***
Dunia begitu indah juga menyenangkan,
Pada saat engkau bersama orang tersayang,
Dan merasakan kebahagiaan,
Tanpa memperdulikan kesehatan yang kian menghilang.
-Shakira Azna Mutiara-
***
Azna dan Nadia berjalan dengan tawa terbahak-bahak. Ia memasuki kelas lima menit lebih awal sebelum Zaki muncul dengan nafas tersegal. Zaki mengusap keringat yang membanjiri pelipisnya.
"Tega lo, masa gue ditinggal sendirian di kantin," kata Zaki setelah ia mengatur nafasnya.
"Lagian, salah sendiri ngapain gombal sama kita," ujar Nadia.
Zaki cemberut, ia berkata, "iya, gue yang salah."
Eshan yang berada di belakang Azna tertawa tanpa henti. Ia sampai di jitak Zaki pada jidatnya.
Azna kembali tertawa, hingga tanpa sadar matanya berserubuk dengan Syakila yang sedang menatapnya dengan ... entahlah. Ia segera menghentikan tawa dengan berubah menjadi senyuman, yang tentunya di tujukan untuk Syakila. Namun, Syakila lagi-lagi membuang muka secara kasar.
Azna yang tersenyum kepada Syakila sekarang malah cemberut, ia sedih. Azna berharap bisa berbaikan dengan Syakila, karena Syakila adalah teman sebangkunya, teman berbagi jawaban saat ada tugas ataupun ulangan.
****
"Jadi ... mau sampai kapan lo sama Azna marahan?" tanya Azura, setelah Syakila dan Azna marahan, Syakila lebih sering dengan Azura.
"gue juga nggak tahu," ujar Syakila lemah.
"Lo sahabat dia, udah lama sahabatan kan? harus bisa dong selesaikan masalah baik-baik." Azura mengela nafas, ia jadi kesal sendiri melihat Syakila yang uring-uringan.
"Lo nggak tahu masalahnya. Azna itu ...." Syakila menghentikan ucapannya mana kala ia akan membongkar rahasia Azna.
"Lagian, Azna tanpa gue juga bahagia. Dia kan banyak temennya," ungkap Syakila setelah hening beberapa saat.
Azura menyeruput es teh yang ia pesan, tanpa sengaja matanya menangkap siluet Azna yang sedang duduk dengan seorang cowok, ia yakin cowok tersebut bukan Zaki, apalagi Eshan.
"Sya, lihat deh Azna. Sama siapa tuh?" tanya Azura penasaran. Akhir-akhir ini mereka sering memperhatikan Azna dari kejauhan.
"Pastinya sama cowok," ujar Syakila.
"Iya juga ya, dia sama cowok." Azura menggaruk rambutnya tanpa merasa gatal.
Syakila mendengus, ia harus ekstra bersabar saat di dekat Azura, apalagi tanpa ada Azna yang selalu menjadi penengah di antara mereka.
Syakila melamun, ingatanya kembali di mana ia menghabiskan waktu makan dengan Azna, Azura, dan juga Nadia. Dimana setiap mereka bersama ada saja yang di pertengkarkan. Lalu, Azna yang diam tanpa ikut bercampur dalam pertengkaran angkat bicara, ia selalu berkata.
"stts, diam! Kalian ini hobi banget sih ribut. Diem napa, mending kita makan, kenyang. Abis itu lanjut gibahin orang."
Selalu saja topik mereka adalah orang lain, entah teman rumah mereka masing-masing atau malah teman sekolah yang tidak hadir. Pastinya, akhir dari cerita mereka tertawa bersama.
"Jangan ngelamun deh plis," kata Azura.
Syakila menghentikan hayalannya, ia menatap Azna yang duduk di meja depan, tepatnya dua meja di depan mereka. Azna sedang bercanda gurau dengan lelaki, tunggu, lelaki itu adalah lelaki yang Syakila kagumi.
"Sebenarnya, di antara tiga cowok itu kamu milih yang mana Na?" tanya Syakila yang lebih tepat berupa gumaman saja, karena Azna tak mungkin mendengar ucapannya barusan.
Sementara itu, Azna dengan asyik tertawa dengan Anaz juga Arshaq, lengkap dengan Denis. Erik tidak dapat ikut, karena ia sedang tidur di kelas.
"Eh bentar deh bentar, ada yang liatin kita lo ukhty bar-bar," ungkap Denis bahkan ia sudah memberi semat panggilan untuk Azna.
"Siapa?" Semua orang di meja kompak melihat ke arah mata Denis memandang.
Azna memberi senyuman kepada Syakila, walau ia tahu tidak akan terbalaskan.
"Ukhty bar-bar, kok dia malah buang muka sih? Kan kita senyumin dia?" tanya Denis, cowok satu ini memang seperti cowok jadi-jadian. Lelaki, tapi cerewet, alay lagi.
"Iya, kok gitu sih?" Kini Arshaq ikut bertanya, entah kenapa ia ikut penasaran dengan cewek yang membuang muka.
"Dia ... dia temen sekelasku. Oh, sampai lupa. Dia suka sama kamu Shaq, mungkin dia kira aku di sini ada rasa juga sama kamu," ujar Azna, ia mengigit bibir bawahnya.
"Oh," sahut Arshaq.
Tanggapan Arshaq sungguh di luar dugaan Azna, ia jadi gelisah sendiri.
"Lo mau pesen apa?" tanya Anaz.
Anaz tahu, Azna sedang tidak tenang. Entah karena apa, Anaz sendiri tidak tahu.
Azna mengacungkan tangan, memanggil pedagang seraya berkata, "Mbak! Mbak! yuhu!"
Anaz geleng-geleng. "Kalau jadi perempuan itu jangan keras-keras ngomongnya."
"Oh gitu ya?" Azna menghentikan aksinya memanggil pedagang mana kala mendapat teguran dari Anaz.
Azna kembali melambaikan tangan. "Mbak, saya mau pesen," kata Azna pelan.
Arshaq terkikik, perkataan Azna barusan terlalu pelan, bahkan mungkin hanya ke tiga cowok ini yang mendengar.
Anaz menghela nafas." Nggak harus gitu juga Na, kalo gitu mah, sampe lebaran kucing nggak akan ada yang nyamperin," jelasnya.
"Terus gimana? tadi katanya jangan keras-keras. Sekarang pelan-pelan salah juga," kata Azna sambil memanyunkan bibirnya.
"Gini, maksudnya seorang cewek itu minimal ngomongnya lembut," jelas Anaz kembali.
"Oh, sebelum Azna ngomong harus di ulek dulu biar lembut ya?" tanya Azna. Ia benar-benar merasa bodoh saat di dekat pria yang ia sukai.
Denis dan Arshaq tertawa terbahak-bahak saat memandang wajah Anaz yang cemberut seolah memberi isyarat 'tolong gue'.
"Nggak harus di ulek juga kali ukhty bar-bar," timpal Denis.
"Maksudnya, kalo ngomong itu suaranya nggak usah koar-koar kaya pake toa. Terus, kalo memang butuh orang, samperin orangnya, bukan malah teriak-teriak kaya di hutan," terang Anaz.
"Gitu ya? maaf ya Naz, pasti malu punya temen cewek kaya Azna," ujar Azna melemah.
"Nggak kok, gue suka sama lo," ungkap Anaz, tanpa sadar akan perkataannya barusan.
"Cie, sama-sama suka," kata Denis.
Anaz tidak ada niat menggubris ucapan Denis, ia justru menahan malu sambil merasakan dadanya yang terus berdebar.
Azna pun sama, ia malah terlihat malu-malu kucing. Kedua pipinya telah merona.
"Lucu banget sumpah muka lo berdua," ungkap Arshaq, tawanya sama sekali belum reda.
Azna menjitak Arshaq tepat di pelipis, hingga mengaduh kesakitan. Beberapa pengunjung kantin saat itu juga ikut prihatin terhadap Arshaq yang dijitak seenaknya.
"Arshaq gila!" teriak Azna melengking, mereka sudah menjadi pusat perhatian beberapa siswa.
Anaz segera mencomot gorengan, lalu ia masukkan ke mulut Azna bertepatam saat ia sudah selesai memgucapkan kalimat 'Arshaq gila'.
Azna memandang Anaz dengan tatapan membunuh. "Stts, anak perempuan nggak boleh?" tanya Anaz.
"Teriak-teriak," sahut Azna tanpa minat. Mood makannya hancur dalam sekejap.
"Udah akh, mending ke masjid yuk! Udah waktunya nih," kata Anaz, tak lupa ia mengajak Azna.
Ke tiga cowok dan satu cewek tersebut bubar, ia melangkah keluar kantin berpasangan-Azna dengan Anaz, Arshaq dengan Denis- tanpa bergandengan tangan di antara Azna dan Anaz.
Perjalanan mereka menuju masjid di sekolah ini mengundang banyak persepsi. Ada yang mengatakan bahwa pasangan ini memiliki hubungan. Ada yang mengatakan mereka cocok, tapi bukan Arshaq sama Denis, Melainkan Azna dan Anaz. Ada juga yang mengatakan hanya sebatas teman, mengingat Azna dengan siapapun akan akrab, sekalipun dengan orang yang baru ia temui hari itu juga.
Merasa menjadi sorot perhatian siswa, Azna berjalan sambil tersenyum juga menyapa siswa yang melewatinya. Sekarang, Azna merasa menjadi ratu, yang dikawal oleh bodyguard. Azna terkikik geli membayangkanya.
Azna berjalan sempoyongan, ia rasa sakitnya mulai kambuh, tapi Azna mencoba menahan rasa sakitnya dengan senyuman. Tanpa sadar, hidung Azna sudah mengeluarkan darah, ia segera memegang hidungnya sekedar memastikan. Ternyata benar, darah tersebut telah mengalir, Azna ambruk tepat di pelukan Anaz. Ia dengan sigap menggendong tubuh Azna menuju UKS. Ia khawatir.
*******
Yey, up lagi nih!
Lagi super kilat auto up, sebenarnya udah nulis dari bulan sebelumnya, tapi di revisi lagi di revisi lagi. Biar bener-bener matang.
Salam hangat dari author, kiss.
Makasih udah mau mampir, jangan lupa hargai kehaluanku yang sudah menggebu-gebu.