Potret Sanubari ( Complete )

By hapsari1989

79.8K 10K 833

Kenesia Sanubari memiliki impian menjadi seorang komikus ternama. Apapun yang terjadi, dia harus pergi dari k... More

1. Prolog
2. Demi Lala dan Lili
3. Permohonan Kenesia
4. Hati Kenesia
5. Harga Diri
6. Curahan Hati
8. Kepingan Hati
Ebook Potret Sanubari

7 Munajat Cinta

5.1K 1.2K 87
By hapsari1989

Gradasi dan komposisi warna dalam delapan episode Lala dan Lili, terlihat indah. Seindah hidup mereka misal benar nyatanya adanya. Dua episode lagi, lalu aku siap mengirimkan hasil karyaku dalam kompetisi ini.

Senyumku terbit saat memilih font untuk untuk judul setiap episode mereka.

Lala dan Lili memasak tempe kacang, Lala dan Lili memetik apel bersama teman-teman, Lala dan Lili membuat sari apel untuk Nenek, Lala dan Lili merawat teman yang sakit, Lala dan Lili bershalawat. Lala dan Lili bersama ustadz Anj—oh, bukan. Aku menghapus apa yang kuketik dan mengganti judulnya. Lala dan Lili berdoa untuk orang tua—bersama Mas Anjar.

Aku menghela napas lelah. Bayang seorang Anjar sungguh sulit kulepas. Bahkan untuk hal yang sebenarnya, tak memiliki kaitan dengan pria itu.

Kursor komputerku bahkan memilih warna coklat krem dan mengaplikasikan warna itu di baju tokoh ustadz yang kugambarkan persis seperti Anjar. Kurang gila apa aku karena cinta? Mungkin, ini yang bisa disebut dengan azab. Ketika aku selalu menghina Abi dan para budak cinta lainnya, kini Allah memberikanku ujian yang membuatku tampak lebih mengenaskan dari pengemis cinta.

Allah ... Allah. Engkau pemilik seluruh alam semesta. Yang Maha Mengetahui segala hal di alam ini, hingga yang terkecil dan tak kasat mata. Hanya Engkau pemilik kehidupan hingga keajaiban.

Senyumku getir selama menyelesaikan warna sosok ustadz. Ustadz terlihat tampan dan berwibawa. Wajahnya tegas namun teduh jika tersenyum pada anak-anak. Anjar mungkin bukan pria sempurna seperti yang tergambar dalam webtoon, apalagi drama korea. Dia terlampau sederhana, jika kubandingkan dengan pria metroseksual. Tapi memang Anjar bukan tipikal pria seperti itu, sih. Dia berbusana secukupnya. Kaus kerah jika ke kebun, batik lengan pendek dan kadang panjang saat menghadiri undangan, koko untuk acara keagamaan dan rutinitasnya di masjid.

Wajahnya juga tak terlalu rupawan. Biasa saja. Namun kharisma dan wibawa yang terpancar dari wajahnya, membuat hatiku meronta meneriakkan namanya. Meminta pada Sang Pencipta untuk menciptakan takdir baik pada kami.

Dering ponsel memecah lamunanku terhadap Anjar, malam ini. Abiya menghubungi.

"Opo, Bi?"

"Tau gak, Ken? Aku tadi kedatangan siapa di bank?" Abiya terdengar berapi-api dari tempatnya menghubungiku.

Aku menyernyit sesaat sebelum menjawab, "Nasabah."

"Goblik! Yo pasti nasabah, Ndel!" Abiya terkadang kurang pandai menyimpan emosi. "Tebak aku ketemu siapa tadi di bank?" 


"Yo gak tau, Biya!" balasku tak kalah gemas. Dia pikir kepalaku hanya berisi jutaan tebakan tentang siapa yang menemui Biya hari ini?

Berdecak pasrah, Abiya bersuara dari seberang sana. "Erina. Aku tadi melayani Erina di bank."

"Ha? Dia kapan pulang dari Surabaya?"

"Pagi tadi, katanya. Masalahnya, bukan itu yang mau kubahas. Mau Erina sampe sini kapan, kek, bodo amat."

"Terus, kenapa kamu repot-repot laporan ke aku, Biya? Aku yo bodo amat dia mau balik ke sini kapan."

Dengkusan kasar terdengar. Abiya pasti sedang menahan satu rasa terhadap Erina saat ini. Namun aku tak tahu apa. "Erina ... setor uang puluhan juta, tadi. Dia bilang mau menikah dan merubah hidup menjadi bahagia dunia akhirat."

Kupingku terasa berdenging kencang dan panjang. Aku berharap tuli pada bagian ini. Namun agaknya, suara Abiya menyadarkanku bahwa Erinalah yang sepertinya akan Anjar nikahi sesaat lagi.

"Aku kok kesel ya, Ken," keluh Abiya lirih. "Keduluan Erina, aku. Dia bilang, dia mendului kita menikah karena dia cantik dan menarik. Dia bilang, dia juga berubah menjadi Crazy Rich Surabayan di tempat kerjanya sana. Dia kerja opo, sih, Ken? Sampe menyebut dirinya gila."

"Gila gimana?"

"Lha tadi itu, Crazy Bitch Surabayan!"

"Gak tahu," jawabku lemas. "Aku gak peduli, sih, sama hidup anak itu," hiburku ditengah hati yang terasa anval sedikit demi sedikit. "Kamu tanya gak, siapa calon suaminya?" Tindakanku ini masokis. Tapi aku juga mau tahu, agar jika ajal hatiku datang, aku sudah siap.

"Gak tahu. Dia cuma bilang mau menikah sama pria idamannya sejak remaja. Mau sultan bentuk apa, kek, mbuh! Ra ngurus aku."

"Ya kalau gitu, gak usah bahas Erina," sanggahku dengan suara yang mulai parau. Aku beristighfar dalam hati. Berharap kekuatan maha besar dari Allah untuk tetap bertahan menghadapi akhir cerita yang mengenaskan. "Oya, Sasmita ada cerita ke kamu gak?"

"Enggak. Soal apa?"

Aku menggeleng dan sedikit lega. Baguslah Sasmita belum membocorkan tentang pertemuan kami dan bagaimana malunya aku saat pulang dari rumah yatim. "Dia kasih aku keripik gadung kemarin. Samperin aku ke rumah yatim terus kita ngobrolin kompetisi komikku ini." Lalu aku melanjutkan karangan dusta pada Abiya.

Kami menyudahi sambungan saat Abiya sudah selesai mengeluarkan unek-uneknya tentang pria yang tak kunjung melamar temanku satu ini. Padahal, katanya pria itu sudah diangkat menjadi ASN petugas kelurahan. Itu yang ternyata membuat Abiya sedikit gerah mendapati Erina akan menikah duluan.

Berbeda dengan aku yang bukan lagi gerah, tapi lebih ke terbakar dan hangus tanpa sisa. Jika tadi Abiya berkata Erina akan menikahi pria idamannya sejak remaja, itu pasti Ahmad Ginanjar. Tak lain dan tak bukan.

Kalau sudah begini, apa lagi yang bisa kulakukan selain pasrah, ikhlas, dan berserah pada sang Maha Memiliki alam semesta? Aku hanya bisa menangis dalam sunyi lalu mengambil wudhu dan bermunajat.

Air mataku meleleh dalam sujud pada Ilahi. Isak tangis akibat tamparan hati ini membuatku kalut dan bingung harus bagaimana. Sasmita benar jika aku harus mengutamakan restu dan ridha Umi juga Abi. Namun aku tak tahu harus bagaimana lagi untuk melindungi perasaanku pada Anjar saat ini. Hanya menangis dan mengadukan semua sakit yang kurasa pada Sang Pemilik Hati. Aku berharap, ini benar sebuah ujian iman. Dimana aku akan percaya sepenuhnya pada kehendak Allah atas siapapun yang kan menjadi penyempurna agama.

Allahuakbar ... Allahuakbar.

Bahkan setiap mendengar suara adzannya, hatiku bergetar dengan desir rindu. Aku tahu ini salah. Itu sebabnya aku selalu bergegas mengambil wudhu dan berzikir pada Allah memohon ampun. Mengucap istighfar sebanyak mungkin dan meminta dengan sungguh-sungguh agar aku diberi kekuatan menerima takdir Allah, jika memang harus begini akhirnya.

Umi memicing curiga padaku. Mataku bengkak dan aku berkata tidak akan ke rumah yatim hari ini. Saat Umi bertanya mengapa, aku hanya menjawab lelah karena begadang marathon menyelesaikan delapan episode Lala dan Lili. Aku tak bohong sepenuhnya. Karena meski sambil menangis dan terisak lirih, aku terus menyempurnakan setiap gambar tokoh ustadz. Hanya tokoh ustadz.

Saat ustadz menegur Lala yang tak sengaja meminjam barang tanpa minta izin, saat ustadz memimpin doa makan sebelum menikmati tempe kacang, saat ustadz berkata pentingnya menjenguk dan merawat teman yang sakit hingga saat ustadz berkata kita harus mendoakan orang tua kita, baik yang masih ada atau sudah pergi.

"Tedi gimana?" Umi mulai membahas hal yang selalu berhasil merusak mood pagiku. Oh, bukan. Moodku seharian penuh.

"Terlalu tua, Umi," tolakku santai seraya memilah pakaian yang baru disetrika bibik.

Umi berdecak gemas. "Kamu sendiri yang bilang suka sama pria lebih dewasa. Umi carikan, gak ada yang cocok juga. Umi heran."

"Pilihan Umi semuanya tua, bukan dewasa."

"Umi salah lagi." Wajah Umi terlihat masam. Istri tercinta Abi ini, tak lagi bicara dan fokus pada tumpukan pakaian yang akan kami masukkan dalam lemari masing-masing.

Hening melingkupi kami hingga suara isak kudengar dari Umi. Aku menoleh dan kaget mendapati wajah Umi sudah bersimbah air mata. Aku salah apa lagi, Ya Allah?

Mendengkus pasrah dan panjang, aku menghentikan gerak tanganku dan mengelus pundak Umi yang terlihat naik turun. "Umi gak salah. Umi sudah melakukan yang terbaik untuk Ken," bujukku mengalah. "Ini memang salah Ken yang belum bisa membuka hati."

"Dan kamu akan menggunakan alasan itu untuk ninggalin Umi. Umi salah apa sih, Ken, sampai kamu ngotot banget pergi dari kota ini?" Isak tangis membuat ucapan Umi terbata. Aku yang mulai ikut emosional, hanya bisa mengerjapkan mata menahan laju air mata. "Bilang sama Umi. Umi harus gimana biar kamu gak sakit hati lagi."

"Ken cuma minta—"

"Ke Jakarta," sela Umi sedikit menyentak. Aku tahu untuk masalah satu ini, Umi pun sudah di ambang batas kesabaran. "Katakan pada Umi. Apa yang harus Umi lakukan agar kamu gak pergi ninggalin Umi?"

"Umi, Ken hanya—"

"Bayangin, seandainya Umi sakit hingga tak bisa bergerak. Untuk pipis dan buang air besar, harus dibantu karena kondisi Umi terlalu lemah. Siapa yang bisa Umi andalkan selain anak perempuan Umi nantinya? Umi gak minta Allah uji sebegitu berat. Namun kita manusia, Ken. Semua yang terjadi dalam hidup kita sudah digariskan dalam suratan. Umi hanya tak mau kehilangan saat-saat berharga bersama anak Umi."

Air mataku menetes deras. Aku tak bersuara ataupun isak. Ucapan Umi telak meninju sanubariku. Menampar kesadaran bahwa Umi benar-benar rapuh akibat kepergian kakek. Apa yang Umi ucapkan benar. Aku tahu, tak ada orang tua yang senang ditinggal anaknya. Apalagi, jika mereka tua kelak. Umi dan Abi tak pernah membicarakan tentang harta dan jabatan, begitu pun pada Arman yang notabene seorang laki-laki. Orang tuaku hanya menekankan agar kami terus bertakwa pada Allah dan berbuat kebaikan. Terus menggapai mimpi dan merubah nasib tanpa mengorbankan iman dan kewajiban sebagai hamba Allah.

"Umi punya kebun apel peninggalan kakek dan nenekmu. Abi punya kerjaan sebagai dosen di Malang. Semua itu gak bikin Umi merasa di atas awan, Ken. Harta kita cukup, bahkan Abi bisa bersedekah dan menghidupi anak-anak kurang mampu. Namun itu tak membuat Umi merasa memiliki segalanya. Bagi Umi, keluarga dan kebersamaan kita yang paling penting." Umi mengusap pipinya yang basah. "Umi tahu, mungkin kamu beranggapan Umi manja dan egois. Namun sungguhan, Ken, Umi gak bisa kalau jauh-jauh dari kamu dan Arman. Maafin Umi."

Aku menghela napas panjang. Berharap oksigen mampu memberiku banyak kekuatan dan kesabaran menghadapi keinginan Umi yang bagiku terasa berat. Aku memeluk Umi dan berkata akan memikirkan ulang tentang Jakarta. Namun aku juga meminta agar Umi berhenti mengirimiku profil-profil calom suami hanya untuk melindungi hatiku yang sudah hampir mati.

"Biarkan Ken menemukan cara Ken sendiri dalam menyembuhkan patah hati ini, Mi," ucapku seraya mengeratkan pelukan kami. "Ken hanya minta doa Umi agar kuat dan cepat melalui fase ini. Syukur jika jodoh Ken segera datang. Jodoh yang mampu mengobati luka hati dan mengukir senyum Ken lagi."

Ponsel Umi berdering. Abi menelepon dan meminta Umi mengantarkan data hasil panen semester terakhir ke kantor kebun. Abi tak bisa mampir pulang karena kedatangan mahasiswanya yang ingin bimbingan skripsi bersama Abi.

Umi memintaku mengantar data itu. Umi beralasan enggan menyetir mobil karena matanya masih basah. Umi ingin pijat saja dengan bibik. Jadi, mau tak mau aku mengangguk dan mengambil data itu, lalu melaju menuju kantor Abi dengan motor matikku.

Usai memarkir motor, aku melangkah memasuki gedung sederhana yang berdiri di depan kebun. Gedung tua ini awalnya rumah jaman penjajahan dengan model bangunan ala-ala rumah Noni Belanda. Abi dan Umi sepakat tidak memugar bangunan ini karena orang tuaku mencintai desainnya.

Aku menyapa beberapa karyawan Abi, meski keningku menyernyit samar mendapati reaksi orang-orang ini saat berpapasan atau menyapaku.

Membuka pintu ruang kerja Abi, aku mengucap salam lalu membatu di ambang pintu. Ada Anjar dan Erina di sini.

"Kata Umi, Abi ada mahasiswa. Mana?" tanyaku pelan dengan suara yang rasanya mencekat.

Bukannya menjawab, Abi justru menatapku tajam dan lamat. Hatiku berdebar, namun aku memberanikan diri melangkah mendekati meja Abi dan meletakkan dokumen yang Abi pinta ke atas mejanya.

"Kamu bertengkar lagi dengan Umi?"

"Enggak." Aku menggeleng.

"Umi menangis saat Abi telepon tadi." Suara Abi terdengar tegas dan khawatir bersamaan. "Lalu sekarang kamu. Mata kamu luntur hitam-hitam di pipi."

Aku terperanjat lantas membuka tasku untuk mengambil bedak. Innalillahi. Eye liner dan maskara yang kupakai agar menyamarkan bengkak mata, luntur dan membuat jejak garis di pipi. Kiamat sugro ini namanya, ketika aku yang kondisinya tampak mengenaskan, justru berada satu ruangan dengan Erina dan Anjar. Entah apa keperluan perempuan sundal itu sekarang.

"Ken ... Ken gak bertengkar dengan Umi, Bi," belaku seraya mengambil tisu basah dan membersihkan wajah. "Umi ... minta Ken supaya tidak ke Jakarta."

"Berarti kamu terima perjodohan dengan Tedi?"

"Enggak juga," jawabku sambil menggeleng. "Ken juga bilang sama Umi supaya tidak repot mencarikan Ken calon suami. Soal Jakarta, Ken akan menimbang ulang. Yang jelas, Ken janji tidak akan menyakiti hati Umi."

Aku menunduk dalam. Malu menatap Anjar dan Erina yang duduk berhadapan di sofa tamu ruang kerja Abi.

Abi terdengar menghela napas panjang. "Abi harus rapat dengan Anjar dan beberapa ahli pertanian. Kita bahas setelah Abi rapat dan bimbingan dengan mahasiswa atau kamu pulang saja dan tunggu sampai Abi pulang ke rumah lalu kita bicara berdua."

Aku menggeleng pelan. "Ken ...," hatiku terasa sesak seakan terhimpit batu besar. Rasanya ingin menangis kencang dan meluapkan seluruh emosi jiwa. "tunggu Abi di sini saja. Abi silakan rapat dan bimbingan dulu."

Erina menyela obrolan kami dan pamit undur diri. Aku bahkan tak menoleh padanya saat perempuan itu menyebut namaku untuk pamit. Anjar keluar ruangan bersama Erina dan berkata akan menunggu Abi di ruang rapat.

Air mataku menetes saat mendongak menatap mata Abi yang tampak kecewa mendapati wanitanya menangis gara-gara aku. Sungguh jika aku tak harus patah hati dengan Anjar, aku juga tak akan memaksa sebegini keras untuk pergi ke Jakarta.

"Abi sayang kamu, Ken. Jika memang ada yang membuatmu tak nyaman, bicara pada Abi. Abi bernapas dengan tanggung jawab mendidik, menjaga dan melindungi kamu. Tugas Abi baru hilang jika napas itu sudah tak ada."

Tangisku kencang saat Abi mencium kepalaku lalu pamit meninggalkan ruangan.

*****

Panjang euyyyy 2000an kata wkwkwkwk. Jangan lupa vote dan komen yess!!! Daku mau ke live IG BatikPublisher38 dulu untuk bikin heboh mintul batik disana wkwkwk. Yang mau ikutan ngeramein, cuss ke live IG batikpublisher yaaaa


LopLop

Hapsari

Continue Reading

You'll Also Like

1.1M 106K 27
Karmina Adhikari, pegawai korporat yang tengah asyik membaca komik kesukaannya, harus mengalami kejadian tragis karena handphonenya dijambret dan ia...
377K 21.1K 29
Mature Content ❗❗❗ Lima tahun seorang Kaia habiskan hidupnya sebagai pekerja malam di Las Vegas. Bukan tanpa alasan, ayahnya sendiri menjualnya kepad...
350K 1.5K 16
⚠️LAPAK CERITA 1821+ ⚠️ANAK KECIL JAUH-JAUH SANA! ⚠️NO COPY!
1.5M 136K 48
Kehidupan Dinar Tjakra Wirawan berubah, setelah Ayah dan kakak laki-lakinya meninggal. Impiannya yang ingin menjadi seorang News anchor harus kandas...