TIGA BELAS JIWA

By slsdlnrfzrh

1.3M 188K 71K

Cerita ini adalah penggalan kehidupan dari tiga belas jiwa yang bekerja di rumah sakit jiwa. Kalian akan mene... More

Tiga Belas Jiwa
[SC] Raga
[JH] Johan
[JS] Joshua
[WJH] Arel
[KSY] Catra
[JWW] Dipta
[WZ] Khrisna
[DK] Arthur
[KMG] Pram
[XMH] Mada
[BSK] Gatra
[VN] Vernon
[DN] Dino
1.1 Raga
1.2 Johan
1.3 Joshua
1.4 Arel
1.5 Catra
1.6 Dipta
1.7 Khrisna
1.8 Arthur
1.9 Pram
1.10 Mada
1.11 Gatra
1.12 Vernon
1.13 Dino
2.1 Raga
2.2 Johan
2.3 Joshua
2.4 Arel
2.5 Catra
2.6 Dipta
2.7 Khrisna
2.8 Arthur
2.9 Pram
2.10 Mada
[Special Part] Manjiw Squad Girls
2.11 Gatra
2.12 Vernon
3.1 Raga
3.2 Johan
3.3 Joshua
3.4 Arel
3.5 Catra
3.6 Dipta
3.7 Khrisna
3.8 Arthur
3.9 Pram
3.10 Mada
3.11 Gatra
3.12 Vernon
3.13 Dino
4.1 Raga
4.2 Johan
4.3 Joshua
4.4 Arel
4.5 Catra
4.6 Dipta
4.7 Khrisna
4.8 Arthur
4.9 Pram
4.10 Mada
4.11 Gatra
4.12 Vernon
4.13 Dino

2.13 Dino

13.7K 2.5K 1K
By slsdlnrfzrh

Dino

Disaat temen-temen gue pada rusuh oleh pertanyaan semacam mana pacar lo? mana calon lo? dan sebagainya, gue justru gak pernah sekalipun terganggu dengan hal seperti itu karena memang sangat jarang sekali mendapatkannya.

Keluarga gue bukan sebuah keluarga besar, kakek nenek dari kedua orang tua cuma punya satu anak tunggal. Dan si anak tunggal yang merupakan bokap nyokap gue itu juga bernasib sama; cuma punya satu putra. Makanya kalau lebaran atau kumpul dalam suatu acara, gue hampir tidak pernah mendapatkan pertanyaan yang orang-orang sebut sebagai ranjau dan ancaman.

"Ibu kalo punya mantu, mau mantu yang kayak gimana?"

Kebiasaan gue kalau libur dan kebetulan orang tua lagi di rumah adalah manja-manja sama mereka berdua. Bapak dan Ibu mengelola lima grosir sembako dan kebutuhan rumah tangga yang cukup besar di beberapa titik Kota Bandung gitu. Kata tetangga sih, mereka ini juragan. Sejak kecil hidup gue udah enak, penuh kasih sayang, cuma akhir-akhir ini lagi berusaha mandiri tanpa bergantung lagi ke mereka berdua.

"Yang gimana, ya?" Ibu mengusap rambut gue pelan. Dia duduk diatas sofa yang berhadapan dengan televisi, sedangkan duduk diatas lantai dengan kepala yang gue simpan di pahanya.

"Kalo bapak sih—"

"Dih, Dino gak nanya bapak." Bapak gue tuh tipe bapak-bapak bodor, kerjaannya kalau di rumah cuma kaosan sama sarungan doang. Pernah sekali gue gak sengaja nginjek sarungnya yang kepanjangan, eh dianya gak pake kolor lagi sehingga celana dalamnya keliatan.

"Yang penting baik aja, jangan begajulan, kudu cewek baik-baik pokoknya."

Kadang gue gak paham sama definisi cewek baik yang sesuai sama selera para Ibu itu kayak apa.

"Yang baik-baik tuh gimana sih, bu?"

Elusannya di kepala gue terhenti, "Yang ... ya masa kamu gak tau? Sopan sama orang tua, sayang sama kamu, nggak pernah macem-macem, bisa jaga diri, berasal dari keluarga yang baik juga. Tapi yang penting sih seiman, iya kan, Pak?"

"Ya iya atuh, harus seiman."

Ah, seiman ya?

Buat orang yang sangat memegang teguh kepercayaan seperti Ibu dan Bapak, udah pasti mereka akan mematok standar ini sebagai kriteria paling utama. Siapapun akan begitu sih, dan harusnya hal itu udah bukan lagi sesuatu yang harus dipertanyakan kayak sekarang.

"Kenapa emang? Kok tumben-tumbenan anak Ibu tanya soal mantu? Udah ada yang mau disetorin nih?"

Gue menjauhkan kepala dari kakinya, kemudian tercengir kearahnya sambil menyibak rambut ke belakang. "Enggak sih, hehe, baru nanya aja." jawab gue.

"Oalaaahh, bapak tau." Mulut bapak yang penuh sama kacang polong seribuan itu terbuka lebar karena tawa, "Yang bule itu ya? Yang kamu jadiin status wasap?"

Ini nih,

Ini sebabnya kenapa anak-anak jaman sekarang harus banget mengatur privasi status di WhatsApp supaya gak terbaca Ibu Bapak.

"Ih, bapak, apaan, itu mah adiknya temen Dino. Adiknya si bule itu loh, yang kata bapak kalo nyengir kegedean."

"Pernon?" Harap maklum, bapak gue gak bisa nyebut V atau F.

"Iya, Vernon. Ibu bapak gak ke grosir? Gak biasanya." Gue mengalihkan pembicaraan saat melihat Ibu yang tampaknya mulai tertarik kedalam obrolan.

"Bule? Kamu deket sama bule?" Pertanyaan gue dianggurin, sekarang Ibu malah balik bertanya soal si bule yang disebut sama bapak.

"Enggak bu, ih, itu pas dia ulang tahun emang kan sengaja suka dipajang di status gitu. Tren anak muda, bu." Gue beralibi, padahal gue gak tau kapan Sofia ulang tahun. Waktu itu kalo gak salah gue lagi merayakan kepulangan dia dari RS, dasarnya aja bapak kepo, biasanya juga gak pernah tuh iseng-iseng liat status gue.

"Ibu kalo ada kandidat calon buat Dino, bisa tuh saranin. Boleh kan ya Dino pacaran?" Gue kedip-kedip kearah Ibu, nggak tau kenapa kok gue gak mau aja gitu ya bahas Sofia bareng mereka?

"Hm, ada sih kalo kamu mau." Ibu langsung saling pandang sama bapak, "Ibu bukan jodohin loh ya, cuma saranin, Dino juga udah besar, udah bisa pacaran atau tunangan. Gih sana ke grosir Ibu yang ada di Pasir Koja, disebelahnya ada klinik kecantikan, dia langganan ibu kalo skincare-an. Jomblo katanya, cantik, berhijab lagi."

Kok jadi dijodohin beneran?

"Si dokter geulis tea, bu?" Bapak langsung sumringah, "Tapi bukannya udah berapa teh usianya? 28 ya? Beda tiga tahun atuh sama Dino."

Kaki ibu nendang kursi bapak, "Bagus dong, dewasa. Sekalian ambilin uang setoran bulanan dari grosir sana, ambil sama bukunya ya mau ibu audit."

Gaya bener emak gue, tau bahasa audit segala.

"Iya deh, Dino mandi dulu. Ada nitip gak? Makanan atau apa gitu?" Tanya gue sambil berdiri. Sekarang bukan minggu sih, sebenernya hari rabu. Cuma karena gue lagi gak punya jadwal praktek, akhirnya gue memutuskanbl buat ambil libur.

"Pulangnya beliin bakso yang deket Paskal itu loh, Din, bakso mercon." Pesan bapak, dihadiahi oleh anggukan dari kepala Ibu. Gue meninggalkan mereka berdua di ruang tengah, masuk kedalam kamar untuk membersihkan badan dan siap-siap berangkat ke tempat tujuan. Ini diluar rencana, harusnya gue gak perlu sampai sejauh ini cuma demi menghindari pertanyaan soal cewek bule itu.

Sofia is calling ...

Ponsel gue berdering, menampilkan nama Sofia diatasnya lengkap dengan emotikon hati yang cewek itu buat sendiri. Gue mengabaikannya selama memakai baju atasan, baru mengangkat panggilannya di dering kesekian sehingga membuat perempuan itu harus menunggu sedikit lama.

"Kaaaaakkk!"

Aduh, kuping gue ...

"Apaan sih? Berisik banget mulut lo."

"Kata Bang Vernon lo ambil libur ya? Jalan yuk?"

"Nggak ah, gue mau ketemuan sama orang soalnya."

Ada desah kecewa dalam napasnya, "Yaahh, sama siapa? Anak manjiw juga?"

"Bukan, dokter kenalan Ibu." Jawab gue jujur.

"Cewek?"

Gue mengangguk, padahal gue tau kalo Sofia gak mungkin bisa liat. "Iya, cewek lah, gue kan normal."

"Yaudah, have a bad time."

Suaranya kedengeran ketus, panggilan ditutup tanpa permisi hingga kening gue mengkerut saking bingungnya. Gue gak terlalu peduli walau sempat kepikiran, memilih segera bersiap-siap sebelum cuaca semakin panas. Gue jarang banget bawa mobil, tapi karena bapak yang maksa, akhirnya gue menyetir sekalian mengetes apa mobil ini sudah waktunya masuk bengkel atau belum?

Saat tiba ke grosir, gue langsung disambut sama tiga pegawai Ibu. Mereka langsung heboh nyiapin apa aja yang gue minta, beberapa ada yang tanya-tanya soal pekerjaan dan kehidupan gue selama ini. Saking serunya ngobrol sama mereka, gue jadi kelupaan kalau gue harus modus ke klinik di ruko sebelah sesuai titah ibu. Agak males sih, tapi gue juga penasaran soal rasa bucin itu kayak apa seperti yang selalu abang-abang gue di Manjiw Squad rasakan.

"Ada yang bisa kami bantu, mas?" Begitu masuk, gue mendapatkan sebuah sapaan dari seorang pegawai klinik tersebut. Namanya Beauty Skin dr. Therena, nuansanya serba pink dan putih yang cukup membuat mata kembali terasa segar.

"Mau ... apa ya? Cowok kalo ke klinik kecantikan biasanya ngapain, mbak?"

Tawanya tertahan, "Banyak sih, mas, tergantung keluhan. Masnya punya keluhan di kulit wajah atau ada bagian yang mau dirawat?"

"Saya mau ketemu dokternya aja deh." Ucap gue to the point, "Saya bayar biaya konsulnya kok, bisa?"

Dia kelihatan berpikir, "Hm, bi ... sa deh, bisa, masnya ganteng soalnya hehe."

Yaelah, jadi malu gue dipuji kayak gitu.

"Langsung masuk aja, ini dibawa ya kertasnya." Dia memberikan kertas berisi data diri gue, mengantar gue sampai ke pintu masuk kemudian membukakan pintu lebar-lebar. Saat masuk, gue mendapati seorang perempuan dengan snelli lengan panjang yang sangat pas di tubuhnya. Bener kata ibu, cantik banget gila. Sebelas dua belas sama Mbak Ainun punyanya Mas Pram.

Hehe.

"Geraldino Osmano, ya?" Dia membaca nama gue diatas kertas itu, "Namanya nggak asing, Geraldino." dia melirih.

"Saya anaknya ibu pemilik grosir sebelah klinik, dok."

Wajahnya langsung berseri, "Oh, ya? Mas Dino itu ya? Yaampun, seneng banget akhirnya bisa ketemu."

Subhanallah, senyumnya bikin ... err ...

"Ada keluhan apa, Mas?"

"Nggak ada sih, cuma mau nyapa, tapi tadi bayar biaya konsul kok." Takutnya dia ngira gue masuk tanpa bayar gitu kan, jadi gue kasih tau deh kenyataannya kayak apa.

"Ih, padahal gak perlu bayar, Mas, ntar saya bilang ke pegawai saya biar di refund." Katanya, "Aduh gak enak banget kalo ngobrolnya disini, kebetulan bentar lagi jam istirahat, mau di kedai minuman sebelah klinik aja ngobrolnya biar santai?"

Therena-Therena ini keliatan excited banget dengan kedatangan gue. Gue juga sih, rasanya beda aja gitu anjir gak bisa dijelasin pokoknya. Mana senyumnya cantik banget, sampe ngebentuk lesung pipi gitu. Dibilang gue lemah sama cewek yang pipinya berlubang, apalagi bentukannya model dokter Therena ini.

Tanpa menunggu jam istirahat tiba, gue dan si dokter kecantikan ini langsung ke ruko sebelah buat jajan Lemon Yakult. Selera kita sama, obrolan kita juga ngalir-ngalir aja sampai tak terasa udah satu jam lamanya kita bersama. Dia memberikan nomornya pada gue, tadinya mau gue ajak jalan aja pas sorenya cuma dia bilang kalo dirinya masih punya jam praktek di klinik yang ada di sekitaran Kebon Kalapa gitu.

"Nanti WA aja ya, Din."

"Oke, teh!"

Iya, dia manggil gue nama, dan gue manggil dia 'teteh'.

Gue melihatnya sampai masuk kedalam klinik, baru setelahnya bersiap pergi untuk segera pulang kembali. Belum sempat gue melangkah, ponsel gue bergetar lagi dengan nama 'Sofia♥' yang ada diatas layar.

Angkat nggak ya?

Kalo nggak diangkat juga dia bakalan nelepon gue terus, jadi mending diangkat aja kali ya?

"Halo?"

"Kaaaaakkk!"

Gendang telinga gue bentar lagi rusak kalo denger suara berfrekuensi tinggi dari spesies lumba-lumba ini.

"Apa lagi, Sof?" Tanya gue sabar.

"Udah ketemuannya? Giliran gue dong, gue juga pengen lo temuin."

"Capek ah, mau balik."

"Buruan temuin gue, gue mau bilang sesuatu sama lo soalnya. Yang gak nemuin gue anak dajal!"

"Dih, apaan lo?!" Gue memekik tak terima, "Dasar antek-antek PKI, gak mau ah gue mau balik pokoknya ketitipan amanah dari ibu soalnya."

"Yaudah gue yang ke rumah lo kalo gitu."

Waduh, bahaya nih ...

"Oke, oke, lo dimana?"

Suara tawa yang amat pelan terdengar, "Asik, ditemuin. Gue share loc lewat WA, ditunggu banget ya, kak."

Udah jadi kebiasaan buruk, Sofia gak pernah minta izin buat tutup panggilan telepon. Gue menggeleng seraya menghembuskan napas pelan, menunggu pesan dari dirinya yang mengirimkan sebuah live location berdurasi satu jam lamanya. Gue harus membuka peta itu lebih dulu, kayaknya dia ada di sekitaran Jl. Sumatera, gak jauh dari area Braga.

Buat sekarang gue bersyukur karena bawa mobil, soalnya tangan gue gak perlu kebakar matahari secara langsung seperti bawa kendaraan roda dua. Jalanan juga cukup macet, apalagi macetnya Bandung makin gak bersahabat alias minta dimusuhin banget. Belum lagi jalanan yang banyak dibuat satu arah, lo salah belok sekali aja muternya harus beberapa kilo; repot pokoknya.

Sesuai dugaan gue, Sofia pasti ada di sebuah tempat yang nggak biasa. Kenapa gue sebut gak biasa? Soalnya tempat nongkrong dia gak pernah normal, siang bolong begini aja nyasarnya di bar padahal minggu lalu lambungnya baru aja baikan. Gue udah capek banget ngingetinnya, gak heran kalau Vernon bertindak gak peduli karena emang Sofia sangat susah buat diatur.

"Kak Dino!" Matanya masih fokus, coba aja kalau gue yang ada di posisi dia. Udah yakin muntah-muntah walau cuma minum cocktail satu teguk.

"Ngapain disini?" Pertanyaan gue terkesan datar. Jujur, gue benci banget sama orang yang gak bisa nepatin janjinya kayak Sofia. Meskipun gue gak punya hak buat larang dia ini dan itu karena ini adalah hidup serta pilihannya, tetap aja gue gak suka apalagi apa yang dia lakukan sangat tidak baik bagi tubuh maupun kesehatannya.

"Minum, haus." Dia menggerakkan gelas tinggi yang entah isinya apa. Warnanya keruh, mirip air pipis orang yang lagi kena dehidrasi.

Gue menarik kursi tepat disampingnya, mengeluarkan sebotol air putih yang sisa setengah lagi kemudian meminumnya beberapa teguk. "Mau ngomong apa? Kak Dino harus pulang."

"Gimana ketemuannya? Lancar? Ceweknya kayak apa? Cantik mana sama gue?" Tangannya dia tumpu dibawah dagu, matanya berkedip sebelah kemudian dia menyingkap rambutnya dengan ekspresi super nakal.

Jari jemari gue mengusap wajahnya dengan kasar, "Ngapain sih lo? Gak mempan."

"Iihh!" Kakinya menghentak dibawah meja, "Jawab dulu itu ceweknya gimana?"

"Cantik, baik, dewasa, mantep pokoknya."

Rona wajahnya berubah, "Kerjanya apaan? Gak usah bohong lo, cantik gue apa dia?"

"Cantik dia lah," gue terlalu kasar gak sih? "dokter kecantikan langganan ibu, top markotop." Kedua jempol gue mengacung ke udara.

"Ck, kalo mau ngalahin dia caranya gimana? Gue kudu jadi dokter kecantikan juga? Atau gimanaaa?"

Ini Sofia kenapa sih?

"Lo sakit, Sof?" Gue menyentuh keningnya menggunakan punggung tangan, "Tapi gak demam kok."

"Kaaaakk!" Untung bar-nya sepi, jadinya gue gak perlu malu deh meski Sofia teriak-teriak. "Gue serius, gue gak suka lo ketemu sama cewek lain, gak suka."

Kening gue mengkerut, "Maksud lo? Gak usah ngawur, mabok siang-siang jadinya gini nih. Ayo balik, gue anter."

"Sumpah gue serius, kak." Nada suaranya memelan, "Gue benci banget sama cewek itu, gue gak suka lo muji dia. Gue suka sama lo, beneran suka banget sama lo."

Gue terdiam, yang gue lakukan hanya bernapas dan berkedip tanpa ada niat untuk membuka mulut dalam waktu dekat. Sejak awal gue selalu menegaskan, gue cuma menganggap Sofia sebagai adik tanpa merasakan sesuatu yang tarafnya lebih tinggi lagi dari itu. Semua perhatian yang gue kasih ke dia semata-mata karena gue peduli. Terlebih dia adalah adik dari temen gue, dan gue seperti diberi tanggung jawab untuk membantunya keluar dari zona setan ini.

"Itu yang mau lo omongin ke gue?"

Kepalanya mengangguk lemah, "Iya, lo suka ke gue juga gak?"

"Kalau jawabannya enggak?"

"Lo goblok." Agak kaget sih gue pas langsung dikata-katain gitu, "Lo harus suka ke gue juga, harus."

"Nggak bisa gitu, Sof, konsepnya nggak gitu." Ada tawa canggung yang menyelingi ucapan gue, "Gue ... sorry banget tapi gue nggak suka ke lo, gimana dong?"

"Kok jahat banget sih?" Bibirnya mengerucut sedih.

"Gue nggak jahat, tapi ... oke, maaf, perhatian gue ke lo bikin salah paham ya?" Gue mencoba terlihat ramah dan biasa-biasa saja.

"Jadi lo sukanya ke si dokter itu, kak?"

"Nggak suka juga sih, gue nggak lagi suka siapa-siapa."

"Gue bisa dong?" Dia masih gak menyerah, membiarkan teriknya matahari di jam dua ini membuat matanya menyipit tajam. "Gue bisa dong jadi cewek yang lo suka?"

Gue udah bingung banget harus jelasin dengan cara apa. Tubuh gue berhadapan dengan tubuhnya, melihat kedua matanya yang berwarna kebiruan itu dengan cukup intens. "Sof, suka gak sesimpel itu. Yuk pulang, gue anter lo ke kosan. Udah kan minumnya?"

"Terus maksud lo apa? Kok gue ngerasa kalau peduli lo ke gue tuh bukan cuma karena gue adiknya Vernon doang, kayak ada ... ada lebihnya." Umurnya baru 19, belum genap dua puluh sehingga wajar namanya kalo dia masih gampang baper dan menyimpulkan perasaan sesuka dirinya sendiri. "Kak, kasih tau gue gimana caranya supaya gue bisa lo sukai juga."

Tangannya menyentuh punggung tangan gue, sementara gue yang kurang nyaman dengan situasi itu sontak menarik tangan supaya kembali berjauhan. Gue menggeleng cepat, "Nggak bisa, Sof, kita gak bisa." tegas gue.

"Kenapa?"

"Kalaupun gue suka sama lo, kita gak bisa jadi kita. Ayo pulang, jangan minum-minum kayak gini, lambung lo belum sehat." Gue berdiri sampai kursi yang gue duduki berdecit nyaring, "Buruan bangun, jangan kayak gini. Lo cewek, lo gak boleh—"

"Gue gak peduli lagi sama harga diri, kalo suka ya harus gue perjuangin, itu yang gue tau." Ekspresinya dipenuhi oleh kesungguhan, dan gak tau kenapa gue makin gak tega aja karena secara gak langsung gue udah bikin anak orang menaruh harapan yang begitu tingginya.

"Yaudah kalo gitu, gue juga terlanjur jahat di mata lo." Kadang panas matahari juga bisa nyulut emosi, "Mulai sekarang gue gak akan nemuin lo lagi buat ngeyakinin kalo gue gak suka sama lo. Lo pilih mana? Gak ketemu gue atau gimana?"

"Yaaahh, jangan dong." Sofia langsung merengek, "Iya deh, iya, gak apa-apa lo gak suka sama gue. Yang penting lo jangan ilang dari gue, jangan berhenti nemuin gue. Ya?"

Gue tersenyum, "Anak pinter, ayo pulang. Bayar dulu minumannya, gue gak akan bayarin soalnya itu haram."

"Dih najis, masih aja lo bawa-bawa haram."

"Emang iya, mana boleh gue bayarin begituan. Kalo siomay atau batagor mah satu gerobak juga gue ikhlas bayarinnya."

"Iya, iya, gue bayar. Berisik lo, awas lo ya kalo ketauan jadian sama si dokter itu!"

Gue cuma ketawa, yang terpenting sekarang adalah gimana caranya ngilangin perasaan Sofia yang menurut gue cuma gertakan biasa. Lagian kalaupun iya gue dan Sofia menjadi sebuah keterlanjutan, kita berdua cuma akan berakhir sebagai kegagalan. Sesuka apapun gue terhadap sesuatu, gue gak akan melanggar ketetapan untuk hidup bersama dengan orang yang memiliki cara berbeda dalam menyebut nama Tuhan.

***

"Tu wa ga!"

"Raga lo dikatain tua, Ga!"

"Yeeh anjing kapan mulainya kalo gini mulu!"

Yang ngumpat adalah Mas Pram, dua hari sejak kejadian itu gue dan anak-anak manjiw langsung sewa studio musik untuk latihan band. Bang Raga masih ikutan, walau sejak tadi dia cuma fokus sama hape sambil senyam-senyum kayak ABG baru puber.

"Ya maap, maap. Ini bass-nya bisa ganti gak sih? Sama bass betot gitu." Kadang gue selalu terpukau dengan setiap apapun yang keluar dari mulut bang Johan. Celotehannya wajib dikasih penghargaan sekelas Panasonic Gobel Award atau paling minim Silet Award.

"Congor lu tuh emang ajaib ya." Entah pujian atau umpatan, gue gak tau. Apalagi kalau keluarnya dari bibir The Lord Khrisna Adhyaksa— begitu kalau kata bang Arthur. "Tangan gue udah kebas megang stik drum, bisa agak cepetan? Acaranya besok."

"Tau nih, gua dari tadi kecrak kecrek mulu kayak Ariel Noah."

Lagian ya, gue masih heran apa fungsi dari Bang Catra yang megang-megang kecrekan. Masih untung bukan dari beras atau tutup botol, gak ada harga dirinya.

"Bang, mending gak usah maen kecrek dah, turun harga diri."

"Yeu, gua kan pengen naik ke panggung juga, pengen ditonton Mela."

"Ya tapi gak megang kecrek juga, gua aja yang liatnya malu, apalagi cewek lu." Demi kemaslahatan hubungan Catra-Mela, gue berkomentar. Abisan urat malunya tuh kayak sisa segaris doang, megang kecrek aja kayak yang kebagian peran sekeren Giring Nidji.

"Yang tidak berkepentingan mending keluar dulu, biar ni lagu bisa beres sekaliiiiii aja." Usul Gatra yang udah gatel banget sama tuts keyboard dihadapannya. Bang Arthur masih seriosa, ditemenin sama Bang Dipta yang katanya mau jadi backing vokal bagian lalala sama hahaha.

"Oke kita keluar." Putus bang Arel yang langsung menggiring lima lainnya supaya keluar dari studio. Bisa-bisanya mereka pada bolos demi ikutan latihan beginian, heran banget pokoknya apalagi sama mereka yang udah pada tua.

"Adek gue kemaren balik ke rumah." Pas Vernon bilang itu di ruang tunggu, badan gue langsung panas soalnya gue takut Sofia curhat terus abis itu gue disidang abis-abisan sama kakaknya. "Katanya kemarennya abis minum di bar, sama lo."

"Iya, kemaren lusa dia minta gue nyamperin ke bar di jalan Sumatera gitu, bang."

"Adek gue suka ke lo, ya Din?"

Gue mengangguk, "Iya katanya."

"Terus lo?"

Gue kebingungan saat menjawabnya, "Gue ... nggak sih, bang, sorry."

"Syukurlah." Gue sedikit heran saat Vernon berkata demikian, "Adek gua brengsek banget sumpah, lo anggurin aja, ntar juga bosen sendiri. Gue justru khawatir kalo misalnya lo berdua jadian, dia anaknya gampang oleng soalnya."

"O-oh, gitu ya." Yaudah gue ikut lega aja kali ya? "Btw, besok bang Raga beneran gak ikutan?"

"Hm, berangkat besok siang dia, beres praktek setengah hari dari IGD." Masih Vernon yang menjawab, sementara yang diomongin sibuk ngetik diatas layar ponsel dengan kening yang mengkerut saking fokusnya dia sekarang.

"Chat sama siapa sih? Seru amat kayaknya."

Mas Pram yang saat itu berdiri disamping bang Raga langsung curi-curi pandang. Mulutnya terbuka tanpa suara, namun kita semua bisa dengan mudah menerjemahkan isyaratnya yang berbunyi;

'Dedek gemesnya, Melody'

"Kata Sofia lo deket sama dokter kecantikan?"

Gue menoleh lalu terkekeh pelan, namun berhasil menarik perhatian bang Arel dan juga Ko Mada yang saat itu langsung mendekat.

"Cieee, anak mana tuh? RSJ gak punya dokter kecantikan soalnya, haha!"

"Ada deh, buka praktek mandiri. Belum deket kok, baru kenalan, dikenalin Ibu." Jawab gue.

"Biasanya nih ya," bang Arel menjeda ucapannya, "Pilihan bonyok tuh gak pernah salah, cantik gak tuh?"

"Cantik lah, mirip dokter Ainun."

"MANA ADA!" budak cinta dokter Ainun langsung bersuara, "ISTRI GUA GAK ADA DUANYA! GAK ADA YANG BISA MIRIP SAMA DIA!"

"Yaelah baru calon padahal tapi udah belagu aje." Sindir Ko Mada, "Calon mah masih berpotensi gagal, iya gak?"

Gue dan yang lainnya ketawa, "Iya banget anjir, setuju."

"Pokoknya all the best aja buat lo, mudah-mudahan adek gue move on-nya cepet, sengsara banget soalnya dia abis ceritain semuanya soal lo."

Gue terdiam, Sofia beneran ceritain semuanya ke bang Vernon?

"Kasih waktu kalo mau jauhin adek gue, pelan-pelan, anaknya gampang down dan gue gak mau dia stress lagi kayak dulu."

Tangan bang Vernon mendarat di pundak gue, dia menepuknya dua kali lalu berdiri tepat ketika teleponnya berbunyi. Kok gue jadi serba salah gini ya? Perasaan gue campur aduk, dan gue gak siap menerima fakta bahwa mungkin ... mungkin Sofia emang beneran sesuka itu sama gue.

✡️✡️✡️

Minal aidzin wal faidzin, mohon maaf lahir batin semuanya🙏🏻

Oh iya, kemarin aku nggak update karena masih di rumah keluarga besar hehe. Mana ada waktu ngetik yakan, jadinya hari ini aja.

Btw, update ini sekaligus hadiah untuk 5th anniversary Seventeen!

Selamat ulang tahun, Sebong. Aylafyu pokoknya aku nggak akan selingkuh kecuali selingkuh ke antar member🙂

Pssttt, ada spoiler dikit.
Aku lagi oleng ke salah satu member, di Special Video Snapshot orangnya pake baju kuning sama beanie😬
Dia akan jadi pemeran utama di universe ini setelah Wonwoo dan DK, tebak siapa?
Clue selanjutnya, perannya akan berhubungan dengan aircraft tapi beda sama Angkasa
Clue selanjutnya (lagi), disini dia jadi teman Arthur Balaram dalam mencury mentega

Yuhuuuu~ see ya di periode kolenganku selanjutnya dalam tokoh yang berbeda

Continue Reading

You'll Also Like

3.6K 329 8
"Aku harap aku bisa membuat mu tetap tinggal disini."
1.6K 243 21
Kasus pembunuhan berantai yang sudah memakan 6 korban di sekitaran kota Bandung, mengharuskan pihak kepolisian, kejaksaan, serta forensik bekerja sam...
26K 3.7K 20
"Tadi niatannya mau ke Incheon Airport.... KOK GUE SEKARANG MALAH ADA DI BANDARA KERTAJATI???!!!"
1.3K 335 36
Tentang mereka yang terpisah karena keadaan memaksa merengegut ingatan dan kenangan indah mereka bersama, merindukan seorang diri tanpa tahu kapan ri...