TIGA BELAS JIWA

De slsdlnrfzrh

1.3M 188K 71K

Cerita ini adalah penggalan kehidupan dari tiga belas jiwa yang bekerja di rumah sakit jiwa. Kalian akan mene... Mai multe

Tiga Belas Jiwa
[SC] Raga
[JH] Johan
[JS] Joshua
[WJH] Arel
[KSY] Catra
[JWW] Dipta
[WZ] Khrisna
[DK] Arthur
[KMG] Pram
[XMH] Mada
[BSK] Gatra
[VN] Vernon
[DN] Dino
1.1 Raga
1.2 Johan
1.3 Joshua
1.4 Arel
1.5 Catra
1.6 Dipta
1.7 Khrisna
1.8 Arthur
1.10 Mada
1.11 Gatra
1.12 Vernon
1.13 Dino
2.1 Raga
2.2 Johan
2.3 Joshua
2.4 Arel
2.5 Catra
2.6 Dipta
2.7 Khrisna
2.8 Arthur
2.9 Pram
2.10 Mada
[Special Part] Manjiw Squad Girls
2.11 Gatra
2.12 Vernon
2.13 Dino
3.1 Raga
3.2 Johan
3.3 Joshua
3.4 Arel
3.5 Catra
3.6 Dipta
3.7 Khrisna
3.8 Arthur
3.9 Pram
3.10 Mada
3.11 Gatra
3.12 Vernon
3.13 Dino
4.1 Raga
4.2 Johan
4.3 Joshua
4.4 Arel
4.5 Catra
4.6 Dipta
4.7 Khrisna
4.8 Arthur
4.9 Pram
4.10 Mada
4.11 Gatra
4.12 Vernon
4.13 Dino

1.9 Pram

15.4K 2.7K 713
De slsdlnrfzrh

Pram

'Kayak yang gak ada cewek lain aja lu, ngejar-ngejar yang gak mau.'

Ya, gimana ya?

Kalo kata hati gue keukeuh pengen sama Ainun, gue bisa apa?

Banyak yang bilang gak pantes, Ainun baik dan alim sedangkan gue mirip cowok yang seneng kelayapan. Gak salah sih, tapi kalau misal gue memang ditakdirkan buat Ainun, gue bisa kok merubah diri jadi pribadi yang lebih baik lagi. Lagian di dunia ini gak ada yang gak mungkin. Yang namanya cewek kalau diperjuangin terus terusan juga nanti luluh sendiri. Contohnya Ainun, perlahan-lahan pertahanannya juga mulai retak karena gue dobrak melulu.

Setelah mengantar pasien gue yang nyayat tangannya sendiri pake pisau buah ke UGD, gue bergegas pergi untuk menemui Ainun. Tampaknya gue bakalan telat banget, janjian jam setengah tujuh dan jam enam lebih dua puluh gue masih susah payah ngeluarin mobil dari parkiran sempit sebelah gedung UGD. Jaket gue berdarah-darah pula karena si Ella— pasien penderita RTS itu, mau kaosan doang nanti yang ada gue disarungin sama Ainun gara-gara badan gue ngebentuk kayak gini.

Layaknya orang kesetanan, gue menjalankan mobil dengan kecepatan yang terhitung tinggi. Janjiannya di kafe depan komplek perumahan Ainun, sialnya malem ini macet banget sampe gue harus tiba kesana dalam empat puluh lima menit. Hape gue lowbatt, mau di charge di mobil pun rasanya percuma karena kabelnya ketinggalan. Untung pas gue nyampe di kafe kecil itu, Ainun masih ada walau mukanya udah kusut kayak jemuran baru diangkat.

"Maaf telat, maaf banget." Ucap gue sambil mohon-mohon kearahnya.

Perempuan itu mendengus, dia tidak melihat gue sama sekali dan cuma menyuruh gue duduk. "Duduk dulu, Mas, Caramel Macchiato-nya udah gak dingin soalnya kelamaan."

"Gak apa-apa, saya minum kok." Untuk menghargai niat baiknya yang telah memesankan gue minuman, akhirnya gue meminum isi dalam gelas tinggi itu sampai habis setengahnya— haus juga sih. Gue menyimpan jaket diatas meja, tanpa gue duga Ainun memperhatikan pergerakan gue hingga akhirnya dia sadar bahwa ada noda merah nyaris hitam di lengan jaket denim tersebut.

"Kayak darah." katanya sambil menarik jaket gue. Dia melihatnya sebentar, lalu dalam sekejap perempuan itu berubah panik seraya mencondongkan tubuhnya untuk bisa melihat tangan kanan gue.

"Eh, Mas Pram nggak luka." Gue menggoyangkan tangan dengan cepat, kemudian menunjukkan lengan gue kepadanya yang saat itu cuma dilapisi kaos panjang fit body. "Tuh, gak kenapa-napa."

"Ini darah apa?"

"Tadi pasien Mas Pram mau bunuh diri, berdarah-darah terus Mas bawa ke UGD deh, gak sadar darahnya kena, banyak soalnya."

"Astagfirullah, aku pikir Mas luka." Bahunya melemas seketika, dia langsung mengusap dadanya sendiri lalu meminum Latte yang dia pesan. Barusan Ainun khawatir sama gue kan? Duh, coba aja kalau gue luka beneran, pasti gue bisa liat muka paniknya lebih lama lagi.

"Ada apa sih, Mas? Aku tadi baru pulang, makanya cuma pake baju ini. Lagian kenapa gak ke rumah aja?" Gue yang baru sadar kalau Ainun cuma pakai piyama kebesaran plus hijab instan itu langsung menahan tawa. Kasian nunggu lama, pasti diliatin orang-orang karena stylenya aneh gini. "Biasanya juga kan ke rumah, kenapa tiba-tiba minta ke kafe ini coba? Udah malem tau."

"Soalnya kalo di rumah ada Abi kamu." Jawab gue jujur. Masalahnya nih ya, tiap gue ngapelin Ainun, pasti Abinya jadi security yang ikutan nimbrung juga di ruang tengah. Bukannya ngerayu Ainun atau apa, gue malah berujung ngomongin kinerja menteri dan kasus Jiwasraya bareng Abinya. Ainun? Dianggurin lah, fokus sama hape.

"Kan biasanya juga ada Abi."

"Ay," ini panggilan gue buat Ainun; Ay. Bukan Ayang, tapi lebih ke nama depannya aja sih. Ai, Ay, enak aja gitu manggilnya, lagian Ainun juga gak keberatan gue panggil demikian. "Mas Pram mau lamar kamu." ucap gue yang sontak membuat mata besar Ainun membulat.

"Y-ya ... ke rumah, bilang ke Abi."

"Gak mau." Gue menyela, "Mas Pram harus nanya ke kamu dulu, kira-kira kamu mau gak? Percuma dapet acc dari Abi sementara kamunya nggak mau dilamar sama Mas Pram. Makanya Mas Pram minta ketemu diluar, Mas Pram cuma pengen denger jawaban kamu aja kok, Ay."

"Abi yang jawab, Mas." Keukeuhnya.

"Gak bisa, harus kamu yang jawab." Gue gak kalah batu. "Ay tau kan kalo Mas Pram serius? Mas bukan ngajak pacaran loh, Ay, tapi nikah. Atau gini deh, kalau misal Ay masih suka sama Arthur, Mas Pram kasih waktu buat kamu nanya ke Arthur. Mas gak pernah larang Arthur buat suka ke kamu, Mas malah selalu nanya ke Arthur kalau misal dia suka kamu ya kita harus saingan secara sehat."

"Mas tau Ay baper sama Arthur, Mas tau kok. Tapi Ay bisa pertimbangkan lamaran Mas Pram gak? Mas Pram tunggu sampe besok deh, ya? Kalo misal Arthur jujur ke kamu bahwa dia juga suka kamu dan bisa gantiin Mas, Mas mundur. Gimana?"

Ainun terdiam, yang dia lakukan cuma meremas jaket gue yang masih berada tepat dihadapannya dengan kencang. Baru kali ini Ainun berani menatap mata gue, padahal sebelumnya dia selalu tertunduk atau melihat gue ketika gue tidak sedang melihatnya. Asal lo tau deh, Ay, baru kali ini gue mati-matian ngejar perempuan. Gue gak lagi terdorong sama tuntutan Ibu, tapi gue beneran suka sama lo makanya gue sampe rela ngejatuhin harga diri kayak gini.

"Maaf, Mas."

Gue pikir dia menolak lamaran gue secara halus, tapi rupanya enggak.

"Maaf kalo aku masih ngeliatin seberapa ngarepnya aku sama dokter Arthur."

Pengen deh gue usap punggung tangannya, atau minimal ngeliat matanya lagi gitu supaya dia gak usah khawatir berlebihan kayak gini. Tapi gue gak bisa, gue gak bisa sedikit saja bersikap brengsek apalagi ceweknya itu Ainun.

"Kalo kamu udah mutusin mau nerima atau enggak, cepetan kasih tau Mas ya. Nanti Mas mau telepon Ibu, biar ngadain lamaran resmi ke rumah kamu."

Yang gue dapatkan malam itu adalah sebuah anggukan dari kepalanya. Gue gak akan mundur, Ay. Dan lo ... lo juga gak akan mungkin akan lepas dari pesona seorang dokter Pram Ibrahim.

***

Selama di RSJ, gue mondar-mandir terus mirip orang linglung. Sesekali ngecek hape, geter dikit langsung dibuka padahal dari Line Today sama grup wasap. Gue gak pernah sealay ini, tapi hari ini gue bikin status yang isinya 'Guys, doain lamaran gua diterima Ay Ay yak' di wasap dengan mengecualikan Ainun dari daftar privasi. Gila aja lu kalo Ainun tau, bisa-bisa gue diceramahin karena katanya yang begituan tuh gak perlu buat dipublikasikan.

"Dok, pasien di Anggrek 1 demamnya belum turun."

"Hah? Kok bisa?"

Perawat yang menghampiri gue langsung cengo, gue baru sadar kalo pertanyaan gue bodoh pake banget. Setelah tercengir canggung kearahnya, gue langsung berjalan menuju bangsal rawat inap tenang yang terdiri dari beberapa ruangan ini. Anggrek 1 ditempati sama empat orang, tiga diantaranya baik-baik aja dan bahkan udah punya jadwal rehab ke Instalasi Rehabilitasi Mental. Sementara yang satunya ... inget gak sih insiden berdarah kemaren?

Gue membuka ponsel untuk menghubungi perawat diluar, meminta beberapa peralatan guna memeriksanya lebih lanjut lagi. Ella menggigil, dan gue rasa itu diakibatkan oleh lukanya yang lumayan besar itu. Saat gue cek, suhu tubuhnya ada di angka 38,5° celcius. Tekanan darahnya normal, lukanya juga gak apa-apa alias gak berdarah lagi ataupun bernanah karena infeksi.

"Kasih Paracetamol lewat infus, kalo dalam tiga jam belum reda, ambil darahnya buat di tes di laboratorium."

Perawat yang bertanggungjawab atas ruang Anggrek mengangguk, "Baik, dok." katanya. Langsung menghambur keluar untuk mengambil apa yang gue perintahkan.

Saat gue lagi mengatur tetesan infusnya, tiba-tiba aja mata perempuan yang bernama Ella ini terbuka. Dia melihat gue dengan mata sembabnya, dari sini gue yakin bahwa perempuan yang kata Arel merupakan teman satu SMA-nya ini habis menangis walau gak tau kapan tepatnya.

"Kenapa dokter nolongin saya sih? Saya kan mau mati."

Gue udah sering banget denger kalimat ini, bahkan yang terakhir gue dapatkan dari seorang remaja yang mengalami depresi berat karena perundungan di sekolah.

"Kamu gak akan mati kalo cuma loncat dari lantai dua atau gores tangan pake piso." Gue udah bilang kan kalau gue termasuk kedalam jajaran dokter nyebelin di Instalasi Rawat Inap? "Yang ada kamu makin tersiksa, El. Sakit iya, cacat iya, mati enggak."

Perempuan itu menangis lagi, padahal saat pertama bertemu dengan gue kondisinya gak keliatan se-down ini. Kadang gue bingung kalo ngehadepin pasien yang seumuran, soalnya di usia ini tuh kita lagi ada di fase yang ... udah capek dan putus asa banget lah sama kehidupan. Terlebih Ella ini korban pelecehan, hidupnya aja udah berat dan berkat kejadian ini semuanya jadi lebih berat lagi buat dia.

"Tapi saya kotor, dok, gak berhak hidup."

"Mau saya panggil Arel kesini supaya dia tau kamu kayak apa?" Kayaknya ini ancaman yang paling ampuh buat Ella. Buktinya sekarang perempuan itu langsung bungkam dengan pandangan yang tertunduk perlahan-lahan. "Gak ada yang kotor, gak ada satupun manusia yang gak berhak hidup. Kamu akan diperbaiki disini, El, jangan pesimis karena dunia akan semakin gak ramah sama orang yang merasa seolah-olah dirinya tidak punya harapan."

"Semangat, cuma itu satu-satunya cara supaya kamu bisa lepas dari ini."

Bersamaan dengan itu, perawat yang gue mintai satu ampul paracetamol masuk dengan beberapa barang yang gue minta. Perempuan itu gak lagi mengeluhkan apa-apa, malah sekarang dia meringis kemudian memejamkan matanya ketika cairan yang dimasukkan lewat suntikan ke selang infusnya itu mengalir bersama dengan darahnya. Tadinya gue mau mulai melakukan sesi terapi dan konsultasi, tetapi karena dia baru saja mengalami kecelakaan dan kondisi fisiknya lumayan mengkhawatirkan, sepertinya gue harus menunda sampai dia merasa baikan.

Jujur, gue benci banget sama lelaki yang beraninya merusak perempuan kayak gini. Kejantanannya tuh dimana sih? Gak habis pikir gue sama orang-orang yang senang melecehkan atau bermain dengan perempuan. Mereka pikir cewek itu mainan apa? Tanggung jawab dan harga dirinya sebagai lelaki disimpen dimana coba sampai-sampai tega berbuat seperti itu kepada mereka?

Disaat gue lagi melakukan visit pada beberapa pasien, ponsel gue bergetar dua kali yang menandakan kalau sekarang ada sebuah pesan yang masuk ke nomor gue. Gue sempat menundanya, tanggung soalnya dikit lagi juga beres. Baru setelah gue bisa santai sedikit di ruang dokter, gue membuka pesan tersebut yang ternyata datangnya dari ... AINUN?!

Mampus lo, Pram.

Giliran ditungguin aja kagak muncul, sekalinya muncul malah lo anggurin.

'Mas, Ainun tunggu di depan bangsal rawat inap.'

Tak peduli meski kaki gue kepentok ujung meja, gue langsung lari terbirit-birit menuju bagian depan gedung karena sejak sepuluh menit lalu Ainun nunggu disana. Hanya dalam dua puluh detik, mata gue berhasil melihat seorang perempuan dengan rok batik panjang sedang berdiri dekat pilar gedung utama. Tangannya dia lipat depan dada, sesekali dirinya menoleh ke bagian dalam gedung seperti berharap bahwa gue akan muncul dari sana.

"Ay, maaf, barusan ada visit pasien." Ucap gue dengan napas yang tersengal.

Perempuan itu tersenyum, seolah mengisyaratkan bahwa dia gak keberatan meski harus nunggu lama. "Gak apa-apa, Ay bisa nunggu."

"Kenapa gak nyuruh Mas Pram ke Rehab Mental aja sih? Kesini kan jauh, Ay."

"Sekalian pulang, Mas. Lagian gak lama, cuma mau kasih jawaban soal yang kemarin sama Mas Pram."

Jantung gue seakan berhenti ketika mendengarnya. Aliran darah gue terasa tambah deras sampai gue demam tiba-tiba. Tubuh gue membeku, apalagi ketika perempuan yang masih melipat tangannya itu berjalan beberapa langkah ke depan hingga posisi kita berdekatan.

"Ainun terima lamaran Mas Pram. Segera ke rumah bawa keluarga, kalau bisa minggu-minggu ini supaya Abi belum berangkat ngasih seminar ke Sri Lanka."

Gue diam,

Alih-alih merasa senang, gue malah merasa bahwa ini begitu mengganjal.

"Kok diterima?"

"Emang Mas Pram maunya ditolak?"

"Eh, nggak gitu!" Pekik gue kencang, "Cuma ... Arthur?"

"Mas Pram kan tau, dokter Arthur gak suka sama Ainun. Ainun tulus kok nerimanya, lillahita'ala malah. Jadi jangan kecewain Ainun ya? Apalagi kalau telat terus tiap ada janji, Ainun gak suka nunggu soalnya."

Lo gak suka nunggu tapi selalu saja nunggu.

Dasar cewek, ngapain lirik yang lain sih kalo yang serius dan tampan mapan aja udah tersedia didepan mata?

Hari itu juga gue langsung mengadakan selebrasi sama anak-anak di Manjiw Squad. Apa salahnya berbagi kebahagiaan walau gue tekor sampe satu juta cuma buat memenuhi kebutuhan pakan mereka? Gue juga langsung hubungin Ibu, tanpa ba-bi-bu lagi, dua hari kemudian keluarga gue langsung bawa rombongan buat lamar Ainun secara resmi didepan orang tuanya.

Woy, dokter Pram Ibrahim.

Gak nyangka kalau lo akan sejantan ini, bangga gue sama lo, sumpah.

***

"Ciaaaaa lamaran!"

"Sedep bener bentar lagi salah satu personil Manjiw Squad sold out! Hahaha!"

Berisik deh.

Lagian ngapain sih Arthur sama Catra pake mampir ke instalasi gue segala? Semalem, hape gue mendadak rame cuma karena gue fotoin Ainun yang udah nerima cincin dari gue. Ainun sih mintanya di keep silent aja, tapi gue orangnya Riya banget makanya gak afdol kalo belum pamer abis lamaran di rumah Ainun.

"Gak nyangka gua, kirain kisah cinta Pram akan suram." Catra menepuk pundak gue kencang, dikata gue keselek biji salak apa?

"Iya kan? Gue pikir yang nikah duluan tuh gue, hahaha!"

"Heh badut, nikah sama siapa lo?" Catra sama Arthur tuh slek mulu, ada aja yang diributin tapi gak pernah berujung baku hantam melainkan cuma ketawa-ketawa doang.

"Teteh kantin." Jawabnya ngawur. Emang katanya penjaga kantin di Rehabilitasi Mental tuh kinclong, tapi katanya masih kuliah terus gak mempan digombalin. Tipikal cewek mahal gitu lah.

"Esther kali." tukas gue cepat.

"Esther apaan? Sodaranya es teh manis apa es doger-nya kang Juki?"

"Sembarangan congor lu!" Catra mendapat sebuah tendangan tepat di tumit kirinya, "Esther tuh cewek, cewek cantik yang ... yaallah subhanallah tolong jodohkan dia dengan hamba yaallah, aamiin!"

Si bangsat malah berdoa, mana mukanya serius gitu lagi, heran gua sama nih manusia.

"Gua amininnya besok aja bisa gak? Lagi gak mood berdoa."

Ini lagi eyangnya tomcat, otaknya kesabet samurai apa gimana nih sampe berdoa aja harus pake mood segala?

"Bacot lo berdua." Umpat gue kesal, "Ngapain kemari? Pada kurang kerjaan, hah?"

"Eiitt, kita kan teman yang baik nih, makanya sengaja dateng kemari cuma buat menyelamati lo atas tersematnya cincin di jari Ainun. Selebrasi yang waktu itu kurang, sekarang kan akhir bulan nih, jadi gue sama Arthur mau ... anu, gue denger kantin rawat inap ada ayam gepreknya ya, Pram? Hehe."

Apa gue bilang, mustahil mereka dateng cuma-cuma. Karena gue lagi baik banget, alhasil gue menggiring mereka ke kantin buat ngasih makanan dan minuman. Kata Abinya Ainun, bersodakoh sama orang yang membutuhkan itu mendatangkan pahala, ngasih makan orang yang kelaperan juga merupakan kebaikan makanya gue rela deh duit gocap berpindah tangan ke genggaman si Ibu kantin.

Liat si Arthur, makannya udah kayak gembel yang baru nemu nasi setelah tiga hari gak makan. Kadang gue heran, mereka tuh duitnya pada dikemanain sih? Gaji lumayan, kendaraan bagus, baju bagus, tapi jajan sama makan aja masih malak ke orang lain. Untung gue banyak duit, cuma emang rada pelit sih jadi mereka ini termasuk beruntung karena bisa gue jajanin. Hehe.

"Laper?" Tanya gue pada mereka berdua.

"Laper bang, dari SD belom makan."

Ancur udah kalo gaulnya sama dua manusia ini.

"Btw Tra, gue baru ngeh ada yang aneh." Sejenak gue memandang lelaki yang tengah menggigit tulang pada sayap ayam itu, "Sejak kapan lo cat rambut jadi pirang?"

"Oh, ini." Laki-laki itu memegang rambutnya sendiri, "Sengaja, pengen ngerasain jadi bapak-bapak beruban."

Gue dan Arthur saling pandang, lalu tertawa bersamaan sambil menggebrak meja hingga isinya goyang-goyang. "Hahaha goblok! Ngawur banget pemikiran lo, heran." Maki Arthur tanpa peduli lagi bahwa image-nya yang soft itu hilang begitu saja.

"Sebenernya gua lagi narik perhatian Mela."

Gue dan Arthur diem,

"Dia bikin status lagi suka sama artis Korea, rambutnya warna gini. Terus kemaren gue nyuruh Gatra ngecat rambut gue, jadinya begini. Ganteng tapi kan? Kata Pak Vincent gua mirip Roy Kiyoshi masa."

"Yaelah, kisah cinta gua udah gak suram, sekarang giliran kisah cinta lo yang gelap. Gelap loh ya, gak cuma suram hahaha!"

Puas banget gue bales dendam ke Catra, sumpah.

Saat lagi asik-asiknya ketawa, dering ponsel gue sukses mengheningkan suasana terlebih ketika gue mengangkat telepon tersebut. Asalnya dari salah satu rekan sesama dokter gue, dia minta tolong ke gue buat ngambilin hasil lab pasiennya yang kemaren kencingnya berdarah ke Laboratorium. Saat berpamitan, Arthur sama Catra malah ikut karena katanya jam kerja mereka udah abis dan keduanya lagi gabut. Gue sih seneng aja, soalnya perjalanan ke laboratorium yang lumayan jauh itu gak akan boring-boring banget karena ditemani sama dua orang badut dufan ini.

Di jalan Arthur sama Catra main tebak-tebakan, gak ngerti gue sama jalan pikiran manusia kayak mereka. Pertanyaannya apa, dijawabnya apa. Ngawur banget pokoknya sampe gue sakit perut sendiri pas ngedengernya. Mungkin karena sekarang jam setengah satu kali ya makanya lab keliatan sepi, pasti para petugas lagi pada istirahat terkecuali beberapa orang yang memang masih harus menyelesaikan pekerjaan mereka.

"Kaila!"

Catra yang manggil, gue sih gak kenal itu cewek siapa soalnya belum pernah tegur sapa.

"Eh, kakak ipar!"

Kok?

"Gebetannya Gatra." Arthur berbisik, menjawab kebingungan gue.

"Ada perlu apa nih rame-rame ke lab?" Tanyanya.

Gue maju selangkah sebagai tanda bahwa yang ada perlu tuh gue, "Gini mbak, mau ngambil hasil lab pasiennya dokter Danty, katanya udah selesai."

Perempuan itu terlihat berpikir sejenak lalu menatap gue lagi, "Coba dokter tanya ke dokter Mada, saya gak meriksa sih jadi ... kurang tau, hehe."

Gue mengangguk lalu berterimakasih, lantas mengajak Arthur mendekat ke ruangan infeksius itu dan meninggalkan Catra yang masih ketawa-ketiwi bareng calon adik iparnya. Saat hendak membuka knop pintu yang tertutup itu, mendadak Arthur mencegah peegerakan gue begitu tau bahwa didalam sana sedang terjadi perdebatan.

"Mau dua bulan, Da!"

"Gugurin aja kenapa sih?"

"Kamu ... astaga, mana bisa aku bunuh anak yang bahkan gak memiliki dosa?"

"Urus sendiri kalo gitu."

Tubuh gue dan Arthur menegang, apalagi ketika pintu dibuka dari dalam oleh seseorang yang sangat kita berdua kenal. Lelaki yang memiliki beberapa tindik di telinganya itu tampak begitu kaget, pun dengan gue dan Arthur yang tidak bereaksi setelah tahu bahwa dua orang yang tadi berdebat didalam sana itu adalah Mada dan ... Arsha, mantan pacarnya.

"Kalian ... ngapain disini?"

"Ng-ngambil hasil lab pasiennya dokter Danty." Ucap gue gugup, masih syok karena beberapa perkataan yang tak sengaja terdengar itu.

"Udah berapa lama lo berdua berdiri disini?"

"Tiga ... menit?" Jawanmb Arthur ragu. Sedetik kemudian laki-laki itu tertawa, agak dipaksakan dengan maksud untuk menghapus kecanggungan. "Hahaha, kita gak denger apa-apa kok, hahaha, serius."

Arthur goblok!

Tai!

Bangsat!

"Berarti lo berdua denger." kata Mada dengan wajah yang frustrasi, "Hasilnya baru keluar abis istirahat, mending lo berdua ikut gue dulu kalo emang kalian denger."

Tangan gue terkepal, perlahan ada kecewa dan juga khawatir yang bercampur jadi satu. Mada gak kayak gitu kan? Kenapa gue berharap kalau ... kalau Mada dan Arsha lagi latihan drama buat ulang tahun RSJ aja?

Da, sebenernya lo kenapa sih?

Kenapa lo gak pernah cerita sama gue dan Arthur kalau emang lo gak punya tempat lain buat dijadiin pelarian?

✡️✡️✡️


Selamat untuk Pram, dan selamat juga untuk Mada karena telah jadi ayah.

Bikos aku lagi gabut dan stok mood serta ide sedang melimpah ruah, silahkan nikmati dua— atau tiga Chapter yang aku unggah dari kemarin~~~

Continuă lectura

O să-ți placă și

5.3K 776 16
"Dari sekian banyak foto yang kuambil, kamu tetap jadi yang terindah" Start:10/04/20 End:10/07/20
18K 4K 22
🕊 la confianza series : jisung jiheon🕊 awalnya jisung penasaran gara-gara renjun ke la confianza, tapi malah jatuh hati sama tetangga. 'la confianz...
JEONlusi De ARRA

Fanfiction

27.2K 5.5K 24
[Graha Permai Series] JALUSI adalah ornamen di bagian jendela rumah yang memiliki fungsi dan manfaat untuk kehidupan sehari-hari. JEONlusi adalah sek...
141K 25.1K 64
Lautan, satu kata yang memiliki arti berbeda di diri setiap orang. Ada yang mencintai bentangan perairan biru bernama lautan itu dengan tulus dan ikh...