DENGANNYA TANPAMU ✔️

By wawawisky

798K 33.3K 2.9K

DENGANNYA TANPAMU (18+) "Selalu ada ruang untuk hati yang ditinggalkan" *** Tidak ada yang paling menyedihkan... More

1. Akad Nikah
2. Break
3. Paperbag Cokelat
4. Hello Craft
5. Cinta Pertama
6. Batin Sendu
7. Gerimis Rintik-Rintik
8. Jogja
9. Mimpi Buruk
10. Frustrasi
12. Seminggu Tiga Kali
13. Menunggu
14. Jam Setengah Sepuluh
15. Move On
16. Cuma Kebetulan
17. Naik Sepeda
18. Kesiangan
19. Kepastian
Pilih Mana?
Menjemput Riza & Aira 💜
Spin Off: Pukul Tiga Pagi

11. Kaldera

16.9K 1.6K 176
By wawawisky

😊

Aira berdiri di depan sebuah ruko dua lantai dengan papan besar bertuliskan "KALDERA" dan tulisan "camp gear" dengan ukuran lebih kecil di bawahnya.

Beberapa jam lalu, Aira bertanya pada Syta lokasi tempat Angga bekerja. Setelah berpanas-panasan menyusuri jalanan Jakarta bersama abang ojol, Aira sampai di titik lokasi seperti yang Syta beri tahu padanya.

Mata Aira memandang jauh ke dalam toko lewat jendela kaca besar yang membentang di bagian depan luar toko. Tampak beberapa pengunjung ada di dalam toko sedang berbelanja.

Aira memutuskan masuk ke dalam. Begitu ia membuka pintu, hawa dingin dan sejuk membasuh sekujur tubuhnya. Ah, ademnya, batin Aira sambil memejamkan mata sejenak. Menikmati perubahan suhu yang drastis dari luar ke dalam ruangan.

Sesaat kemudian, mata Aira memendar melihat sekeliling. Seperti toko outdoor pada umumnya, Kaldera juga memajang banyak peralatan naik gunung. Ada deretan sepatu gunung di sisi kiri toko, terpajang rapi di dinding kayu. Di bagian atas sepatu-sepatu itu, terdapat tas gunung berwarna-warni menggantung rapi. Di bagian bawah rak sepatu, ada sleeping bag berwarna-warni berjejeran rapi.

Sementara di dekat pintu masuk, sebuah tenda berwarna hijau muda tampak ngejreng terpasang di area luas dekat kaca besar bagian depan toko. Ada juga kursi lipat, kompor, dan peralatan masak tertata di sekitar tenda. Suasana berkemah sangat terasa di sini.

Tatapan Aira berkeliaran lagi. Berfokus pada bagian tengah toko yang sedang disinggahi banyak pengunjung. Ada dua rak gantung yang berisi jaket parasut, kemeja safari, celana kargo, dan kaus oblong. Tak jauh dari sana, dekat meja kasir ada rak yang menggantung dompet, topi, ikat pinggang, dan perlengkapan lainnya.

Sekilas dari luar, Kaldera terlihat seperti toko kecil dan sempit. Ternyata toko ini lumayan luas begitu melihat langsung ke dalam. Penataan display produk yang rapi dan teratur, tak membuat para pengunjung saling berbenturan dan bertabrakan. Apalagi sampai tak dapat space untuk melihat-lihat.

Suasana menyatu dengan alam tampak terasa melalui desain interior yang sebagian besar berwarna coklat, hijau, dan sedikit abu-abu. Lampu-lampu redup yang menggantung menyala di beberapa bagian menambah suasana hangat, membuat betah pengunjung berlama-lama memanjakan mata untuk melihat-lihat semua produk yang ada di toko.

Ini bukan kali pertama Aira masuk ke toko outdoor, tapi ia cukup kagum melihat pemandangan yang disuguhkan di toko Kaldera. Tadinya Aira pikir, Kaldera hanya toko outdoor kecil biasa. Setelah datang dan melihat sendiri, ia tak yakin dengan pendapatnya. Sepertinya Kaldera termasuk toko outdoor yang cukup sama besar dan terkenal dengan toko-toko outdoor bermerk di luar sana.

"Mbak Aira, kan?"

Sebuah suara menyadarkan Aira yang masih terhanyut memandangi sekitar, mengamati beberapa sepatu dan tas gunung dari kejauhan. Aira menoleh, mendapati seorang pemuda kurus tinggi dengan rambut klimis berjambul. Dari kaos polo dengan logo tulisan Kaldera yang ia kenakan, Aira bisa tebak pemuda ini pasti karyawan toko.

"Iya, kok tahu?" sahut Aira. "Oh, kamu pacarnya Syta ya?" tebaknya kemudian.

Pemuda itu tersenyum. "Kenalin, saya Angga, Mbak. Tadi Syta sempat bilang katanya Mbak Aira mau mampir ke sini," Angga mengulurkan tangannya.

Aira tersenyum sambil menjabat tangan Angga. "Aira."

"Mbak Aira mau cari apa ke sini? Mungkin bisa saya bantu?"

Aira memendar tatapannya lagi. Mencari seseorang.

"Riza ada?"

"Mas Riza nggak dijual di sini, Mbak. Cari yang lain saja kali, Mbak. Ada tas, sepatu, tenda mungkin?"

Aira tertawa pelan, merasa lucu dengan ucapan Angga. Sekilas ia bisa tahu Angga ini tipe cowok humoris, pandai berkata-kata untuk membangun suasana menjadi lebih santai dan tidak kaku. Bagian lain dari cowok berkepribadian supel, beda tipis dengan orang yang sok kenal sok dekat.

Jadi begini modelan cowok yang membuat Syta tergila-gila? Memuja-muja? Membucin sukarela?

"Tetap mau cari Mas Riza nih ceritanya? Duh, Mbak. Bukan apa-apa. Mas Riza kalau terpaksa dijual di sini pun nggak bakal laku soalnya," Angga lanjut bersuara karena Aira hanya senyum-senyum tanpa memberi tanggapan apa-apa.

Bosnya Syta ngirit amat sih suaranya, batin Angga di balik senyum bersahabatnya.

"Godain cewek teroooos!"

Aira dan Angga menoleh ke sumber suara. Riza sedang berdiri di dua anak tangga terbawah, membebani pegangan anak tangga dengan sebagian tubuh sampingnya, menatap ke arah Angga dan Aira sambil melipat kedua tangan di dada.

"Ah, pake nongol segala. Kirain masih sibuk gonta-ganti baju di atas," cibir Angga.

Riza melangkah mendekati karyawan sontoloyo-nya yang berdiri di hadapan tamu tak terduganya hari ini. "Ngomong apa tadi? Aku dengar ada kata-kata nggak laku di sini."

"Nggak ada siaran ulang!" balas Angga sambil cengengesan.

Riza menjitak kepala Angga gemas. "Tuh, ada yang mau bayar di kasir. Urusin sana!" perintah Riza.

Angga meringis kesakitan, tapi cengengesannya tak kunjung memudar.

"Tuh, gitu, kan? Maunya enak sendiri, kan? Giliran cewek cantik yang datang, mau repot-repot keluar kandang melayani pengunjung sepenuh hati. Biasanya juga bosnya yang jaga kasir. Dari tadi sibuk ganti baju saja sih," dumel Angga sambil ngeloyor pergi.

Riza berdecak pelan mendengarkan segala ocehan Angga yang sebagian besar ada benarnya. Setelah berperang dengan banyaknya pilihan outfit di kamar atas, sweater hitam dan celana panjang hitam berhasil menjadi pilihan pamungkasnya. Outfit yang paling sering ia kenakan, bisa tiga kali dalam seminggu. Riza selalu suka warna hitam. Percaya dirinya selalu bertambah saat menyatu dengan warna gelap satu ini.

Perlahan Riza menatap Aira, gadis itu sedang terkekeh geleng-geleng kepala gara-gara Angga. Suara kekehan Aira terdengar pelan mendayu-dayu di telinganya, meredam alunan lagu 'Hiduplah Hari Ini' milik Dialog Dini Hari yang memenuhi seluruh ruang Kaldera sampai ke sudut-sudutnya.

Fokus Riza seolah terpusat ke Aira, bahkan sejak beberapa menit yang lalu saat ia menyadari kehadiran Aira di depan tokonya dari jendela ruangan di lantai dua. Sejak ia berhasil memilih baju terbaiknya, Riza hanya duduk menunggu di dekat jendela kamar. Hingga akhirnya ia menangkap sosok wanita berambut pendek yang dengan sempurna dan tanpa cacat turun dari ojol yang mengantarnya.

"Angga memang suka gitu ya anaknya?" ucap Aira memecah fokus Riza.

"Sudah kenal sama Angga?"

"Tadi kenalan," Aira tersenyum lagi. "Kamu akrab banget sama dia. Aku lihat kalian tuh kayak bukan bos sama karyawan. Tapi kayak temen deket. Seru banget sih!"

Riza tersenyum tipis. "Biar dia betah kerja di sini. Kalau aku galak, nanti nggak ada yang mau nemenin aku kerja di sini. Angga itu paket langka, susah nyarinya."

Aira tergelak. "Tadi dia bilang kamu nggak laku kalau dijual di sini, sekarang kamu bilang dia barang langka dan susah dicari. Kalian ini... ya ampun!"

Riza ikut tertawa. Menikmati pemadangan tawa renyah Aira di hadapannya lebih lama. Sebelum akhirnya pikirannya berbenturan lagi dengan kenyataan bahwa Aira bukan perempuan single. Walau belum sah secara hukum dan agama, tapi Aira tetap ada yang punya.

"Hai, Ra," sapa Riza kemudian. Sejak tadi ia belum sempat menyapa teman SMA-nya ini secara formal. "Mampir juga akhirnya ke sini."

Aira menoleh sambil tersenyum. "Aku sudah jauh-jauh datang ke sini loh, jadi harus dapat banyak diskon ya?" ucapnya seraya berubah menjelma menjadi pelanggan menyebalkan.

Riza tertawa pelan seraya memutar bola matanya. "Kalau yang nodong cantik begini, aku bisa apa?"

"Yeuh, gombal!" cebik Aira sambil mendelik gemas.

Tarik napas, Aira... Hembuskan perlahan. Fokus ya sama tujuanmu datang ke sini, Aira memperingatkan dirinya sendiri dalam hati ketika nyaris terbang tinggi mendengar gombalan Riza.

"Kamu mau cari apa ke sini?"

Riza bertanya sambil memasukkan kedua tangannya di saku celana. Meremas bagian dalam saku, berusaha mengeringkan telapak tangannya yang tiba-tiba berkeringat lebih banyak. Tak biasanya ia segugup ini hanya untuk menyambut kedatangan pengunjung toko.

"Aku mau cari kado nih buat Amar, Za," jawab Aira sambil melihat-lihat ke sekeliling lagi. "Enaknya kasih kado apa ya? Aku nggak terlalu paham barang-barang outdoor. Kayaknya aku butuh saran dari kamu, mana kado yang bagus buat dia."

Terlihat dari luar, Riza tersenyum sambil mengangguk-angguk. Tapi dalam hati, ia menertawakan dirinya sendirii. Sekali lagi, kenyataan menyadarkan Riza tentang siapa Aira dan mau apa Aira datang ke sini. Riza jadi merasa konyol mengingat keputus-asaannya tadi pagi saat memilih baju untuk bertemu Aira.

"Oh, gitu. Okelah, nanti aku bantu pilihin yang bagus. Kamu mau kasih kado apa dulu nih? Tas, sepatu, jaket?" kata Riza semangat.

"Hmm, sepatu kali ya?" Aira tampak menimang-nimang pilihannya. "Kayaknya dia sudah lama nggak ganti sepatu. Apalagi sekarang dia sering bepergian karena banyak job di luar studio. Pasti bakal berguna banget sepatunya."

"Sebelah sini, Ra," Riza mengajak Aira mendekat ke bagian rak sepatu. Dengan semangat dan antusias, Aira mengikutinya.

"Ini koleksi sepatu gunung yang aku jual, Ra. Merknya juga macam-macam, yang pasti semua kualitasnya bagus-bagus. Kalau buat Amar... Hmm..." Riza berpikir sejenak sambil melihat deretan sepatu gunung di rak dinding. "Aku kasih saran yang ini saja."

Aira melihat Riza mengambil sepatu yang sejak tadi sudah mencuri perhatiannya. Ia segera menerima sepatu gunung berwarna coklat tua yang Riza ambilkan untuknya. Ia memperhatikan sepatu itu sejenak, semakin yakin bahwa sepatu ini memang cocok untuk Amar.

"Sepatu gunung nggak harus dipakai buat naik gunung kok. Aku pilih model yang ini buat Amar karena lebih pas kalau dia pakai sehari-hari sekalian untuk kegiatan pemotretan di luar ruangan. Medan apa aja, kalau dia pakai sepatu ini sih pasti aman."

Riza menambahkan detil kelebihan sepatu gunung yang dia pilihkan untu Aira. "Aku sudah cocok jadi salesman belum?"

"Dasar!" Aira memukul gemas lengan Riza sambil tertawa. "Oke deh, aku mau deh yang ini. Aku juga suka modelnya. Nomor 40, ada?"

"Mudah-mudahan masih ada. Biar dicek dulu sama Angga ya?"

"Angga lagi ngelayanin banyak pelanggan kayaknya, Za. Karyawan kamu cuma satu ya?" sejak tiba di Kaldera, Aira tidak melihat ada orang selain Angga yang memakai seragam seperti Angga di toko ini.

"Yang terlihat cuma Angga ya?" Tanya Riza balik.

Aira mengangguk. Matanya mencari-cari lagi orang yang berseragam seperti Angga di ruangan ini, siapa tahu memang ada yang terlewat dari pandangan Aira.

"Karyawan yang melayani seperti Angga ada tiga sebenarnya. Satu lagi izin pulang kampung karena ibunya sakit, satu lagi masih di kampus karena dia freelancer," jelas Riza.

Aira manggut-manggut seolah mengerti. "Hmm, memangnya karyawan selain mereka bertiga, ada lagi, Za?"

"Ada dong. Di balik ruangan ini, ada tiga orang admin yang ngurus Kaldera via online."

"Wah..." tanpa sadar mulut Aira membulat dan bergumam penuh kekaguman. "Omsetnya gede ya, Za, bisa gaji banyak karyawan gitu. Aku punya empat saja kadang ketar-ketir takut nggak bisa ngasih gaji," Aira terkekeh.

Riza hanya tersenyum menanggapi ucapan Aira. Kemudian ia melihat Angga sedang melayani pembayaran di kasir. Beberapa pelanggan masih asyik memilih, seharusnya Angga bisa mencarikan ukuran sepatu yang diinginkan Aira.

"Ngga, nomor 40 tolong cek masih ada atau nggak ya!" Riza bersuara lantang pada Angga sambil mengangkat sepatu yang Aira inginkan.

Angga melihat sebentar ke arah Riza, lalu mengacungkan jempolnya sambil mengutak-atik mesin kasir. "Siap, Mas!"

Aira takjub melihat Angga yang cekatan. Jarang-jarang ada laki-laki bisa multitaksking begini. Pantes Riza bilang Angga barang langka.

"Sepatu saja yang mau dibeli? Tenda, tas, nggak sekalian?" tanya Riza bak mas-mas marketing yang berusaha nawarin dagangannya supaya target penjualan bisa tembus dan membuatnya dapat bonus.

"Yang diskon lima puluh persen ada?" Goda Aira sambil menaik-turunkan kedua alisnya.

"Bangkrut aku kalau ketemu banyak pelanggan macam kamu," cibir Riza pelan sambil ngeluyur pergi. Aira terkekeh geli mengekor di belakangnya.

Riza mengambil alih meja kasir saat Angga pergi mencari stok ukuran sepatu pilihan Aira. Seorang pelanggan datang membawa jaket parasut yang hendak dibayar. Lalu menyusul dua orang berbaris mengantre di belakang untuk menunggu giliran membayar belanjaan mereka.

"Sebentar ya, Ra?" Riza memberi kode pada Aira untuk menunggu sebentar, sementara ia melayani pembayaran para pelanggannya.

Aira mengangguk memaklumi. Ia berdiri menunggu tak jauh dari meja kasir, memandangi Riza tersenyum ramah dan memperlakukan dengan baik para pembelinya. Pemandangan ini tak pernah Aira lihat sebelumnya. Bahkan tak pernah bisa ia bayangkan seorang Riza bisa melakukannya.

Riza yang tengil, badung, sering cabut sekolah, sekarang berdiri dengan gagah dan berkharisma sebagai pengusaha muda, pemilik toko outdoor bernama Kaldera dengan enam karyawan yang berhasil dibawahinya. Omsetnya pasti berkali-kali lipat dari usaha Aira yang tak ada apa-apanya.

"Amar mau ulang tahun ya?" tanya Riza di sela-sela aktivitasnya melayani pembayaran, memencet-mencet mesin kasir, mengemas belanjaan ke dalam paperbag, hingga memberikan kembalian dan mengucapkan 'terima kasih dan semoga perjalanan Anda menyenangkan!' macam pegawai Alfamart.

Aira tak henti-hentinya menatap kagum. Riza adalah laki-laki multitasking kedua selain Angga yang tertangkap matanya hari ini.

"Eh, i-iya. Aku juga baru ingat tadi pagi sebenarnya kalau dia mau ulang tahun," jawab Aira. Ia sedikit terkejut tadi saat Riza mengajaknya bicara, padahal kerjaannya sangat menutut untuk dia bertindak cepat.

Kalau anak gunung, memang begini kali ya pembawaanya? Terlatih dengan respon cepat dan tanggap. Atau memang Riza sengaja melatih karyawannya untuk bisa multitasking begini? batin Aira.

"Kapan?"

Aira mendengar Riza bertanya lagi. Ia melihat tinggal tersisa satu orang yang akan membayar belanjaan. "Lusa, Za. Mudah-mudahan sih bisa ketemu, hehe."

"Terima kasih. Semoga perjalanannya menyenangkan!"

Pelanggan terakhir sudah meninggalkan toko sambil membawa tas selempang hitam dalam kantong belanjaannya. Riza kembali memusatkan perhatiannya pada Aira.

"Kok gitu? Ya janjian lah. Amar sibuk banget memangnya? Wah, dia jadi fotografer sukses nih sekarang," seru Riza.

Aira menggigit bibir bawahnya sambil menghusap tengkuk lehernya.

"Sebenarnya aku sama Amar lagi break, Za. Kita jarang ketemuan, sudah lama banget malah nggak janjian ketemu. Kayaknya dia lagi banyak pemotretan foto prewed di luar kota juga," tiba-tiba Aira jadi curhat. Lagipula memang begitu kenyataannya. Ia tak punya jawaban lain untuk menanggapi ucapan Riza.

Riza mengangguk-angguk seraya bergumam 'hmmm' dalam hatinya. "Pantas ya jawaban kalian beda pas di Penvil waktu itu."

Aira tertegun. Tak menyangka Riza masih ingat peristiwa itu. Aira jadi malu saat ingat betapa yakinnya dia menjawab 'ya' kalau dia dan Amar berpacaran.

"Kamu ingat saja bagian itu," Aira menunduk. Lalu menatap ke luar toko menembus dinding kaca depan. Berusaha tak bertatapan dengan Riza.

Riza menghela napas panjang perlahan. Menyadari bahwa ia sudah salah memilih topik obrolan dan membuat Aira tak nyaman. Tangan Riza terangkat untuk menggaruk bagian kepala belakangnya yang tidak gatal. Sambil menyesali dalam hati mengapa suasananya jadi se-awkward ini.

Bukankah mereka ini teman SMA yang saling mengenal? Rasanya dulu tidak secanggung ini saat ngobrol bareng Aira. Apa karena mereka sudah terlalu lama tidak bertemu? Jadi obrolan yang bisa masuk akal dan dimaklumi hanyalah obrolan singkat dan basa-basi semata.

Riza tersenyum tipis sambil menatap mesin kasir. Menertawakan dirinya lagi atas hal bodoh kesekian yang ia lakukan hari ini. Bertanya-tanya tentang kehidupan Aira dengan begitu tergesa dan ingin tahu, wajar jika kini Aira terganggu dan menghindari tatap muka dengannya.

Bego memang si Riza ini, batin Riza.

***

"Kopi, Mas. Masih panas."

Angga meletakkan secangkir kopi di hadapan Riza yang sedari tadi terduduk diam di pantry dapur. Riza hanya tersenyum tipis dan mengangguk pelan menanggapi. Semua orang sudah pulang, kecuali mereka berdua yang kini duduk berhadapan di meja bar dekat dapur di lantai dua.

Riza sengaja membangun dapur kecil di lantai dua rukonya karena ia sudah berniat akan tinggal di bagian atas ruko ini. Dia pasti butuh dapur untuk memasak dan mengenyangkan perutnya. Tidak melulu jajan di luar. Selain itu, dapur ini juga sangat berguna untuk para karyawannya beristirahat. Walau hanya untuk sekedar menyeduh kopi dan masak mie instan.

"Kamu nggak jemput pacar kamu?" tanya Riza saat melihat Angga duduk di hadapannya. Padahal ia sedang ingin merenung sendirian.

"Jam pulangnya ngaret, lagi lembur katanya. Jadi saya ngopi dulu deh," jawab Angga sambil menyesap kopinya.

"Mas Riza kenapa sih? Sejak Mbak Aira pulang, jadi banyak bengong."

"Perhatian amat sih kamu sama aku," sahut Riza dengan nada imut. Kedua tangannya menangkup pipi kiri dan kanannya.

Angga meringis. "Geli, Mas! Jhi-jhik!"

Riza tertawa. Ia menatap kopi buatan Angga tanpa berniat ingin segera menikmatinya. Sudah terlalu banyak kopi yang dia sesap hari ini setelah Aira pulang, beberapa saat sebelum akhirnya Angga membuatkannya satu cangkir lagi.

Tak lama kemudian, Angga berkata lagi.

"Mas Riza kan tinggal sendirian di sini. Pasti kesepian. Makanya saya temenin sebentar deh. Ngeri juga kan kalau besok ada berita di internet judulnya Seorang Pengusaha Muda Tewas Karena Kesepian Tinggal Sendiri di Ruko."

Riza berdecak sebal. Terkadang ingin sekali dia melakban mulut Angga. Untung saja ia sudah tahu luar dalam Angga, teman mainnya saat masih kecil yang usianya terpaut lima tahun di bawahnya, yang kebetulan hidupnya kurang beruntung karena dia yatim piatu.

Waktu kecil, Angga tinggal bersama neneknya. Tapi sejak neneknya meninggal, Angga terpaksa putus sekolah dan bekerja untuk menyambung hidup. Hubungan antara Riza dan Angga tetap baik meski mereka jarang bertemu karena Riza sibuk kuliah. Itulah sebabnya, ia mengajak Angga untuk menjadi karyawan pertamanya saat Riza berhasil membangun toko Kaldera.

Selain agar Riza merasa seperti punya saudara di Jakarta karena orangtuanya pindah ke Jogja, juga supaya hidup Angga lebih baik dengan bekerja dengannya. Tidak diperbudak oleh orang lain, apalagi sampai dimanfaatkan tenaganya dengan upah kecil.

"Dia, kan, yang bikin Mas Riza tadi pagi bolak-balik ganti baju nggak jelas? Kayak orang kurang kerjaan? Padahal di bawah lagi banyak pengunjung datang belanja, sementara saya melayani mereka sendirian?" Angga nyerocos tanpa jeda. Protes sama bos.

Riza melirik Angga dengan malas. "Itu tadi hal tergoblok yang nggak aku sadari dan sudah aku lakukan hari ini, Ngga. Gimana nggak goblok kalau melakukan itu buat ketemu pacar orang?" gumam Riza tak semangat.

"Lagi break kok, Mas. Kalau lagi break tuh bebas saja mau deket sama siapa. Kalaupun nggak lagi break, juga nggak ada larangan buat dideketin. Selama belum ada janur kuning melengkung mah, hajar!" kata Angga dengan bersemangat dan menggebu-gebu.

Riza mendelik protes. "Kok kamu tahu Aira lagi break sama pacarnya? Kamu nguping obrolan aku sama dia ya?"

"Dikit, Mas," jawab Angga santai. Ia menyesap kopinya banyak-banyak.

"Wah..." desis Riza sambil tertawa jengkel.

"Dari pada saya tiba-tiba muncul dan bikin obrolan kalian gantung, terus Mas Riza penasaran, lebih nggak enak, kan?" Angga berusaha membela diri.

"Kamu nggak usah gajian ya bulan ini, Ngga," ancam Riza dan Angga tahu betul itu hanya bercanda.

"Bodo amat, Mas! Saya rela bulan ini nggak gajian juga, asal teman Mas Riza tadi bolak-balik datang ke sini nengokin Mas Riza!" Angga segera berdiri lalu melangkah menuju tangga. Siap pergi dan meninggalkan cangkir kosong di atas meja.

Bukannya dicuci dulu cangkirnya! Batin Riza sebal.

"Beneran nggak doyan duit nih orang!"

Teriakan sindiran Riza hanya terbalas dengan tawa Angga yang menjauh. Tak lama terdengar teriakan Angga pamit pulang dari arah tangga.

Riza kembali sendirian. Seperti malam-malam sebelumnya, hampir tiga tahun ini Riza tinggal sendiri di lantai dua ruko ini. Ia suka saat pagi datang, saat satu per satu karyawannya datang dan membuat ramai. Ruko terasa lebih hidup dan berpenghuni. Beda saat malam, hanya ada Riza sendiri. Sunyi.

Perlahan senyum Riza mengembang saat ia teringat lagi dengan pertemuannya dengan Aira hari ini. Ia juga sempat mengantar gadis itu sampai depan toko saat Aira pamit pulang.

Riza memandangi gadis itu berjalan di bawah payung, menerobos gerimis yang turun tipis-tipis. Gerimis yang tetap akan membuat Aira basah jika nekat berjalan tanpa payung.

"Aku antar saja, gimana, Ra?" kata Riza sebelum Aira pulang tadi. Tawaran itu meluncur begitu saja dari mulutnya.

"Nggak usah, Za. Aku pulang naik ojol saja. Lagi pula toko kamu ramai pengunjung terus, masa ditinggal?" sahut Aira. Kemudian dua-tiga orang pengunjung datang dan masuk ke dalam toko.

"Masih gerimis. Kamu bawa payung?"

Riza jadi ingat, gerimis juga sedang turun saat ia pulang dari Hello Craft waktu itu.

"Bawa kok," Aira mengeluarkan payung dari dalam tas dan menunjukkannya pada Riza. "Makasih ya untuk pilihan sepatunya," Aira tersenyum.

"Sama-sama. Semoga sukses ya surprise-nya," Riza balas tersenyum. Entahlah harapan itu sungguh-sungguh atau hanya basa-basi dia ucapkan.

Riza tiba-tiba meraih payung dari genggaman tangan Aira dan membukanya tanpa perintah. Lalu memberikan gagang payung itu pada Aira, sehingga posisi mereka berdua kini berlindung di bawah payung yang sama.

Aira sempat menatapnya bingung. Mungkin kaget dengan inisiatifnya barusan. Selama beberapa detik, mereka saling berpandangan.

Riza baru sadar kalau tinggi Aira hanya sebatas dagunya saja. Gadis itu sampai harus mendongak untuk menatap wajahnya.

Aira tersenyum sekali lagi. "Thanks, Za. Aku pulang ya? Bye, Riza!"

Riza balas melambaikan tangan saat Aira melambaikan tangan padanya, lalu berbalik dan segera pulang. Pasti ada banyak pekerjaan yang harus kembali gadis itu prioritaskan daripada berlama-lama ngobrol dengan Riza di sini.

Riza menghela napas panjang seraya tersenyum tipis. Menatap Aira yang berjalan membelakanginya, meninggalkannya yang masih enggan berpaling untuk segera masuk kembali ke dalam toko. Untuk sesaat, Riza merasa kecewa karena kedatangan Aira terasa terlalu singkat. Rasanya tak rela membiarkan gadis itu pulang. Ia ingin menahan Aira, tapi dia tak punya ribuan alasan untuk membuat Aira tetap tinggal.

Riza hanya tahu, setelah perpisahan mereka hari ini, tak ada jaminan untuk Riza bisa bertemu Aira lagi. Sementara ada banyak sekali yang ingin Riza bicarakan dengan Aira. Tentang masa lalu, masa kini, mungkin juga masa depan.

Kedua tangan Riza bersembunyi di balik saku celana. Kembali menghela napas panjang, menguatkan dirinya sendiri. Meyakinkan hatinya bahwa akan datang hari lain untuknya bertemu lagi dengan Aira. Mungkinkah? Bagaimana caranya? Untuk apa, dan kenapa? Riza bahkan tak mengerti mengapa keinginan itu begitu besar terasa dalam hatinya.

"See you soon, Ra."

***

Panjang ya? :')

Jangan lupa tinggalkan jejak ya, voment please :)

Sampai ketemu lagi sama Riza & Aira yg sweet ini :3

Republish tanpa revisi 22/11/2021

🍏

27/8/2022.
Kepada pembaca lama ataupun baru, jangan lupa tambah & jangan hapus cerita ini dari library kalian, ya! Thank you~ 🤗

Continue Reading

You'll Also Like

20.4K 4.3K 42
Estrella Lunar? Apa itu? Ada yang tau? Estrella Lunar merupakan kata gabungan berasal dari bahasa spanyol yang berarti 'Bulan' dan 'Bintang' Berceri...
930K 48.9K 15
A story by Almira Bastari Gala dan Bara putus setelah berpacaran selama tiga belas tahun. Di tengah - tengah kebijakan lalu lintas ibukota, ganjil ge...
4K 892 26
Janjimu tentang cinta kita yang abadi itu berlalu seperti angin yang lewat
1.2M 178K 53
[Bab tidak lengkap, untuk baca lengkap silakan ke Karya Karsa] "Kalau ada satu hal yang ingin aku lakukan, itu adalah mempertahankanmu. Sayangnya, ak...