ALVASKA

By matcharay_

31.1M 2.2M 857K

Spoiler novel Alvaska 2 bisa anda baca di akhir bab. ©2020 More

Alvaska's cast
ALVASKA 01 [RAIN]
ALVASKA 02 [ACCIDENT]
ALVASKA 03 [BROKEN]
ALVASKA 04 [DEV]
ALVASKA 05 [WHO?]
ALVASKA 06 [SAVIOR]
ALVASKA 07 [HATE]
ALVASKA 08 [RELAPSE]
ALVASKA 09 [SPOILED]
ALVASKA 10 [BROTHER]
ALVASKA 11 [PRESTIGE]
ALVASKA 12 [NEIGHBORS?]
ALVASKA 13 [MISS]
ALVASKA 14 [DEV2]
ALVASKA 15 [OUR NIGHT]
ALVASKA 16 [SAVIOR 2]
ALVASKA 17 [SHE]
ALVASKA 18 [CLUB]
ALVASKA 19 [PUNISHMENT]
ALVASKA 20 [DARK SIDE]
ALVASKA 21
ALVASKA 22
ALVASKA 23
ALVASKA 24
ALVASKA 25
ALVASKA 26
ALVASKA 27
ALVASKA 28
ALVASKA 29
ALVASKA 30
ALVASKA 31
ALVASKA 32 Part I
ALVASKA 32 Part II
ALVASKA 33
ALVASKA 34
ALVASKA 35
ALVASKA 37
ALVASKA 38
ALVASKA 39
ALVASKA 40
ALVASKA 41
ALVASKA 42
ALVASKA 68
ALVASKA 69& 70
[71+] SPOILER VER NOVEL
SPOILER ALERT!!⚠️+ ALVASKA S2

ALVASKA 36

359K 40.9K 14.2K
By matcharay_

Gara terus saja mengekori Kana sejak cewek itu keluar dari kelas mereka, X IPS 1. Ketika Kana berhenti melangkah, Gara ikut berhenti. Ketika Kana kembali melangkah, Gara juga kembali melangkah mengekori.

Saat sudah sampai di koridor lantai bawah, Kana kembali menghentikan langkahnya dan langsung berbalik badan menghadap Gara, sahabatnya.

"Bisa nggak sih, nggak usah ngikutin gue?" kata Kana kesal pada Gara. Pasalnya, cewek itu merasa seperti anak kecil yang sedang di awasi oleh orang tuanya.

"Kenapa? Gue suka," balas Gara. Cowok berseragam basket itu menyisir rambutnya ke belakang menggunakan tangan.

Penampilan Gara akhir-akhir ini memang sudah sedikit berubah. Gaya bicaranya pun juga sudah berubah seratus delapan puluh derajat.

Sagara Antariksa, cowok yang terkenal childish itu sekarang sudah ber-transformasi menjadi cowok biasa pada umumnya. Tidak lagi menggunakan embel-embel nama ketika berbicara dengan seseorang.

"Lo kenapa sih, Ga? Lo ada masalah? Penampilan, gaya bicara lo, semuanya itu terlalu asing di mata gue. Lo kayak bukan Gara yang gue kenal," kata Kana. "Lo beda. Lo.. berubah."

Gara menghela napas kasar. "Gue nggak berubah Ka. Gue Gara yang sama, sahabat Lo dan Devan."

"Tapi-"

"Setiap manusia pasti berubah seiring berjalannya waktu. Gue nggak mungkin selamanya jadi Gara yang Childish dan cengeng kayak dulu." Gara memotong perkataan Kana. "Gue pengen jadi pelindung buat lo Ka. Apa itu salah?"

Kana menggeleng tidak percaya. "Lo bohong." Cewek itu terkekeh. "Lo pasti punya alasan lain di balik perubahan drastis lo ini. Right?"

"Kenapa lo nggak bisa percaya sih sama Ga- eh gue?" Gara berkata kesal.

"Lo, di putusin sama Sena?" Kana mengabaikan perkataan Gara. Melihat reaksi yang ditunjukkan Gara, sudah sangat jelas jika Gara mengubah penampilannya karena Sena.

"Kapan?"

"A-apanya?"

"Putusnya."

Gara menghela napas kasar. "Dua hari yang lalu."

"Dan karena itu lo memilih berubah-"

"Nggak juga Ka," potong Gara cepat. "Lima persen karena itu. Tapi sisanya lagi, gue berubah buat lo, sahabat kesayangan gue. Gue pengen jadi pelindung lo di saat Devan udah nggak ada lagi di samping lo. Apa gue salah?"

"Kenapa baru sekarang? Kenapa nggak dari dulu aja lo berubah buat gue?"

"Karena gue pengennya sekarang," jawab Gara polos.

Kana terkekeh. Okay, Gara tidak sepenuhnya berubah. Dia masih Gara yang Kana kenal.

Kana maju mendekati Gara dan langsung menaiki punggung sahabatnya itu. Gara yang mendapatkan serangan tiba-tiba dari Kana lantas dengan cepat menahan kedua lutut Kana dengan tangannya, menahan tubuh cewek itu agar tidak terjatuh.

Kana melingkarkan lengannya di leher sahabatnya, Gara. "Lo bilang, lo mau jadi pelindung gue kan?"

Gara mengangguk.

"Kalau gitu, mulai hari ini, Lo harus jadi kuda pelindung gue."

"Tapi kan-"

Kana membekap mulut Gara dengan tangan kanannya agar cowok itu berhenti bicara. "Nggak terima bantahan. Sekarang, lo gendong gue sampai area parkiran sekolah."

Gara menghela napas pasrah lalu mulai melangkah menuju parkiran sekolah. Saat melewati kelas Alvaska, Kana dan Gara tidak sengaja mendengar beberapa obrolan siswi dari dalam kelas Alvaska yang terdengar jelas karena pintu kelasnya terbuka lebar dari luar.

"Kok Alvaska nggak masuk sekolah sih? Kenapa ya? Padahal gue pengen banget ketemu sama dia."

"Katanya sih, izin."

"Izin? Izin ngapain?"

"Gue juga nggak tau."

Kana yang mendengar itupun lantas mengernyitkan dahinya heran. "Alvaska izin?" Cewek itu terkekeh. "Tumben."

"Kana," panggil Gara.

"Iya Ga?"

"Lo, mau ikut gue ke Club nggak malam ini?"

Kana menyentuh dahi Gara dengan punggung tangan. "Lo sehat? Sejak kapan Gara gue main ke club?"

Gara menggeleng. "Gue belum pernah main ke club Ka. Gue pengen nyoba aja, untuk itu gue ngajak lo. Gimana?"

Kana mengangguk samar. Club bukanlah tempat asing bagi Kana. Setiap ada masalah, Kana pasti menghabiskan waktunya di Club malam bersama Nathan.

"Jam sembilan, gimana Ka? Bisa?"

"Bisa kok. Tapi lo yang jemput ya?"

"Siap!"

--Alvaska--

Alzaska yang baru saja pulang dari sekolah, masih mengenakan seragam olahraga di tubuh atletisnya itu berlari ke arah dapur untuk mengambil air minum. Cowok itu haus.

Ketika baru saja memasuki dapur, Alzaska tidak sengaja melihat Alvaska tengah duduk sambil mengaduk-aduk susu di atas meja dapur. Cowok itu tau jika Alvaska saat ini tengah melamunkan masalah pernikahannya dengan Claudia.

Terlebih lagi, ketika melihat cincin berwarna silver di jari manis Alvaska, cowok itu tau jika Alvaska dan Claudia sudah resmi terikat menjadi sepasang tunangan sebelum nantinya menikah.

Alzaska membenarkan letak tas yang dia sampirkan di pundak kirinya lalu berjalan perlahan mendekati Alvaska.

"Alva." Alzaska memanggil Alvaska.

Alvaska diam, masih menatap kosong ke arah gelas berisi susu yang dia aduk.

"Alva," Alzaska kembali memanggil Alvaska. Cowok itu menyenggol lengan kanan Alvaska agar tersadar. "Woy!"

Alvaska tersadar. Cowok itu sontak menoleh menatap Alzaska tajam. "Pergi."

"Gue-"

"Okay, gue yang pergi," setelah mengatakan itu, Alvaska langsung bangkit berdiri -berjalan melewati Alzaska, menaiki tangga menuju kamarnya di lantai atas.

Alzaska menghela napas kasar. Selalu saja. Setiap kali cowok itu ingin dekat dengan kakaknya, Alvaska selalu saja menjauh dan memilih pergi, mengabaikan, bahkan tidak menganggapnya sama sekali. Jujur, hati Alzaska sakit.

Alzaska menoleh menatap punggung Alvaska yang perlahan menghilang dari pandangannya. Cowok itu terkekeh miris. "Gue adik lo, Va."

Sementara itu, Alvaska menutup pintu kamarnya lalu berjalan perlahan mendekati cermin besar yang menyatu dengan lemari pakaiannya di sudut kamar.

Alvaska berdiri di depan cermin. Menatap setiap penampilannya hingga tatapannya terkunci pada cincin berinisial C di jari manisnya. Cincin pertunangannya dengan Claudia.

Alvaska menghela napas kasar. Cowok itu memejamkan mata. "Ini yang terbaik."

Gue harap.

--Alvaska--

Langit kian menghitam.

Jalanan kota tampak sepi dan gelap. Malam ini, malam yang begitu mengerikan untuk sebagian orang yang melintasi trotoar. Pasalnya, lampu jalanan padam tanpa pencahayaan dan juga jalanan sepi tanpa ada satupun pengendara yang melintas.

Di sisi lain, dentuman musik begitu kencang, kerlap-kerlip lampu menyinari setiap insan yang tengah asyik menari dalam samarnya kegelapan malam.

Seorang cowok tampan berjalan masuk ke Club tersebut, lalu di sambut riuh oleh teman-temannya. Cowok itu tersenyum manis, senyumannya mampu membuat setiap cewek yang melihatnya tidak bisa mengalihkan pandangannya walau itu hanya sedetik.

Dia, Alvaska. Cowok itu duduk di salah satu sofa memanjang bersama ketiga teman club nya, Aldi, Rafa dan Dimas.

"Udah lama lo nggak main ke Club Va. Ada masalah?" Tanya Rafa yang duduk di sofa yang bersebelahan dengan Alvaska. Rafa merupakan teman sekelas cowok itu.

Alvaska mengangguk samar. Cowok itu mengangkat tangan kirinya, memperlihatkan cincin pertunangannya dengan Claudia.

Aldi, Rafa dan Dimas sontak membelalakkan matanya tidak percaya saat melihat cincin berwarna silver itu terpasang di jari manis Alvaska.

"Lo tunangan?!" Tanya mereka serempak.

Alvaska mengangguk lemah. Cowok itu memejamkan mata lalu menyandarkan tubuhnya di sandaran sofa di belakang punggungnya.

"Sama siapa anjir? Cantik nggak?" Tanya Aldi kepo.

"Claudia," jawab Alvaska. Cowok itu membuka mata, menoleh ke arah Aldi yang duduk bersebelahan dengan Rafa. "Cantik."

Mata Aldi melebar. "Gue cantik? Homo anjir!"

Alvaska berdecak. "Bukan lo. Tapi Claudia."

"Terus, lo suka sama tu cewek?"

"Bisa iya. Bisa nggak," jawab Alvaska cuek. "Ntahlah."

"Parah sih Anjing."

Setelah perbincangan panjang yang mereka berempat bahas, mulai dari sekolah, pelajaran, pertemanan, sampai keluarga, Keempat cowok itu menuangkan alkohol ke dalam gelas minumannya masing-masing.

"Cheers dulu dong!" Seru Dimas pada ketiga temannya.

Keempat cowok itu lantas mengangkat gelasnya bersamaan. "Cheers!"

Begitu cairan alkohol memasuki tenggorokan Alvaska, tubuhnya langsung merespons. Cowok itu benar-benar tidak kuat minum. Ini adalah kali kedua Alvaska meneguk cairan beralkohol itu.

Memilih mengabaikan, Alvaska kembali menuangkan alkohol ke dalam gelas minumnya dan langsung meneguknya dengan sekali tegukan.

Ketika Alvaska kembali menuangkan minuman ke dalam gelasnya, Aldi, Rafa dan Dimas memilih berhenti meminum minuman beralkohol tinggi itu. Kepala mereka sudah cukup pening hanya dengan meneguk tiga gelas minuman beralkohol. Jika di teruskan, mereka bisa-bisa langsung kehilangan kesadaran sepenuhnya.

Terhitung, sudah delapan gelas minuman beralkohol yang Alvaska teguk. Cowok itu mengerjab saat gelas beralkohol yang ke sembilan menuruni tenggorokannya.

Pandangan Alvaska mulai memburam. Kepalanya pusing luar biasa. Setiap objek yang ia lihat menjadi empat dalam pandangannya.

Ketika Alvaska hendak meneguk gelas beralkohol itu lagi, sebuah tangan sudah lebih dulu menahannya dan melempar gelas di tangannya itu hingga pecah dan menimbulkan suara pecahan kaca yang terdengar keras.

Alvaska mendongak dan dengan samar melihat wajah seseorang yang begitu mirip dengan..

"Kana?" Alvaska bergumam. "Lo.. Kana?"

Kana menggeleng tidak percaya saat melihat kelakuan asli seorang Alvaska Aldebra Lergan. "Ternyata, lo mainnya di sini juga?" Kana terkekeh. "Gue nggak nyangka."

Alvaska tidak merespons ucapan Kana. Cowok itu tiba-tiba saja merasakan panas di sekujur tubuhnya, terutama di bagian bawahnya. Kepalanya seakan di putar, pusing dan panas menguasai seluruh indra dalam tubuhnya. "Panas.."

Kana mengernyitkan dahinya heran. "Lo.. kenapa?"

"Panas.. shh.."

Kana menatap sekelilingnya, mencari Gara yang tadi datang bersamanya. Kana masih ingat jika Gara tadi berjalan mengekorinya dari belakang. Tapi sekarang, cowok itu sudah tidak ada.

Kana berdecak. Tatapan cewek itu beralih pada Alvaska. "Gue anter pulang."

Kana melingkarkan lengannya di tengkuk leher Alvaska, menarik lengan cowok itu agar bangkit berdiri dari duduknya. Kana menghalau jalan dan membopong Alvaska keluar dari ruangan yang penuh sesak oleh orang-orang yang asyik menari, menuju lift.

"Gue kenapa?" Tanya Alvaska terlebih kepada dirinya sendiri. Bahkan dia hampir jatuh jika saja Kana tidak menahan cowok itu.

Alvaska merasakan kepalanya semakin pusing. Tidak ada lagi suara yang terdengar di telinganya. Tapi kepalanya seolah berdentum. Tubuh cowok itu menggigil.

"Lo kenapa sih, Va?"

"Gue, juga, nggak, tau," jawab Alvaska susah payah, menahan gairah yang tiba-tiba saja menguasai otak dan pikirannya yang mulai kacau.

Ketika lift terbuka, Kana membopong Alvaska, berniat menuju area parkiran Club. Tapi baru saja Kana hendak berbelok ke arah kanan, Alvaska sudah lebih dulu melingkarkan lengannya di pinggang ramping Kana, menariknya ke dalam kamar club yang pintunya terbuka dari luar.

Alvaska tidak tau apa yang sedang ia lakukan saat ini. Otak dan tubuhnya seakan tidak sinkron seolah mencoba melawan akal. Akalnya kalah oleh nafsu yang seakan membunuh.

Alvaska mendorong kasar tubuh Kana ke atas kasur.

"L-lo mau ngapain?" Kana beringsut mundur karena takut.

Alvaska tidak menjawab. Cowok itu melepaskan kaos hitam yang dia kenakan lalu melempar kaos itu jatuh ke bawah lantai. Alvaska menaiki ranjang dan dengan cepat menindih tubuh Kana yang terus saja beringsut mundur hingga kepalanya tidak sengaja terbentur sandaran ranjang di belakang punggung cewek itu.

"Akh." Kana meringis sambil memegang kepalanya yang terasa sakit. "Lepasin Gue!" Cewek itu berteriak parau saat Alvaska mencoba untuk mencium bibirnya.

Kana terus memberontak, tapi kekuatannya terlalu lemah untuk melawan bahkan melepaskan diri dari Alvaska. Mata Kana mulai terasa panas.

"Brengsek! Lepasin gue!" Kana berteriak parau.

Alvaska menangkup pipi Kana yang terlihat pucat. Cowok itu menghapus lembut air mata yang mengalir deras di wajah Kana dengan punggung tangan.

"Tolong.. please.. tolongin Gue," pinta Alvaska dengan suara berat, seolah habis berlari jauh dan kelelahan. 

Kana menggeleng dengan wajah yang berderai air mata. "Lepasin gue.. lepasin gue, Va.."

Alvaska menunduk. Cowok itu menyelipkan tangannya ke tengkuk leher Kana kemudian menariknya mendekat ke arah wajahnya, nyaris membuat dahi keduanya bersentuhan. Alva menatap Kana dalam sebelum akhirnya memajukan wajah -menyentuh dahi Kana dengan bibirnya.

"Maafin gue Ka," kata Alvaska parau. Sesaat, cowok itu mengambil keputusan yang mungkin akan dia sesali keesokan pagi.

Air mata Kana mengalir deras. Hatinya seakan teremas hingga membuat dadanya terasa sesak. Tenaganya seakan terhisap habis tidak bersisa.

Perlahan demi perlahan, Alvaska melakukan hal yang tidak seharusnya. Merusaknya layaknya Kana perempuan tidak ada harganya. Pada saat kehormatannya terlepas, Kana menjerit kesakitan. Dia merasa menjadi wanita paling kotor di dunia.

Sementar itu, Alvaska memejamkan mata. Cowok itu memeluk tubuh Kana begitu erat. Dada cowok itu kian terasa sesak, seolah baru saja jatuh dari atas tebing yang begitu curam dan terdapat pedang tajam yang menikam di bawahnya. Hatinya begitu sakit dan terluka.

Kana menangis di pelukan Alvaska. Masa depannya sudah hancur. Kana begitu takut.

Alvaska semakin mengeratkan pelukannya di tubuh Kana. Cowok itu mencium berkali-kali wajah Kana yang basah berderai air mata. Tangis Kana tidak kunjung merada.

Sakit. Hati Alvaska sakit. "Maafin gue.. maaf.. maaf.. maaf.."

Kedua remaja itu berpelukan dengan tubuh yang sama-sama bergetar ketakutan. Takut pada apa akan yang terjadi setelahnya.

Alvaska menenggelamkan wajahnya di ceruk leher Kana yang terbuka. Hati cowok itu begitu terluka. "Maaf.. maafin gue.. maaf.."

Kana menggeleng lemah.

Alvaska memejamkan mata. Cowok itu bergumam lirih. "Tuhan, kenapa rasanya begitu sakit?"

To be continue...

2034 word. Secuil jejak anda, means a lot_

Continue Reading

You'll Also Like

3.8M 543K 73
[SUDAH TERBIT DAN TERSEDIA DI GRAMEDIA] [GENORAZORS SERIES 2] Aralya Rylie Millano, hidupnya tidak seindah senyumannya yang selalu ia perlihatkan pad...
18.3K 1.3K 10
Belinda dwi prasasti atau kerap yang dipanggil linda,gadis pemalas pecinta kpop,k-drama,dan juga pecinta novel itu mengalami kejadian yang sangat tid...
12.6M 494K 29
Sudah di terbitkan oleh penerbit Cloudbookpublishing (FOLLOW SEBELUM BACA) TERSEDIA DI SELURUH TOKO BUKU INDONESIA (offline maupun online) Sebagian...
138K 9.2K 50
[END] "Bahkan hingga akhir, Senja tetap terbenam di Teluk Alaska." (sedang dalam proses revisi, banyak bab yang masih berantakan)