From Dusk Till Dawn ✔

By leviousaar

206K 20K 3.6K

Just about Jaehyun and Lalice. And how they run the world. "We can make the world beneath our feet." "Viva Là... More

0; the agreement
1; Là Cosa Nostra
3; Reputation
4; toxic
Cast and Trivia
5; redemption
6; show time
7; scenario
8; enchanted
9; started
10; plan
11; triggers
12; empty space
13; every single thing
14; never not
15; mean it
16; Jeffrey Jaehyun Jones
17; Eye of The Storm
18; Love you to death

2; The Serpent

9.6K 1.1K 71
By leviousaar

Warning!
This chapter includes violence and murder.
So please be wise.

p.s play the song for the supper psycho villainess :)

.
.
.

The Serpent's Dungeon;
Wiltshire, United Kingdom.

A month before meeting.

Suara jeritan kesakitan terdengar dan terpantul ke seluruh sudut ruangan berdinding beton. Tidak peduli pada pria yang tengah bersumpah serapah, Lalice menikmati pemandangan di depannya, tersenyum kecil ketika melihat sang pisau kesayangan tertancap di paha pria tersebut.

"Tetap tidak mau bicara?" Lalice berjongkok mensejajarkan wajahnya dengan pria itu. Tangan lentik yang terbalut sarung tangan hitam itu menarik rambut belakang korbannya keras.

"I will ask you one last time, bastard. Where is he?"

Pria yang sudah setengah sekarat itu menyeringai memperhatikan gigi penuh darahnya. Meludah tepat didepan Lalice. "Kau tidak akan pernah bisa menyentuhnya. Jalang sepertimu tidak akan pernah bisa melukainya."

Lalice tersenyum manis, "wrong move," kemudian telapak tangan wanita itu kembali melayang keras mengenai pipi pria itu. "Sadar posisimu, sialan. Tidak ada untungnya bagimu melindungi tua bangka itu. Rivera tidak akan mengingatmu, apalagi repot membalaskan dendam anak buah yang tidak becus seperti kau."

"Aku tidak peduli kau membunuhku atau apapun. Lagipula apa yang bisa wanita sepertimu lakukan? Berlindung di bawah ketiak kakekmu? Kalian tidak akan bisa menyentuhnya. Jika kau membunuhnya maka Jones akan memburumu." 

"Gertakanmu seperti tikus. Who do you think you are? Kau hanya anak buah Rivera, Vargas rendahan sepertimu tidak berhak untuk menggertakku."

Lalice menarik pisau yang menancap pada paha kanan pria itu lalu menancapkannya kembali ke paha sebelah kiri. 

Pria itu menjerit keras, dan terengah menatap darah yang mengalir dari kakinya, "Bitch!" suaranya parau kehabisan tenaga namun bibirnya tak berhenti menyumpah pada Lalice. "Seharusnya kau juga ikut mati terbakar di neraka bersama kedua orang tuamu."

Lalice terdiam sejenak menatap anak buah Rivera itu. Lengan cantiknya kembali mencabut pisau dari kaki pria itu.

"True. Kau seharusnya membuatku ikut terbakar di neraka bersama mereka. Membiarkan aku hidup selama dua puluh lima tahun adalah kesalahan besarmu, bastard." 

Menekan ujung pisau di bawah telinga kiri Vargas, Lalice kembali berucap, "aku sebenarnya bisa saja langsung membunuhmu tadi. Tapi ide untuk menyakitimu dan membuatmu memohon terdengar lebih baik." 

"membusuklah kalian para ular di neraka."

"Let's meet in hell then." 

Satu tusukan kembali diberikan, namun dengan cepat Lalice menariknya kembali. 

"Stop this stupid chit-chat, sestra. Cepat bereskan semua ini," ucap seorang pemuda berbadan besar yang sedari tadi hanya menatap kakak perempuannya bekerja.  Mata bulatnya memutar kesal mendapati Lalice sedikit menjadi berlebihan setiap mereka mencari Rivera, yang berakhir dengan hanya menangkap kacung tidak berharga milik Rivera.

Lucas Kirkland melipat kedua tangannya di depan dada, menatap kakak perempuannya sejenak dan beralih menatap pria cantik yang duduk meluruskan kaki di atas meja.

"Apa yang kau lakukan disini? Bukannya seharusnya kau ada di London mengurus Ringvereine?"

Ten; si pria cantik yang Lucas maksud, mendengus pelan dengan mulut yang penuh dengan Pringles. 

"Menurutmu kenapa aku bisa ada disini, bodoh? Tentu saja aku mengikuti Bos Ringvereine yang dengan seenaknya membatalkan rapat hanya karena mendapat kabar bahwa anak buahnya berhasil menangkap kaki tangan Rivera. Yang ternyata hanya seorang Vargas-rendahan-sialan yang sekarang sedang ia siksa. Semoga saja Ringvereine tidak kehilangan saham."

Lucas menghela napas kesal. Niatnya datang ke dungeon adalah untuk menyampaikan kabar. Lucas menatap ke arah Lalice yang entah masih apa dengan Vargas itu, yang jelas ia butuh kakaknya untuk mendengar kabar ini.

"Sestra, hentikan. Sudah cukup kau bermain-main dengan Vargas-rendahan-sialan itu, dan habisi segera. Father sedang menunggu di manor, dan—"

Ucapannya terputus ketika pisau yang dipegang Lalice melayang melewati dan menggores sedikit daun telinganya, tertancap tepat di lukisan besar yang ada tepat di belakang tempat ia berdiri saat ini.

"Don't order me."  Lalice menatap tajam pada Lucas yang tengah mematung. Pemuda itu mengedip mencoba membawa dirinya kembali dari rasa terkejutnya.

"Sorry, Your Grace. Tapi aku membawa kabar bahwa Father dan Elder sedang ada di manor, dan aku diperintah untuk menjemputmu sesegera mungkin untuk menemui mereka."

Lucas mencabut pisau tersebut, berjalan mendekat ke arah Lalice, mengabaikan luka yang mengeluarkan darah dari daun telinganya. "Biar aku yang selesaikan, sestra. kau tidak akan membuat Elder dan Father menunggu, bukan?"

Lalice mengelus pelan pipi pria yang masih terikat rantai di masing-masing pergelangan tangannya.

"Kau seharusnya bicara saat aku menyuruhmu bicara. Tapi aku berterima kasih padamu untuk sedikit informasinya. Goodbye and see you in hell, Git."

Wanita itu beralih menatap pada Lucas, melepas sarung tangan hitam yang ia kenakan kemudian menepuk pelan pipi adiknya, "selesaikan ini dengan cepat, Luke. Setelah itu bakar tubuhnya, hingga tidak bersisa. aku akan pulang ke manor terlebih dahulu, dan kau bisa menyusul setelah pekerjaanmu selesai."

"My pleasure, Your Grace."

"Good. Ten, segera selidiki hubungan Rivera dengan Jones. I want everything before tomorrow morning."

"Aye, maam." Mengeluarkan laptop, pria cantik bermata seperti kucing itu mulai mengerjakan sesuai perintah. 

Melihat kedua orang kepercayaannya melaksanakan perintah dengan segera, Lalice melangkah keluar, berhenti sejenak di depan pintu ketika salah seorang anak buah membungkuk menyapanya, "Heli sudah siap, Your Grace."

Lalice mengangguk, "let's go to manor,"  ucapnya dan kembali melangkah. Mengabaikan teriakan Lucas dari dalam sana yang berharap untuk keselamatannya di perjalanan.

Ten yang tengah sibuk dengan telpon dan laptopnya melambai mengantar kepergian wanita yang menjadi teman sekaligus bosnya itu.

"Hello, number Four? Why you change your number again? Oh, screw you. We have work to do, by the way. Regina's order. Search all things related to Rivera, and what he does in America. I want your email before tomorrow morning."

Menyelesaikan satu panggilan telepon, Ten menyandarkan punggung menunggu laptopnya menyelesaikan download.  memutar kursi, bermain dengan benda beroda empat tersebut ia menatap Lucas yang sepertinya belum selesai.

"Hey Luke," Lucas yang mengukir sesuatu di tubuh Vargas menoleh, "ingin bermain lempar pisau?" 

Lucas memandang Ten seperti pria itu adalah orang paling jenius yang pernah ia temui; dan pada kenyataannya memang begitu.  

Satu tombol ditekan, dan rantai yang masing-masing mengikat tangan pria yang akan menjadi papan permainan mereka itu mulai tertarik ke atas. Membuat Vargas malang yang tadinya berlutut kini berdiri berjinjit dengan hanya ujung jari kaki yang menyentuh lantai. 

Membersihkan remahan yang jatuh di kemejanya, Ten berjalan mendekati Lucas yang sudah berada pada posisinya; tepat di depan lukisan besar dimana pemuda itu berdiri tadi.

"Dada kanan untuk Sauvignon 1992 milikku." Ten berujar sembari menyentuh ujung pisau bergagang emas miliknya.  

Para jenius terkadang bisa menjadi sangat kejam, memang.

"I prefer vodka than wine. but it's okay, I'm in. Margaux 1787 milikku untuk dada kiri."

Ya, jelas sekali. Mereka berdua bertaruh untuk satu botol wine.

"Jangan bilang pada Lalice. Dia akan sangat marah jika tahu kita bermain tanpanya."

"Sure, tapi kau harus membantuku membakar mayat si sialan itu nanti, brutha."

"Not a big deal."

"Ready? On three, two, one."

Jerit kesakitan kembali nyaring memenuhi ruangan.

"Scheisse." Umpatan kesal terdengar ketika pisau milik Ten menancap pada bahu kiri, bukan dada kanan maupun tenggorokan seperti yang ia rencanakan.

Lucas merentangkan tangannya ke atas, "I win," beralih menatap Ten yang memberengut, "kau terlalu banyak menggunakan otakmu ketimbang tubuhmu, brutha."

"Shut up!" 

Mengabaikan Ten yang sedang mengumpat, Lucas mendekati Vargas yang tergantung dengan pisau menancap pada dada kanan dan bahu, mencabut kedua pisau tersebut bersamaan.

Pria itu terbatuk keras dan darah keluar dari mulutnya. Mengarahkan ujung pisau pada leher Vargas, Lucas kembali berujar,

"You messed up with wrong family, scumbag." 

Dengan satu gerakan cepat pria itu kehilangan nyawa.

.

.

.

.

"Cosa Nostra?"

Lalice mengernyit, mendengar nama organisasi lain yang sangat ia ketahui. Yang tidak ia tahu adalah bahwa tua bangka itu bekerjasama dengan para American itu, karena setahunya Mexico tidak akur dengan Amerika.

"Is it true?" Lalice bertanya pada gadis yang berdiri di samping Ten. 

"Tidak ada data yang pasti tentang aliansi Your Grace, disini hanya tertulis Cosa Nostra memang bekerjasama dengan Rivera, namun hanya sebatas distributor persenjataan." 

Lalice mengangguk, "you can go now. Thank you number Five."

Gadis yang dipanggil nomor lima mengangguk sopan dan berlalu, meninggalkan Lalice dan Ten berdua di ruangan yang terletak di lantai paling atas gedung Ringvereine.

"What will you do now? Hanya sekedar mengingatkan, kau pernah menolak ajakan kerjasama Neo Tech beberapa bulan lalu." Ten berujar, kedua alisnya menukik menatap teman sejak kecilnya itu.

Lalice memijit kepala pelan. Belum selesai dengan urusan penerusan tahta The Serpent yang akan berpindah dari Father ke dirinya.

Ia kembali dibuat pusing dengan fakta bahwa tua bangka Rivera yang ia cari berlindung dibelakang nama Cosa Nostra sebagai distributor. 

Parahnya, Lalice pernah menolak ajakan kerja sama perusahaan milik Cosa Nostra yang mendatanginya beberapa bulan yang lalu. Membuat salah satu pimpinan Neo Tech yang seingatnya bernama Stevan Jones itu meradang.

"Jika kemarin atas nama Neo Tech kau bertemu dengan Mark Stevan Jones, tapi kali ini tidak begitu, sestra."

Ten menunjuk foto sosok Mark Stevan Jones dihadapan Lalice. "Dia bukan calon pemimpin Cosa Nostra seperti apa yang kau kira. But, him."

Menyodorkan satu potret berisi tiga orang pria yang tengah keluar dari limousin, Ten menunjuk pria yang berada di depan diikuti kedua pria lainnya.

"Jeffrey J. Jones. Twenty five, Don Alfred Jones's second child, an American yet Korean too. Dia yang akan menjadi Capo Cosa Nostra, dan kau harus berurusan dengannya jika ingin mendapatkan tua bangka-Rivera-sialan itu."

"Verdammt. Apa resiko yang ku terima jika mengacau?"

"Cosa Nostra akan menyerang The Serpent tentu saja. Kau membunuh salah satu distributor mereka, maka Cosa Nostra akan berpikir kau ingin mengacaukan bisnis mereka. Dan aku tidak menyarankan itu, Your Grace. Cosa Nostra sama besarnya dengan society kita, jadi jangan gegabah."

Lalice mengeluarkan seluruh umpatan yang diketahuinya. Belasan tahun ia memburu pria sialan yang menjadi dalang kematian kedua orang tuanya. Membalaskan dendam seperti yang Elder katakan.

Hanya karena tua bangka sialan itu berlindung di balik punggung para Amerika, ia tidak boleh kehilangan Rivera, tidak lagi.

Mereka terdiam. Mencoba berpikir jalan keluar dari masalah ini.

"Marry him."

Lalice tertawa mendengar dua kata yang keluar dari bibir Ten setelah lima menit mereka terdiam. Wanita itu menatap Ten seolah dia sudah gila, "berhenti bercanda, number Ten."

Ten menegakkan duduk, jari telunjuk yang tersemat cincin berukiran ular itu menunjuk sekali lagi pada potret putra kedua Alfred Jones.

"Coba pikirkan apa yang bisa kau peroleh dari menikahinya, Lalice. Kau tidak hanya bisa memperoleh seluruh informasi tentang Rivera dengan mudah. If you marry Capo of Cosa Nostra, you'll be their boss too. Yang artinya kau akan punya pasukan tambahan untuk The Serpent."

Lalice terdiam, menuruti kemauan Ten untuk memikirkan apa yang bisa ia peroleh jika menjalin aliansi dengan Cosa Nostra. 

"Think about our society, sestra. Like what always you say, this is for the sake of our society. Dan menjadi istri Capo juga akan membuatmu memperoleh dukungan untuk mengukuhkan posisi. You can proof to Elder—or I can say your grandfather—that you can lead us, and be Regina, and be our Queen."

Lalice menatap Ten penuh sanksi. Perkara menikah bagi The Serpent tidak semudah menggorok leher seseorang. Lalice akan lebih suka bermain dengan pisaunya di leher seseorang, ketimbang harus terikat selamanya dengan satu orang.

"We're all sinners, Ten. But you know that we are Catholics too. Kita tidak mengenal perceraian, brutha." Lalice membalas. 

Menikahi Capo Cosa Nostra memang memberikan banyak keuntungan, tapi mengingat bahwa ia harus terikat seumur hidup dengan orang yang akan menjadi suaminya nanti, membuat Lalice harus berpikir ulang.

"Aku tahu, maka dari itu aku menyarankan padamu untuk menikahi Jeffrey Jones. Nikahi dia dan hasilkan keturunan, pada akhirnya kau butuh seseorang untuk mewarisi semua yang kau miliki sekarang. Tidak ada calon suami yang lebih baik dari pada dia."

Lalice menegak isi gelasnya hingga tandas untuk kesekian kalinya. "Aku tidak bisa terjebak dengan orang itu selamanya. Aku tidak bisa membiarkan ada orang yang mengontrolku."

"Lalu dengan siapa kau ingin terjebak selamanya? Viktor? Kau bahkan menolak lamarannya sekian kali. Padahal jika kau menerima lamaran teman kita itu, akan lebih mudah bagimu mendapat dukungan untuk menjadi Regina. Bratva sama besarnya dengan kita dan Cosa Nostra, dan kau menolak lamaran pria yang akan menjadi pemimpinnya."

"Can you stop bringin' Viktor in our conversation?  Dia tidak akan pernah menjadi milikku, Ten."

"Ya, karena adik angkatmu, atau bisa kubilang anak perempuan Father Ludwig, menyukainya. Itu yang menjadi alasanmu bukan?"

"I warn you to stop."

Lalice mendesis, ia tidak pernah suka jika nama pria berkebangsaan Rusia itu dibawa dalam pembicaraan mereka. Fakta bahwa adik perempuan angkatnya menyukai pria yang menjadi temannya dan Ten sejak kecil itu saja sudah membuat ia muak.

Tidak, bukan begitu, Lalice tidak membenci adik kandung Lucas itu. Ia menyayangi kedua anak dari Ludwig dengan sepenuh hatinya selayaknya adik kandung, baik Lucas maupun Ennik.

Hanya saja, mengetahui bahwa hal yang kau inginkan tidak akan pernah menjadi milikmu sangatlah menyebalkan.

"Jones tidak akan mengontrolmu, Lalice. Jika itu yang kau pikirkan sekarang. Kau seorang Regina, posisimu sama tingginya dengan Capo."

Lalice menggeleng. ucapan Ten seluruhnya memang masuk akal, tapi tidak.

"Aku tetap tidak akan menikahinya."

Wajah Ten berubah menjadi lebih serius dari sebelumnya.

"Kalau begitu kau harus siap berperang dengan Cosa Nostra, untuk mendapatkan Rivera."

Gott Verdammt.

.

.

Dictionary:

▫Elder: yang dituakan; Paxan yang pernah menjabat (ayah dari Paxan saat ini)
▫Brutha/Sestra (Russian): brother/sister
▫Verdammt / Gott Verdammt (Germany) : damnit/ goddamnit
▫Scheisse (Germany) : shit, sialan
▫Scumbag : bajingan; lebih buruk dari douchebag
▫Git (British): rat, stupid; usually used to insult someone

a/n:
How's it?
Any questions?

a/n:
ALL HAIL, SERPENTS.
ALL HAIL, YOUR GRACE.
–Regards, Levi.

—first published: April, 18th 2020
—Republish: March, 2nd 2022

Continue Reading

You'll Also Like

173K 8.4K 28
Cerita ini menceritakan tentang seorang perempuan yang diselingkuhi. Perempuan ini merasa tidak ada Laki-Laki diDunia ini yang Tulus dan benar-benar...
42K 6K 21
Tentang Jennie Aruna, Si kakak kelas yang menyukai Alisa si adik kelas baru dengan brutal, ugal-ugalan, pokoknya trobos ajalah GXG
571K 63.4K 97
Menyajikan oneshot manis terbuat dari bahan berkualitas ❤
132K 23.2K 27
Me and you, before us. Another Jaehyun and Lisa short-fanfiction. book iii of blackpink × nct series Start at 5/5/18