "Tidak! Aku tidak apa-apa, sudah ada pengawal yang menemaniku di sini."

Sirsina yang kini bersembunyi di kolong tempat tidur merengut seperti berkata, kau gila? Seraya menunjuki lapisan pakaian besi yang tergeletak di mana-mana.

"Kau tidak perlu masuk, aku baik-baik saja." Alnilam tak mau pusing-pusing memikirkan barangkali pengawal di depan kamarnya itu curiga—karena hanya ada dirinya yang sedari malam di luar dan tidak mendapati seseorang masuk.

"Aku ingin mencari sesuatu di Rimba Raya Timur yang bisa membuat Mintaka sadar. Apa kau mau ikut?" tawarnya dengan spontan. Tanpa menghiraukan kalau mungkin saja Sirsina masih ingin bertanya tentang keadaan lehernya.

Sirsina yang baru bangun dari posisi awal dan perasaan cemas kalau keberadaannya diketahui, harus dibuat terperangah seketika. "Rimba Raya Timur itu omong kosong, Nila."

"Apa? Kau pernah dengar?"

"Rimba Raya Timur itu cuma mitos bagi orang-orang yang putus asa meminta sebuah pertolongan. Di sana tidak ada apa-apa."

"Kau takut?" Alnilam tersenyum remeh sambil terus memegangi lehernya.

"Aku? Takut? Sebentar, dari siapa kau tahu tentang hutan dongeng itu?" Kini Sirsina berdiri tepat di hadapan Alnilam sambil bersedekap.

"Dari Kumara, guru ilmu pengetahuanku."

"Dan kau mau saja dibodohi olehnya?" Wajah Sirsina tak kalah merendahkan Alnilam.

"Tidak, kau tidak mengerti. Itu bukan hutan dongeng. Itu benar-benar ada."

"Dari mana kau tahu itu benar-benar ada?" Sirsina mengangkat kedua alisnya.

Alnilam mendesis. Ia sebenarnya tidak punya bukti apapun. Ia hanya mengatasnamakan kepercayaan akan hal tersebut. "Aku akan membuktikannya sendiri?"

Sirsina memutar bola mata dan tertawa seolah-olah apa yang dikatakan Alnilam itu cuma kelakar. "Siapa Kumara-Kumara ini sampai kau sangat memercayainya?"

"Sirsina dengarkan aku—"

"Kau tidak takut kalau saja dia punya maksud jahat terhadap dirimu, Nila?"

"Dia tidak jahat, Sina!"

"Kau tahu asal-usulnya sehingga dengan keras membelanya?"

"Aku—aku ...." Alnilam tiba-tiba terdiam. Ia bahkan tidak yakin mau mengatakan untuk kedua kalinya.

Sirsina benar. Ia tidak tahu apa-apa tentang Kumara selain ia adalah seorang guru muda yang datang dari Kintanu. Meski begitu ada sebagian besar dirinya yakin kalau Kumara dapat dipercaya. Mungkin itu hanya bagian dari insting wanita milik Sirsina. Perempuan memang selalu sensitif, kan?

"Jangan naif, Nila. Kau tidak tahu jika diam-diam orang itu hanya mau memanfaatkan dirimu, kan?" Sirsina sepertinya sudah muak berhadapan dengan Alnilam. Ia mengmbili satu per satu pakaian bajanya dan memakainya kembali.

"Kau mau kemana?" tanya Alnilam dengan dingin.

"Lebih baik aku pulang daripada mengurusi remaja kekanakan yang takut pada takhta kerajaan dan memilih berjalan menunju fantasi muluk-muluknya," kata Sirsina dengan acuh tak acuh. Kemudian melompat lagi keluar jendela, menuruni tembok berbekal belati yang ia tancapkan di sela-sela bebatuan dinding.

Menerbitkan kehampaan dalam diri Alnilam. Pemuda itu tak melakukan apapun untuk mencegah Sirsina kembali menantang maut dengan berjalan melewati dinding. Ia masih berdiri dan bergeming. Merasakan kepedihan di lehernya yang perlahan memudar. Suara pelayan istana yang membujuknya untuk sarapan seolah terdengar samar dai luar.

Sirsina yang Alnilam pikir akan tinggal, nyatanya kini justru meninggalkannya sendirian. Kini hanya ada dirinya dan segenap kepercayaan yang masih ia simpan rapat-rapat. Tak juga terpengaruh perkataan gadis itu sedikit pun. Lalu mengingat kembali perkataan Kumara.

"Karena kau punya sesuatu yang membuatku tidak merasa akan bunuh diri."

Jadi, siapa Kumara sebenarnya?

Tapi, bukankah itu tidak penting?

.
.
.

Viavidi
(13.06.2020)

Continue Reading

You'll Also Like

1.2M 101K 51
(𝐒𝐞𝐫𝐢𝐞𝐬 𝐓𝐫𝐚𝐧𝐬𝐦𝐢𝐠𝐫𝐚𝐬𝐢 𝟏) 𝘊𝘰𝘷𝘦𝘳 𝘣𝘺 𝘸𝘪𝘥𝘺𝘢𝘸𝘢𝘵𝘪0506 ғᴏʟʟᴏᴡ ᴅᴀʜᴜʟᴜ ᴀᴋᴜɴ ᴘᴏᴛᴀ ɪɴɪ ᴜɴᴛᴜᴋ ᴍᴇɴᴅᴜᴋᴜɴɢ ᴊᴀʟᴀɴɴʏᴀ ᴄᴇʀɪᴛᴀ♥︎ ⚠ �...
601K 50.5K 55
|FOLLOW DULU SEBELUM BACA, TITIK!!| Transmigrasi jadi tokoh utama? Sering! Transmigrasi jadi tokoh jahat? Biasa! Transmigrasi jadi tokoh figuran? Bas...
80K 6.6K 182
Judul :穿成炮灰后我成了综艺团宠 Penulis:噤非 Chap : 182 (169 chap + 13 Ekstra) An Rao masuk ke dalam sebuah buku tentang industri hiburan dan menjadi i...
141K 8.9K 42
Aletta Cleodora Rannes, seorang putri Duke yang sangat di rendahkan di kediamannya. ia sering di jadikan bahan omongan oleh para pelayan di kediaman...