It (Rafan)

By alvikaDae

263K 28.3K 2.6K

Aku dan kamu adalah kita Banyak kisah kita yang bercerita tentang cinta Tapi kisah ini bukan cerita tentang k... More

----
1. Kemarahan
2. Love at first sight
3. Teka-teki dari pengacau
4. Tiga Saudara
5. Pertengkaran Pertama
6. Rumah
7. Salah paham
8. Kesepakatan bersama
9. Hari Pertama
10 - Hari Pertama (2)
11. Hari Pertama (3)
12. Ari
13. Lebih Dekat
14. Fier mengamuk
15. D.O
16. Bunda
17. Tebakan Diya
18. Keputusan
19. Menunggu
20. Mulai Bergerak
21. Oper Permainan
22. Penelusuran
24. Permintaan Maaf Rafan
25. First Date

23. Mengubur Rahasia

3K 555 55
By alvikaDae


Motor Rafan berhenti di sebuah parkiran tempat gym. Dia sengaja kemari karena tahu Fier ada di dalam. Setiap weekend kakaknya memang menyempatkan fitness untuk membentuk tubuhnya.

Setelah mendengar fakta mengejutkan dari Omar, entah kenapa Rafan ingin sekali melihat Fier. Sekedar memsatikan keadaannya baik-baik saja. Dia langsung mencari keberadaan Fier setelah membuka pintu kaca depan. Meskipun sangat luas, namun dia bisa menemukan Fier dengan mudah. Kakaknya itu duduk di dekat kaca jendela sedang mengangkat barbel untuk membentuk otot bisep.

"Ada yang bisa dibantu mas?" tanya seorang wanita yang duduk di meja resepsionist. Rafan memilih mendekat dan mendaftarkan diri masuk sana tanpa mengambil paket latihan apapun. Dia hanya ingin masuk.

Setelah melakukan registrasi, dan membayar biaya pendaftaran, Rafan mengambil kunci loker dan memasukkan barang pentingnya ke sana. Rafan juga melepaskan kemeja navynya dan melesakkannya ke dalam loker hingga sekarang dia hanya memakai kaos putih dan celana jeans.

Sebenarnya setiap anggota baru harus didampingi oleh trainer. Namun lagi-lagi Rafan menolaknya. Dia lebih memilih sendirian. Karena alasan dia datang bukanlah untuk fitness, namun menemani kakaknya.

Tanpa ragu, dia masuk ke dalam dan menghampiri Fier. Dia sengaja mengambil barbel di dekat kaki Fier agar Fier menyadari kehadirannya. Kemudian Rafan duduk di dekat kakaknya itu. Ikut menaik turunkan barbel seberat 10kg hingga otot bisepnya bergerak seirama.

Di dekatnya, Fier menatap Rafan heran tanpa menghentikan aktivitasnya.

"Ngapain lo di sini?" tanya Fier akhirnya.

"Fitness." jawaban Rafan begitu standard. Semua orang yang melihatnya juga tahu kalau dia sedang fitness.

Alih-alih mencecarnya dengan banyak pertanyaan, Fier memilih diam, tidak bertanya apa-apa lagi. Membiarkan saja Rafan berbuat sesukanya.

Diam-diam, Rafan memperhatikan wajah kakaknya yang sedang konsentrasi mengangkat barbelnya dengan benar. Wajah itu masih saja menampakkan wajah datarnya. Entah Rafan harus kagum atau sedih. Jika itu Rafan, dia pasti memilih tempat sepi untuk sembunyi. Meledakkan amarahnya sebanyak yang dibutuhkannya. Lalu mengurung diri untuk menenangkan hati dan pikirannya sendiri.

Bagaimana bisa dalam situasi seperti ini kakaknya masih bisa berdiri di depan umum. Menjalankan rutinitas dengan ekspresi biasa. Seolah-olah tidak terjadi apa-apa.

Melihat kakaknya begitu tenang setelah badai datang membuatnya memahami sepenuhnya pola pikir kakaknya. Membuat persepsi tentang kakaknya selama ini berubah total.

Dulu, dia selalu membenci setiap menatap  wajah datarnya yang memuakkan. Kesal setiap kali mendengar kata-kata kakaknya yang selalu terdengar menggurui bahkan setiap kekhawatiran selalu Rafan salah artikan. Entah kenapa ketenangan tanpa riak yang selalu kakaknya tunjukkan itu begitu menyebalkan hingga sering membuatnya meledak.

Namun sekarang, setelah dia melihat kakaknya masih setenang ini setelah tahu masalah yang dihadapinya, rasa benci itu menghilang sempurna. Karena perlahan dia menyadari ... ketenangan itu hanya topeng. Sebagai cara melindungi diri agar emosi terdalamnya tidak terdeteksi.

            Bahkan meskipun kakaknya tidak pernah menunjukkan emosinya, bukan berarti dia tidak memiliki emosi sama sekali. Selama ini dia hanya menahannya. Agar situasi terkendali. Agar iblis yang bersemayam dalam dirinya tetap mendekam di dalam, bersembunyi.

            Apa yang Robi lakukan, sudah memancing kemarahan Fier hingga iblis yang terpenjara bertahun-tahun dipaksa lepas. Kakaknya ini jauh lebih menakutkan dari kelihatannya. Saat Fier benar-benar meledak, bahkan Rafan sendiri belum tentu bisa menghentikannya.

            Pemahaman itu bukan membuat Rafan takut, namun justru senang. Dia kini melihat sisi paling manusiawi dari diri Fier.

Fier meletakkan barbelnya lalu berdiri menghampiri treadmill. Rafan ikut menurunkan barbelnya lalu mengikuti Fier lagi. Fier sampai kaget karena keberadaan Rafan.

"Bunda yang nyuruh lo ngikutin Abang?" tanya Fier, datar. Dia mulai terganggu. Bahkan Fier mengernyitkan dahi kesal dengan keberadaan Rafan yang terus mengekor, mengikutinya kemanapun dia pergi.

"Hm." jawab Rafan kalem.

Fier mendengus keras. "Lo masih inget kesepakatan kita kan?" tanya Fier mengingatkan. Rafan mengangguk saja. "Kalau gitu mundur, jangan ikut campur."

Rafan mengangguk lagi, tidak membantah. Namun juga tidak bergerak sama sekali.

"Terus ngapain masih di sini?" tanya Fier mulai kesal.

"Fitness."

Fier ternganga sambil mengelus dada. Adiknya itu selalu sanggup membuatnya menghela napas panjang menahan sabar. Dari pada emosi, lebih baik dia kembali melanjutkan aktivitasnya semula. Treadmill. Tak di sangka, Rafan ikut menyetel treadmill juga lalu ikut berlari di sampingnya.

Lagi-lagi Fier mendengus melihat polah Rafan. Namun seperti sebelum-sebelumnya, Fier memilih membiarkan Rafan berbuat sesukanya.
Rafan ingin berdamai dengan kakaknya. Namun tidak tahu caranya.

---

Fier baru keluar dari gym jam 6 lebih. Rafan ikut keluar bersamanya. Tubuhnya terasa lemas. Meskipun dia hanya ikut-ikutan, namun energy yang dikeluarkan tetap besar. Dia kelelahan setengah mati.

"Lo ikut pulang, kan?" tanya Fier.

Rafan menggeleng. "Gue mampir ke rumah temen dulu Bang."

Fier mengangguk saja. "Jangan kemaleman."

"Hm."

Fier terlihat cukup kaget dengan Rafan yang lebih penurut sekarang ini. Biasanya setiap kali dia memberikan nasehat Rafan akan marah-marah. Kemudian memberitahunya agar tidak perlu ikut campur. Namun sekarang Rafan langsung mengiyakannya tanpa bantahan.

Perubahan Rafan ini terbilang sangat drastis. Karena Fier yakin benar, tadi pagi mereka sempat bicara dan Rafan masih bersikap seperti biasa. Namun sore ini tiba-tiba saja Rafan mendekatinya lalu sikap Rafan padanya berubah total. Bukannya senang, Fier justru curiga. Apa yang terjadi pada Rafan? Apa yang membuat Rafan berubah sebanyak ini?

Meskipun Fier ingin sekali bertanya, namun dia memilih diam tidak berkomentar. Hubungan mereka sudah cukup bagus sekarang ini. Dia tidak ingin merusaknya dengan praduga yang tidak perlu. Toh, apapun yang terjadi, perubahan Rafan membuanya senang.

Fier berjalan ke parkiran lalu masuk ke mobilnya. Saat mobil Fier pergi, baru setelah itu Rafan menaiki motornya dengan lunglai. Dia pasang helm ke kepalanya dengan gerakan pelan. Lalu melesat dari sana dengan kecepatan sedang.

Sekarang, dia ingin sekali pulang dan menjatuhkan dirinya ke kasur, tidur. Namun sebelum itu, dia ingin melihat Diya. Meskipun rumah Diya dua kali lipat jauhnya dari sini, Rafan tetap ke sana.  Tidak peduli apakah ayah Diya akan mengusirnya setelah itu. Rafan hanya ingin melihat Diya sebentar saja.

Perjalanan terasa lama. Jalanan malam mulai ramai dan dia tidak punya keinginan untuk menyalip sana sini. dia malas untuk melakukan manuver apapun. Hanya udara dingin menusuk tulang yang membantunya tetap sadar.

Hingga akhirnya dia sampai di komplek perumahan rumah Diya. Rafan tersenyum pada pintu depan saat sampai di rumah Diya. Setelah memarkirkan motornya di depan gerbang, semangatnya kembali. Dia bergegas masuk dari pintu gerbang yang tidak terkunci, nyaris berlari melewati carport hingga akhirnya dia menginjakkan kakinya di teras.

Pelan, Rafan mengetuk pintu rumah Diya. Tak lama pintu terbuka dan hal pertama yag dia lihat adalah wajah Diya yang tertekuk. Rafan nyengir lebar. Setelah semua hal yang terjadi hari ini, bahkan wajah Diya yang masam masih membuatnya senang.

"Di, aus." pintanya sambil membelai kerongkongannya. Dia lelah sekali. Dia juga belum makan dari tadi. Namun yang paling tidak tertahankan adalah rasa haus yang membuat kerongkongannya kering. Dia menahan diri untuk mampir di salah satu minimarket untuk membeli minuman. Karena toh Diya pasti akan memberinya minum juga.

Meskipun wajah Diya terlihat kesal, Diya tetap mundur memberikan ruang untuk Rafan lewat. Tanpa sungkan Rafan masuk dan duduk di sofa. Kebetulan, dia ingin mengistirahatkan punggungnya sejak tadi.

Sementara Diya masuk ke dalam mengambilkannya minum. Rafan menghela napas panjang. Punggungnya seperti berat. Dia berusaha untuk berbaring. Kepalanya dia senderkan di lengan sofa.

Hari ini terasa sangat panjang. Semua yang terjadi membuatnya pusing. Dia sudah memutuskan untuk berhenti di sini. Masalah Fier-Robi-Livi dia tidak akan mencari tahu lebih jauh lagi. Dia tidak akan ikut campur lebih dari ini.

Terlebih, dia sudah membuat Omar marah. Laki-laki itu pasti sudah di bebaskan sekarang. Mungkin sekarang dia sedang memerintahkan anak buahnya untuk mencarinya. Beruntung dia memakai nama alias. Rafan yakin butuh waktu lama untuk Omar bisa menemukannya. Namun saat Omar tahu siapa dirinya, dia ada dalam bahaya. Setelah menggantungnya terbalik, Omar tidak akan membiarkannya hidup setelah ini.

Memikirkan itu membuat Rafan menghela napas berat. Dia menutupi wajahnya dengan lengan. Lalu memejamkan matanya sejenak. Setelah semua yang terjadi, dia ingin beristirahat sebentar. Hanya sebentar.

            Namun kenyataannya, kesadarannya perlahan menipis hingga akhirnya dia jatuh tertidur juga.

---

Saat Rafan bangun, jam sudah terlalu malam hingga dia harus cepat-cepat pulang sebelum jam malam yang diberlakukan ayahnya berakhir. Jika sampai terlambat, dia tidak akan dibukakan pintu.

Beruntung dia sampai tepat waktu. Saat dia masuk ke dalam rumah, lantai bawah sudah sepi. Sepertinya keluarganya sudah masuk ke kamar masing-masing. Lampu masih menyala meskipun remang.

Rasanya tadi dia mengantuk sekali hingga tidak peduli dengan perutnya yang keroncongan. Namun setelah tidur sebentar di rumah Diya, praktis dia sudah tidak terlalu mengantuk lagi. Tapi rasanya perutnya yang lapar sudah tidak tertahankan.

Jadi Rafan masuk ke dalam dapur mencari makanan. Dia membuka kulkas, menuang minum dalam gelas lalu mencari-cari makanan di sana. Dia hanya menemukan buah dan puding cokelat. Apapun, Rafan mengeluarkannya dan meletakkanya di meja dapur.

"Lagi ngapain?" Fiandra tiba-tiba muncul lalu menghampiri Rafan.

"Laper, Bun." ucapnya.

Fiandra menghela napas. Melihat semua makanan yang di keluarkan Rafan, dia yakin Rafan belum makan dari siang. Mau tidak mau dia ikut membuka kulkas lalu mencari bahan makanan yang bisa dia masak dengan cepat. Fiandra memilih mengambil potongan daging sapi dari freezer dan mulai membuat steak.

Rafan menggigit buah pear hijau sambil melihat ibunya memasak di dapur. Memperhatikan bundanya seperti ini membuatnya ingat alasan dia berusaha keras mencari tahu tentang masalah Fier dan Robi sejauh ini. Bundanyalah orang yang paling ingin tahu apa yang terjadi. Mereka mempunyai kesepakatan, jika Rafan memberitahu tentang Fier, Fiandra berjanji tidak akan ikut campur urusannya.

Masalahnya, jika sampai bundanya tahu apa yang terjadi, apa yang akan dilakukannya?

Tak lama Fiandra meletakkan satu piring steak dengan tingkat kematangan medium favorit Rafan. Rafan meletakkan pear yang belum habis di sampingnya lalu memakan steak buatan Fiandra. Enak seperti biasa. Namun dia kesulitan mengunyah karena dia kembali melamun.

"Ada apa?" tanya Fiandra bingung. "Memang kamu kemana aja sama Diya tadi? Masa pacaran nggak diajak makan?"

Rafan mendongak. Mulutnya terbuka ingin menjawab. Namun jika dia jujur, Fiandra pasti akan langsung tahu jika dia tadi tidak pergi bersama Diya. Namun mencari tahu tentang Robi.
Detik berikutnya bibirnya mengatup. Dia sadar, dia tidak bisa mengatakannya.

Bagaimana bisa dia membocorkannya? Sedangkan Fier mati-matian menutup mulutnya, bahkan rela di tendang dari sekolah. Hanya untuk menjaga agar rahasia ini tetap aman.

Rafan masih punya hati untuk merasakan empati. Karena jika rahasia ini bocor, maka Livi tidak akan punya muka lagi. Masa depannya akan hancur. Karena meskipun dia tidak dikeluarkan dari sekolah, namun pasti dikucilkan oleh teman-temannya. Dan belum tentu juga keluarganya mau menerimanya lagi.

Fier sudah bertahan sejuh ini. Bagaimana bisa dia tega membocorkannya?

"Tadi nggak jadi maen. Berantem, Bunda." Rafan memberikan alasan. Dia tersenyum kecut saat Fiandra menghela napas panjang sambil geleng-geleng kepala.

Untuk menebus rasa bersalah karena sikapnya pada kakaknya selama ini, dia memutuskan untuk menutup mulutnya. Kebenaran ini akan dia kubur selamanya.

Rafan akan menyimpannya sampai mati.

Continue Reading

You'll Also Like

296K 17.6K 36
JANGAN LUPA FOLLOW... *** *Gue gak seikhlas itu, Gue cuma belajar menerima sesuatu yang gak bisa gue ubah* Ini gue, Antariksa Putra Clovis. Pemimpin...
575K 27.5K 74
Zaheera Salma, Gadis sederhana dengan predikat pintar membawanya ke kota ramai, Jakarta. ia mendapat beasiswa kuliah jurusan kajian musik, bagian dar...
3.2M 159K 25
Sagara Leonathan pemain basket yang ditakuti seantero sekolah. Cowok yang memiliki tatapan tajam juga tak berperasaan. Sagara selalu menganggu bahkan...
576K 22.4K 35
Herida dalam bahasa spanyol artinya luka. Sama seperti yang dijalani gadis tangguh bernama Kiara Velovi, bukan hanya menghadapi sikap acuh dari kelua...