Hello Dr. Jack

By riniermaya

53.1K 2.4K 182

Cerita ini menjadi 20 peserta terpilih dalam kompetisi Lovrinz Writing Challenge 2021. *** Janu, seorang dokt... More

Prolog
1. Janu Bayuaji
2. Poli Penyakit Dalam
3. Nervous
4. Pertemuan
5. Gombal
6. Perjodohan
7. Calon Istri
8. Pedekatan
10. Janji
11. Kenalan
12. First Kiss
13. Pertengkaran
14. Lamaran
15. Dua Keluarga
16. Kisah Masa Lalu
17. Baikan
18. Belajar Masak
19. Usaha
20. Rendang
21. Ketahuan
Promosi Buku

9. Buaya Darat

1.9K 96 12
By riniermaya

Janu memarkir mobilnya di belakang bangunan rumah sakit. Hari ini dia datang terlambat, sehingga parkiran depan sudah penuh dengan kendaraan karyawan dan pasien yang berkunjung.

"Pagi, Dokter."

Begitulah sapaan dari beberapa wanita penghuni rumah sakit ini setiap kali Janu melintas. Dia hanya menganggukkan kepala dengan wajah datar tanpa ekspresi. Hingga laki-laki itu sempat mendapatkan julukan si pelit, karena susah sekali tersenyum.

Senyum Janu memang langka dan mahal. Sama seperti masker yang tiba-tiba sulit ditemukan saat wabah kabut asap melanda sebagian pulau di Kalimantan. Laki-laki itu sendiri tidak terlalu peduli. Baginya, tidak harus selalu menanggapi omongan buruk dari siapa pun. Dia juga malas mengklarifikasi karena itu hanya membuang waktu.

Seperti biasa, Janu ikut mengantre bersama karyawan yang lain untuk absen. Kali ini, tidak ada yang berani menggoda. Semua orang sudah tahu sikapnya dan merasa segan. Apalagi ketika dia begitu cekatan menangani pasien dengan diagnosis yang selalu tepat. Sehingga banyak yang menaruh hormat kepadanya.

"Dokter!"

Janu menoleh saat mendengar suara yang sudah familiar memanggilnya.

"Dokter Rani." Janu berhenti berjalan dan menunggu gadis itu datang menghampirinya.

"Mau ke poli?"

Rani menatap Janu dengan malu-malu. Senyumnya merekah indah dengan mata yang berbinar. Sepertinya bunga-bunga cinta mulai bermekaran di hati gadis itu.

Janu mengangguk karena tak bisa berlama-lama. Dia malu jika sampai melanggar kedisiplinan, padahal selama ini mengajarkan kepada perawat untuk datang tepat waktu.

"Itu, Dok. Saya--" ucap Rani ragu-ragu.

"Apa?" tanya Janu kebingungan melihat kelakuan gadis itu.

"Nanti boleh makan siang bareng, gak?"

Saat berucap itu wajah Rani semakin merona karena menahan malu. Dia hanya memberanikan diri untuk mencoba mendekati. Itu juga karena Janu begitu kaku.

"Boleh."

"Di luar. Saya yang traktir."

Janu tertegun saat mendengar itu. Belum pernah terjadi seumur hidupnya ditraktir makan oleh wanita, kecuali  sang mama.

"Nanti saya kabari. Saya ke poli dulu, sudah terlambat."

Janu berpamitan dengan melambaikan tangan. Saat tubuh jangkungnya berjalan menjauh, jantung Rani berdebar semakin kencang. Entah mereka akan bicara apa nanti saat makan siang.

Begitu memasuki ruangan, Janu langsung meletakkan ponsel dan mulai bersiap-siap. Beberapa pasien sudah menunggu. Para perawat pendamping sudah tiba sejak pagi.

"Maaf, saya telat."

Janu langsung duduk dan melihat rekam medis pasien. Snelli miliknya masih tergantung dan jarang dipakai. Setelah lulus spesialis, dia malah jarang menggunakannya.

Janu mulai memeriksa pasien dengan cermat dan teliti. Dia begitu sabar menjawab pertanyaan dari mereka. Padahal rata-rata pasien adalah peserta asuransi pemerintah, yang pembayaran biaya jasanya lebih sedikit dari pasien umum. 

Janu ikhlas merawat mereka semua.
Dia memang membutuhkan materi, tetapi itu bukan orientasi utama. Itulah sumpahnya sebagai seorang dokter.

***

Janu memasuki restoran itu dengan tenang sembari melihat suasana sekitar. Dia belum pernah makan di sini karena tempatnya agak jauh dari rumah sakit.

"Hai!"

Janu menghampiri Rani saat melihatnya melambaikan tangan. Gadis itu terlihat cantik tanpa snelli.

"Hai, Dokter," sapa Rani malu.

"Lama nunggu?"

Rani menggeleng, lalu berkata, "Langsung pesen aja. Waktu kita terbatas."

Janu mengambil daftar menu yang disodorkan kepadanya. Semua sajian di restoran ini memiliki cita rasa tradisional. Lelaki itu memanggil pelayan dan menyebutkan pesanan. Dia juga bertanya apa yang menjadi andalan di restoran ini.

Si pelayan menyebutkan apa saja yang menjadi favorit pelanggan. Salah satunya bebek kremes dengan sambal yang berbeda. Ada beberapa yang lain tetapi tak selaris menu itu.

"Kok, baru datang?" tanya Rani membuka percakapan. Gadis itu bingung hendak bicara apa. Andaikan Janu lebih friendy sedikit mungkin dia tidak akan merasa canggung.

"Sorry tadi ada pasien yang balik konsultasi dari Lab. Jadi saya beresin dia dulu. Kamu udah lama nunggu, ya?"

"Lumayan. Dokter habis ini balik lagi ke rumah sakit?"

"Visite. Poli dari tadi sudah selesai. Akhir bulan biasanya emang gini, pasien sepi."

Janu membolak-balikkan daftar menu yang tadi ditinggalkan oleh pelayan. Dia melihat ulang karena akan mencoba yang lain jika suatu saat berkunjung lagi.

Tak lama, pelayan datang membawakan pesanan mereka. Asap mengebul dari bebek yang baru saja digoreng. Aromanya sungguh menggugah selera.

Mereka makan dengan lahap tanpa banyak bicara. Sepertinya, adab makan seperti ini sudah dibiasakan sejak kecil, sehingga sudah terbiasa ketika di luar.

"Gimana kesannya setelah kerja di rumah sakit, Dokter?"

"Sejauh ini aman. Nyaman juga. Rekan kerjanya baik, manajemen juga."

Janu mengaduk-aduk gula yang menumpuk di ujung gelas, agar tercampur rata dengan minuman. Dengan perlahan dia meneguknya, menikmati setiap rasa yang melewati lidah.

"Saya juga betah di rumah sakit ini. Apalagi sejak ada Dokter Janu. Jadi makin semangat kerjanya," ucap Rani sembari tertunduk.

Janu melatakkan sendok, lalu menatap Rani dengan takjub. Dalam hatinya bertanya-tanya apa maksud dari ucapan itu.

"Syukulah kalau betah. Kita kerja di mana aja kalau pintar ngebawa diri, ya lancar." Senyum mengembang di bibir Janu, lucu saat mendengar kata-kata Rani tadi.

Suasana seketika menjadi hening. Mereka sama-sama semakin canggung untuk melanjutkan perbincangan, hinga Rani kembali mengucapkan sesuatu.

"Dokter. Saya--"

Janu menaikkan alis, menunggu apa yang akan disampaikan Rani. Gelagat gadis itu sudah mulai aneh saat pertama kali dia masuk ke restoran ini.

Rani tampak berbeda. Sekali pun ini hanya makan siang biasa, gadis itu memakai make-up yang agak mencolok. Dia juga mengganti pakaian, berbeda dari yang tadi pagi saat mereka bertemu.

"Saya suka."

"Maksudnya?"

Janu masih tak mengerti apa maksud dari ucapan Rani, sehingga lelaki itu mengangkat bahunya.

"Saya suka ... Dokter Janu!"

Damn! Janu ditembak cewek.

***

Sepanjang perjalanan pulang, Janu memutar lagu di mobil sembari bernyanyi. Hatinya begitu bahagia.

"Saya suka ... Dokter Janu!"

Wajah Rani terlihat ketakutan saat mengucapkannya. Gadis itu membuang pandangan karena tak berani menatap wajah Janu.

Sungguh, Janu salut akan keberaniannya saat menyatakan perasaan. Rani, sudah merendahkan harga diri dengan mengatakan itu lebih dulu.

"Iya."

Simple saja Janu menjawab. Entah Rani mau mengartikan apa, itu terserah kepadanya. Dia juga diam-diam menyukai gadis itu sejak kejadian di IGD.

Mata Rani tampak berbinar-binar saat Janu mengatakan iya. Gadis itu meraih tangan Janu dan menggenggamnya dengan erat. Jemari mereka bertautan sembari bercerita banyak hal, hingga waktu makan siang habis.

Mereka berpisah saat pulang, karena membawa kendaraan masing-masing. Ternyata, memiliki pasangan itu gampang juga. Janu tidak perlu bersikap seperti teman-teman yang lain. Sibuk melakukan pendekatan dengan para wanita atau menebar pesona ke sana ke sini dan mengobral rayuan maut.

Janu hanya perlu bersikap baik, sedikit cuek dan menjaga jarak. Hasilnya, dia terlihat lebih menggoda. Kaum Hawa masa kini ternyata suka dengan lelaki yang sulit didekati. Mereka tertantang ingin menaklukan. Mungkin ini wujud dari emansipasi, di mana para wanita justeru bergerak lebih aktif.

Janu masih saja asyik bernyanyi saat sebuah pesan masuk ke ponselnya. Lelaki itu menepikan mobil di depan sebuah mini market. Jemarinya meraih benda pipih itu dan mulai membacanya.

'Mama ngundang kamu makan malam nanti. Bisa?'

Matanya terbelalak saat membaca pesan itu. Dari Nadine.

Oh My God! Kenapa Janu bisa lupa kalau sedang melakukan pendekatan dengan Nadine. Dia bahkan sudah bertemu dengan orang tuanya dan mengatakan serius dengan putri mereka. Sekalipun dia belum menyatakan cinta dengan gadis itu.

'Oke. Nanti saya datang,' balas Janu.

'Beneran loh ya. Jangan PHP.'

'Iya. Memangnya mama kamu masak apa.'

'Ada aja. Kamu pasti suka.'

'Nanti saya telepon. Ini lagi di jalan.'

Setelah membaca pesan Nadine, Janu keluar dari mobil dan masuk ke mini market untuk membeli minuman kaleng.

Tiba-tiba kepalanya menjadi sakit karena menyadari sesuatu hal. Saat melihat kata-kata PHP tadi di pesan Nadine, laki-laki itu merasa telah melakukannya, mempermainkan hati dua wanita, sekaligus memberi harapan palsu.

Janu, sepertinya julukan kamu sudah bukan lagi si dokter dingin yang cuek pada wanita. Namun, sudah berubah menjadi seorang playboy. Kini laki-laki itu menyadari bahwa dia telah menebar pesona kepada banyak wanita, dengan cara sendiri.

Lagu Buaya Darat milik Maia pun mengalun syahdu di dalam mini market itu. Entah itu suatu kebetulan atau tidak, Janu merasa tersindir saat mendengarnya.

Continue Reading

You'll Also Like

145K 16.8K 34
Spinoff Mayang Senja. Satria Rangga Prawira, pemuda bersifat dingin dan datar, tapi ganteng. Dia menjabat sebagai Ketua BEM di kampusnya. Diidolakan...
1M 149K 49
Awalnya Cherry tidak berniat demikian. Tapi akhirnya, dia melakukannya. Menjebak Darren Alfa Angkasa, yang semula hanya Cherry niat untuk menolong sa...
178K 5.3K 15
[Juara #2 Kategori Fantastic Viewer Event Author Got Talent 2022] TERBIT 🥰🥰 Blurb : Menikah bukanlah prioritas bagi seorang Nayla Seraphina. Yang...
895K 84.2K 52
Ini adalah Kisah dari Kila. Kila Prastika yang ternyata memiliki seorang bapak kos yang kebelet kawin ... "Nikah sama saya, kosmu gratis seumur hidu...