I'm Fine (END)

By trynn14

57.4K 2.3K 97

Shakira Azna Mutiara gadis ceroboh, heboh, cerewet, lebay, ceria, ralat, ceria hanya untuk menutupi kesedihan... More

☆prolog☆
bab 1
bab 2
bab 3
Bab 4
Bab 5
bab 6
Bab 7
Bab 8
bab 9
Bab 10
Bab 11
Bab 12
Bab 13
Bab 14
bab 15
Bab 16
Cast Cewek
Bab 17
Bab 18
Cast Cowok
Bab 19
Bab 20
Bab 21
Bab 22
Bab 23
Bab 24
Bab 25
Bab 26
Bab 27
Bab 28
Bab 29
Bab 30. Epilog
Info!!!
Extra Part|Kirana
Sequel
I'm Fine 2 Publish!

Extra Part|Anaz

1.6K 59 17
By trynn14

Anaz melangkah cepat menuju kelas yang ia tempati selama hampir satu tahun ini untuk menimba ilmu.

Cowok dengan tatanan rambut disisir kebelakang ini sudah lengkap dengan pakaian berwarna putih abu-abu yang diselimuti jaket berwarna dongker.

Sesekali tersenyum ramah pada setiap orang yang menyapa dengan tak kalah ramahnya.

Mendudukan diri pada kursi yang sama setiap hari, melepas jaket lalu menyimpannya pada laci meja.

Begitulah setiap pagi yang Anaz lewati di sekolah.

Cowok tersebut menatap sekeliling kelas, masih lumayan sepi. Terbukti dari ketiga temannya yang belum juga datang.

Cowok satu ini memang sering datang lebih awal, bukan tanpa alasan. Hanya saja kadang  harus menyelesaikan pekerjaan tambahan yang di perintahkan oleh guru.

Menjadi bagian Osis membuat ia cukup dikenal oleh kalangan guru, tidak jarang sebagian guru mempercayai sebuah tugas untuknya

"Pagi," sapa Denis.

Anaz hanya bergumam sebagai jawaban, rasanya terlalu malas menjawabnya dengan kata-kata.

Ia masih sibuk dengan berbagai buku yang tergeletak di atas meja.

"Pelajaran belum juga dimulai, udah penuh aja meja lo," sindir Arshaq.

"Orang kelewatan pinter," sindir Denis tak mau kalah.

Anaz menatap keduanya sebentar, lalu kembali melanjutkan kegiatan yang sempat tertunda karena ulah mereka.

Membicarakan perihal inipun sama sekali tak menggugah hati mereka untuk membantu.

"Tugas apa lagi itu Naz?"

Itu suara Erik, Anaz hafal betul suara para teman karibnya, sudah dapat menebak walau tanpa melihat wajahnya.

"Biasa Osis, bentar lagi kelas dua belas 'kan purna," jelas Anaz.

Erik hanya manggut-manggut tanda mengerti.

Tidak adakah rasa kepekaan dalam diri mereka tentang betapa susahnya Anaz mengerjakan ini.

"Azna belum berangkat sekolah juga?" tanya Erik.

Anaz memandang wajah Erik sekejap. Sudah dapat ditebak gadis satu inibelum berangkat, jika sudah pasti akan ada di samping Anaz.

"Belum," jawaban Anaz singkat, padat, dan jelas.

Ketiga sahabat gesrek Anaz ini mengangguk tanda mengerti.

***

Meninggalkan kelas tepat bel istirahat berbunyi, mengenggam sebuah buku yang berisikan tugas-tugas untuk di serahkan kepada guru yang memerintah Anaz.

Bergegas menuju ruang Osis, tapi yang Anaz dapatkan adalah Pak Sobir sedang menatap lesu handphone-Nya.

"Pak," panggilnya.

Pak Sobir sama sekali tidak menghiraukannya.

"Permisi, Pak," panggil Anaz untuk kedua kalinya.

Masih tak kunjung bergerak pria tua itu dari kursi untuk sekedar menatap sang empu, karena sekarang Pak Sobir memunggungi Anaz.

"Ekhm, permisi Pak." Kali ini panggilan Anaz terjawab.

Tidak sia-sia mengeluarkan suara keras, walau lebih mirip bentakan. Setidaknya guru satu ini dapat menyadari kehadiran Anaz yang tampan ini.

"Ada apa Naz?" tanyanya.

"Maaf Pak. Ini tugas yang bapak kasih sudah selesai," ucap Anaz sembari menyerahkan buku dengan sopan.

"Akh ya, terimakasih," ujar Pak Sobir.

"Bapak kenapa?" tanya Anaz penasaran tingkat dewa.

"Ada satu anak dari kelas sebelahmu yang meninggal," jawab Pak Sobir tenang.

Diangguki Anaz secara cepat tanda mengerti.

"Oh ya, kamu kenal Azna, 'kan?" tanya Pak Sobir tiba-tiba.

Anaz mengangguk lugu.

"Iyalah, beberapa hari lalu gosip kamu yang katanya pacaran sama dia 'kan nyebar," tutur Pak Sobir.

"Bapak turut berduka cita ya Anaz, kamu kuat," imbuhnya.

Anaz terdiam, ia mengernyit bingung.

Apa coba yang bapak tua berusia setengah abad ini ucapkan.

"Kamu yang sabar Naz," ucap Pak Sobir.

Tak lupa menepuk bahu Anaz , kemudian melangkah pergi meninggalkan ruang Osis.

***

Anaz yang baru sampai dari kantin di gegerkan dengan Arshaq yang mengatakan suatu hal mengejutkan.

"Naz, Azna udah nggak ada." Satu kalimat yang mampu menghancukan segalanya.

Merasa tidak betul dengan berita tersebut, ia tidak kehilangan akal.

Anaz meninggalkan kantin tergesa-gesa menuju kelas sebelah, kelas seorang gadis yang mampu mengukir namanya dengan indah di hati.

"Sya, apa bener berita yang tadi," ujar Anaz meminta kejelasan.

Saat ingin memasuki kelas, tidak sengaja berpas-pasan dengan anggota Osis yang mengumpulkan sumbangan.

Syakila yang sedang menangis sesegukan tak kuasa menjawab.

Bagi Anaz, melihat Syakila seperti itu arti jawabannya adalah iya.

Anaz meninju tembok, hingga buku-buku jarinya mengeluarkan darah segar.

Sakit, tapi jauh lebih sakit pada hatinya.

Sungguh, Anaz ingin menangis, menangis sejadi-jadinya seperti para gadis yang putus cinta.

Namun, ia sadar, bahwa dirinya ini lelaki. Tidak sepatutnya melakukan hal itu.

Anaz berlari meninggalkan sekolah dengan kalut, bahkan baju sekolah yang berwarna putih ini ia lepas kancingnya secara kasar.

Celana panjang abu-abu sudah berubah merah di beberapa tempat.

Jikalau waktu dapat diputar, izinkan ia menemui sosok yang sangat ia cintai untuk terakhir kali. Izinkan ia mengucapkan rasa suka padanya.

Izinkan Anaz mengakhiri pertemuan mereka dengan kenangan indah.

Anaz terus berlari tunggang langgang menuju rumah, tidak peduli sejauh apapun jarak antara sekolah dengan rumah.

Ia tidak kenal lelah, hatinya ini benar-benar seperti dihempaskan pada batu karang dalam ketinggian yang lebih dari 500 kilo meter.

Ia berdiri di depan pintu rumah, menatapnya hampa tanpa niatan untuk membuka.

Air mata sudah menganak sungai, merasa kehilangan, merasa tujuan dunia telah tiada.

Sembari mengadahkan kepala, Anaz mencoba untuk sedikit lebih tenang. Menghentikan tangisan ini agar Ummi tak melihat mata sembabnya.

Anaz membuka mantap pintu rumah setelah merasa keadaan jauh lebih baik, di ruang Televisi, ia lihat Ummi dan Fira adiknya membicarakan tentang Azna.

Tanpa sadar kembali menangis.

Tangan ini bergerak menyusuri air mata, menghapusnya secara perlahan.

Setiap tempat di rumah ini seolah terdengar tawa bahagia miliknya. Sakit, kenyataan ini terlalu sakit.

Anaz memegang dada yang merasa sesak.

"Loh, Abang," ucap Fira sedikit kaget.

Anaz tahu reaksi mereka pasti seperti ini, bukan hanya karena keadaan fisik, tapi mengingat waktu jam pulang sekolah masih terlalu lama.

Anaz memejamkan mata, menghapus bekas air mata.

Tanpa niatan membalas ucapan adiknya, ia melangkah pergi ke kamar. Membuat tanda tanya besar dalam benak semua orang.

Anaz menangis. Menangis sejadi-jadinya di dalam kamar. Memandang sebuah foto pada kamera yang ia ambil secara diam-diam.

Foto tersebut adalah foto Azna.

"Kenapa kamu pergi sebelum aku menyatakannya?" gumam Anaz.

"Kak, ada apa?" tanya Ummi.

Anaz memandangnya dengan berlinang air mata, biarlah kedua wanita ini menertawakan ia nantinya. Sekarang pria itu benar-benar butuh sandaran jiwa.

"Azna, Mi."

Satu kata yang membuat mereka yang mendengar kembali bertanya-tanya.

Anaz berjalan perlahan menghampiri Ummi yang mematung, memeluknya sangat erat. Berharap rasa sedih yang hinggap hilang seketika.

"Kak Azna kenapa?" tanya Fira.

"Udah nggak ada," jawab Anaz dalam satu tarikan nafas.

Semua tercekat. Hingga akhirnya ikut menangis tersedu-sedu.

Aku telah jatuh pada pesonamu ....
Kehadiranmu membawa siapa saja tersenyum ....
Membuat siapa saja yang didekatmu merasakan kebahagiaan yang terpancar jelas darimu ....

Dulu, hari-hari singkat kita di penuhi dengan senyuman dan tawa. Menikmati setiap menit yang berharga ....

Mencintaimu membuatku merasa tak pernah salah ....
walau aku jatuh berkali-kali, tapi aku merasa tak pernah salah dalam urusan cinta ....
Dicintai olehmu, membuatku merasa bangga ....

Hingga, tiba masanya ....
Dimana keadaan memaksa kita saling berjauhan ....

Meski jiwaku merasa tak rela,
Hatiku tak ikhlas melepas kepergianmu,
Bahkan batinku ikut merasakan luka,
Tapi aku sadar, engkau takkan bisa kembali seperti semula.

Hari-hari indah yang kita bangun bersama,
Hancur seiring hatiku yang melebur.

Jarak sudah setuju untuk memisahkan kita,
Kedua insan yang saling mencinta.
Aku belum rela kehilanganmu,
Aku bahkan belum menyatakan rasa padamu.

Bersama waktu, kini harapan tersebut aku kubur dalam-dalam,
Menghapus semua kenangan tentang dirimu,
Menghapus semua masa indah bersamamu,
Hingga tidak teringat kembali karena termakan oleh waktu.

***

Anaz memasuki pintu gerbang yang rumahnya nampak terasa tak berpenghuni.

Menatap rumahnya saja sudah membuat ia merasa hampa.

"Assalamualaikum," salam semua serempak.

Kini mereka-sahabat Azna- berada di depan rumah Azna, dengan teman satu kelas Azna.

Pintu dibuka menampilkan sosok pria berumur yang tersenyum ramah. Beliau adalah Mang Tarjun.

Mang Tarjun mengizinkan masuk.

Cukup panjang membahas tentang kematian Azna yang terasa tiba-tiba, ya, tentunya bagi mereka.

Hingga akhirnya diantarkan pada pemakaman dekat dengan kompelks perumahan.

Tanah yang menggunung itu kini akan rata, bau harum dari bunga begitu terasa.

Anaz menatap nisan dengan perasaan sedih, tak menyangka ia telah pergi.

"Semoga tenang di alam sana," gumamnya lirih.

Setelah beberapa murid memutuskan pulang. Teman dekat Azna memutuskan untuk bergantian mengucapkan rasa sakit hatinya pada gundukkan yang memisahkan.

Saat tiba giliran Anaz. Ia melangkah, kemudian berjongkok tepat di samping makan.

"Aku sayang kamu, makasih untuk segalanya."

Singkat, tapi memiliki makna yang begitu dalam.

Ibu Angkat Azna menyerahkan sebuah surat dengan kertas berwarna biru dan putih pada Anaz.

Bibirnya melafalkan kalimat 'dari Azna' tanpa suara.

Anaz menerimanya seraya mengangguk dan tersenyum.

****
Pov. Anaz

Assalamualaikum,
Sebelumnya aku minta maaf untuk segalanya.
Makasih atas waktunya.

Hey, aku tahu kamu menangis, hapuslah air matamu dulu, tidak akan ada yang membuatmu kembali ceria disaat sedang bersedih, karena orang yang dengan suka rela melakukan hal itu sudah tiada.

Waktu singkat kita begitu bergarga bagiku. Aku berterimakasih padamu. Terimakasih untuk pernyataanmu beberapa hari yang lalu saat aku tidak sadarkan diri.

Jujur aku begitu senang cintaku terbalaskan. Saat mendengar kalimat itu keluar dari mulutmu aku bertekad ingin bangun dari mimpi panjang ini, dan kembali menjalani hari-hari bersamamu.

Namun, sepertinya tuhan berkata lain :)

Kalau kamu dapat ini, artinya aku sudah tidak ada. Aku senang dapat mengenalmu, menjadi teman baikmu.

Izinkan aku mengucapkan kalimat yang tidak pernah mampu aku ucapkan saat melihatmu.

'Aku mencintaimu'

Maaf, aku memang gadis yang tidak pantas denganmu.

Aku sering melihatmu bersama beberapa wanita. Namun, menit berikutnya kamu mampu membuatku jatuh kembali dalam perangkap cintamu.

Aku ingin membangun cinta, bukan jatuh cinta. Karena jatuh itu menyakitkan. Namun, kalimat itu menjadi lain saat bertemu denganmu.

Aku tidak mengapa jatuh untuk kesekian kalinya hanya karena sebuah cinta,
asalkan aku jatuh karenamu, aku rela.

Bolehkah meminta tolong?
Tolong datanglah ke rumahku, ambilah sebuah buku bersampul biru di bawah kasurku.

Aku mengizinkanmu membaca setiap kata hatiku.

Terima kasih telah mengizinkanku jatuh cinta padamu, maaf tidak berani mengucapkan kalimat itu secara langsung.

Tolong relakan kepergianku :)

By: Shakira Azna Mutiara♡

Aku mengakhiri surat tersebut dengan linang air mata, terasa berat untuk melupakan gadis itu.

Bolehkah aku berkata kasar?

kenapa aku begitu bodoh dalam masalah cinta, hingga membiarkan ia memendam rasa sukanya begitu lama.

Aku menaruh kertas tersebut pada meja belajar, aku memang sudah sampai di kediamanku.

Aku bergegas menuju rumah yang tadi siang baru aku kunjungi. Mengambil sebuah buku yang dimaksud oleh gadis pujaanku.


S

ampai pada rumah Azna aku bergegas mengetuk pintu cukup kerat, terlalu bersemangat.

"Siapa?"

Sosok pemilik rumah akhirnya telah membukakan pintu untukku.

Aku bahkan lupa mengucapkan salam.

Setelah negosiasi alot untuk mendapatkan izin masuk ke kamar Azna, akhirnya pria itu kini tengah membuka pintu kamar.

Tanpa basa basi, aku masuk. Menatap setiap detail ruangan. Bau gadis itu bahkan masih terasa di setiap sudut kamar.

Aku menghirup aroma wangi tubuh Azna, menenangkan. Membuat rinduku padanya sedikit sirna.

Aku membungkuk, mencari buku yang ditaruh pada bawah kasur. Setelah menemukannya bergegaslah diriku ini keluar.

****

Duduk pada sebuah taman dimana Aku melihatnya yang sedang bersedih.

Kali ini aku yang merasakan kesedihan, bersediakah engkau datang seperti yang pernah aku lakukan saat itu?

Rasanya tidak akan.


Aku membaca lembaran pertama.

Selamat datang di dunia kehidupan Azna
Cewek yang tersenyum untuk menutupi luka hatinya :v

ini buku privasi Azna, dilarang baca selama Azna masih ada :)

Salam
Shakira Azna Mutiara

Halaman pertama saja sudah terasa menyesakkan di dada, lalu bagaimana dengan  halaman selanjutnya?

Aku membaca tiap lembar dengan isakan air mata, hingga aku jatuh pada sebuah coretan pena yang merangkau huruf menjadi kalimat.

Kalimat utama dalam lembaran ini begitu menarik perhatianku.

Lelaki idaman,

Pantaskah pria yang aku kenal tadi pagi mendapat gelar tersebut dariku? Aku rasa iya.

Pertemuan tak mengenakan yang berujung tumbuhnya rasa, dalam sekejap aku melihatnya, hati ini mampu berdesir, dia sungguh tampan.

Kemana saja aku selama satu tahun disekolah? Mengapa tuhan menakdirkan aku bertemu dengannya sekarang?

Dia, sungguh mampu membuatku menjadi gadis pendiam.

Entah angin dari mana, aku merasa ucapan yang ia tuang dalam kertas ini tertuju untukku, aku tersenyum melihat tulisan rapi yang menuliskan awal pertemuan kita.

Kembali mendapatkan satu lembar dari sekian lembar yang mampu membuat rasa penasaran membuncah.

Akhir-akhir ini aku semakin dekat dengan pria yang aku sebut sebagai pria idaman itu.

Berada di samping orang yang membuatku bahagia seperti sekarang menambahkan semangat aku untuk merasakan kebebasan dari penyakit.

Aku menangis, sejadi-jadinya. Sungguh memilukan setiap kata yang ia tuang didalam buku.

Buku bersampul biru ini mengisahkan seluruh kehidupan yang Azna rasakan.

Aku membanting setir, menuju sebuah  rumah besar yang usianya jauh lebih tua dariku, rumah orang tuaku ini.

****

Aku tahu, sekuat apapun aku melupakan kamu, tidak akan mungkin bisa.
Maka dari itu, izinkan aku mengenangmu dalam ingatan.

Biarkan kamu menjadi salah satu orang yang pernah mengisi hatiku.

Aku akan menulis tiap kejadian dalam hidupku pada buku diary, aku akan menulis untukmu.

Aku harap walau kamu sudah tidak ada, tapi kamu mampu melihat dan membaca setiap tulisan yang ada pada buku diaryku nantinya.

Izinkan aku mengenangmu dengan cara ini.

Continue Reading

You'll Also Like

934K 13.5K 26
Klik lalu scroolllll baca. 18+ 21+
16.4K 974 6
'Senyummu adalah kebahagianku'
MARSELANA By kiaa

Teen Fiction

1.7M 58.2K 26
Tinggal satu atap dengan anak tunggal dari majikan kedua orang tuanya membuat Alana seperti terbunuh setiap hari karena mulut pedas serta kelakuan ba...
59.5K 3.5K 45
📣Nanti libur semester kita revisi, hehe... Kalau gak mager, haha🤣 Bagaimana jika hidup tanpa kasih sayang orang tua? Tidak menyenangkan bukan? Itul...