Update!
Vote/comments if you like it(":
Happy reading!
__________________________________
Playlist: Treat You Better--Shawn Mendes
__________________________________
Madrid, Spain. 07.00 AM
Aneh. Satu kata yang dapat mendeskripsikan seorang Dextier saat ini. Anna sampai dibuat tak habis pikir dengan tingkah Dextier, apalagi setelah pernyataan cintanya dini hari tadi. Antara syok dan tidak percaya, istirahat Anna menjadi terganggu karena pernyataan yang pria itu lontarkan. Bahkan ia sudah tak memikirkan peristiwa penculikan yang baru saja dialami. Seluruh otaknya terkuras habis pada satu nama, Dextier Jefenerich.
Di tengah lamunannya, pintu rawat inap terbuka. Sosok sang majikan muncul dari balik pintu membawa napan. Ia hanya terus menatapnya tanpa mengeluarkan sepatah kata.
"Sudah waktunya sarapan, Anna. Aku sengaja mengambil sarapan langsung ke dapur rumah sakit supaya kau lekas makan dan minum obat."
Tanpa diminta, pria bertubuh jangkung itu meletakkan napan di atas nakas, kemudian duduk di pinggir ranjang. Diambilnya mangkuk yang masih mengepulkan asap, mengaduk sedikit sebelum mengulurkan seperempat sendok bubur ke depan mulut Anna.
"Makan, Anna, sedikit-sedikit saja ya? Buburnya tidak mungkin kutiup," ucap Dextier, kemudian menambahkan saat Anna tak kunjung membuka mulut. "Tenang saja, bubur ini tidak kutambahkan sianida. Kau tak perlu risau."
Menghela napas, akhirnya gadis itu membuka sedikit mulutnya. Dextier mengulas senyum begitu tipis melihat hal itu. Dengan telaten ia kembali menyuap sedikit demi sedikit bubur, sampai Anna menandaskan sepertiga mangkuk.
Anna tak kunjung bersuara sejak pernyataannya tadi, terlepas dari sikap menerima segala perhatian yang ia berikan. Dan hal itu sebenarnya membuat Dextier terus merasa gelisah. Tapi apa boleh buat, ia tidak berkuasa memaksa. Mungkin saja gadis itu butuh waktu untuk menerimanya--mengingat ia tak jarang bertindak dan berucap ketus kemarin-kemarin.
Air putih dan beberapa obat ia sodorkan begitu mengembalikan mangkuk ke atas meja. Dextier sangat telaten membersihkan bibir Anna yang terlihat sedikit berantakan.
"Kau ingin makan buah juga?" tanya pria itu saat tak tahan dipenjarakan keheningan. Meski lagi-lagi respon diam yang ia terima, Dextier tetap berinisiatif mengupas apel dan hendak menyuapkannya kembali.
"Aku bisa sendiri," tolak Anna pelan sembari mengambil alih potongan apel lalu memakannya sendiri.
Walau kalah cepat, Dextier tetap memberengut tak suka. "Tanganmu terluka, tidak boleh terlalu banyak bergerak."
Gadis itu hanya menghela napas panjang dan memalingkan wajah, mengunyah pelan apel dalam mulutnya. Ia kerap kali merasa tulang pipinya terasa berdenyut bila digunakan mengunyah. Namun, Anna tidak akan memberitahukan pada Dextier, sebab ia tak yakin akan baik-baik saja diperlakukan lebih perhatian pria di sampingnya ini.
Keadaan kembali hening, sampai beberapa saat kemudian helaan napas kasar Dextier mengisi kesunyian yang ada. Seumur hidup, Dextier tak pernah mengatakan satu kata ini, tapi ia rela mengucapkan perdana kepada Anna, jika memang hal itu bisa mengubah keterdiamannya. "Maaf."
Terang saja, ia langsung disambut tatapan tak percaya gadis yang terbaring di depannya tersebut. Sudah ia duga, ini akan terlihat sangat aneh dan mungkin akan menjadi bahan olok-olokan jika teman-temannya mengetahui.
"Maaf bila ucapanku tadi mengejutkanmu. Tapi memang seperti itu kenyataannya, aku benar-benar tidak bercanda. Kau boleh menyebutnya ini karma, sebab sejak awal akulah yang memperlakukanmu buruk, tapi justru aku juga yang jatuh cinta lebih dulu. Tak apa, aku akan memberimu waktu berpikir, namun kumohon jangan dorong aku menjauh." Seiring helaan napas panjang, Dextier memejamkan mata sejenak, kemudian kembali membukanya dan langsung membalas tatapan Anna tak kalah lekat. "Kau adalah udara untuk seekor binatang sepertiku mulai sekarang. Dan binatang ini akan tetap mempertahakan udaranya, sekalipun manusia berusaha meraupnya pergi."
Anna ikut memejamkan mata erat, sekelumit perasaan asing mulai merayapi dadanya. "Kau hanya belum tahu seberapa berantakannya hidupku beberapa tahun terakhir." Ia kembali menatap Dextier, tersenyum, "aku tidak pernah merasa diinginkan lagi. Dan aku sudah biasa mengatasi segala harapan yang datang sesaat. Jadi, sekarang mungkin keadaannya akan sama. Kau adalah harapan semata yang dapat pergi kapan saja, dan mungkin juga kau hanya salah menafsirkan perasaan."
Dextier segera menggeleng tegas, lalu meraih tangan Anna untuk digenggam erat, menyalurkan segenap rasa lewat tatapan mata. "Tidak, Anna, kau salah. Aku mungkin brengsek, tapi aku bersumpah tak pernah bermain tangan kepada wanita mana pun. Lagipula, hidupmu sangat berharga di mataku, berhenti beranggapan jika aku akan memperlakukanmu seperti pria-pria bejat yang pernah menyakitimu."
"Tapi--"
"I'm no better than anyone else, but I will do my best to make you feel valuable. Beri aku kesempatan untuk membuktikannya," tegas Dextier, menatap lurus mata kehijauan Anna.
Gadis itu menggeleng keras, melepas genggaman tangannya. "Tetap anggap aku gadis bisu ceroboh yang pernah kau benci."
"Tidak. Tidak sampai kapan pun." Ia membuang napas kasar ke samping. "Sudah kukatakan, aku tidak akan melepas udaraku. Seberapa keras kau mendorongku menjauh, sekeras itu pula aku akan mendobrak pertahananmu."
"Ak--"
Pintu tiba-tiba diketuk, menginterusi interaksi mereka. Tidak berselang lama, wajah Raymon muncul tanpa dosa. "Maaf mengganggu, Sir--"
"YA! Kau memang penganggu! Keluar kau sekarang atau kulepas kepalamu dari tubuh!" teriak Dextier berapi-api. Emosinya sedang naik turun, kehadiran Raymon benar-benar menguji kesabarannya.
Tanpa membantah, lelaki tersebut segera undur diri dan menutup pintu rapat. Meninggalkan mereka dengan perasaan masing-masing.
Di saat Dextier sedang berupaya mengontrol emosi, Anna tiba-tiba bersuara, "Kau saja masih suka membentak dan bersikap culas, bagaimana bisa kau mengumbar janji tidak akan menyakitiku?"
Detik itu juga jantung pria itu terasa mencelos. "Ak--aku ...." Ia berdehem untuk membersihkan tenggorokan yang tercekat. "Baiklah, kuakui aku memang tidak bisa bersikap baik kepada orang luar. Tapi perlu kau ketahui, aku pasti akan mengubah sikapku saat sudah merasa keberadaan seseorang tak lagi asing."
"Tapi kau pernah membentak adikmu yang jelas-jelas masih mempunyai hubungan darah denganmu."
Dextier membelalakan mata. Tiba-tiba beragam kata yang sudah ia susun baik-baik dalam kepala menguap entah ke mana. Ia bahkan perlu mengambil udara beberapa kali sebelum menjawab, "Kau jangan percaya pada muka polosnya, mereka itu pandai memanipulasi. Mereka itu menyebalkan, mom dan dad saja sempat akan menyumbangkannya ke pengepul barang bekas."
Meracuni otak Anna adalah pilihan terbaik. Ia tak mau membuang kesempatan mendapatkan kepercayaan Anna. Lagipula, tidak seluruh ucapannya bohong, 'kan? Walau sebagian kalimat terakhirnya murni karangan semata.
Mata gadis itu menyipit, layaknya seorang detektif yang sedang menyelidiki kebohongan di wajah Dextier. "Orang tuamu tidak mungkin melakukan itu--"
"Aku mengatakan dengan benar!" potongnya cepat. "Kau hanya belum tahu seberapa frustasinya kedua orang tuaku mengurus tikus-tikus setan itu!"
"Kau tega mengatai kedua adikmu tikus setan?" Ia menatap tak percaya.
"Argghhh ...." Tak tahan lagi, Dextier mengacak rambutnya kasar. Tak menyangka Anna ternyata begitu bebal di matanya. "Bisakah kita berhenti memasukkan orang lain dalam pembicaraan ini? Oke, jika di matamu aku masih salah ... aku minta maaf. Aku berjanji, akan berubah seperti maumu."
"Berubah untuk dirimu sendiri, bukan karena orang lain."
Anna lekas mengubur dirinya dalam selimut untuk menyudahi pembicaraan mereka. Kepalanya terlalu pusing memikirkan hal-hal lain.
***
Dextier dan sikap ketus nan culasnya, seakan sudah menjadi darah dan daging. Meski berkata akan berubah, nyatanya pria itu masih suka bersikap ketus kepada orang asing. Anna sejak tadi memerhatikannya dari dalam selimut tanpa pria itu ketahui.
Beberapa kali ia masih mendapati Dextier berbisik mengancam perawat laki-laki dan hanya memberikan izin perawat perempuan yang masuk ke ruang inapnya. Sangat berlebihan. Padahal Anna hanya mengalami luka kecil, tapi pria itu bersikeras meminta rawat inap satu malam lagi.
"Anna ...."
Tubuhnya diguncang pelan, Anna menurunkan selimut sebatas dada tanpa bersuara.
"Waktunya makan siang. Kau harus makan, agar segera pulih."
Sama seperti sarapan, Dextier tidak membiarkannya makan sendiri. Pria itu bahkan mengurus keperluannya begitu telaten, seolah-olah Anna mengidap penyakit berbahaya. Untuk berjalan ke kamar mandi pun, Dextier sampai harus menggendongnya penuh kehati-hatian.
"Hmmm ... sebenarnya kau tak perlu bersikap seperti ini."
"Kenapa?" tanya Dextier setelah mendudukan Anna di kloset yang tertutup. "Kau tak boleh banyak bergerak. Nanti lukamu bisa tersenggol dan kembali berdarah."
Helaan napas panjang Anna kembali menutup pembicaraan mereka. Pria itu meninggalkan Anna beberapa saat, dan kembali masuk setelah ia berseru selesai.
"Sebenarnya berapa kali dalam sehari kau makan? Kenapa tubuhmu tidak berasa apa pun?" ujarnya ketika membawa Anna ke dalam gendongan, sedangkan gadis itu bertugas memastikan selang infus agar tidak tertekuk.
"Memangnya kau tidak tahu jadwal istirahat pekerjamu di mansion?"
Dextier menurunkan tubuh Anna di atas ranjang hati-hati. "Hmmm ... tiga kali?" sahutnya setengah tak yakin, "aku tak pernah mengurusi jadwal pelayan di mansion, karena itu aku mengutus Diane."
Gadis itu menggeleng terheran-heran.
"Tapi benar, bukan, tiga kali sehari?" Anna hanya mengangguk singkat. "Berarti seharusnya waktu istirahat itu cukup membuatmu makan banyak, sehingga tampak lebih gemuk dari ini. Atau jangan-jangan selama ini kau melakukan program merepotkan seperti yang dilakukan wanita di luar sana?"
"Program merepotkan? Diet maksudmu?" tanyanya, mengerutkan kening. Dan begitu melihat Dextier mengangguk, Anna tak tahan untuk tidak melemparkan tatapan tercengang. "Aku tak pernah melakukannya."
Pria itu balas mengedikan bahu sekilas. "Baguslah ... setelah pulang nanti, kau perlu menghabiskan lima piring dalam sehari agar terlihat lebih berisi."
Untuk ke sekian kalinya, gadis di hadapannya itu terperangah tak percaya. Ternyata, selain menyebalkan dan suka mengancam, Dextier memiliki sifat cerewet yang baru ia ketahui akhir-akhir ini.
TO BE CONTINUED!
Rgd,
Vi