Setetes Noda

By AnnisaDarma20

16.4K 591 41

Warning!! Cerita ini mengandung unsur seksualitas yang berada di dalam rate roman dewasa. Tidak cocok untuk... More

Noda 1
Noda 3
Noda 4
Noda 5
Noda 6
Noda 7
Noda 8

Noda 2

1.9K 66 2
By AnnisaDarma20


"Cit, udah makan siang?" Tanya Nimas padaku.

Aku menggeleng lemah, sejak tadi pagi aku memang belum makan apa-apa. Lebih tepatnya, tidak sanggup menelan sebutir nasi pun. Perasaanku semakin berat dari waktu ke waktu. Suasana ruang guru yang mulai ramai siang ini tidak mengusikku sama sekali.

"Ini kamu yang pucat atau efek dari lipstikmu yang terlalu 'nude', ya?" Tanya Nimas sambil meneliti wajahku seksama.

"Warna lipstiknya nggak nyambung," balasku sekenanya.

"Pake lipstik aku nih, biar lebih seger dikit," ujarnya sambil menyodorkan lip cream berwarna terang.

Aku menolak dengan gelengan. Sementara itu Nimas masih mengamatiku, jujur saja kelakuannya yang terlalu perhatian kadang membuat tidak nyaman. "Kayaknya kamu lagi ada masalah ya. Keliatan banget beban hidupmu yang berat."

Aku memutar mata sekilas, sedang tidak dalam suasana hati yang baik untuk berbagi cerita dengan siapapun. Nimas masing betah duduk di depanku, sementara aku mengalihkan perhatian ke layar ponsel yang bergetar.

Ada nama Emak dalam panggilan masuk, aku mengerutkan kening sesaat sebelum mengangkat telepon. Sepertinya ada sesuatu yang penting.

Nimas beranjak pergi saat melihatku sibuk menerima telepon. Setelah berbasa-basi, Emak menyampaikan maksudnya kepadaku.

'Cit, bilang makasih sama Jonathan, ya. Transferan udah Mak terima. Alhamdulillah cukup untuk biaya kemoterapi Bapak.'

"Mak, bukannya jadwal kemo Bapak itu dua minggu lagi ya?" Tanyaku bingung.

'Besok, Cit. Kondisi Bapak drop, kemarin dibawa ke dokter katanya Bapak harus kemo secepatnya. Jadi jadwal kemo Bapak berubah.'

"Kok Mak baru bilang sekarang kalau Bapak sempat drop? Terus biaya berobat kemarin uang dari mana?"

'Mak mau nelpon kamu, tapi nggak boleh sama Dian. Katanya takut kamu kepikiran. Mak pinjem Pak Dulah dulu, nanti dibayar kalau duit kiriman Jonathan sudah ditarik.'

Sudut hatiku terasa diiris-iris mendengar pengakuan Emak dari seberang sana.

"Berapa yang dikirim Mas Jo, Mak?" Tanyaku sambil menghapus air mata yang merembet.

'Lima juta, Alhamdulillah.'

Dadaku sesak, terbayang kondisi Bapak yang menderita kanker paru dan sirosis hati secara bersamaan. Di usia senjanya yang seharusnya bisa duduk tegap menikmati hidup, justru terbaring lemah tak berdaya.

Bagiku, penyakit Bapak bukanlah sebuah beban, apalagi sebagai bentuk lain dari hukuman Tuhan.

Sakit yang diderita Bapak adalah bukti dari rasa cintanya kepada kami, keluarganya. Semasa muda Bapak bekerja di pabrik cat yang kesehariannya berkutat dengan cairan alkohol dan bahan kimia. Dulu, standar keselamatan para pekerja belum diatur oleh undang-undang, bahkan serikat pekerja saja belum ada. Pekerjaan yang membutuhkan ketelitian demi menjaga kualitas produk membuat Bapak menenggak bergelas-gelas kopi kental dalam satu hari agar tetap fokus.

Efek samping dari pekerjaan dan kebiasaan Bapak sejak muda mulai terlihat semenjak dua tahun yang lalu. Waktu itu, Bapak hanya mengeluh sesak napas. Semakin hari semakin parah, hingga akhirnya Bapak divonis menderita kanker paru. Satu tahun setelahnya, Bapak kembali tersungkur oleh vonis dokter yang menyatakan bahwa beliau mengalami gangguan fungsi hati.

Lengkap sudah kesedihan kami atas derita Bapak.

Satu tahun yang lalu, aku memutuskan untuk menikah dengan Mas Jo setelah berkenalan dalam waktu yang relatif singkat. Mungkin aku seorang oportunis yang memanfaatkan keadaan demi mencapai tujuan pribadi. Mas Jo yang berasal dari keluarga kaya dan memiliki penghasilan lumayan besar membuatku menggantungkan hidup keluargaku di pundaknya. Dan dia sama sekali tidak keberatan atas permintaanku yang menguras dompetnya secara berkala.

Terdengar menjijikkan dan begitu rendah. Memang.

Sebagai anak tertua, aku harus bisa menjadi penyambung nyawa bagi keluargaku yang sedang sekarat. Ada adikku yang butuh biaya sekolah dan Bapak yang butuh dana berobat. Gajiku sebagai guru honorer tidak akan cukup untuk menyangga semua itu. Sedangkan Emak adalah perempuan tangguh yang pontang-panting melakukan pekerjaan apapun demi belahan jiwanya.

Lagipula, aku juga mencintai Mas Jo sepenuh hati. Jadi, sikap baikku tidak semata-mata hanya karena menginginkan uangnya.

**

"Mas, makasih udah ngirim duit untuk biaya kemo Bapak," ucapku melalui sambungan telepon.

'Ya,' Mas Jo menjawab singkat.

"Citra mau pulang ke rumah Emak, boleh ya Mas?"

'Memangnya besok nggak ngajar?'

"Sudah minta izin kepala sekolah. Lagian ada guru magang yang akan menggantikan Citra."

'Mau pulang kapan?'

"Nanti sore sepulang dari sekolah."

'Boleh. Nanti kujemput.'

"Baik. Terimakasih suamiku."

'Hm.'

Sambungan telepon kami terputus. Mas Jo memang jarang membalas ucapan cinta dariku. Aku menatap layar ponsel dengan perasaan haru. Ada rasa syukur yang diam-diam kusematkan kepada Tuhan atas kehadiran Mas Jo. Meskipun terkesan keras dan tidak peduli akan perasaanku, namun Mas Jo sudah banyak membantuku dari segi keuangan.

Tidak perlu menyangkal dan menjadi munafik, bagi orang yang sedang berada di tengah himpitan ekonomi sepertiku, uang bisa berubah menjadi dewa.

Jam tiga sore, Mas Jo menjemputku di halte depan sekolah. Aku duduk di sampingnya tanpa suara. Aroma udara di sekitar kami masih pekat akibat kejadian kemarin yang menghadirkan luka.

"Kita makan dulu," ajak Mas Jo.

Aku mengangguk dalam diam. Mobil yang dikendarainya berhenti di parkiran sebuah rumah makan. Kami turun dan memilih kursi di luar ruangan. Aku kehilangan kata-kata untuk sekedar bercerita demi mencairkan suasana. Mas Jo nampaknya juga tidak tertarik bercakap denganku.

Jadilah kami makan siang seperti dua orang yang sedang bermusuhan. Duduk berhadapan, namun saling diam tanpa ada satupun kata yang terucap.

"Cit," panggil Mas Jo pelan. Namun masih bisa kudengar dengan jelas. Kami telah selesai makan dan sekarang melanjutkan perjalanan pulang.

Aku menoleh ke arahnya. Dari samping, ia terlihat begitu tampan dengan rahang kokoh dan hidung mancungnya. Aku menatapnya dengan getir.

"Masih punya uang simpanan?"

"Masih, Mas."

Setelah itu hening. Kami larut dalam kebisuan masing-masing.

Aku kadang tidak bisa menebak bagaimana perasaan Mas Jo kepadaku. Ia terlalu kaku, dingin, di suatu waktu ia bahkan terasa begitu jauh. Tidak mampu kugapai.

Kami tiba di rumah saat azan Ashar berkumandang. Dari pintu yang terbuka lebar, aku bisa menebak bahwa Ibu kembali berkunjung. Aku sengaja menunggu Mas Jo untuk berjalan beriringan. Seperti hari sebelumnya, ada Edgar yang menemani Ibu di ruang tamu.

Sambutan Ibu juga hangat dan masih terasa asing untukku.

Aku bergegas ke kamar dan segera berkemas. Setelah menunaikan solat Ashar, aku menenteng ransel menuju ruang depan. Ibu yang melihat kehadiranku langsung bereaksi.

"Mau kemana, Cit?" Tanyanya sambil meneliti ranselku yang cukup padat.

"Pulang ke rumah Emak, Bu," jawabku jujur.

"Kok tiba-tiba? Ada apa?" Tanya Ibu beruntun. Dari sudut mata, kurasakan Edgar menatapku dengan sorot matanya yang tajam.

Sebisa mungkin aku menguasai diri untuk tidak bereaksi berlebihan.

"Bapak besok kemoterapi, jadi Citra mau menemani Bapak di rumah sakit biar Emak nggak terlalu repot," jelasku padanya.

"Naik apa?" Tanya Ibu lagi.

"Aku yang ngantar Citra," jawab Mas Jo sambil meraih ranselku untuk dimasukkan ke dalam mobil.

"Jo 'kan sibuk. Kenapa nggak Edgar aja yang nganterin?"

Astaga, bulu kudukku langsung berdiri mendengar ucapan Ibu. Jangan sampai Mas Jo mengalah dan Edgar mengambil alih. Itu mimpi buruk untukku. Lebih baik aku pulang sendiri, karena perjalan ke rumah Emak hanya membutuhkan waktu satu jam.

"Nggak apa-apa, Bu," jawabku.

"Ed, kasih Citra duit. Cepetan!" Perintah Ibu saat aku berjalan keluar ruangan. Aku mempercepat langkah sebisa mungkin. Kalau bisa segera menghilang dari pandangan mereka.

"Citra, tunggu...." Teriak Ibu menyusul langkahku. "Ini ada duit dari Edgar," ucapnya sambil menahanku.

"Nggak usah, Bu. Citra ada duit kok," tolakku dengan sopan.

"Sudah, ambil kartu ini untuk jaga-jaga kalau kamu butuh uang mendadak." Ibu mendorong tangan Edgar yang terulur ke arahku. Di tangannya ada sebuah kartu debit yang kuyakini berisi saldo cukup banyak.

"Bu, nggak usah, ya...."

"Ambil, Citra. Aku paling tidak suka ditolak," seru Edgar. Matanya masih memancarkan binar yang membuatku takut.

Aku menggeleng. Menatap ke arah Mas Jo yang menunggu di samping pintu mobil.

"Ambil!" Perintah Mas Jo tegas. "Kau terlalu lama mengulur waktu!" Ketusnya lagi.

Aku tidak punya pilihan lain. Dengan tangan gemetar, kuterima kartu debit milik Edgar. Ibu menatap dengan puas, begitupun dengan Edgar.

"Gunakan sebanyak yang kau mau, tidak masalah jika kau mau memanjakan keluargamu dengan uang itu. Edgar masih mampu menambah digitnya dalam waktu singkat," tambah Ibu dengan bangga.

"Paswordnya tanggal lahirmu!" Seru Edgar dengan nada bahagia yang tidak bisa ia sembunyikan.

Aku menelan ludah yang menggumpal pahit. Tidak berani menatap Edgar sedikitpun.

Continue Reading

You'll Also Like

201K 11.8K 36
Masalah besar menimpa Helena, ia yang sangat membenci bodyguard Ayahnya bernama Jason malah tak sengaja tidur dengan duda empat puluh empat tahun itu...
323K 13.5K 42
Typo bertebaran, harap tadaniā— Cinta pada pandangan pertama memang sebuah anugrah yang Tuhan berikan bada suatu hambanya. Tetapi tidak semua orang bi...
4.7M 175K 39
Akibat perjodohan gila yang sudah direncakan oleh kedua orang tua, membuat dean dan alea terjerat status menjadi pasangan suami dan istri. Bisa menik...
788K 10.5K 32
Karena kematian orang tuanya yang disebabkan oleh bibinya sendiri, membuat Rindu bertekad untuk membalas dendam pada wanita itu. Dia sengaja tinggal...