HEXAGON [3] | Sinestesia Indi...

By andrianchun

30.3K 2.4K 617

Semesta selalu mampu menyajikan pertanyaan yang jawabannya terdengar fiktif. Namun bagi Eter, memahami diri s... More

Preface
Prolog
Totem
1 | Riak di Air Tenang (1)
2 | Riak di Air Tenang (2)
3 | Riak di Air Tenang (3)
4 | Mimpi yang Disadari (1)
5 | Mimpi yang Disadari (2)
6 | Mimpi yang Disadari (3)
7 | Yang Tersembunyi (1)
8 | Yang Tersembunyi (2)
9 | Yang Tersembunyi (3)
10 | Para Penyembah Matahari (1)
12 | Para Penyembah Matahari (3)

11 | Para Penyembah Matahari (2)

694 105 19
By andrianchun

Dalam badai kekacauan, ingatan Eter meloncat ke belakang. Merangkak, mencari ruang nyaman untuk membuat pikiran sedikit lebih tenang. Angin mengeringkan tenggorokan, membekap paru-parunya dengan udara yang sedikit asam akibat uap air Danau Merah. Dengan mulut terbuka lebar, ia tertawa dan berseru di balik tengkuk seekor naga. Hewan tersebut menstabilkan sayap, lalu menukik perlahan. Rambut hitam dan tudung jubah Eter berkelebat, sesekali menghajar wajah Notus yang masih harap-harap cemas di belakang. Lelaki itu terpaksa harus merekat erat pada kulit kering bersisik yang agak tajam, jika tak mau terpental secara konyol. Eter tak henti-hentinya mengejek krypta yang takut ketinggian itu.

Setelah puas berkelana di sebagian kecil langit Arden, melihat kota-kota dan pegunungan dari ketinggian, Eter pergi lagi menggunakan portal, kali ini untuk mampir makan di alam perbatasan. Ciuman hangat dari ayah dan ibu di akhir sebuah sore, adalah syarat agar dia bisa pulang ke Bumi dengan hati riang.

"Kita akan bertemu lagi," ucap ibunya ketika portal mulai membulat di belakang. Ayahnya pun ikut tersenyum saat melepas kepergian Eter dan Notus.

Suara Young berikutnya menyambar di sela-sela petir. "Kau masih saja pergi ke hutan dan tidak mendengarkanku!" Eter menjerit sembari berusaha melepaskan jeweran di telinga kirinya. Young mengambil paksa anting berwarna ungu itu dan membawanya masuk. Membiarkan Eter terjerembap di lantai kayu teras. Air hujan yang besar-besar mendera ujung kuku kakinya. Gadis itu menangis tergugu. Membayangkan bagaimana rasanya tak bisa bertemu lagi dengan kedua orang tuanya.

Dingin merambat naik, layaknya nyawa yang dicabut dari atas, sedikit demi sedikit. Eter tak bisa lagi merasakan tumitnya. Suara cerau hujan lebat disertai angin, bergabung dengan kernyut gigi taring dan dengking serigala. Petir di langit malam itu melemparkan ia ke memori lain.

Ini adalah penghujung hari libur panjang musim panas. Setiap tahun, sekolah selalu mengadakan wisata sebelum masuk tahun ajaran baru. Dan kali ini mereka memilih situs Ziruvenic di sebelah timur Sitael, yang memerlukan waktu tempuh selama lima jam dari Raguel. Banyak bekas bangunan kuno yang dipugar kembali di sana. Anak-anak bisa memanfaatkan kesempatan ini untuk sekalian belajar sejarah. Walaupun hanya Eter dan kawan-kawan kutu bukunya yang benar-benar melakukannya. Sementara yang lain hanya sibuk mencari sudut dan pose yang paling pas untuk dipotret.

Eter mengabaikan animo itu dan mencoba mendengarkan diskusi teman-temannya dengan pemandu tur. Namun, saat ada anak yang menaiki pundak patung besar di puncak candi, mau tidak mau Eter berhenti dan menghardiknya. "Turun!"

Seperti yang Eter duga, Agaf si cowok bebal berambut kepang pendek itu tak akan mau menuruti perintahnya. "Oi, Eter ... bisakah kau memfoto kami berlima?"

"Apa kau tuli?! Turun sekarang! Itu tidak sopan!" Eter menaiki tangga, berniat untuk menarik lengan Agaf dan menendang bokongnya.

Namun, Keila menghentikan langkah Eter, dan malah menggenggamkannya sebuah ponsel. "Ayolah, satu saja," pinta gadis itu. Ia segera naik, bergabung dengan empat orang yang bertinggung di patung raksasa pembawa gada.

Alih-alih memencet lingkaran di tepi layar, Eter melempar ponsel itu jauh-jauh ke arah hutan. Membuat kelimanya mengeluh secara bersamaan. Keila berlari menuruni undakan dan tak segan-segan menjambak rambut Eter. "Itu ponsel mahal, sialan!"

"Kalau kau betulan kaya-raya, kau tinggal beli lagi, 'kan?" jawab Eter santai. Keila menelan egonya saat Dato, pacarnya, datang mengelus pundaknya. "Suruh ayahmu beli sopan-santun, sekalian buat teman-temanmu juga!" lanjut Eter mencerocos.

Setelah sempat-sempatnya melakukan swafoto, Agaf akhirnya turun dari pundak patung dan mendekati Eter. "Itu cuma benda mati," candanya. Kemudian ia menoleh ke arah lain sembari bergumam, "Oh, iya, sori, aku lupa Espiroth bisa bicara sama batu."

Kelimanya tampak menahan tawa. Eter tahu, tidak semua Sanctuarian suka merendahkan agama lain, Olan dan Freya teman kutu-bukunya tak pernah melakukan itu. Namun tetap saja, si lelaki berambut kepang ini sangat pantas untuk ditampar sampai giginya yang tonggos rontok. Sebelum terjadi perang, pemandu tur menengahi. "Jadwal kita di sini sudah selesai, anak-anak. Ayo, kembali ke bus."

Insiden penting terjadi malam harinya. Eter masih ingat betul, kala itu, ia dan kawan-kawan berkumpul di dekat perapian. Papan cokelat dimakan rayap, bertuliskan abjad latin yang catnya pudar menjadi fokus keempat anak tersebut.

"N—O—T—U—S. Namanya Notus!" seru Freya dengan mata berkaca-kaca. Olan melirik Dehbi dengan tatapan curiga. Olan mengira Dehbi sengaja menggerakkan kursor kayu berlubang itu, begitu pun sebaliknya. Padahal memang ada tangan ketiga yang cuma bisa dilihat oleh Eter. Gadis itu pun tersenyum jenaka.

Belum juga sempat melontarkan pertanyaan lain, Agaf datang bersama Dato dan Keila. Agak terburu-buru. "Kau melakukannya lagi!"

"Melakukan apa?" Eter berdiri. Anak lain mengamati dengan cemas.

"Lihat!" Agaf menunjukkan lengan penuh bentol berwarna merah pucat. Ia tak tahan untuk terus menggaruknya.

"Salah sendiri. Sudah kuberitahu, jangan aneh-aneh di tempat keramat," celetuk Eter. Dalam hati ia juga tak yakin apa benar gatal itu disebabkan karena penghuni candi marah.

"I—itu gelegata, kau pasti alergi sesuatu," kata Olan takut-takut, walaupun Eter berulang kali menyuruh para kutu buku untuk berani bicara di depan siapa pun. Olan membuka tas kecilnya dan mengeluarkan sebuah pil. "Ini ..., tapi bikin mengantuk."

Dato mengambilkannya untuk Agaf, lalu Freya memberikan botol minuman. "Terima kasih. Omong-omong kalian sedang apa? Kami boleh bergabung?" tanya Dato, si pemuda yang suka memakai aksesoris berupa rantai.

Eter meliriknya dengan sinis. "Oh, kupikir permainan di ponsel kalian lebih seru."

"Kau membuang punyaku tadi siang, bodoh!" gumam Keila yang segera disikut oleh Dato.

"Apa kalian berhasil memanggil seseorang?" Dato duduk bersila di depan tenda kemah.

Agaf yang masih saja menggaruk lengan berbisik, cukup keras untuk didengar, "Kau gila, mereka penyihir, mereka bisa mengundang setan." Gatal di lengannya berubah menjadi rinding. Agaf melirik sekeliling dengan gusar. Jangan-jangan mereka sengaja memilih lokasi tenda yang paling jauh untuk melakukan ritual aneh. Tempat ini cukup lapang tetapi dikelilingi pepohonan yang hampir menutupi jarak pandang mereka ke perkemahan utama. Agaf tak punya pilihan selain menunggu teman-temannya. Ia tidak mungkin berjalan sendirian, di tengah kegelapan.

"Iya, namanya Notus. Dia roh yang baik, kok," jawab Freya, tetapi buru-buru ditatap tajam oleh Eter. Freya mengerut, berharap rahasia barusan bisa ditarik kembali.

Keila kini duduk di dekat perapian. "Oh, Demi Tuhan Dominus, bagaimana kalian percaya dengan hal seperti itu? Salah satu dari mereka pasti menggerakkannya."

Dehbi dan Olan menggeleng hampir bersamaan. Keila memutar bola mata dan menarik papan Ouija itu serampangan, mencoba membuktikannya bersama Dato. "Apa kau masih ada di sini?" tanya Keila. Selama beberapa detik, Notus ragu untuk menjawabnya. Sampai Keila menatap Eter dan merasa menang, "Lihat? Ini cuma permainan bodoh!"

Sebelum Keila berdiri lagi, Notus menarik kursor itu ke arah YES. Keila buru-buru melirik Dato, yang langsung bersumpah, "Demi Dominus, aku tidak melakukannya!"

Agaf berjongkok kaku, wajahnya tegang. Keila mengatur napas, kemudian bertanya lagi, "Dari mana asalmu?"

Kursor itu bergerak lagi. Dari A menuju R, R menuju D, kemudian E, terakhir N. "Arden? Daerah mana itu? Tak pernah kudengar ada di pelajaran Geografi."

"Itu ada di dimensi lain," celetuk Freya. Eter lagi-lagi menatapnya sambil bersungut.

"Oke, sudah cukup, kita kembali ke tenda, yuk!" Agaf mengajak dengan muka memelas. Gatalnya telah digantikan sepenuhnya oleh rasa panik.

"Kalian mengarang cerita biar terdengar keren. Dasar tukang bohong!" tukas Keila melepaskan jemarinya dari potongan kayu berbentuk daun waru. Walaupun setengah dari dirinya masih belum bisa memastikan, bagaimana benda kecil itu bergerak di luar kemauannya. Dato juga tidak mungkin tahu menahu soal Arden. Keila saja sempat mengira itu nama sejenis ikan.

Eter sebenarnya tak terima dibilang begitu. Dan para penggunjing itu pasti akan menyebarkan gosip dengan bumbu tambahan sebanyak mungkin. Namun apa daya, barangkali Eter memang harus terima kalau suatu saat dikeluarkan dari sekolah karena dicap sebagai anak gila yang butuh pertolongan medis.

Namun Notus memberinya pilihan lain. Liontin ungu berkilau dari balik tangan gaibnya dan jatuh menyelinap ke dalam saku jaket Eter. "Bagaimana kau mendapatkannya dari Yo—?!" Bisikan itu membuat yang lain menoleh. Eter merapatkan mulut, mengerling, lalu berdeham. "Kalian mau tahu Arden seperti apa, 'kan?"

Sembari menggenggam liontin dari saku jaket kiri, Eter menggumamkan mantra. Percikan cahaya mirip kembang api menyala terang di udara, mengikuti arah usapan telapak tangan kanan Eter. Semua anak di tempat itu terpesona. Mata mereka tak mau berkedip barang sedetik pun. Menyaksikan portal yang berputar searah jarum jam, membesar, hingga menutup bayangan bulan purnama, membentuk serupa pintu kaca menuju dunia lain. Para kutu buku mendekat dengan wajah puas dan penasaran, sementara tiga anak lain saling melempar pandangan ragu.

Mereka disambut oleh Tzaba, orang tua Eter, dan beberapa orang asing. Sosok-sosok yang sama sekali tidak Eter duga akan hadir di situ. Keanehan tersebut membuat ia berhenti, setelah Olan dan Dehbi mencoba masuk. Lengan Tzaba terulur.

"Apa yang kau lakukan di sini?"

Eter jelas kaget ketika ibu dan ayahnya di depan sana mulai berubah bentuk. Mulut mereka memanjang membentuk moncong, lengkap dengan kumis dan rambut cokelat tebal. Mata itu menguning, membulat seperti lampu senter. Badan mereka tumbuh dua kali lipat lebih besar.

Freya menjerit dan berusaha lari, tetapi para hewan buas itu lebih dulu mencaplok lehernya. Eter menyaksikan Dehbi dan Olan yang berikutnya menjadi mangsa. Ketakutan Agaf terkabul. Anak lelaki itu menggeblak, saat serigala besar melompat ke dada lalu mencakar wajahnya. Dato yang berusaha menyelamatkan Keila justru ditarik kakinya lalu dibanting ke tanah hingga pingsan.

Serigala itu saling berebut makanan, sementara Eter panik dan menangis, berteriak kepada Notus yang sedari tadi malah diam saja. "Lakukan sesuatu!"

Tzaba dalam bentuk serigala menghampiri Eter. Makhluk itu melihatnya dengan tatapan lapar. Seolah sudah ratusan purnama ia habiskan hanya untuk menunggu saat ini. Barulah Notus berdiri dan terbang menghadang Tzaba. "Kau sudah janji akan membiarkan dia pergi!"

"Aku hanya berkata, 'kami tidak akan memakannya'," ucap Tzaba, "tapi Raja ingin dia mati."

Serigala itu meloncat, dan di saat bersamaan, Notus merasuki tubuh Eter. Seumur hidup, ia tak akan pernah lupa bagaimana sakitnya ketika dimasuki oleh krypta. Isi kepalanya seperti diisi paku dari dalam. Kawat-kawat tajam seolah menembusi kulit dan persendiannya. Yang paling buruk adalah, ketika ia tetap sadar tetapi kendali akan tubuhnya sendiri hilang. Terakhir yang Eter tangkap adalah kemunculan angin topan dari kedua tangannya, melemparkan serigala-serigala itu ke dalam hutan, lalu portal pun tertutup. Saat para guru dan siswa lain mulai bergerombol mendekat, Tzaba lari terbirit-birit diikuti anak buahnya yang melolong dengan kecewa.

Notus memisahkan diri dari Eter. Seolah nyawanya ikut keluar, Eter segera mengambruk lemas. Sebelum terpejam, matanya sempat bertemu pandang dengan Keila. Gadis yang tengah memegangi lengan itu sudah merekam semua trauma, yang jelas-jelas akan mengeluarkannya dari sekolah. Eter tak percaya, perasaan putus asa itu bahkan sangat setia menemaninya hingga ajal menjemput.


Continue Reading

You'll Also Like

578K 62K 64
KARYA ASLI BUKAN NOVEL TERJEMAHAN CERITA INI DIBUAT UNTUK DINIKMATI BUKAN UNTUK DI PLAGIAT, HARAP DIBACA DAN JANGAN DI JIPLAK.? I was kidnapped by...
Damian By Ariel

Science Fiction

295K 16.2K 36
"maafkan aku Violetta" Tentang Damian yang begitu menyesal atas segalanya yang dia lakukan kepada istrinya. Menyesal telah mengabaikannya, menyesal...
22.7K 2.7K 143
信息素识别障碍 by 头发多多 143 bab + 43 tambahan (selesai) https://www.jjwxc.net/onebook.php?novelid=6398184 --- Di kota bawah tanah yang gelap dan kotor, Huo...
2.3M 185K 72
Hi guys. Ini cerita kedua saya^^ (Buat kalian yang gasuka Red flag,kalian bisa langsung tinggalin lapak ini ya☺️Kalo kalian gasuka,gaperlu komen-kome...