Bitterlove

Od carameluv

109K 11.9K 3.6K

[COMPLETED] "Love is everything, but game is more than anything." "Yaudah. Aku sadar diri kok, aku gak kalah... Více

01 : Male Friends
02 : Dirty Video
03 : Lie
04 : Heart Attack
05 : A Little Hurt
06 : Don't Leave
07 : Always By Your Side
08 : Argue
09 : We Just Friends
10 : Anger
11 : We Never Broke Up
12 : Whipped
13 : When We Meet And Be Together
14 : Mr. Ice Cream
15 : Shy
16 : Under A Million Stars
17 : Behind The Cuddle
18 : How Hard
19 : Almost
20 : Suddenly
21 : Silent Hurt
22 : Heartbreak Boy
23 : Stay or Leave
24 : At The End of The Night
25 : Now, We're Strangers
26 : Pieces of Memories
27 : Stuck on You
28 : Under The Moonlight
29 : Colder Than Winter

30 : 1 4 3 [END]

7.1K 468 384
Od carameluv

Serius, part ini panjang banget gils. Kalau bosen, kalian bisa jeda dulu dan di lanjut lagi sesuka kalian. Ya, intinya nikmati aja, jangan terburu-buru bacanya.

Mau extra part? Spam komen bisa kali ya, hehe💜

▫️▫️▫️

Setelah mengetik balasan pesan, Seokjin menyambar jaket serta kunci mobilnya di meja. Meninggalkan kamar dan berlari kecil menuruni tangga hingga ia sampai ke lantai dasar yang langsung mengarah pada ruang tengah. Ada Bunda dan kakak sepupunya yang sedang asik mengobrol serta keponakannya yang berusia 4 tahun, bermain sendirian di atas karpet dengan beberapa mainan yang di bawanya dari rumah.

"Bun, Abang pergi dulu." pamitnya seraya datang menghampiri dan menyalami tangan bundanya serta kakak sepupunya.

"Mau kemana?" tanya Bunda.

"Main."

"Sama siapa?" kini giliran kakak sepupunya yang bertanya.

"Kepo."

"Sama cewek sih yang pasti kalau udah cakep sama wangi gini." kata Bundanya.

"Oh, cewek yang waktu itu pernah di bawa kerumah bukan, Bang?" tanya kakak sepupunya lagi.

"Yang mana? Cewek gue banyak, mohon maaf." balas Seokjin seraya kembali mengetik pesan balasan pada seseorang.

"Dih! Sok playboy," dengus kakak sepupunya. "Yang sebulan lalu pernah bawa kerumah sama lo, cewek pokoknya, cantik. Siapa tuh namanya?"

Seokjin berdecak seraya memakai jaketnya. "Kepo banget sih lo!"

"Ish! Ceweknya Seokjin siapa namanya, Tan? Yang waktu itu pernah di bawa kesini." tidak ada pilihan lain selain menanyakan hal ini pada Bundanya Seokjin, yang tahu siapa perempuan yang di maksud.

"Jangan di kasih tahu, Bun. Keponya dia kebangetan, suka ngestalk." ucap Seokjin.

"Ih! Nyebelin lo! Gue cuma pengin tahu doang."

Bunda terkekeh. "Nanti juga kamu tahu sendiri kalau ceweknya udah di halalin sama Abang."

"Wuih! Serius lo kali ini? Lulus langsung kawin lo gila mantap!" ucap kakak sepupunya heboh.

"Nikah dulu, baru kawin," kata Seokjin mengoreksi. "Maen kawin-kawin aja nih, Bun. Kan gak boleh ya."

"Ya maksud gue itu paul!" balas kakak sepupunya. "Tapi serius lo? Maksud gue, sama cewek yang sekarang lo serius?"

"Becanda mulu capek."

"Beres kuliah langsung nikah, serius ni anak Tante?" tanya kakak sepupunya, melirik ke arah Bunda yang hanya terkekeh-kekeh menanggapinya. "Punya ape lo berani banget nikahin anak orang? Modal nikahnya udah siap belum?"

"Jangan ngeremehin, gini-gini duit gue banyak," balas Seokjin. Kemudian ia tersenyum usil seraya menaik turunkan alisnya. "Lo tinggal doain aja, tahu-tahu gue sebar undangan berlapis emas."

"Dih! Gaya lo."

Seokjin terkekeh. "Gue pergi dulu. Bun, Abang pergi ya, pulangnya malem."

"Hati-hati, Bang!"

"Om Seokjin!"

Langkah Seokjin kembali berhenti ketika keponakannya memanggil. "Kenapa?"

"Ubin ikut boleh?" kata anak itu seraya berdiri dari posisi duduknya, menatap sang paman dengan tatapan memohonnya yang terlihat menggemaskan, berharap Seokjin memperbolehkannya untuk ikut.

"Gak bol—"

"Mama, Ubin ikut Om Seokjin boleh ya?" kini anak kecil itu meminta pada sang Ibu seraya menumpukan tangannya di paha Ibunya dan menopang kedua dagunya, menatap wanita itu penuh harap.

"Iya boleh." jawab kakak sepupunya seraya terkikik gemas, membuat Seokjin melirik ke arahnya dengan tajam karena berani-beraninya dia mengiyakan tanpa persetujuan dirinya.

"Yes!" seru Soobin senang. Kemudian ia melirik pada Seokjin. "Om, Mama bilang Ubin boleh ikut katanya. Ayo!"

Seokjin membuang nafas, melirik kakak sepupunya dan Bundanya yang hanya tertawa kecil tanpa merasa bersalah. Ayolah, Seokjin mau kencan seharian ini. Kencannya tidak akan berjalan dengan baik jika keponakannya ikut. Seokjin tidak bisa membayangkan bagaimana Soobin ada di antara dirinya dan Jisoo seharian ini. Pasti akan sangat merepotkan, dan anak kecil itu banyak mau. Jika tidak di turuti akan rewel dan berakhir menangis.

"Gak bisa, Ubin. Om Seokjin mau pergi jauh, banyak penjahat, banyak monsternya," kata Seokjin seraya berjongkok, menyamakan tingginya dengan sang keponakan. Ia berusaha membuat Soobin percaya dengan omong kosongnya. "Anak kecil gak boleh ikut, soalnya itu bahaya. Ubin mainnya di rumah aja, sama Mama dan Nenek biar aman. Oke?"

Soobin menggeleng dengan bibirnya yang sedikit maju. "Gak mau! Ubin gak takut kok sama monstelr," balas anak itu, cara pengucapannya huruf R-nya masih belum fasih. "Kata Mama, anak laki-laki gak boleh penakut."

"That's my son!"

Seokjin mendengus, mendelik pada kakak sepupunya yang masih menertawakannya.

"Tapi, Ubin masih kecil. Gak boleh ikut."

"Emang kenapa?" tanya Soobin dengan tatapan polosnya.

"Ya gak boleh. Ubin mainnya dirumah aja, nanti pulangnya Om Seokjin bawain mainan buat Ubin. Oke? Tos dulu dong." Seokjin mengangkat tangannya, menunggu Soobin meresponnya dengan menepuk tangannya.

Namun hal itu tak terjadi, karena Soobin tetap ingin ikut Seokjin. Apapun yang di katakan Seokjin tidak berpengaruh untuknya. "Gak mau, Ubin ingin ikut."

Seokjin membuang nafas kasar seraya berdiri dan menatap kakak sepupunya kesal. "Woi, bilangin nih anak lo. Ya kali gue bawa dia? Yang bener aja, gue mau kencan berduaan gak boleh ada yang ganggu."

"Hayoloh mau ngapain? Udah, mending ajak aja Ubin, biar lo gak terlalu berduaan. Nanti kebablasan kan berabe urusannya, belum juga di halalin."

"Ya gak—"

"Udahlah, Bang. Bawa aja, kali-kali ini kan? Kasian tuh Ubin pengin ikut Om-nya, nanti nangis dia." kata Bunda.

Seokjin menghela nafas. "Tapi, Bun—"

"Bawa aja, Bang. Pake mobil kan kamu?"

"Anak gue gak nakal kok, Jin. Gak rewel juga. Baik banget kayak Mamanya." ujar kakak sepupunya seraya mengedip-ngedipkan matanya sok cantik.

Seokjin berdecak. "Ah! Yaudah ayo cepet."

"Om Seokjin, gendong!"

"Gak usah manja kalau mau ikut sama Om Seokjin. Ayo cepet, kalau lama Om tinggal." katanya seraya melangkah pergi lebih dulu, di susul Soobin yang berlari mengejar sang Paman dan berusaha menyamakan langkahnya dengan langkah besar Seokjin.

Pada akhirnya, Soobin ikut dalam kencannya dengan Jisoo. Padahal tadinya, Seokjin berencana pergi ke tempat yang jauh mengingat mereka sudah cukup lama tidak pergi dan menghabiskan waktu seharian. Tapi karena adanya sang keponakan kesayangan yang ikut, sepertinya hari ini Seokjin akan pergi ke tempat-tempat terdekat saja.

Sementara itu, Jisoo kembali menata rambutnya dan kembali memoleskan perwarna bibir di depan cermin sebelum benar-benar keluar dari kamar dan menemui Seokjin di luar rumah.

Jisoo agak terkejut ketika masuk ke dalam mobil Seokjin dan di sambut oleh sapaan riang seorang bocah kecil yang berdiri di kursi bagian belakang mobil.

"Tante Chichu!"

"Ubin?! Hai!" sapa Jisoo tak kalah riang, matanya berbinar menatap bocah kecil yang kini menghampiri Jisoo ke kursi depan dan berakhir di pangkuannya.

Seokjin berdecak malas. "Ni anak maksa pengin ikut. Gak apa-apa, Ji?"

"Ya gak apa-apa lah, emangnya kenapa?" tanya Jisoo.

"Ganggu."

"Ih enggak, seru tahu kalau ada Ubin, gemes! Pengin terus unyel-unyel pipinya." katanya, yang kini memainkan kedua pipi Soobin yang memang agak berisi.

Seokjin tersenyum kecil melihat interaksi menggemaskan Jisoo dengan keponakannya. Jisoo memang sempat bertemu dengan Soobin ketika kekasihnya di ajak kerumah, dan kebetulan ada Soobin yang datang bersama Mamanya. Karena Jisoo memang suka pada anak kecil, Soobin terus di ajak berbicara hingga bermain dan akhirnya mengabaikan Seokjin.

Sekarang pun, Seokjin di abaikan. Jisoo dan Soobin asik berdua, membicarakan banyak hal yang sebenarnya tidak terlalu penting baginya. Memangnya seberapa penting sih obrolan anak kecil? Obrolannya gak akan jauh dari soal mainan baru yang dia punya, atau menceritakan kembali sebuah dongeng di buku ceritanya serta obrolan lainnya berupa kejadian tidak seberapa yang di alaminya.

Namun, melihat Jisoo berinteraksi dengan Soobin membuatnya tak kuasa tersenyum dan gemas sendiri. Apalagi saat mendengar cara berbicara Jisoo yang di buat lucu. Benar-benar menggemaskan, ingin rasanya membawanya langsung ke hadapan penghulu. Ke KUA-nya belakangan aja, karena udah ngebet banget pengin sah.

"Aku gak suka kalau ada Ubin." kata Seokjin.

"Lah, kenapa?"

"Soalnya, di-dia ngerebut kamu, aku di diemin." percayalah, Seokjin mengatakan hal ini setengah malu dan setengah menyesal karena telah mengungkapkan hal yang sedikit kekanakan.

Jisoo tertawa kecil, lantas sebelah tangannya terulur mencubit dan memainkan pipi Seokjin yang agak kemerahan. "Uhhh cayang, bayi besarnya aku pengin di perhatiin juga."

Seokjin mendengus seraya menyingkirkan tangan Jisoo di pipinya. Lalu kembali fokus pada kemudi, membiarkan kekasihnya kembali berduaan dengan keponakannya.

"Ubin kalau rewel minta pulang awas ya. Malu tuh sama Tante Jisoo," ucap Seokjin, memperingati. "Om Seokjin gak akan mau bawa Ubin main lagi nanti."

"Galak." celetuk Soobin.

"Emang." Jisoo menimpali dan tertawa.

"Yaudah, jangan harap kamu di ajak main lagi." Seokjin mendelik.

"Gak apa-apa, Ubin mau main sama Tante Chichu aja belrdua," sahut Soobin, bibir merah mudanya mengerucut lucu, kesal. "Tante Chichu mau kan main sama Ubin?"

Jisoo terkekeh. "Ayo! Kemana kita?"

"Nanti Ubin kasih tahu. Jangan disini, ada Om Seokjin nanti dia dengelr."

Jisoo tertawa, sementara Seokjin mendengus dan mendelik tajam ke arah Soobin.

"Sini lo, biar gue sentil. Baru jadi bocah aja udah banyak gaya lo." kesal Seokjin.

"Kata Mama gak boleh bilang gue-lo, Om. Ubin bilangin Mama nih."

"Bilangin aja sono. Gak takut gue sama emak lo." balas Seokjin.

"Yaudah, Ubin bilangin Kakek aja. Biarl PS punya Om Seokjin di jual."

Jisoo tertawa seraya memeluk Soobin gemas seakan anak itu adalah sebuah boneka. "Setuju! Aku ada di tim Ubin!"

"Sialan." gumam Seokjin.

Ya, baiklah. Seokjin sepertinya harus banyak mengalah hari ini. Kalau kata Taehyung, anggap aja lagi latihan jadi Bapak, yang selalu mengalah pada anaknya. Dan Seokjin memang benar-benar mengalah, pasrah ketika tujuan tempatnya di atur oleh si buntalan kecil Soobin.

Pergi melihat ikan-ikan di laut melalui aquarium besar, pergi ke taman rekreasi wahana anak hingga menemani Soobin mandi bola sampai puas. Tidak, dari pada menemani mungkin lebih tepatnya menunggu. Karena hanya Soobin yang bermain dan di temani Jisoo, sementara dirinya menunggu dengan sabar di kejauhan, membiarkan Soobin menguasai Jisoo.

Jika begini keadaannya, bukan Seokjin yang kencan dengan Jisoo, tapi Soobin yang kencan dengan Jisoo. Seolah dirinya hanyalah seorang supir yang bertugas mengantar dan menunggu.

Sialan memang.

Setelah keluar dari arena mandi bola di dalam ruangan, kini Seokjin, Soobin dan Jisoo duduk bersisian di sebuah bangku seraya memakan es krim cone. Ralat, hanya Jisoo dan Soobin yang memakan es krim. Bukannya Seokjin tidak suka atau tidak mau, moodnya sedang tidak terlalu bagus untuk menikmati es krim yang terlalu enak.

"Om Seokjin, mau?" tawar Soobin dengan wajah polos seraya mengulurkan tangannya yang menggenggam es krim cone yang sudah sedikit mencair, juga area mulutnya belepotan karena es krim

"Gak."

"Kenapa? Ini enak."

"Karena lo yang nawarin jadinya gak enak," balas Seokjin, yang mendapatkan pukulan dari Jisoo. "Apasih?"

"Jangan gitu! Ponakan sendiri juga." kata Jisoo.

"Ya abisnya ngeselin ni bocah. Berasa ulang tahun kali lo, segala pengin di turutin."

Lagi, Jisoo memukulnya. "Gak boleh ngomong kasar sama anak kecil. Kamu kalau kayak gini gak jauh beda sama anak kecil. Dasar bocah gede!"

"Oke, terus aja salahin gue. Orang dewasa selalu salah, anak kecil selalu mendapat kebenaran."

Sore menjelang malam, saat mereka dalam perjalanan pulang, Jisoo tiba-tiba mendapat informasi bahwa festival kuliner yang ia tunggu-tunggu telah di gelar. Dan hal itu membuat perjalanan pulang mereka tertunda dan mampir terlebih dahulu ke tengah keramaian di antara deretan stan makanan yang di temani sebuah live musik di sebuah panggung.

Soobin berada dalam gendongan Jisoo selama mereka berada di festival kuliner, hal itu membuat Seokjin khawatir kalau Jisoo merasa berat karena beban Soobin.

"Ubin turun gak? Harus jalan sendiri, jangan di gendong. Kasian Tante Jisoonya berat." kata Seokjin seraya menarik keponakannya dari gendongan Jisoo.

"Gak mau!" Soobin semakin mempererat lingkaran tangannya di leher Jisoo agar Seokjin sulit melepaskannya.

Seokjin berdecak. "Ubin gak denger apa kata Om Seokjin? Gak boleh manja! Ubin laki-laki, gak boleh jadi manja. Cepet turun, jalan sendiri."

Soobin tetap tidak mau menurut. Anak laki-laki itu semakin mengeratkan pelukannya di leher Jisoo dengan mata yang sedikit berkaca-kaca.

"Udahlah, gak apa-apa. Jangan di paksa, nanti dia nangis lebih ribet lagi kan urusannya?" Jisoo mencoba sabar meskipun sejujurnya, tangannya sudah agak pegal karena menggendong Soobin yang lumayan berat.

"Ji, aku tahu kamu pegel. Soobin itu lumayan berat," kata Seokjin, lalu mengambil alih keponakannya untuk pindah ke dalam gendongannya dengan sekuat tenaga. "Ubin, biar Om Seokjin aja yang gendong kalau masih gak mau jalan sendiri."

Soobin menatap Seokjin takut-takut setelah berpindah pada gendongan sang paman. "Ubin mau di gendong sama Tante Chichu aja."

"Kasian Tante Jisoonya pegel gendong Ubin terus dari tadi. Ubin gak kasian sama Tante Jisoo, hm?" Soobin tetap diam, mata bulatnya sedikit berkaca-kaca. Takut pada Seokjin. "Nanti kalau Tante Jisoo sakit, siapa yang mau nemenin Ubin main? Kan Om Seokjin gak mau nemenin."

Soobin melirik Jisoo dengan tatapan harap, berharap wanita itu menyelamatkannya dan membawanya kembali ke dalam gendongannya. Namun yang Soobin dapatkan hanyalah usapan tangan Jisoo di kepalanya seraya tersenyum manis.

"Ubin sama Om Seokjin dulu ya? Gak apa-apa kok. Di gendong Om Seokjin enak, lebih tinggi. Ubin jadi bisa liat orang lebih jelas." ujar Jisoo mencoba menghibur dengan lembut dan penuh pengertian, membuat Soobin pada akhirnya mengangguk dengan bibir merah mudanya yang sedikit maju.

Setelahnya, sepasang kekasih bersama satu anak kecil di antaranya itu kembali melanjutkan langkahnya, melewati setiap stan makanan hingga berhenti di sebuah stan makanan yang sudah sangat Jisoo idam-idamkan sejak lama.

"Beb, mau itu! Yuk!" ajak Jisoo seraya menarik sebelah tangan Seokjin menuju stan makanan tang tidak terlalu penuh.

Mata Jisoo berbinar melihat makanan tersebut. "Akhirnya, aku nemu odeng juga!"

"Apaan sih ini?" tanya Seokjin seraya menatap aneh ke arah makanan yang di tusuk tersebut.

"Ini odeng namanya, makanan Korea. Aku sering liat ini kalau nonton drakor. Rasanya kayak yang enak, dan emang beneran rasanya nagih banget sumpah. Kamu harus coba, nih," Jisoo mengambil satu tusuk makanan yang bernama odeng tersebut, mendekatkannya pada mulut Seokjin dan langsung di terima sekali lahap oleh pria itu. "Gimana, enak kan?"

Seokjin mengangguk-anggukan kepalanya seraya mengunyah. "Lumayan lah."

"Ubin mau?" tawar Jisoo yang langsung di beri anggukan olehnya. "Aaa... buka mulutnya."

"Ubin mau makan sendiri. Kata Om Seokjin, Ubin gak boleh manja." katanya seraya mengulurkan tangannya untuk menerima satu tusuk odeng dari Jisoo.

Seokjin hanya tersenyum kecil dan Jisoo terkekeh gemas. "Nih, pelan-pelan aja ya makannya. Hati-hati sama tusukannya."

Soobin menerimanya dengan tangan kanan, lantas melahap makanan tersebut dengan pelan dan hati-hati sesuai dengan apa yang Jisoo katakan.

"Enak?" tanya Jisoo.

Soobin mengangguk lucu, pipinya menjadi semakin gembil karena menampung makanan di dalamnya.

Kemudian, Soobin melirik Seokjin yang menggendongnya dengan ragu. Anak kecil itu menyadari bahwa dirinya membuat Pamannya ini kesal, atau bahkan marah sehingga Soobin menjadi agak takut.

"Om Seokjin," panggil Soobin, langsung membuat yang di panggil menoleh. "Om Seokjin masih malrah sama Ubin?"

Seokjin hanya menaikkan sebelah alisnya.

"Ubin minta maaf." katanya dengan tulus. Anak kecil memang selalu tulus.

"Hm, ya." sahut Seokjin seadanya. Lagi pula meskipun ia marah dan kesal sekarang, keadaannya akan seperti semula lagi setelah pulang kerumah.

"Om Seokjin jangan malrah lagi sama Ubin."

Seokjin menghela nafas. "Iya, enggak."

Jisoo terkikik. "Di maafin gak Ubinnya, Om?"

Soobin menatap Seokjin penuh harap dengan mata bulatnya, menunggu jawaban Seokjin yang menerima permintaan maafnya.

"Iya." jawab Seokjin.

"Iya apa?" tanya Jisoo memastikan, sengaja menggoda Seokjin.

Seokjin berdecak. "Iya, di maafin. Makanya Ubin jangan nakal."

"Enggak kok, Ubin gak nakal ya." bela Jisoo seraya mengusap kepala Soobin.

"Y-ya, maksudnya jangan nyebelin. Nanti gue buang ke rawa-rawa," katanya dengan pelan di kalimat terakhir, membuat Jisoo segera mencubit pinggang Seokjin. "Aw!"

Setelahnya, Soobin mendekat dan mencium pipi Seokjin. "Ubin sayang Om Seokjin."

"Ahhh, gemes!"

Seokjin tidak merespon apapun selain hanya memakan odengnya. Rupanya ia mulai menyukai makanan itu. Jisoo benar, makanan bernama odeng ini bikin nagih.

"Jawab dong, Beb." kata Jisoo.

"Apaan?"

"Jawab kalau kamu juga sayang Ubin."

"Gak perlu."

"Kamu gak sayang sama Ubin?"

Seokjin berdecak. "Gak gitu."

"Yaudah bales dong," Jisoo memprotes seraya melipat tangannya. "Kamu sama anak kecil aja gengsi. Bilang sayang aja susah, gimana nanti pas nyebutin nama aku di akad, batal nikah kayaknya."

"Ya kalau yang itu gak akan lah!" balas Seokjin tak terima, mulutnya penuh dengan odeng, bibirnya sedikit maju.

Jisoo mengulum bibirnya. "Nyebutinnya harus sekali pengucapan dalam satu tarikan nafas, gak boleh ngulang. Bisa gak?"

"Ngeremehin kamu? Perlu bukti sekarang juga, huh? Ayo!" sebelah tangan Seokjin meraih tangan Jisoo.

"Kemana?"

"Ke penghulu!"

Jisoo terkekeh mendengus, lantas menepuk punggung tangan Seokjin. "Ngaco! Udah ayo pulang, Ubin kayaknya udah capek tuh sampe ketiduran dia di bahu kamu."

Seokjin melirik Soobin yang menyandarkan kepalanya ke bahunya dengan mata yang terpejam seraya memeluk leher jenjangnya.

"Ubin kalau lagi tidur mirip kamu." komentar Jisoo setelah ia membayar dan menerima makanan yang ia beli.

"Kamu juga mirip aku." ucap Seokjin.

"Kata siapa?"

"Waktu kita photobox seminggu yang lalu, mbaknya ngira kita adek-kakak kembar karena kita mirip."

Jisoo terkekeh. "Kata orang, mirip tandanya jodoh."

"Yaudah," kata Seokjin sedikit salah tingkah, lalu melanjutkan ucapannya dengan suara pelan, "Aamiin."

Soobin kembali berpindah ke pangkuan Jisoo ketika di dalam mobil menuju jalan pulang. Hingga akhirnya mereka sampai di rumah Seokjin. Jisoo harus ikut sampai kesana karena jika dirinya pulang lebih dulu, Seokjin akan kesusahan jika harus menyetir sambil memangku Soobin yang tertidur. Anak itu benar-benar tidur dengan nyenyak meskipun banyak gerakan yang cukup mengganggu.

"Aduh, maaf ya kalau Ubin ngerepotin kamu." ucap kakak sepupunya Seokjin, yang merupakan Mamanya Soobin.

Jisoo tersenyum. "Enggak kok, main sama Ubin seru. Jadi pengin sering-sering main sama dia."

"Gak. Ini yang terakhir." kata Seokjin.

"Kok gitu?" tanya kakak sepupunya.

"Cewek gue di rebut sama anak lo. Gagal kencan gue hari ini." balas Seokjin setengah kesal.

"Dih, Jisoo juga gak masalah tuh. Lo aja yang rewel," katanya. "Tapi makasih deh, Ubin kayaknya seneng tuh sampe ketiduran."

"Hm."

Selanjutnya, sepasang kekasih itu kembali duduk bersebelahan di dalam mobil ketika waktu menunjukan pukul 8 malam. Seokjin akan mengantar Jisoo pulang, mungkin jika mampir sebentar membeli beberapa makanan untuk menambah stok persediaan di kamar Jisoo.

"Karena kita gak jadi pergi berdua hari ini, mau gak nonton jadwal midnight?" tawar Jisoo.

"Aku lebih tertarik nonton Netflix di kamar kamu sampe tengah malem." balas Seokjin.

"Kenapa?"

"Karena gratis dan nontonnya bisa sambil rebahan, makanannya juga lebih banyak."

Jisoo terkekeh mendengus. "Gak modal dasar, penginnya gratisan."

"Sayang, Ji. Duitnya mending di tabungin."

"Buat apaan?"

"Buat nikah." jawab Seokjin dengan suara pelan sehingga Jisoo tidak bisa mendengarnya dengan jelas.

"Hah? Apaan?"

"Buat beli PS keluaran baru."

"PS AJA TERUS! AKU MAH GAK PENTING!"

Seokjin tertawa, sementara Jisoo mendengus seraya mengalihkan pandangannya ke arah lain.

▫️▫️▫️


Seokjin keluar dari kamar mandi dengan keadaan setengah telanjang, hanya memakai celana boxer. Handuk kecil bertengger di kedua bahunya, rambutnya agak basah dan sedikit berantakan. Pemuda itu mengusap rambut basahnya dengan handuk seraya meraih ponselnya yang tergeletak di atas kasur, melihat berbagai notifikasi yang masuk.

Merasa tidak ada yang menarik, Seokjin melempar ponselnya ke atas kasur, lantas berjalan keluar kamar dengan keadaan yang masih setengah telanjang, berniat untuk makan siang karena sejak tadi perutnya sudah keroncongan minta di beri asupan.

Ia menemukan sang Bunda di dapur, sedang menata makan siang di atas meja makan. Seokjin hendak duduk, namun segera di hentikan oleh Bundanya.

"Abang!" tegur sang Bunda. "Kebiasaan ya kamu. Mau pamer badan ke Bunda gak akan ngaruh. Pake baju dulu sana."

"Siapa yang pamer? Abang mau makan, Bun. Udah laper." balas Seokjin.

"Gak ada makan sebelum kamu pake baju dulu," katanya. "Udah mandi tuh langsung pake baju lengkap, jangan cuma pake celana aja. Gimana kalau dirumah lagi ada tamu coba? Gak sopan, malu-maluin."

Seokjin berdecak kecil, lantas kembali beranjak dari tempatnya, kembali ke kamarnya dan memakai salah satu dari banyaknya kaos berlengan pendek yang memiliki berbagai macam warna serta berbagai macam ukuran di dalam lemari pakaiannya. Kali ini, ia memakai kaos berlengan pendek oversize berwarna ungu, sama dengan warna rambutnya. Entah sadar atau tidak, kaos tersebut merupakan pemberian Jisoo.

Saat Seokjin kembali lagi ke ruang makan, sudah ada Soobin yang duduk disana bersama sepiring makan siang di hadapannya, sendirian, Bundanya mendadak menghilang dari dapur. Sejak kapan bocah itu ada dirumahnya? Pikirnya.

"Dor!" Seokjin datang secara tiba-tiba, mencoba membuat keponakannya terkejut. Alih-alih terkejut, Soobin hanya mengunyah makan siangnya dan menatap Seokjin dengan polos.

"Kapan Ubin kesini? Mama mana?" tanya Seokjin, mengambil tempat duduk di sebelah Soobin dan mulai mengambil nasi serta beberapa lauk untuk makan siangnya.

"Pelrgi lagi sama Papa. Ubin di sulruh main sama Om Seokjin disini." jawab anak itu setelah menelan makanannya.

Seokjin mengangguk-anggukkan kepalanya seraya mengunyah makanannya.

"Om, Ubin ingin main kelualr."

"Boleh. Mau kemana? Beli es krim?" tawarnya.

Soobin mengangguk. "Ajak Tante Chichu ya?"

Seketika Seokjin berhenti mengunyah mendengar nama Jisoo yang tidak di sebutkan secara benar oleh Soobin. Anak kecil mana tahu tentang hubungannya dengan Jisoo yang sudah tidak terikat lagi, di jelaskan pun juga tak akan mengerti. Dan lagi pula Seokjin tidak mau membuang waktunya untuk menjelaskan hal ini pada bocah berumur 4 tahun, yang hanya tahu makan, main dan tidur.

"Ubin mau main sama Tante Chichu."

"Katanya Ubin mau main sama Om Seokjin." Seokjin berlagak sedih dengan menunjukan muka memelasnya serta bibir penuhnya yang mengerucut. Lucu.

"Tapi ajak juga Tante Chichu. Kita main belrtiga ya, Om."

Seokjin menghela nafas, seandainya Soobin mengerti. "Tante Jisoonya gak ada, Ubin."

"Kemana?"

"Pergi."

"Pelrgi kemana?"

Pergi dari hidupku. Jawab Seokjin mendramatisir di dalam benaknya.

"Ya gak tahu."

Soobin mengerucutkan bibirnya. "Ubin pengin main sama Tante Chichu!"

"Tante Jisoo, bukan Chichu. Sok imut!"

Seketika ucapan Jisoo kembali terngiang setelah Seokjin menyelesaikan kalimatnya, "Gak apa-apa kok, aku suka di panggil Chichu sama Ubin. Lucu."

Ah, sial. Gara-gara Soobin, dirinya terpaksa kembali mengingat mantan kekasihnya. Dasar bocah!

"Ubin mau main sama Tante Chichu, Om! Ayo kita calri Tante Chichunya." rengek Soobin.

"Gak ada, Ubin. Om Seokjin kan udah bilang kalau Tante Jisoonya pergi," ucap Seokjin mencoba sabar. "Jangan rewel!Anak cowok jelek kalau manja dan rewel. Om gak akan beliin Ubin es krim kalau masih tetep rewel."

Soobin kini diam, matanya berkaca-kaca. Anak itu tengah berusaha menahan tangisannya karena takut pamannya marah dan tidak jadi membawanya untuk membeli es krim. Bahkan anak kecil yang masih polos saja tidak bisa berkutik melihat tatapan tajam Seokjin.

Seokjin menghela nafas seraya menatap Soobin, tatapannya melembut dan teduh, kemudian mengusap kepala anak itu lembut penuh afeksi. Ia jadi merasa kasihan pada keponakannya yang begitu menginginkan Jisoo untuk menemaninya bermain.

"Ubin, jangan nangis. Dengerin Om Seokjin, Tante Jisoo gak suka dan gak akan mau main sama anak yang cengeng." ucapnya, berharap omong kosongnya di percaya oleh Soobin.

"Tante Chichu pelrgi karena Ubin cengeng ya, Om?"

Seokjin mengangguk, tangannya masih setia mengusap kepala anak itu.

"Tante Chichu gak akan pelrgi lagi kalau Ubin gak cenggeng?"

Kini, Seokjin mengangguk dengan ragu. Seandainya Soobin mengerti kalau Jisoo pergi dan mungkin tidak akan kembali.

"Ubin kangen Tante Chichu." ucap anak itu sendu.

Menghela nafas, Seokjin bergerak memeluk tubuh kecil Soobin dan menepuk-nepuk punggungnya pelan. Berharap dengan begini Soobin menjadi lebih tenang dan lebih baik.

Anak kecil yang cuma tahu makan, tidur dan main aja kangen kamu, Ji. Apalagi aku.

▫️▫️▫️

Siang berikutnya, Seokjin baru saja terbangun dari tidurnya di lantai kamar di hadapan sebuah TV, ia begadang bermain PS hingga akhirnya tak sengaja tertidur tanpa sadar. Posisi tidurnya benar-benar tidak nyaman sehingga membuatnya sedikit pegal-pegal di area tertentu, kepalanya juga pening.

TV di hadapannya masih menyala,  menampilkan sebuah kekalahan dari sebuah permainan yang di mainkannya. Seokjin meringis, mengerjap-ngerjapkan matanya mencoba mengumpulkan kesadarannya sepenuhnya.

Drttt... Drttt...

Ponselnya yang berada dalam mode getar itu terus bergetar, layarnya menyala menampilkan sebuah nama seseorang yang menghubunginya. Dengan rasa pening dan pegal serta kesadaran yang masih belum sepenuhnya terkumpul, Seokjin meraih ponselnya yang tergetak di lantai. Melihat nama pemanggil sekilas, kemudian menjawab telepon tersebut.

"Jin, lo dimana?" tanya seseorang, latar suaranya cukup ramai oleh alat musik yang sepertinya iseng di mainkan.

"Dirumah." jawabnya dengan parau.

"Hah? Eh woi, lo lupa apa gimana? Sore ini grup kita ada jadwal manggung di acara nikahan." katanya mengingatkan.

Seokjin meringis. "Iya, gue tahu. Sore ini, masih lama."

"Latihan dulu, pinter. Apa-apa itu harus di persiapkan dulu meski hal kecil."

"Iya-iya. Lo dimana sekarang, Wen?" tanya Seokjin, bangkit dari posisinya seraya melirik jam dinding yang menunjukan pukul 1 siang. "Gue baru bangun betewe."

"Si gila, parah lo ya jam segini baru bangun. Orang-orang jam segini udah pada menghasilkan sesuatu, sementara lo baru bangun. Ketinggalan lo! Gak pusing apa lo tidur mulu?"

"Ya pusing."

"Ya rasain."

Seokjin berdecak. "Yaudah, gue otw bentar lagi."

"Buruan jangan lama!"

Sambungan telepon di putuskan oleh Wendy secara sepihak. Seokjin menjauhkan ponselnya dari telinga seraya duduk di bibir kasur, melihat cukup banyak notifikasi yang masuk dari berbagai orang di beberapa waktu.

Ada notifikasi yang menyita perhatiannya saat itu juga. Jarinya langsung bergerak membukanya hingga langsung nenampilkan ruang obrolannya dengan Jisoo. Terdapat cukup banyak pesan suara yang di kirim gadis itu di pukul 3 dini hari, yang saat itu dirinya sudah tertidur tanpa sadar. Hal itu membuat kening Seokjin mengerut samar serta bertanya-tanya dalam benaknya. Untuk apa Jisoo mengirim banyak pesan suara untuknya?

Karena rasa penasaran dengan isi dari pesan suara yang Jisoo kirim, Seokjin mengurungkan niatnya untuk segera mandi karena harus segera bertemu dan berlatih dengan teman-teman grup musiknya. Dengan ragu dan mungkin sedikit tegang, ibu jarinya menekan ikon play pada salah satu pesan suara tersebut yang berada di urutan paling pertama.

Seokjin menambah volume suara ponselnya hingga penuh agar dirinya dapat mendengar dengan jelas suara Jisoo yang kini mulai menyapa indra pendengarannya, bersamaan dengan jantungnya yang berdebar lebih cepat dari sebelumnya.

Hatinya tidak bisa berbohong bahwa, Seokjin benar-benar merindukan suara Jisoo.

'Hai, Seokjin, hehe.' sapa Jisoo dengan sedikit kaku. 'Sebelumnya, maaf kalau kamu kebangun sama notif dari aku yang ganggu kamu subuh-subuh begini. Aku cuma pengin bicara di waktu yang bener-bener tenang dan hening. Dan yah, selain itu aku memang gak bisa tidur.' terdengar suara tawa Jisoo yang lirih.

'Udah lama ya kita gak saling kirim voice note? Masih inget gak? Dulu waktu aku sakit, kamu pernah nyanyiin aku sambil gitaran lewat voice note, dan sampai saat ini aku masih simpen audio suara kamu, kadang suka dengerin ulang karena suara kamu bikin aku merasa tenang dan sedikit lebih baik walau durasinya kurang dari satu menit. Jujur... Aku kangen. Aku kangen suara serak kamu di voice note. Dan —ah ya, aku kangen kamu yang terkadang suka iseng tiba-tiba video call waktu pagi-pagi, sebelum aku bangun.' Jisoo tertawa kecil. 'Aku gak tahu tujuan kamu apa yang kadang-kadang suka iseng video call gitu.'

Seokjin sangat ingat tentang itu. Tentang dirinya yang terkadang iseng dan tiba-tiba menghubungi Jisoo dengan video call saat pagi-pagi sekali. Dan tujuan Seokjin melakukannya saat itu adalah, ia hanya ingin melihat wajah Jisoo ketika bangun tidur.

Ya, hanya itu. Sebuah hal kecil yang sebenarnya membuat Jisoo bertanya-tanya.

Pemuda itu beralih pada pesan suara yang kedua dan mulai mendengarkan kembali.

'Terkadang, aku gak paham sama jalan pikiran kamu, Jin. Kamu susah di tebak dan bikin aku bingung sendiri. Kadang kamu cuek, kasar, irit ngomong seolah gak peduli sama aku. Dan sekalinya ngomong suka bikin sakit hati. Tapi di waktu tertentu dan gak terduga, kamu bisa bersikap manis, cerewet, peduli dan posesif. Kamu sendiri sadar gak dengan sikap kamu yang berubah-ubah kayak gitu? Aku bingung tahu!' protes Jisoo yang di akhiri dengan suara tawa lagi.

Terdengar Jisoo yang bergumam panjang seolah sedang berpikir dan menyusun kalimat terbaik untuk melanjutkannya. Dan Seokjin masih setia menunggunya, mendengar setiap hembusan nafas gadis itu yang terdengar samar.

'Mungkin, kamu udah sangat muak denger kata ini dari aku, tapi... Aku bener-bener minta maaf, Seokjin. Maaf, aku minta maaf sama kamu. Entah harus berapa kali aku harus minta maaf sama kamu, karena rasanya kata maaf aja gak cukup untuk memperbaik semuanya dan membuat keadaan membaik. Kita gak akan sama kayak dulu lagi.' ujarnya dengan lirih dan terasa menyakitkan di kalimat terakhir. Seokjin dapat merasakannya.

'Aku salah, aku sumber kesalahan disini. Seharusnya aku percaya sama kamu sejak awal, seharusnya aku gak pernah meragukan hubungan kita, meragukan perasaan kamu. Maaf karena aku pernah meragukan perasaan kamu, seharusnya aku lebih mengerti kalau kamu punya cara berbeda untuk menunjukan perasaan kamu.' samar-samar, Seokjin mendengar suara isak tangis lirih yang tertahan. Dan hal itu membuat hatinya sakit dan sesak.

Jisoo belum bicara lagi setelah menyelesaikan kalimat terakhirnya dengan lirih. Yang hanya Seokjin dengar setelahnya hanyalah suara hembusan nafas yang seolah tercekat, seolah menahan sesuatu agar tidak keluar. Ya, Seokjin paham Jisoo tengah menahan tangis sekuat tenaganya.

Cukup lama Jisoo terdiam bersama deru nafasnya, pesan suara itu berakhir. Seokjin beralih pada pesan suara berikutnya yang masih tersisa. Ia tidak mengerti dengan apa yang tengah ia rasakan saat ini setelah mendengar suara Jisoo di beberapa pesan suaranya.

'Ma-maaf...' ucapnya yang nyaris tak terdengar. Namun setelahnya, Seokjin dapat mendengar kekehan Jisoo. 'Kamu pasti udah muak denger kata ini dari aku 'kan? Ya, seandainya ada kata yang lebih baik dan tepat dari kata maaf, aku gak akan bilang kayak gitu terus-menerus sama kamu. Aku tahu gak mudah buat kamu untuk maafin aku, tapi tolong maafin aku ya, Seokjin.'

'Selain ingin minta maaf, lewat pesan suara ini aku juga ingin bilang makasih. Makasih untuk semuanya, semua yang pernah kamu berikan dan lakuin untuk aku. Makasih udah memberikan beberapa kenangan yang berkesan untuk aku.' Jisoo memberi jeda dengan helaan nafas. 'Mungkin kamu lupa, tapi aku masih inget sama hal-hal kecil dari kamu. Kamu selalu nolak dan marah kalau di ajak jalan setiap sabtu malam, alasannya macet dan kamu gak suka suasana rame yang berisik. Tapi sebagai gantinya, kamu selalu dateng nerobos kamar aku lewat balkon sambil bawa satu box besar chiken dan susu karamel setiap sabtu malam. Terus nonton Netflix berdua sampe tengah malem sambil habisin satu box chiken.'

'Ya, walau terkadang kamu gak ikut nonton dan makan. Kamu malah main game di pojokan deket stop kontak kalau kamu lagi bete tanpa sebab, dan aku di cuekin sampe kamu pulang. Tapi aku seneng karena kamu masih mau nyempetin waktu buat beliin aku chiken, susu karamel dan datang ke kamar aku lewat balkon.' Jisoo tertawa, kali ini lebih terdengar jelas dari pada sebelumnya. 'Sumpah ya, aku masih gak percaya kamu manjat sampe ke kamar aku meskipun aku sendiri pernah berkali-kali nyobain sama kamu kalau pulang kemaleman. Ahh! Aku jadi kangen manjat sama kamu ke kamar aku yang dulu. Kita tuh serasa kayak maling tahu gak?' Jisoo tertawa lagi. Dan hal itu membuat Seokjin tersenyum sendu serta kembali mengingat hal yang di ceritakan Jisoo.

'Masih banyak lagi sebenernya yang aku inget dan gak akan pernah aku lupain tentang hal-hal kecil yang kamu lakuin dan berikan untuk aku. Dan —ah ya, waktu kita touring bareng temen-temen kita. Kamu tahu? Yang paling indah dan berkesan menurut aku adalah, saat kita tidur menghadap jutaan bintang. Itu bener-bener hal terindah dan berkesan yang gak akan pernah aku lupain. Kalau boleh, aku ingin kayak gitu lagi. Tapi aku sadar, itu gak akan mungkin.'

Tangan Seokjin terkepal kuat bersamaan dengan pesan suara yang berakhir. Dengan cepat seolah tak sabar, Seokjin memutar pesan suara berikutnya.

'Aku bener-bener buruk karena menghianati kamu. Meski aku pernah melakukan kesalahan karena ragu sama perasaan kamu, bukan berarti aku gak sayang sama kamu, Jin. Aku bener-bener sesayang itu sama kamu sampai aku selalu takut sama kemungkinan-kemungkinan yang gak di inginkan saat kamu deket sama orang lain, terutama Sana. Jujur, aku sempet iri sama dia karena kalian satu tipe, satu pemikiran dan punya hobi yang sama. Karena iri, aku sampai kesel sama dia dan labrak dia waktu itu. Tapi seminggu setelah itu, tanpa sepengetahuan kamu, aku udah minta maaf kok sama dia. Dan dia juga minta maaf sama aku. Ya gitulah, kita saling maaf-maafan akhirnya, hehehe.'

'Ah, aku sampe lupa soal ini. Cara kamu ungkapin sesuatu itu bener-bener kelewat beda ya. Jujur, setiap aku bilang kalau aku sayang sama kamu di chat dan kamu selalu bales pake sederet angka, aku kira itu cuma pengalihan karena kamu gak mau bales. Tapi ternyata, itu kode kalau di balik angka-angka itu sebenernya kamu balas ungkapan aku. Aku udah tahu sekarang, dan aku sempet gak nyangka. Kamu bener-bener punya cara yang beda. Bahkan saat kamu nembak aku di tengah jalan lampu merah, aku gak ngerti apa yang di pikiran kamu saat itu. Yang jelas, aku akan selalu mengingat hal itu. Mengingat semua hal yang pernah kamu —kita lakukan.

Makasih, Seokjin. Makasih banyak untuk semuanya. Aku sayang sama kamu, Seokjin. I love you —ah, bukan. Tapi satu, empat, tiga.' Jisoo terkikik. 'Sori, aku cuma tahu kode angka yang semua orang udah tahu.

Semoga kamu selalu dalam keadaan sehat, bahagia dan hari-hari kamu menyenangkan. Makasih karena pernah menjadi bagian dari hidup aku. I love you, Seokjin. Satu, empat, tiga buat kamu sebanyak-banyaknya, hehehe.'

Pesan suara tersebut berakhir dan itu adalah yang terakhir. Dan tanpa membuang waktunya lagi, Seokjin beranjak dari tempatnya, menyambar jaket dan memakainya dengan cepat. Ia memilih kunci motor kali ini, untuk mempercepat dirinya sampai ke tujuan.

Dan tujuannya sekarang adalah, rumah Jisoo.

Ya, Seokjin harus menemui Jisoo sekarang juga.

▫️▫️▫️

Seokjin benar-benar frustasi di sepanjang jalan setelah dirinya mendatangi rumah Jisoo. Alih-alih bertemu dengan Jisoo, Seokjin malah mendapat kabar tak terduga dari sepupu gadis itu dan membuatnya melajukan motornya dengan kecepatan penuh membelah jalan raya.

Sepupunya mengatakan kalau Jisoo pindah keluar kota dan akan tinggal bersama Neneknya. Dan beberapa menit sebelum sebelum Seokjin tiba, Jisoo telah berangkat ke stasiun terlebih dulu. Hal itu membuat Seokjin bergegas sebelum terlambat. Ia benar-benar harus bertemu dengan gadis itu sekarang juga.

Pemuda itu berlari memasuki stasiun, berlarian seperti orang gila yang kehilangan arah seraya mencari keberadaan Jisoo di tengah orang-orang yang berlalu lalang dari berbagai arah. Seokjin mengacak rambutnya frustasi dengan nafas yang tersenggal dan sudut matanya berair tanpa dirinya sadari. Ia masih belum menemukan Jisoo dimanapun. Kecuali di dalam kereta.

Seokjin akan mencari Jisoo bahkan masuk ke dalam kereta sekalipun. Namun, Seokjin terlambat karena yang akan di tujunya melaju perlahan meninggalkan stasiun. Dan itu adalah kereta terakhir untuk keberangkatan siang ini.

"JISOO!"

Pemuda itu berlari mengejar kereta yang masih melaju dengan normal. Berlari sekuat tenaga seolah dirinya dapat menggapai dan menghentikan kereta tersebut. Kereta itu melaju semakin cepat hingga Seokjin benar-benar tak dapat lagi menyusulnya.

Langkah cepat Seokjin semakin melambat hingga berhenti dengan putus asa. Memandang kereta yang semakin menjauh hingga menghilang dari pandangannya yang kini mulai mengabur.

Tidak ada harapan lagi, Seokjin terlambat dan Jisoo telah pergi meninggalkannya.

Sementara itu, Jisoo memandang pemandangan di sampingnya melalui kaca kereta dengan sendu seraya memeluk boneka alpaca yang pernah ia ambil dari Seokjin dengan begitu erat.

Meskipun agak menyakitkan, namun Jisoo berharap bahwa keputusannya adalah yang terbaik.

— END —

Ini beneran ending kok aku gak nge prank:(

Aku gak nyangka cerita yang aku buat iseng ini udah di titik ending:') Btw, ini cerita aku yang pengerjaannya paling sebentar di antara cerita lainnya yang pernah aku buat, cuma 4 bulanan kalau gak salah wkwk.

Aku udah berusaha yang terbaik untuk ending ini, dan mon maap kalau endingnya kurang memuaskan atau mengecewakan.

Sesuai judulnya kan ya, pahit cuy. Maap kalau kepahitan:(

Nih aku kasih foto ke uwuan Jisoo dan Seokjin aja sebagai pemanisnya wkwk

Eh maap salah:(

Yang ini maksudnya😌

Btw, makasih banyak ya buat kalian yang udah ikutin cerita ini dari awal sampai akhir. Maaf kalau banyak kekurangan. Hal yang bagus dan baik dari cerita ini boleh kalian ambil, dan hal yang jelek dan gak bagus dari cerita ini mohon di tinggalin aja, jangan di contoh. Aku tahu pembacaku semua pada cerdas❤️

Butuh extra part? Silahkan spam komen terlebih dulu, nanti aku kasih🤣

Dimanapun kalian berada, semoga bahagia, sehat dan selalu dalam lindungan Tuhan. Aamiin!

Jangan lupa banyak minum air putih, biat sehat dan glowing wkwkwk

See u dear, and have a nice dream!🖤

Scroll pls


👇🏻

👇🏻

















































Oke, untuk kalian yang baru baca Bitterlove dan berpikir kalau cerita ini udah bener-bener end, aku mau ngasih tau aku kalau ini emang gak ada extra partnya. Tapi aku bikin sekuelnya dan udah aku publish. Jadi, langsung aja cek profil aku, judulnya Betterlove. Jangan lupa akunya di follow juga ya😀💞

Thanks and see you there!

Pokračovat ve čtení

Mohlo by se ti líbit

219K 33.2K 60
Jennie Ruby Jane, dia memutuskan untuk mengadopsi seorang anak di usia nya yang baru genap berumur 24 tahun dan sang anak yang masih berumur 10 bulan...
1.3K 187 6
Sinkat saja,kisah ini menceritakan tentang antara ELKAIRI ABGAREL GATHENA dan GRIZEA SHEYZA JESSLYN Mereka adalah dua sahabat kecil yg tidak terpisah...
83.4K 7K 29
[Random private! follow first before reading] When Jagara Tarendra find a girl who can change his opinion about life. When Oriza meet a men who alway...
439K 44.6K 37
Menceritakan tentang seorang anak manis yang tinggal dengan papa kesayangannya dan lika-liku kehidupannya. ( Kalau part nya ke acak tolong kalian uru...