Let's Be Together (selesai)

By pulpenabu

4.8M 457K 19K

Nayara Swastika punya hidup yang sempurna; menjadi model ternama, bergelimang harta, tak lupa paras cantik ya... More

1. Riweuh!
2. Agam Menyebalkan!
3. Bingung
4. Kondangan
5. Sorry
6. Cerewet
7. Standar Naya
8. Tingkah Aneh Agam
9. Sebuah Permintaan
10. Membandingkan
11. Buta
12. Rumah Sakit
13. Agam vs Gandhi
14. Food Festival
15. Mulut Membawa Petaka
16. Kalandra
17. Menjijikan
18. Teguran
19. Menyesal
20. Terlalu Banyak Pikiran
21. Apa ini?!
22. Astaga, astaga.
24. Ya Syukur
25. Kenapa?
26. Fact and Best Friend Ever
27. Please Stay
28. Perlu Diluruskan
29. Lari
30. Lakukan Sesukanya
31. Holiday
32. Maaf
33. Karena Terbiasa
34. So Badly
35. Let's Be Together
36. Final
Agam Side Story

23. Yang Paling Jahat

121K 12.3K 651
By pulpenabu

Pertama, aku mau bilang tetap semangat untuk Mak aku lynxaglaea semoga masalah plagiat-plagiat itu cepat kelar dan plagiatornya dapet hidayah supaya nggak menganggap sepele hal kayak gitu.

Happy reading dan jangan lupa voment-nya ya gais. Komen yang banyak hehe.

...

Untuk ketiga kalinya dalam semenit, Naya mendengus. Dirinya sedang bersama Agam, tetapi lelaki itu malah sangat fokus dengan ponsel--bahkan sepertinya tidak terganggu sama sekali dengan keberadaan mereka yang kini di keramaian. Tidak, lebih tepatnya di sebuah meja IYA CAFE yang terletak di sudut ruangan--yang sedikit terpencil karena tertutup tanaman hijau yang memang sengaja ditaruh di sana.

Namun, bukan hanya itu yang membuat Naya kesal pada lelaki--yang katanya pacarnya ini, adalah katanya, Agam akan mengajaknya jalan-jalan. Bukan. Lebih tepatnya adalah dirinya yang memberikan kode super keras, dan Agam hanya mengiyakannya tanpa beban. Benar-benar tipe lelaki yang tidak mau ribet berdebat dengan perempuan! Tapi, bukan hanya itu. Ada satu hal lagi yang membuat rasa kesalnya semakin menjadi-jadi. Agam hanya menggandengnya ke tempat kini mereka berada, dan memesan beberapa makanan masakan Arbi! Astaga, ini sih namanya bukan jalan-jalan! Padahal Naya sudah berdandan dengan sangat niat.

"Gam, jalan-jalannya cuma begini doang?" tanya Naya tidak habis pikir. Bibir berwarna merah merekah itu pun sudah mengerucut tiga senti.

"Tadi kan udah. Dari lantai tiga ke sini," jawab Agam ringan.

"Astaga! Niat nggak sih, ngajakin gue jalan! Nyebelin banget lo!" Naya memonjok lengan atas Agam sekuat yang ia bisa untuk melampiaskan kekesalannya, hingga ponsel yang berada di genggaman lelaki itu terlepas dan jatuh yang syukurnya ke atas meja--sampai menimbulkan bunyi yang cukup nyaring.

Agam sedikit melotot, hal yang jarang sekali lelaki itu tunjukkan padanya selama ini. God! Melotot aja ganteng.

"Bar-bar banget."

"Ya lagian elo!" Ekspresi wajah Naya terlihat semakin masam. "Katanya pacarannya sama gue, tapi berduaannya sama ponsel. Gue berasa jadi kotak tisu tau nggak? Lo lagi ngapain, sih?!"

"Ngurus sesuatu, Swastika. Buat masa depan," jawab Agam sambil kini menatap lekat wajah masam di sampingnya.

"Masa depan apa sih, Djati? Lo lagi sibuk kerja di weekend kayak gini? Ya udah sana pulang aja. Gue nggak mau ganggu yang katanya lagi--"

"Masa depan lo sama gue. Jangan berisik."

Terbatuk-batuk, Naya menatap Agam setengah tidak percaya. Itu tadi, yang ngomong Agam atau jin? Dan sungguh, meski begitu, Naya tidak bisa menahan pipinya untuk tidak bersemu. Perlahan tapi pasti, rona kemerahan itu menjalar hingga seluruh wajahnya. Bibir berbalut lipstik merah pemberian Agam pun kini menipis--lebih tepatnya ia sedang menahan kedua sudut bibirnya supaya tidak tertarik ke atas.

"Gue mau nanya."

Mendengar Agam berbicara, Naya berusaha menetralkan ekspresi secepatnya. "A-apa?" Aduh, kenapa pula dirinya harus tergagap?

"Pipi lo kenapa?"

Mendengar pertanyaan itu, secepat kilat rona kemerahan di wajahnya menghilang. Digantikan wajah memerah karena kesal. Ya menurut lo aja gimana, Djatiiiii!

Naya benar-benar dibuat kesal setengah mati dibuat oleh lelaki di sampingnya yang masih anteng menatapnya lekat-lekat. Sudah biasa. Meski sekarang rasanya tetap beda. Karena tiap Agam melakukannya, selalu ada debaran kuat yang menghantam dada. Ini ... dirinya sedang tidak jatuh cinta, kan?

Terlalu asyik dengan dunia masing-masing, Naya dan Agam bahkan tidak menyadari jika seorang Reni Djatiharsono sedang melangkah menuju posisi mereka berada. Tepat lima meter sebelum sampai, Agam lebih dulu beranjak untuk mengangkat panggilan telepon.

"Tante dengar kamu dan Agam pacaran."

Pernyataan dengan nada halus itu membuat Naya sontak menegapkan posisi duduknya. Bersiaga jika saja perempuan paruh baya itu tiba-tiba menamparnya. God! Naya deg-degan bukan main. Ekspresi tegang di wajahnya juga tidak bisa disembunyikan. Membuat Reni tiba-tiba tertawa dan mengambil duduk di hadapannya.

"Mukanya jangan tegang gitu, Nay. Tante nggak bakalan nampar atau jambak kok."

Naya tersenyum--yang justru terlihat sangat dipaksakan. "O-oh gitu, Tan."

"Seneng kamu bisa ngalahin Nesya?"

Senang? Tentu saja. Tapi apakah mendapatkan Agam adalah sebuah kompetisi? "Aku nggak paham sama omongan Tante, sih. Tapi kalau maksud Tante adalah bisa bersama Agam dengan hubungan lebih dari sahabat, ya tentu aku seneng."

Dengan sepasang telinga yang masih berfungsi dengan benar, Naya bisa mendengar Tante Reni mengembuskan napasnya pelan. "Sebenarnya kita cocok kalau kamu cuma jadi temannya Agam. Tante suka karena kamu selalu jawab jujur kalau Tante nanya pendapat kamu. Tapi lebih dari itu ...." Tante Reni menggeleng. "Kayaknya nggak bisa."

Naya menarik napas banyak-banyak, lalu mengembuskannya perlahan. Dirinya tidak boleh seperti ini. Maka, setelah mengumpulkan rasa percaya diri dan keberanian yang sempat terkikis tadi, Naya memberanikan diri untuk membalas tatapan serius wanita paruh baya yang menjadi ibu bagi lelaki multifungsinya. "Karena profesi aku yang jadi model, Tan? Karena biasanya orang yang berprofesi model adalah orang-orang yang bebas dan nggak bener?" Tanpa sadar, ia mengembuskan napas lega karena bisa mengeluarkan pertanyaan yang sedari dulu bercokol di kepalanya.

Reni tersenyum tipis. "Kalau kamu pingin tau, Nay. Profesi model kamu itu nggak pernah jadi alasan Tante nggak suka kamu."

"Lalu?"

"Tapi lebih kepada apa bisa, Agam memenuhi gaya hidup kamu yang suka menghamburkan uang? Nggak cuma sekali dua kali Tante tau kalau Agam membelikan barang mewah buat kamu, Nay. Apa bisa kamu tetap bertahan sama anak Tante kalau nanti dia berada dalam kondisi sulit?"

Sungguh, mendengar penjelasan Tante Reni membuat Naya mati-matian menahan kekehan. Apa seburuk itu dirinya di mata beliau? "Gayaku nggak setinggi itu, Tante. Dan saat aku memilih buat menerima Agam, aku udah memikirkan kedepannya nanti. Termasuk harus menghadapi Tante dan restu untuk kami berdua."

"Sekedar informasi, Agam hanya menggantikan posisi papanya sampai nanti Aldi cukup umur. Dia nggak punya apa-apa, Nay. Jadi, pergi sebelum masa itu akhirnya datang juga nanti."

"Ternyata ketakutan Tante sebagai orang tua hanya sebatas nanti kalau Agam miskin, maka aku akan meninggalkan dia, begitu?" Naya tertawa. Lebih kepada menertawakan dirinya sendiri karena dinilai seburuk itu. Apa memang justru nyatanya memang begitu? Apa selama ini dirinya begitu memaksa Agam untuk mengikuti segala tetek bengek gaya hidupnya?

Ya Tuhan, mengapa dirinya jahat sekali.

Dan kenapa pula Agam tidak pernah keberatan saat dirinya dengan enteng meminta banyak hal saat itu? Kenapa dirinya tidak pernah memikirkan perasaan Agam? Bagaimana kalau sejujurnya lelaki itu tertekan ditambah keberadaannya yang tidak tahu diri dan merepotkan ini? Apa memang dirinya hanya memanfaatkan keberadaan lelaki itu?

Tapi demi Tuhan, dirinya bisa jamin kalau ia tidak akan pernah meninggalkan lelaki itu di kondisi seburuk apapun nanti.

"Agam adalah anak yang penurut pada orang tua, meski dia harus melakukan hal yang tidak disukainya. Tapi apa pun itu, nggak ada orang tua yang mengarahkan seorang anak pada jalan yang sesat, Nayara. Kamu pasti akan merasakannya nanti, saat kamu menjadi orang tua." Tante Reni tidak menjawab pertanyaan Naya, dan mengungkapkan kalimat lain.

Naya menghirup oksigen sebanyak-banyaknya sebelum berkata, "Apa lagi selain 'ditinggalkan saat miskin' yang bikin Tante nggak merestui aku sama Agam? Karena kalau cuma itu, aku pastikan aku nggak akan menolak meski nanti aku cuma bisa pakai daster batik setiap hari."

"Kamu yakin? Nggak akan seperti mamamu yang tidak pernah bersyukur dengan apa yang dia punya?" Tante Reni menyeringai. "Jangan lupakan kalau Ganesha Kalandra adalah sahabat Tante juga, Nay. Tante tahu rahasia yang dia sembunyikan rapat-rapat pada semua orang. Termasuk kamu."

Begitukah? Apa memang dirinya selama ini bodoh sekali?

"Jadi ... bagaimana kalau Tante bikin Agam nggak punya apa-apa? Kalau memang kamu tetap akan bertahan, dan mampu mengalahkan Tante disaat Agam selalu patuh pada mamanya, Tante nggak akan menghalangi kalian lagi."

...

Naya dan Agam sedang duduk berhadapan. Bedanya, kini mereka berdua berada di kediaman Naya--lebih tepatnya di meja makan--dengan lampu berwarna keemasan yang membuat suasana sedikit romantis.

Seperti biasa, Agam masih sibuk dengan ponsel dan tidak berkutik sedari tadi, sedangkan Naya menopang wajahnya dengan kedua tangan. Memuaskan diri menatap Agam yang memang selalu tampan dengan rambut cokelat dan kulit putihnya. Agam bahkan tidak merasa risih sama sekali saat ia menatap lekat-lekat padanya.

Tidak ada yang memulai obrolan, dan Naya sama sekali tidak keberatan dengan itu. Baginya, asalkan bersama Agam, apa pun suasananya, ia akan merasa damai. Karena hanya dengan begini pun, dirinya merasa cukup.

"Gam." Setelah sekian lama, akhirnya Naya mengeluarkan suaranya.

"Hm?"

"Kayaknya lucu ya, kalau gue pake daster batik, terus lo pake celana pendek sama kaus singlet gitu." Naya terkikik sendiri. Membayangkan jika mereka berdua memang akan hidup sesederhana itu. "Atau lo malah mau pakai sarung kotak khas bapak-bapak?"

"Hm, not bad." Agam menjawabnya santai, dan kembali fokus dengan ponsel setelah tadi membalas tatapan Naya sebentar.

"Gam."

"Apa?"

"Kalau gue bukan adiknya Bang Janu, lo bakal ninggalin gue sendirian, nggak? Terus, menurut lo, hubungan kita ini bakal gimana, sih? Apa kita punya masa depan?"

"Punya."

Berdecak, Naya akhirnya menyerah dan memainkan bunga palsu yang ada di meja makan. "Pertanyaannya tadi ada tiga, lho, Gam. Kok lo jawabnya cuma satu?"

Dan Naya tidak mendapatkan jawaban sama sekali. Sepertinya memang benar. Ponsel adalah prioritas Agam, hingga rela mengabaikan kekasihnya sendiri. Dan untuk keisengan semata, ia mulai bangun dari posisi duduknya lalu memutari meja hingga kini Naya berada tepat di sisi Agam. Memberanikan diri, Naya akhirnya duduk di pangkuan lelaki itu seraya mengalungkan tangannya di leher Agam. Persis seperti penggoda. Padahal ia hanya ingin memeluk lelaki itu di tengah kekalutannya. Ia bisa merasakan lelaki itu menegang di awal, meski pada akhirnya kembali rileks dan malah meletakkan sepasang tangannya di pinggang Naya.

"Kalau gue bilang I love you, menurut lo gimana, Gam?"

...


S

ee u next part! Sorry guys semalem kukira udah ku publish ternyata belom😭😂

Terima kasih sudah mampir!
Love, Pulpenabu.

Continue Reading

You'll Also Like

146K 27.9K 34
Bagi Padaka Upih Maheswari, jatuh cinta pada pandangan pertama sangat mungkin terjadi termasuk ke pria kewarganegaraan Daher Reu yang sering wara-wir...
3.5M 362K 38
Satu tahun tinggal di apartemen, Almira tidak pernah berinteraksi dengan tetangga kanan dan kirinya. meskipun tidak berinteraksi, bukan berarti ia ti...
162K 19.9K 60
(COMPLETED) Yasmin adalah Gadis SMA biasanya yang tubuhnya sedikit tambun. Ia merasa kalau hidupnya akan terasa biasa saja, tanpa ada kisah-kisah rom...
30.8K 811 50
[FOLLOW SEBELUM MEMBACA] π˜Όπ™£π™–π™  𝙍π™₯ π™˜π™π™šπ™–π™ ! btw berisi qoutes 'Harapan 'Sindiran 'Ghibah 'Bucin 'Hujatan Langsung dari roplayer ny Masih ang...