2. Love at first sight

18.1K 2.1K 287
                                    


sory baru nongol setelah sekian lama. thanks yang masih sabar nunggu cerita ini q update. seharusnya sesuai kesepakatan aku bakal nyelesein he dulu. tapi aku lagi pengen nulis tentang Rafan. oke ya, happy reading...

---

Rafan pov

Aku tak tahu sudah berdiam diri berapa lama. Yang aku tahu, sejak aku benar-benar melihat wajahnya, aku merasakan jelas ada jeda waktu yng begitu panjang. Seakan Tuhan memberikanku kesempatan untuk memperlambat detik hanya untuk satu momen ini.

Lucu, karena aku bisa melihat jelas matanya yang indah dengan bulu mata yang terus bergerak menatapku. Aku juga bisa melihat bayanganku di iris matanya yang bening berwarna cokelat tua. Hanya aku di sana, hanya aku yang dilihatnya. Dan rasanya, kemarahan yang sangat terasa perlahan menguap begitu saja.

Cukup. Aku memejamkan mata dan membukanya saat mengalihkan pandangan. Aku tak ingin memperhatikan lebih lagi. Atau aku akan jadi orang idiot yang hanya bisa menatapnya lama-lama.

"Maaf ... " dia bicara takut-takut.

"Hm," Hanya itu? tolol!

"Tangan lo sakit ya?" tanyanya tiba-tiba. Dia memang menabrak lenganku keras sekali. Tapi bukan berarti tanganku bakal patah hanya karena tertabrak cewek yang ... -aku memperhatikannya dari atas ke bawah hingga dia jengah- mungil ini. Tingginya saja tak sampai bahuku.

Tiba-tiba dengan gerakan tak terduga dia menyentuh lenganku, refleks aku tepis. Dia terlihat kaget dengan penolakanku. Sama kagetnya denganku. Aku tak suka ada yang menyentuhku. Apalagi anak perempuan!

Aku melihatnya salah tingkah. "Sory, gue cuma mau liat tangan lo ..."

Dia minta maaf lagi. Mungkin itu kosakata yang paling dia kuasai. Sampai mengucapkan kata maaf empat kali!

"Gue nggak apa-apa." kataku.

"Beneran?" tanyanya lagi. Cerewet! "Oke."

Aku tersenyum. Dan aku sadar ini pertama kalinya aku tersenyum semenjak seminggu berlalu. Aku menatap cewek itu lagi dan tanpa sadar sudah bertanya.

"Lo udah punya cowok?"

Mata anak perempuan itu terbelalak, lalu pipinya merah lagi. "Hah?" kaget mungkin. Atau takut aku gila, dia buru-buru mundur. Tapi jarak itu aku telan kembali dengan maju selangkah.

Aku berusah tenang. Mataku menatapnya datar. Bisa aku lihat kebingungan di wajahnya. Namun pelan-pelan dia menggeleng. Dan aku kembali tersenyum puas. "Bagus. Karena kalo lo punya cowok, terpaksa gue harus bunuh dia dulu."

Anak perempuan itu ternganga. "Lo ngomong apaan sih?" tanyanya bingung.

Jangankan dia, aku saja bingung kenapa bicara seperti itu. Sebenarnya itu hanya pikiran selintas. Tapi tentu saja aku tak akan membunuh pacarnya kalaupun dia punya. Paling membuatnya babak belur sedikit sampai wajahnya tak dikenali. Baru memintanya jauh-jauh.

"DY!!!" seseorang memanggil. Anak perempuan itu menoleh dan tersenyum melihat anak perempuan lain yang datang mendekat. Aku melirik papan nama perlengkapan MOS yang dikalungkan dan melihat namanya dengan jelas.

Redya Afsheen Rawnie.

Redya ... Dya. Aku akan mengingat nama itu. saat sadar sedang diawasi, aku menoleh. refleks, tapi aku langsung menyesalinya. Bisa kulihat teman Dya yang menatapku dengan senyum malu-malu. detik itu aku tahu tak akan mau menoleh untuk kedua kali. Tanpa pamit, aku pergi. Memilih mundur karena aku merasa terganggu ada orang lain di sana.

It (Rafan)Where stories live. Discover now