Update!
Happy reading!
Cuma bisa nulis segini, nanti kalau sindrom bengekku udah sembuh total bakal kasih part panjang. Nggak janji ya tapi kapannya update lagi^^
Enjoy ya ....
____________________________
Playlist: Alone Pt. II, Ava Max & Alan Walker
_____________________________
Dextier's mansion, Madrid-Spain. 10.00 AM
"Selamat pagi, Tuan Muda," sapa Crishtoff seraya membungkuk lalu membukakan pintu penumpang mobil.
Dextier hanya berdehem singkat. Usai mendudukan diri di bangku belakang, ia lantas sibuk menekuni i-Pad. Tidak berselang lama, mobil sedan tersebut lantas melesat meninggalkan pelataran mansion, begitu Crishtoff bergabung di bangku penumpang depan dan memberi intruksi supir.
"Maaf mengganggu, Tuan Muda, saya hanya ingin mengiformasikan perihal tugas semalam." Asisten pribadi sekaligus tangan kanan Dextier itu menoleh ke belakang. Di tangannya sudah ada map cokelat yang langsung disambar Dextier tak sabaran. Ketara sekali, jika Dextier begitu menantikan informasi darinya.
"Apa kau sudah mencarinya sampai detail?"
"Sebagian besar sudah, Tuan Muda. Tapi ... maaf sebelumnya jika saya lancang, sebenarnya, ada sangkut paut apa John Martin dengan Tuan Muda? Setahu saya, pria itu tidak mengusik kehidupan Anda sama sekali," ujar Crishtoff memberanikan diri.
Dextier hanya mengedikkan bahu tak acuh. Fokusnya sudah beralih pada lembar demi lembar kertas yang ia keluarkan dari dalam map. "Aku hanya merasa perlu mencari tahunya. Itu saja. Tidak lebih."
"Apa ini ada hubungannya dengan Nona Anna, Tuan? Apa Nona Anna melakukan kesalahan hingga Anda berniat membalaskannya pada orang tua tirinya?"
"Ent-tunggu ... apa kau bilang barusan? John Martin-siapa Anna?" Pria itu mendongak dan menatap Crishtoff tidak percaya. Memang, ia baru membaca seputar latar belakang-tempat tanggal lahir, orang tua, kerabat-John Martin saja, belum merambat sampai kehidupan rumah tangga bahkan sosok Anna.
Crishtoff mengangguk. "Benar, Tuan Muda. Nona Anna bukan anak kandung mereka. Dulunya Nona Anna dibuang, kemudian diadopsi oleh John dan Camilla Martin. Mengenai anak kandung mereka sendiri, maaf, saya belum berhasil mendapatkannya. Sepertinya John Martin sengaja mengasingkan anak kandung mereka sejak kecil, karena dari informasi yang saya dapat, John dan Camilla Martin hanya mengurus Anna sejak masih bayi merah."
Dextier meringis. Meski hidupnya selalu dilimpahi kasih sayang Karlen dan Renald, ia bisa merasakan betapa sakitnya diperlakukan buruk oleh orang yang sudah dianggap berjasa.
Pahit sekali kehidupanmu, Anna.
Selanjutnya suasana mobil menjadi hening. Dextier tidak bertanya lagi dan memilih membaca sendiri informasi yang Crishtoff dapat. Serentetan fakta menyakitkan seakan menusuk tepat di jantung Dextier begitu ia membacanya.
"Dulunya John dan Camilla begitu menyayangi Anna selayaknya anak mereka sendiri. Kehidupan mereka begitu bahagia ... sampai Camilla Martin didiagnosa kanker otak dan meninggal tepat saat Anna baru saja mendapat gelar sarjana. John Martin mulai berubah sejak saat itu. Tetangga mereka sering mendapati Anna dipukuli John."
Seketika Dextier membanting map berikut kertas-kertasnya kasar, kemudian memejamkan mata rapat-rapat. Supir dan Crishtoff yang menyaksikan itu tidak berani mengeluarkan suara. Dilihat dari sisi mana pun, mereka tahu bahwa Dextier sedang diliputi emosi. Hanya Tuhan yang paham betul apa yang terjadi dengan majikan mereka itu.
I can't explain this feeling. But, I really don't know how to behave. Hurt, my life's full of pain. Why everything must start from happiness?
... Why everything must start from happiness?
Sekarang Dextier tahu maksud di balik salah satu kalimat yang Anna tulis di diary-nya. Jika ditelaah lebih dalam, kalimat itu ditulis Anna sudah lebih dari setahun. Artinya, selama itu pula Anna mendapat siksaan dari sang ayah? Apa sebenarnya isi otak John Martin?
Dan menurut informasi yang Crishtoff berikan, John Martin merupakan pemabuk dan pecandu hubungan satu malam dengan wanita berbeda. Pasti karena frustasi ditinggal sang istri, John menjadi gila. Tapi ... tidak bisakah tangannya tidak lancang menghajar Anna terus-terusan?
"Motherf*cker. Ayah sialan," umpat Dextier, memijit pangkal hidung perlahan.
Crishtoff dan pria paruh yang bertugas menjalankan mobil saling pandang, bertanya-tanya. Tak urung kedua pria itu hanya mengedikkan bahu, seolah-olah tak mendengar makian Dextier sepanjang perjalanan.
***
Jefenerich Group Tower Building, Madrid-Spain. 11.00 AM
Lexus LS silver berhenti di drop off gedung pencakar langit Jefenerich Group. Dextier langsung berjalan ke luar begitu Crishtoff membukakan pintu. Ke dua kakinya melangkah tegas menuju lift khusus. Beberapa karyawan yang berpapasan dengannya hanya menunduk hormat, tidak berani berkutik. Aura Dextier amat menakutkan. Hal tersebut terlihat jelas dari tatapan mata setajam pisau pria itu.
Di dalam mesin kotak yang bergerak naik, hanya ada Dextier. Dalam keadaan sunyi, di balik tatapan menusuknya, sebenarnya pikiran Dextier sedang berkecambuk. Perasaan marah, kesal, berbalut kasihan melingkupi hatinya begitu saja. Pria itu tahu, langkahnya sudah terlampau jauh untuk kembali pada posisi awal. Ia tidak tahu jenis perasaan apa yang tengah ia rasakan. Semua terasa asing sekaligus mustahil. Dan menyerah bukan termasuk motto hidupnya selama ini. Waktu. Ya, Dextier memutuskan menanti jawab lewat sang waktu.
Ting.
Dextier sampai di lantai tertinggi gedung ini. Kakinya yang berbalut sepatu hitam mengkilap melangkah keluar. Di depan ruangannya, sudah ada tiga orang yang terlihat menanti kedatangannya. Bukannya mempercepat langkah, Dextier malah berjalan santai sembari memasukan tangan ke kantong celana bahan.
Menjengkelkan.
Pria itu bisa mengartikan arti tatapan wanita di samping Abraham Shovkovsky saat ini. Dextier tetap tak acuh. Bahkan ketika sampai di hadapan mereka, Dextier hanya memandang Katherine-menunggu perempuan itu membacakan jadwal-tanpa mengindahkan kehadiran laki-laki paruh dan wanita di depannya.
"Selamat pagi, Sir. Sesuai jadwal hari ini, Anda memiliki janji temu dengan Mr. dan Ms. Shovkovsky. Mereka sudah menunggu Anda sejak tadi-"
"Suruh masuk dan buatkan minum mereka, Katherine," potong Dextier, lantas berjalan masuk ke ruangannya bahkan sebelum Abraham menyapanya.
Tidak berselang lama setelah ia mengempaskan tubuh di sofa ruangan luas tersebut, Abraham beserta wanita tadi masuk. Lagi, tatapan permusuhan itu yang Dextier dapatkan dari wanita di belakang Abraham.
"Selamat pagi, Mr. Jefenerich, bolehkah kami duduk?" tanya Abraham penuh sopan santun. Berkebalikan dengan pemilik ruangan, yang hanya menunjuk sofa di depannya dengan dagu-mengisyaratkan jika ia memberi izin. "Terima kasih. Bagaimana kabar Anda, Mr?"
"As you see now."
Matanya beralih menatap wanita di sisi Abraham. Dan seakan mengerti arti tatapan itu, Abraham segera berujar, "Ah ... perkenalkan, Mr. Ini Alessandra Shovkovsky, cucu sekaligus sekertaris saya."
"Uh oh ... posisi rangkap rupanya," seloroh Dextier menyeringai.
Alessa hanya tersenyum tipis menanggapi. Namun, mata abunya tak pernah lepas mengamati segala tindak tanduk Dextier. Sangat tidak terbaca. Bahkan ketika netranya tak sengaja bertubrukan dengan Dextier, wanita semampai, berpakaian sopan, berambut pirang sepinggang itu tidak sedikit pun mengalihkan pandangan. Wanita itu justru semakin gencar melayangkan tajamnya pada Dextier. Menantang. Tak gentar. Sama sekali tidak takut bahkan saat Dextier membalas tatapan tak kalah tajam.
Suasana menegangkan itu dienterupsi suara ketukan pintu. Katherine datang membawa tiga cangkir di atas nampan. Usai meletakkan cangkir dan mempersilakan, sekertaris Dextier itu segera undur diri.
Abraham yang tidak menyadari suasana, sibuk menekuni lembar-lembar kertas di atas meja sembari menyesap minuman perlahan. "Sebelumnya, saya ucapkan terima kasih atas persetujuan Anda mengenai kerja sama yang saya tawarkan beberapa waktu lalu."
Dextier menyeringai sebagai tanggapan, akan tetapi matanya tak pernah lepas dari wanita di depannya. "Kupikir, sudah waktunya Jefenerich melebarkan sayap melalui bisnis tambang batu bara. Lagipula aku bosan terus berkutat di bidang properti, hotel, penerbangan, dan jasa. Mungkin ke depan aku juga tertarik menarik bisnis tambang emas sebagai kubangan bermain."
Alessa memutar bola mata disusul berdecih pelan. Dan Dextier melihatnya terang-terangan. Tak habis pikir akan kelakuan cucu Shovkovsky itu. Ini kali pertama mereka betemu, tapi wanita itu seakan membencinya setengah mati.
"Sesuai yang Katherine sampaikan, saya sudah membawa berkas-berkas yang Anda inginkan, Mr. Silakan Anda lihat terlebih dulu."
Saat itu juga tatapan permusuhan mereka baru terputus. Bersamaan dengan Dextier menerima kertas dari Abraham, dering telepon milik lelaki paruh tersebut berbunyi. Setengah berbisik di dekat telinga Alessa, Abraham menyuruh cucunya keluar sejenak untuk mengangkat telepon.
Alessa hanya mengangguk sembari tersenyum. Kontras sekali sikapnya waktu bertatapan dengan Dextier. Padahal, di sini Dextier yang berkuasa, tapi Alessa seolah lupa akan fakta satu itu. Wanita tersebut kemudian berjalan menuju pintu, namun ketika akan membuka pintu, Dextier sempat menangkap Alessa kembali melempar tatapan meremehkan berikut seringai tajam.
Wh-what?! Berani sekali wanita pirang itu meremehkannya! Belum tahu saja siapa Dextier sebenarnya, di balik marga Jefenerich.
Makasih udah berkenan baca. Kalau suka, jangan lupa tinggalkan jejak ya.
See u soon,
Vi