REFUSE THE DUKE'S CHARM

By dindinthabita

37.4K 5K 522

Pernikahan kontrak antara seorang Duke dan putri dari negara yang runtuh. More

PROLOG
TWO
THREE
FOUR
FIVE
SIX
SEVEN
EIGHT
NINE
TEN

ONE

3.9K 487 49
By dindinthabita

Iris dan Eras duduk berhadapan di salah satu taman yang ada di istana itu. Di bagian barat istana, terdapat taman bunga di antara taman-taman lainnya. Bahkan Iris melihat ada istana kecil yang indah lengkap dihiasi tanaman mawar yang merambat. Untuk ukuran seorang petarung di medan perang, Duke Adorien mengurus istananya benar-benar apik dan sangat indah. Untuk mencapai taman bagian barat saja Iris harus melewati istana utama yang memiliki 110 ruang, tentu saja itu adalah penjelasan singkat sang Duke untuk memecah keheningan mereka selama dalam perjalanan ke taman. Kini duduk berhadapan dengan Eras, di kelilingi taman indah dan udara sore yang cukup hangat membuat Iris mengagumi sekitarnya. bahkan meja minum teh dan peralatan minumnya saja tak luput dari perhatian Iris yang merupakan seorang puteri. Ia memerhatikan dengan seksama dan bergumam dalam hati. Ini peralatan yang luar biasa mewah untuk ukuran minum teh dalam situasi santai. Tunggu! Apakah ini situasi yang santai? Perlahan, Iris melirik ke arah Duke yang ternyata sedang memehatikannya dengan lekat. Iris menegakkan punggungnya dan mencari alasan untuk membuka percakapan.

"Apakah kamarnya membuat anda nyaman? Apakah sesuai standar kamar seorang putri?"

Iris nyaris menyenggol cangkir tehnya saat mendengar Duke Adorien membuka percakapan. Ia menarik pelan tangannya, meletakkannya di atas pangkuannya dan duduk dengan anggun. Iris tak tahu apakah sikap seorang putri masih sanggup diterapkannya di sini mengingat ia adalah seorang tawanan kekaisaran.

"Kamarnya sangat indah dan nyaman. Terima kasih Yang Mulia." Di bawah meja, Iris mengepalkan kedua tangannya. Duke Adorien masih menatapnya lekat, sama sekali tidak bergerak dari posisi awal sejak mereka duduk. Apakah itu karena ia adalah seorang prajurit? Sikap seorang panglima?

Eras merasa bahwa Iris merasa tidak nyaman dengan tatapannya. Ia berdehem dan meraih cangkirnya. "Teh kamomil sangat harum dan bisa menenangkan perasaan."

Iris tahu itu. Tetapi rasanya dia harus bertanya satu hal pada Duke Adorien. Dia tak bisa hanya duduk santai sambil minum teh tanpa bertanya apa yang akan terjadi terhadap dirinya. "Mengapa anda membiarkan saya tetap hidup?"

Eras meletakkan cangkirnya dan menatap Iris. Ia tersenyum tipis dan melipat tangan di dada sambil bersadar di kursinya. "Sepertinya putri bukan tipe yang sabaran ya?" ia melihat wajah yang putih itu memerah.

Iris menelan ludah. "Saya...saya harus tahu bagaimana nasib saya di tangan anda. Kaisar Agrynnor mengutus anda membasmi negara saya dan tak ada yang tersisa dari keturunan raja kecuali saya..." mati-matian Iris menahan airmatanya. Ia tak boleh menangis dan meratapi nasibnya di hadapan Duke Adorien. Sebaliknya dia menunggu apa yang akan terjadi pada dirinya. Apakah pria itu akan mengirim kepalanya kepada Kaisar?

Sudah jelas Iris dalam keadaan takut dan kebingungan. Eras menyadari itu. Keputusan membawa Iris ke istananya merupakan langkah nekatnya sebagai prajurit kaisar. Untunglah yang bersamanya saat membantai Raja Lovec dan keluarganya adalah para ksatria milik Adorien sehingga yang lainnya berpikir Duke Adorien membawa gadis bangsawan biasa sebagai tawanannya. Apa yang membuat Eras berubah pikiran?

"Anda menyerang saya dengan sihir." Eras menemukan jawaban netral akan pertanyaan Iris. Ia memajukan tubuhnya ke tengah meja. "Setahu saya Lovec adalah negara yang tak diberkahi sihir. Bagaimana anda bisa menggunakan sihir, putri?"

Iris terdiam. Ia tahu hanya dengan sihirlah ia bisa melindungi dirinya. Bagaimana dia menjelaskan kepada Duke Adorien bahwa hanya dialah satu-satunya putri Raja yang memiliki sihir karena terlahir dari ibu yang seorang selir yang awalnya adalah seorang penyihir? Ibu Iris meninggal saat melahirkan Iris dan kemampuan sihir itu langsung berpindah kepada Iris. Ayahnya, Raja Lovec, menyembunyikan kekuatan sihir Iris selama ini karena tak ingin Iris dituduh sebagai penyihir.

Eras menyadari keengganan Iris menjelaskan tentang sihir yang dimiliki gadis itu. Dia tidak akan menekan Iris soal itu sekarang. Yang harus dilakukannya saat ini adalah membuat Iris yakin bahwa Eras takkan membunuh Iris.

"Lupakan pertanyaan saya." Eras berkata tenang. Ia kembali menyeruput tehnya dan menatap Iris. "Jika Kaisar tahu saya membiarkan salah satu keturunan Raja Lovec masih hidup, apakah anda tahu bagaimana dengan nasib anda?"

Ini saatnya, pikir Iris kecut. Saat menyadari bahwa ia masih hidup, Iris bertekad bahwa dia harus tetap hidup. Itulah mengapa dia sudah bersiap dengan sihir untuk menyerang Duke Adorien. "Saya..." Iris membuka telapak tangannya, perlahan aura sihirnya mulai merangkak naik dan...

"Jangan menyerang saya dengan sihir."

Iris terkejut saat tanpa disadari, Duke Adorien sudah bergerak dari duduknya dan menangkap tangan Iris yang berada di bawah meja. Tubuh besar pria itu tepat di depan Iris, setengah membungkuk dan sepasang mata merahnya menatap Iris dengan penasaran alih-alih beringas. "Yang Mulia..."

Eras tersenyum miring. Ia menggenggam pergelangan tangan Iris, tidak terlalu kuat tetapi Iris tahu ia tak memiliki kekuatan untuk menepis tangan yang besar dan kokoh itu. "Di sini tak ada yang ingin membunuh anda putri." Pelan, Eras melepaskan pegangan tangannya pada Iris. Ia berdiri tegak dan menjulang. "Justru saya akan memberikan tawaran kepada anda."

Jantung Iris berdebar. Duke Adorien kembali ke kursinya dan duduk kembali dengan tenang. Pergelangan tangan bekas dipegang pria itu terasa panas dan Iris mengusap itu dengan pelan. "Tawaran?"

"Pernikahan kontrak." Eras mengucapkan itu dengan santai. Jelas-jelas ia melihat Iris melongo. "Menikahlah dengan saya dan saya akan menjamin keselamatan anda. Kita akan membuat kesepakatan."

****

Iris terpaku mendengar tawaran Duke Adorien. Menikah? Menikah kontrak dengan pria ini? Bagaimana seharusnya reaksi Iris? Jika melihat situasi yang ada, posisi Iris sama sekali tidak memungkinkan hidup dengan aman sejak ia berada di kekaisaran Agrynnor dan sepertinya posisi Duke Adorien sangat kuat di kekaisaran. Jika tidak tak mungkin pria itu memiliki wilayah terluas di Agrynnor –Iris mempelajari tentang Agrynnor dari gurunya dan Adorien adalah wilayah terluas- istana yang megah dan memimpin langsung medan perang. Seorang Duke memiliki pengaruh yang kuat dan hanya setingkat di bawah kaisar. Hidup Iris sedang dipertaruhkan. Ia tak memiliki siapapun. Ayahnya telah terbunuh, negaranya hancur dan dia bukanlah seorang pewaris kerajaannya.

Pria yang telah merampas negaranya atas perintah kaisar kini menawarkan keamanan mutlak padanya. Apa yang sebaiknya Iris lakukan? Tidakkah pria ini mungkin saja kejam seperti ia di medan perang namun selama ia bersama sang Duke, sepasang mata merah itu tidak menatapnya dengan bengis melainkan lebih ke rasa penasaran.

Terdengar suara kursi di dorong dan Iris melihat Duke Adorien berdiri. Pria itu mendekati kursi Iris dan setengah membungkuk. "Anda bisa memikirkannya malam ini. Apakah berlebihan jika saya menunggu jawaban anda besok pagi ketika kita sarapan?" tangan Duke bergerak dan entah sejak kapan muncul seorang pria tua berpakaian rapi berwajah ramah.

"Ya Yang Mulia."

Duke Adorien sama sekali tidak mengalihkan tatapannya dari Iris. "Ini Eliath. Dia adalah kepala pengurus rumah tangga di sini. Anda bisa memanggilnya kapan saja jika membutuhkan sesuatu dan besok pergilah bersama Gaia untuk berbelanja gaun di kota. Saya akan menyuruh para kesatria mendampingi anda dan menyediakan kereta kuda terbaik."

Setelah mengatakan hal itu, Duke Adorien berbalik dan Iris menahan gerakannya dengan menarik bagian ujung vest sang Duke.

"Saya bahkan belum memberikan jawaban pada anda!" Iris berkata cepat. Tindakan Duke Adorien sangat jelas. Pria itu bersikap loyal padanya layaknya Iris adalah pasangannya.

Eras menyeringai. "Saya hanya ingin memanjakan calon istri saya. Saya terpaksa meninggalkan anda, Nona Iris. Ada beberapa dokumen yang harus saya setujui. Apakah anda tidak keberatan?"

Sontak wajah Iris memerah bahkan Eras mendengar suara batuk tertahan Eliath. Eras membungkuk dan mengecup punggung tangan Iris dan berjalan dengan langkah tenang. Iris segera memegang tangannya sendiri dan melirik sang kepala pelayan yang tampak pucat.

"Apakah ini pertanda buruk untukku?" Iris berbisik pelan pada Eliath.

Pria tua itu mengusap dahinya dan tertawa pada Iris. "Tidak Puteri. Ini pertanda baik. Duke jarang berlaku ramah pada siapapun. Ini pertama kalinya." Eliath tidak menceritakan betapa menyeramkannya sang Duke saat kembali dengan puteri yang pingsan dan memerintahkan untuk segera memanggil dokter. Jika sang dokter tidak memberi jawaban memuaskan atas pingsannya sang puteri, Duke berkata akan menebas kepalanya.

Iris mengusap dadanya sambil bernapas lega. "Oh, syukurlah." Lalu dia menatap kepala pelayan. "Anda Eliath bukan?"

"Ya Puteri."

Iris mengulurkan tangannya ke seberang mejanya. "Duduklah temani saya minum teh. Masih ada satu cangkir yang tidak digunakan."

Eliath menolak dengan cepat. "Saya tidak pantas..."

"Saya sudah kehilangan orangtua dan kampung halaman. Temani saya sejenak berbincang tentang tempat ini." Sinar mata Iris bersinar memohon pada Eliath.

Tentu saja Eliath tahu prihal penyerbuan Duke terhadap negara Lovec. Namun itu adalah perintah kaisar. Duke Adorien hanya melaksanakan perintah. Ia membungkuk dan menuangkan teh ke dalam cangkir Iris.

"Baiklah puteri."

"Stt...jangan panggil saya puteri, Eliath. Panggil saya nona saja seperti Duke tadi memanggil saya. Di sini tidak ada lagi gelar puteri yang akan saya sandang." Iris tertawa dan menyeruput tehnya. Ia menatap Eliath dan berbisik lirih. "Apakah Duke memang membiarkan para pixie berada di taman bunganya?"

Eliath tersedak. "Nona...nona bisa melihat mereka?" bola mata Eliath membesar.

Iris terkikik geli. "Mungkin mereka yang sengaja menampakkan diri karena mencium aromaku. Aku bisa sihir." Untuk membuktikannya, Iris menggerakkan telapak tangannya dan sinar biru tipis membentuk di telapak tangannya. "Aku bisa memanggil mahluk sejenis peri." Kemudian sebelum Duke Adorien mengetahuinya, Iris segera menyimpan sihirnya. "Ini rahasia kita ya."

Iris berkata demikian pada Eliath namun sesungguhnya Duke Adorien masih berada tak jauh dari taman dan melihat perbuatan Iris. Eras bersandar di salah satu pilar dan tersenyum kecil. "Itu bukan rahasia lagi jika kau menunjukkannya secara gamblang di depan Eliath dan para pixie, Iris."

Setelah bergumam demikian, Eras menuju istana utama di mana tumpukan dokumennya sudah menanti. Terlebih ia harus segera melaporkan secara resmi kepada Kaisar atas keberhasilannya menaklukkan Lovec. Eras berencana akan membawa Iris ke hadapan kaisar dan memperkenalkan gadis itu sebagai calon istrinya. Pernikahan kontrak tidak membutuhkan cinta. Bukankah demikian? Pikir Eras. Ia hanya ingin membiarkan Iris Odeya Laromannor hidup. Tentu saja dengan penuh rasa aman karena perlindungan yang diberikan Eras.

****

Iris berada di kamarnya, duduk diam sambil merenungi tawaran yang diberikan Duke Adorien. Ia mondar mandir dari ujung ke ujung mempertimbangkan jawaban apa yang harus diberikannya. Jika dia menolak, hidupnya pasti terancam bahaya. Berada di Agrynnor saja sudah merupakan bahaya besar apalagi jika Kaisar Agrynnor mengetahui bahwa masih ada yang tersisa dari Raja Lovec. Ia pasti dibunuh. Namun apabila Iris menerima tawaran Duke, maka keamanannya terjamin dan hidupnya akan baik-baik saja. Tapi, apakah dia tidak akan dibunuh juga oleh Duke Adorien?

Iris sudah melihat bagaimana kejamnya pria itu dalam perang. Dengan jubah perangnya yang berwarna merah, lencana kekaisaran di kedua pundaknya, pedang besar yang ada di tangannya, ditambah sepasang mata merahnya, sudah bisa membunuh orang lain bahkan sebelum ia menggerakkan pedangnya. Belum lagi kekuatan sihir yang dimiliki Duke.

"Matilah aku." Iris memegang kepalanya. Tapi jika melihat bagaimana sikap Duke sore tadi, rasanya Iris tidak percaya bahwa itu adalah pria yang sama yang ada di medan perang. Selain mata merahnya, Duke Adorien tampak tak seganas dalam perang. Apa aku percaya saja padanya?

Suara ketukan pintu kamar membuat Iris meloncat kaget. "Ma...masuklah..." ia berdiri waspada.

Ternyata yang datang adalah Hedia dan Gaia. Iris bernapas lega. "Oh, kalian." Rasanya dunianya lebih terasa normal saat berada di dekat Hedia dan Gaia.

"Anda akan malam bersama Duke, Nona." Hedia mendekati Iris dan dengan hati-hati membuka gaun tidur Iris. Gaia tampak sedang membawa sesuatu di tangannya.

"Eh? Bukankah seharusnya Duke makan malam tanpa saya?"

"Bagaimana bisa Tuan Duke makan malam tanpa anda yang merupakan calon isterinya?" Hedia tertawa lebar. "Ini hari yang luar biasa. Pertama kalinya kami melihat Tuan Duke begitu normal."

Iris melongo. "Maaf. Saya bahkan belum memberikan jawaban..."

"Oh gaun ini akan sangat indah saat anda memakainya!" Gaia berseru.

Iris menoleh ke arah Gaia. Bibirnya gemetar. "Itu gaun untuk siapa?" Astaga, itu gaun yang sangat indah, seru Iris dalam hati. Bentuknya mengembang indah dengan bagian pinggang yang ramping, terlihat ringan dengan sedikit renda namun tetap elegan. Dan warnanya biru langit seperti warna mata Iris. Potongan lehernya berbentuk sabrina sehingga Iris percaya bahwa tulang selangkanya akan lebih menonjol.

"Tentu saja untuk anda. Tuan Duke memesan gaun ini setelah minum teh sore tadi bersama anda. Karena saat malam suhu di Adorien lebih dingin, syal bulu beruang ini akan menghangatkan anda." Gaia jelas sedang pamer kepada Iris tentang sang Duke yang royal.

"Ini...ini ada kesalahpahaman..." tapi Iris tak sempat protes ketika dengan tangkas Hedia mulai memasang korset untuknya dan Gaia menyiapkan riasan wajah, mengatur rambutnya dan gaun indah itu seakan sedang menantang Iris.

Sepertinya hidupku akan benar-benar berubah! Tuan Duke yang merepotkan! Iris berteriak di dalam hati. Ia yakin bahwa Duke Adorien menuntut jawabannya malam ini juga. Tidak ada besok pagi. Benar-benar pria yang kejam, keluh Iris. 

****

Seumur hidup Eras, ia tidak pernah menghadiahi seorang perempuan dengan gaun ataupun sesuatu yang indah. Selama ini Eras menghabiskan waktunya dengan mengurus keluarga besarnya, wilayahnya, menikahkan para saudarinya, mengenang kematian orangtuanya dan berperang. Tugas-tugas berat sebagai Duke di usia muda membuat hidup Eras terasa datar dan dingin. Melayani seorang kaisar yang gila perang dan rakus akan perluasan daratan semakin membuat Eras seakan tak mengenal apa itu menikmati hidup. Wajahnya jarang tersenyum. Jikapun ia tersenyum, itu pertanda menyeramkan. Ia bisa membunuh musuh tanpa belas kasih. Mata merahnya yang diyakini orang-orang adalah pemberian iblis semakin membuat Eras tampak kejam. Semua orang takut sekaligus segan padanya. Tak ada yang berani menatap matanya secara langsung. Tetapi Iris berbeda. Putri dari negara runtuh itu berani membalas tatapannya dan menyerangnya dengan sihir. Bukankah itu menarik? Dan tanpa sadar Eras menyelamatkan gadis itu dan kini memberikan tawaran konyol dengan alasan perlindungan.

Dan lihatlah. Isi istananya gempar. Terutama Asel sang asisten yang seakan berubah menjadi mayat hidup saat Eras meminta untuk dibawa ke butik gaun terkenal di kota. Eras menekan pelipisnya. Ini hanya usaha memberikan perlindungan pada gadis lemah itu. Mereka tidak membutuhkan apa yang disebut rasa tertarik satu sama lain. Ya. Itu cukup. Eras menghibur dirinya sendiri dan mengangkat wajahnya saat Eliath mengumumkan kemunculan Iris.

"Nona Iris memasuki ruangan."

Eras bangkit berdiri. Seperti yang diduganya, Iris sangat cantik dengan gaun yang dipilihnya. Tulang selangka Iris tampak menonjol cantik dengan kulitnya yang putih dan rambut peraknya digerai sepanjang punggung dan dihias jepitan batu Kristal yang dipilih Eras.

Iris merasa canggung saat melangkah memasuki ruang makan yang mewah itu. Dia melihat banyak menu di atas meja panjang dan Duke Adorien sedang menantinya. Pria itu berdiri dan melangkah mendekatinya. Malam itu juga sang Duke terlihat sempurna dengan pakaian malamnya yang bernuansa gelap. Iris mengepalkan tangannya. Sadarlah Iris, hidupmu sedang dipertaruhkan. Hidup atau mati.

"Gaunnya sangat indah." Eras bermaksud memuji Iris namun terkesan lebih memuji gaun saja, membuat Eliath mengusap wajahnya dan Hedia terbatuk.

Iris tertawa dan membungkuk hormat. "Ya. Gaunnya sangat indah. Terimakasih Yang Mulia." Ia berkata dengan nada tertawa.

Eras melirik Eliath yang berdiri di belakang Iris. Pria tua itu memberi tanda dengan menggeleng. Bibir Eliath komat kamit. Bukan gaunnya, Tuan Duke.

Eras melihat Iris masih membungkuk hormat dengan memengan ujung gaun. Ia mengulurkan tangannya. "Maksud saya, anda cantik sekali dengan gaun itu." Eras memperbaiki kalimatnya.

Iris menegakkan punggungnya dan menerima uluran tangan Eras. Ia tertawa lebar. "Terimakasih atas pujiannya Yang Mulia." Pria di depannya ini demikian kaku bahkan saat memuji sekalipun. Yeah, wajar saja pikir Iris saat Eras membimbingnya ke kursi. Duke Adorien lebih senang belajar pedang dari pada latihan memuji wanita.

"Adorien sangat dingin saat malam hari. Lebih baik anda tetap memakai syal." Eras menahan gerakan Iris saat akan melonggarkan syal bulu. Ia memperbaiki letak syal itu di leher Iris.

Lagi-lagi Iris mendengar suara batuk Eliath, Hedia dan beberapa pelayan yang berdiri di belakang meja mereka menunggu perintah. Sepertinya Duke tidak terlalu peduli dan kembali ke kursinya. Mereka menikmati makan malam dengan nikmat. Iris jelas sangat menikmati makan malamnya yang lezat hingga saat pelayan membersihkan peralatan makan mereka dan menuangkan minuman anggur di gelas, Iris mendengar suara Duke Adorien.

"Saya menantikan jawaban anda saat ini juga, Iris." Eras tak lagi menggunakan kata "nona" apalagi "putri" kepada Iris. Di telinga siapapun yang mendengarnya, nada bicara sang Duke terdengar lebih ramah dan lembut.

Iris meletakkan gelasnya. "Bukankah anda meminta jawabannya besok pagi?" ia bermaksud menunda jawabannya. Oh, berilah aku waktu semalaman, jerit Iris dalam hati. Ada berapa pasang telinga yang sedang menanti jawabannya, keluh Iris. Di luar ruang makan itu, sudah berjejer para pelayan, asisten Duke dan beberapa kesatria yang menanti jawaban Iris. Iris tahu itu sejak ia berjalan menunju ruang makan tadi.

Eras memberikan tanda pada Eliath. Iris mulai curiga. Eliath bergerak mendekati Duke dan memberikan sesuatu dari balik sakunya. Duke Adorien berdehem, menerima kotak kecil itu dan berjalan mendekati kursi Iris.

Eras membuka tutup kotak tersebut dan menunjukkannya pada Iris. "Saya melamar anda, Iris. Dalam dua hari saya akan membawamu ke Ibu kota saat pesta kemenangan Kaisar. Saya akan memperkenalkanmu kepada Paduka Kaisar dan segera mengurus pernikahan kita." Sebuah cincin bermata biru berada di dalam kotak.

Eras mengucapkan titik lemah Iris. Saat ini Iris tak mungkin menghindar lagi. Iris yakin bahwa berita sang Duke membawa seorang tahanan dari Lovec telah sampai ke telinga Kaisar. Semua pasukan melihat Iris yang dibawa Duke meski kemungkinan kecil mengenali Iris sebagai putri raja Lovec kecuali kesatria yang berada di kamar raja saat Eras membunuh raja.

Eras membungkuk. "Surat kontraknya sudah saya persiapkan. Kau bisa ke ruang kerjaku setelah makan malam berakhir."

Iris menelan ludah. Baiklah. Ayo jalankan saja rencana penyelamatan diri ini, pikir Iris. Dengan tersenyum, Iris memegang tangan bersarung Duke. "Saya sangat bahagia Yang Mulia." Dan ia melihat senyum sang Duke bersamaan dengan sepasang matanya yang merah itu juga ikut tersenyum.

Oh, lebih baik aku pingsan saja, pikir Iris.

Tbc...

Hahaha...kayaknya si Duke bau²nya bakalan bucin nih.

Love dan kecup basah dindin 💋🐝🍒🍰

Continue Reading

You'll Also Like

91.9K 9.3K 13
Follow dulu sebelum baca 😖 Hanya mengisahkan seorang gadis kecil berumur 10 tahun yang begitu mengharapkan kasih sayang seorang Ayah. Satu satunya k...
699K 2.6K 8
kumpulan cerita dewasa berbagai tema
433K 30.4K 42
menikah dengan duke Arviant adalah hal yang paling Selena syukuri sepanjang hidupnya, ia bahkan melakukan segala cara demi bisa di lirik oleh Duke Ar...
829K 2.8K 11
🔞 cerita ini mengandung adegan dewasa