'Cause I ain't tryna be the one
Been through this a thousand times
I don't need to take your heart
You keep yours, I'll keep mine
***
"Gak jelas banget kan?" tanya Anna kepada kedua sahabatnya yang sedang main di apartemennya setelah menceritakan kejadian dengan Pak Harry kemarin.
Yang ditanya malah melongo.
Dipo mengkerutkan keningnya. "Lo yang gak jelas anjir. Ngapain juga ngintip?"
"Ya gue ngintip karena penasaran. Lagian gitu doang dianya langsung ngambek."
Bahu kanan Anna disentuh Desi. "Na. Ya wajar lah Pak Harry marah. Gue juga marah kalau diintip-intip."
Dipo mengangguk.
Anna tidak bisa mengelak lagi. Sebenarnya, jauh di lubuk hatinya yang paling terdalam dia juga mengakui bahwa perbuatannya itu salah. Namun yang tidak dia terima adalah, Pak Harry yang marah-marah kepadanya.
Kemarin setelah mereka berbaikan, Pak Harry langsung ke kamarnya dan Anna juga langsung masuk ke kamarnya sendiri. Namun setelah setengah jam, pintunya diketuk dan Pak Harry mengajaknya untuk mencari bakso terenak di sekitar apartemennya.
Awalnya Anna berniat untuk menolak, namun setelah dipikir lagi atas kejadian sebelumnya akhirnya Anna menerima.
Jadinya mereka jalan keluar apartemen, makan bakso di depan apartemen, kembali ke apartemen. Bahkan saat makan mereka juga tidak mengobrol. Pak Harry malah asyik bermain dengan HPnya. Sementara Anna yang tidak membawa HP karena sedang dicas, hanya memainkan sedotan di depannya.
Dipo membuka kulkas Anna dan mengambil cemilan keripik kentang yang ada disana bersama dengan cemilan lain.
"Terus kalian ngobrol apa pas ngebakso?" tanya Dipo di sela-sela kunyahannya.
"Gak ada. Gak jelas. Main HP doang."
"Orang tua emang udah gak jelas kali. Apalagi jomblo."
Anna menggeleng. "Gue masih yakin wanita itu pacarnya."
"Lo gak nanya sih kemarin!"
"Buat apa? Gak penting juga lagian."
Desi dan Dipo saling menatap lalu mengerutkan bibirnya dan mengangguk kecil.
"Terserah lo deh."
Anna menatap Dipo yang sekarang sedang menghabiskan gelas berisi es teh lemon.
"Dip."
Jujur, beberapa hari belakangan ini ada yang berbeda dari Dipo. Anna dan Desi menyadari hal itu. Biasanya, aura Dipo seperti tidak ada beban. Santai. Terlalu santai jika dipikir-pikir. Dipo suka sekali membuat kelas tertawa dengan guyonannya. Bahkan Dipo menyandang class clown.
Namun, sekarang seperti ada yang beda. Dipo tidak secerita dulu. Saat pelajaran dia suka melamun. Memang masih suka melontarkan candaan, tapi dalam sehari bisa dihitung. Berbeda dengan yang dulu pasti selalu bercanda setiap menit
"Lo lagi ada masalah ya?" tanya Anna pelan-pelan.
Dipo tersentak. "Hah?"
Desi menimpali. "Kamu beda belakangan ini."
"Beda gimana?"
"Kamu...lebih diam."
Dipo menatap Desi dengan bingung. "Diam gimana sih, Des? Aku kaya biasanya loh."
"Tatapan lo beberapa terakhir ini kaya kosong gitu Dip. Kaya gak ada gairah hidup lagi. Lo lagi mendam sesuatu ya? Atau lagi ada masalah? Kenapa? Diba?" Anna menanyakan adik tentang adik dari Dipo yang sekarang sedang sekolah di luar negri.
"Diba? Kok Diba sih? Gue biasa aja tahu. Nih liat." Dipo memamerkan deretan gigi putihnya.
Anna dan Desi tetap menatap Dipo tidak percaya.
"Waktu kemarin gue liat lo buang rautan, muka lo toh kaya banyak beban banget Dip. Ayolah. Kapan sih lo bisa bohongin kita?"
"Dip, kenapa? Cerita aja."
"Kita juga gak bakal kasih tahu siapa-siapa, kok." sambung Anna.
Tangan kanan Dipo dinaikkan dan membentuk angka dua. "Suwer gue gak apa-apa. Kalian yang kenapa sih?"
Tapi Anna dan Desi tetap tidak percaya. Mereka sudah sahabatan terlalu lama untuk mengetahui satu diantara mereka berbohong. Mereka sudah terlalu sering berbarengan untuk mengetahui kebiasaan satu dengan yang lain sehari-hari.
Saat Anna datang bulanpun, hingga Dipo sudah paham.
Mereka sudah memiliki ikatan batin, atau apapun itu yang membuatnya bisa merasakan penderitaan yang dialami oleh yang lain.
Singkatnya begitu.
"Lo tahu kan kalau lo gak bisa bohongin kita. Surprise buat Desi kemarin aja ketahuan."
"YA ITU KETAHUAN GARA-GARA LO CEPU."
"GUE GAK SENGAJA YA."
"YAUDAH."
"DIP."
"NA."
"DIP."
"NA."
"DIP."
Desi menengahi. "Iiiih udah-udah. Gak cape apa kalian teriak-terian gak di sini gak di sekolah? Lama-lama kalian yang jadian deh." Desi mengerutkan bibir.
Tawa Anna meledak. "Des jangan cemburu hahaha."
Dipo meraih telapak tangan Desi. "Ya enggak lah Des. Gak mungkin aku sama monyet kurapan kaya dia. Lagian kan dia juga udah sama Pak Har— ADOH"
Ternyata Anna memukul paha Dipo dengan keras yang pasti akan menyisakan memar berwarna biru. Desi hanya terkikik melihatnya.
"Sorry. Sengaja." kata Anna tajam.
Dipo mengelus-elus pahanya sambil meringis.
"Yaudah deh Dip, kalau kamu gak mau cerita sama kita."
Dipo terdiam.
"AHA BERARTI BENER KAN LO ADA SESUATU?" teriak Anna sambil menunjuk Dipo.
Tidak biasanya Dipo seperti ini. Jika memang Dipo tidak ada apa-apa, pasti Dipo langsung mengelak dan sumpah demi Tuhan. Tapi tidak kali ini. Dipo hanya terdiam yang makin meyakinkan Anna dan Desi bahwa Dipo menyimpan sesuatu.
"Dip, lo gak kaya biasanya. Kita tahu ada sesuatu yang menimpa lo."
Desi mengangguk. Dipo membuang muka.
Anna mendekati tempat Dipo dan Desi duduk di lantai sebelah sofa. "Kenapa?" tanyanya sambil menatap lurus ke wajah Dipo.
"Dip..." Desi meraih tangan Dipo dan mengelusnya. Sementara Dipo seperti tidak ingin menatap kedua sahabatnya itu.
Anna dan Desi menatap satu sama lain. Mereka berpikir mungkin bukan saatnya hari ini untuk Dipo menceritakan masalahnya. Karena setahu mereka, jika Dipo ingin bercerita tentang sesuatu pasti Dipo akan langsung menceritakannya. Tak perlu paksaan.
Mungkin ini beda. Mungkin ini lebih berat.
Sewaktu dulu, Dipo bahkan pernah bercerita hingga nyaris menangis bahwa Papanya pernah kepergok jalan dengan wanita yang jauh lebih muda di kawasan pusat perbelanjaan. Ternyata wanita itu adalah adiknya dari kakeknya hasil hubungan gelap dengan wanita lain. Mamanya juga sudah tahu. Sayang, neneknya sudah meninggal duluan sebelum mengetahui kejadian ini. Akhirnya adik dari Papanya itu yang bernama Tante Vina dikenalkan ke keluarga.
Anna menghela nafas. Tidak ada gunanya dia terus memaksa Dipo yang sepertinya tidak akan menceritakan apa yang dia alami.
"Yaudah Dip kalau emang lo belom siap. Tapi lo perlu tahu kalau lo gak perlu takut dan kita selalu ada di sini, ya kan Des?"
Dibalas oleh anggukan Desi yang memeluk Dipo.
Ujung bibir Dipo tersenyum. Tangannya memegang lengan Desi yang sedang memeluknya.
"Kalau gue kasih tahu, apa kalian gak kaget?" tanya Dipo kepada dirinya sendiri.
Anna dan Desi saling menatap heran.
"Gue terlalu takut dan malu untuk bicarakan ini sama kalian. Gue takut dan malu."
"Dip. It's okay. Aku akan nunggu sampai kamu siap. Gak harus sekarang." kata Desi dengan lembut. Pelukan ke Dipo semakin erat.
Anna ikut-ikutan memeluk mereka.
"Kita di sini Dip. Gak akan pergi."
***
Halo semwaa
((Apakabar? Sehat kan? Sehat dong!
Aku baru dapet kabar menyedihkan kalau sidang ditunda huhuhu. Ayodeh tetep semangat!))
Update: sekarang sudah di penghujung Oktober, mendekati November. Semoga ada kabar baik ya untuk kita semua!
x0x0,
Ariana