PAYUNG & HUJAN

Por melkiiimel

18.3K 2.7K 1.1K

[ TAHAP REVISI ] [ HARAP FOLLOW SEBELUM MEMBACA ] "Suka hujan itu boleh, tapi kesehatan lebih penting." Kata... Más

PROLOGUE
[01] - Payung Biru Laut
[02] - Teman Baru
[03] - Lelaki Berhoodie Hitam
[04] - Si Gunung Es
[05] - Ribut
[07] - Pingsan
[08] - Squidward Galak
[09] - Terjebak Hujan
[10] - Rembulan Yang Malang
[11] - Tragedi Mie Ayam
[12] - Ketoprak Bikin Baper
[13] - Nomor Agam
[14] - Patah Hati
[15] - Elang Prasetya
[16] - Surat Dan Pesan
[17] - Turnamen Basket
[18] - Wacana Akhir Tahun
[19] - Momen Di Villa
[20] - Kenyataan Pahit

[06] - Wafer Dua Ribuan

639 160 48
Por melkiiimel

NOW PLAYING | Cheerybelle cover Willy - Pura-pura Cinta

0:14 ━━●────────── 3:26
⇆       ◁ㅤㅤ ❚❚ㅤㅤ ▷         ↻

©melkiiimel

HAPPY READING ! ❤

୨୧ · – — ― — ― — — ― — – · ୨୧


Sabtu, 06.05 A.M

     Gadis itu — Rere berjalan dengan santai di sepanjang koridor yang masih sepi, rambutnya yang di kuncir kuda bergerak kekanan dan kekiri seiras.

Melihat tas ransel yang masih ia tenteng di kedua bahunya, Rere baru saja tiba di sekolah. Masih terlalu pagi, tak banyak anak yang sudah di sekolah, bahkan Rere yakin kalau sekarang Ara baru saja bangun tidur.

Rere hanya terlalu rajin hari ini.

Langkah Rere sedikit terseok, lututnya yang terbalut plaster ternyata masih lebam karena kejadian kemarin, ia tersungkur terlalu keras.

Mengingat kejadian kemarin — Rere masih sangat syok, ia menjadi khawatir Lexa dan teman-temannya akan mengusik dirinya lagi, atau bisa saja lebih parah dari kemarin.

Tidak, Rere tidak takut dengan mereka kok. Hanya saja, Rere tak mau membuat masalah di sekolah ini, ia hanya ingin menjalankan hari-hari di sekolah seperti pada umumnya.

Apalagi kalau masalah ini sampai ke telinga keluarganya, pasti dia akan kembali membuat beban.

Hahhhh ....

Rere mengadahkan kepalanya ke atas langit-langit koridor, menghela nafasnya perlahan. Semoga saja hal itu tak terjadi.

Eh, omong-omong soal kejadian kemarin. Rere menjadi mengingat Agam yang menolongnya. Lelaki itu walaupun sangat jutek, galak, dan judes. Ia tetap terlihat perfect di mata Rere, apalagi kemarin saat menolongnya, manis sekali!

"Duh, kan jadi kangen!" Rere bermonolog sendiri. Tiba-tiba ia menghentikan langkah saat hampir memasuki ruang kelasnya.

Tersenyum lebar, Rere langsung memutar balik arahnya dan malah melangkah menuju kantin.

Setelah membeli dua bungkus wafer cokelat harga dua ribuan di warung mbak Inem, Rere melangkahkan kakinya kembali menuju tempat tujuan awalnya tadi.

Mengendap-endap takut ketahuan, Rere mengintip dari jendela kelas mencari sosok empu yang ingin ia temui.

Dan ya, matanya langsung menangkap objek tersebut, seperti dugaannya Agam memang sudah datang di kelas dan kini sedang duduk tenang sekali sembari memegangi novelnya.

Rere tersihir untuk beberapa saat melihat pemandangan di depannya.

Rahang yang tegas, siluet mata yang indah, hidung mancung bak prosotan di kolam renang anak-anak, di tambah lagi cahaya mentari yang masuk lewat jendela terpancar ikut menyorot wajah lelaki itu ...

Sangat bersinar!

Uh! Dilihat dari samping saja aura tampan sejatinya sudah menguar kuat, beruntung sekali Rere pagi-pagi sudah mendapat vitamin penyehat otot matanya begini.

Bola mata Rere bergerak kekanan dan kekiri mengecek sesuatu, baguslah kelas Agam masih sepi, kesempatan emas nih bagi Rere untuk mendekati Agam!

Tuk!

"Aduh!" Rere meringis ketika kepalanya diketuk oleh seseorang, ia menoleh dan melotot ke arah orang itu.

"Ih, Ara! Ngagetin aja."

Orang itu Ara, dia sudah datang ternyata. Kirain siapa tadi huh ..

"Ngapain hayo ngintip-ngintip? Mata lo bintitan ntar!" Cemoh Ara dengan wajah ngeselin.

"Hehe, biasa. Kok kamu bisa tau aku ada disini?"

Ara tersenyum percaya diri, "jangan ragukan firasat seorang Ara."

Rere memutar bola matanya, "jingin rigikin firisit siiring iri." Rere minyi-minyi menyebalkan membuat Ara ingin menabok pantatnya.

"Ara, jagain aku disini ya. Aku mau masuk sendiri, kalau ada banyak orang dateng nanti kode aku aja."

Ara mendelik, "ih, apaan! Lo kira gue satpam apa? Mana di tinggal sendirian disini, kalau ada kakak kelas cowok yang ganjen kayak kemarin gimana?" Protesnya.

Rere mengelus pundak temannya itu, "teriak aja yang keras oke? Serius deh, aku bentaran doang kok."

Ara menghela nafasnya, "serius?"

"Dua rius! Tunggu ya," Rere buru-buru masuk ke kelas Agam.

"Cepetan loh ya! Lima menit!" Peringat Ara. Lalu menempelkan punggungnya di tembok sembari menyilangkan tangannya di depan dada, menunggu Rere disana.

Rere menghampiri bangku Agam perlahan, dilihat semakin dekat begini ... Seriusan makin ganteng, makin deg-degan!

"Selamat pagi, kak Agam."

Lagi-lagi, Rere tak mendapat respon. Agam sama sekali tak berkutik, dia manusia apa patung menekin sih?

Ah, apa dia pakai earphone seperti kemarin ya? Rere pun mencondongkan tubuhnya untuk melihat lebih jelas ke telinga Agam.

Eh?! Dia nggak pakai?

Cepat-cepat Rere menegapkan tubuhnya kembali, malu!

Lalu kenapa Agam tak meresponnya sih? Apa dia tuli? Astaga, mana mungkin.

"Kak Agam kenapa selalu ngacangin aku sih?" Gumam Rere kesal karena terus-menerus di cuekin.

"Karena lo nggak penting."

Jleb!

Singkat, padat, nyelekit!

Rere mengerucutkan bibirnya sedih, sekali mendapat respon Agam pasti selalu menusuk ulu hati.

Agam bahkan masih setia menatap novelnya tanpa melirik Rere sekalipun. Ugh, Rere menjadi iri pada sebuah novel.

"Eh, tapi aku inget. Martabak dikacangin itu biasanya martabak spesial."

Berhasil! Agam kini melirik Rere dengan tatapan datarnya. "Ga ada hubungannya."

"Ada tau! Jadi, kalau aku dikacangin. Itu berarti aku spesial deh, kayak martabak kacang!" Rere nyengir seperti tak punya dosa.

Agam mendecak, gadis di hadapannya ini sudah tak waras. "To the point, kalau ga penting pergi."

Agam menyuruh agar Rere segera berbicara maksud tujuannya kemari. Dia paling tak suka berbasa-basi dan ada orang yang mengganggu waktunya begini.

"Aku —" Rere mengingat kembali tujuannya kemari, ia menjadi lupa akan segalanya setelah berbicara dengan Agam. "Eh? Apa ya kok lupa?"

"Lo udah buang-buang tiga puluh detik berharga gue, pergi."

Rere menjadi panik seketika, ia sudah ingat tujuannya kok! Rere merogoh sesuatu di saku cardigan-nya.

"Ini, aku mau kasih ini buat kak Agam." Rere menyerahkan wafer cokelat dua ribuan ke Agam.

Agam menaikkan satu alisnya, heran.

"Sebagai tanda terima kasih karena kak Agam udah bantu aku kemarin." Jelas Rere lagi. "Terima ya?"

Agam masih bungkam, hanya melirik enggan wafer pemberian Rere.

Karena kelamaan, Ara yang sedari tadi menunggu di depan mengode Rere agar segera pergi darisana. Terlihat kakak kelas sudah mulai banyak berdatangan menuju kelas Agam.

Rere memberi kode pada Ara agar mau menunggu sebentar lagi. "Aku anggap diamnya kak Agam sebagai tanda penerimaan wafer pemberian aku ini."

"Re, cepetan woy!" Bodo amat kode-kodean, Ara langsung memekik keras memanggil Rere.

Rere menggertakkan giginya. Duhh! Belum juga puas melihat wajah Agam.

"Aku pamit dulu ya kak. Thank you, kamshamnida, arigatou, xie-xie, terima kas — "

"Rereee!!!"

Mendengar lengkingan teriakan Ara, Rere langsung ngacir pergi darisana dan menghampiri temannya itu.

Agam menatap punggung Rere yang mulai menjauh, kemudian beralih pada wafer cokelat pemberian Rere yang tergeletak di meja-nya.

"Ch, klasik sekali."

Masa bodo, Agam pun kembali melakukan kegiatan membaca novelnya yang tadi sempat terganggu oleh si gadis aneh.

Kruyukkk ...

Agam terdiam,

Lelaki itu menurunkan novel di tangannya, bola matanya bergerak kekanan dan kekiri seperti sedang memeriksa sesuatu.

Aman. Untung saja tak ada yang mendengar, itu adalah suara cacing di perutnya yang meronta kelaparan.

Agam lupa sedari pagi ia belum mengisi perutnya untuk sarapan. Duh, memalukan.

Glekk,

Agam meneguk ludahnya, tatapan matanya seakan terus-terusan mengawasi wafer cokelat pemberian Rere yang tergeletak di atas meja.

"Nggak. Gue nggak akan makan wafer yang dikasih gadis itu."

Agam membantah keras keinginannya, lelaki itu kembali membaca novel agar mengabaikan perutnya yang sedari tadi terus-terusan demo meminta makan.

Gengsi lebih tinggi daripada kepentingan perutnya!

Tiba-tiba tangan seseorang mengambil wafer yang tergeletak di meja, sontak Agam mengalihkan fokusnya dari novel ke wafer yang dicuri orang itu.

"Wushh, rejeki anak sholeh kayak gue emang selalu ngalir, baru dateng udah dapet wafer aja!" Sorak girang pelaku pencurian wafer itu, tangannya mengadah ke atas tanda mengucap syukur, dia Gavin.

Agam yang melihatnya pun merampas kembali wafer itu. "Enak aja! Ini wafer gue."

"Masa sih? Buktinya ada di atas meja gue kok." Bela Gavin tak mau kalah.

"Gue baru aja beli di kantin. Enak aja lo main ambil." Gelak Agam yang nyatanya tak benar. Ia pun cepat-cepat membuka bungkus wafer cokelat itu dan menggigit ujungnya.

Wuuuu, mari soraki saja lelaki bergengsi besar itu. Lihat saja tingkahnya sekarang, padahal jelas-jelas ia tadi kekeuh menolak.

Munafik sama diri sendiri ya bang!

Gavin mencebik, malang nasib tak jadi beruntung dirinya. "Tumbenan banget lo beli wafer di kantin? Ada yang aneh." Mata Gavin memicing heran menatap sahabatnya itu.

Memang heran, Agam kan selalu malas untuk urusan pergi ke kantin, apalagi hanya untuk membeli sebungkus wafer cokelat begitu.

Waktu istirahat saja, Gavin yang selalu menjadi babu untuk membelikan pesanan Agam, dan lelaki itu hanya diam di kelas.

"Suka-suka."

Dasar menekin hidup!

Agam tak memperdulikan tatapan ingin Gavin pada wafer yang sedang ia makan. Agam malah semakin memperlambat tempo makan-nya, terlihat nikmat sekali apalagi sembari santai membaca novel.

Biarin saja Gavin ngeces-ngeces iler!

"Laknat lo! Dasar fir'aun!"

Agam menarik kecil ujung bibirnya tersenyum meledek, "lo mau?"

"Mau lah!"

Sebagai sahabat baik hati Agam manggut-manggut paham, ia pun memberikan sisa wafernya pada Gavin.

"Nih,"

Gavin mengambilnya, saat ia pegang wafer itu terasa ringan. Ternyata hanya bungkusnya saja, isi-nya sudah Agam lahap sampai habis.

"Kampret lo!" Umpat Gavin kesal.

"Lagian lo sih, beli sendiri sana. Kayak orang susah aja."

"Emoh!" Ngambek sudah.

♡♡♡

Kedua gadis yang sedang berjalan di sepanjang koridor itu nampak sedang berbincang kecil sebelum menuju ke kelasnya. Ujung rambut mereka terombang-ambing angin terlihat begitu cantik saat sedang berjalan.

"Kamu sih Ra, aku belum puas ketemu kak Agam." Rengek Rere mengingat kejadian tadi

"Kok jadi gue? Lagian gue kan udah bilang lima menit aja! Banyak kakak kelas yang udah pada dateng juga. Gue kan laksanain sesuai perintah yang lo bilang." Protes Ara tak mau kalah.

Rere manggut-manggut mengerti, "iya deh maaf."

"Lo ngomong apa aja sama si gunung es itu? Dia ga ngapa-ngapain lo kan?"

"Nggak kok. Aku cuma kasih wafer aja sebagai tanda terima kasih karena kemarin kak Agam nolongin aku." Jelas Rere.

Alis Ara terangkat heran, "wafer? Kak Agam kemarin nolongin lo? Kapan? Kok lo nggak cerita?"

Rere terdiam sejenak kembali mengingat hal kemarin, apa ia harus menceritakan semuanya pada Ara?

Ya sudahlah tak apa, Ara kan teman baik yang sangat ia percaya. "Jadi gini, kemarin kan aku pulang terakhir karena masih ada piket kelas, terus — "

Langkah Rere tiba-tiba terhenti, entah mengapa kepalanya berdenyut, pening sekali.

Ck, ini pasti kumat lagi.

Ara ikut menghentikan langkah kakinya, heran dengan Rere yang tiba-tiba berhenti mendadak.

"Re, lo kenapa?"

Rere gelagapan sendiri menjawabnya, keringat dingin sudah mulai mengucur di pelipisnya, bibir ranumnya sedikit memucat.

"A-anu Ra. Kayaknya kamu pergi ke kelas duluan deh, aku mau ke toilet sebentar." Rere meringis sembari menggaruk tengkuknya.

"Toilet? Mau gue temenin?"

"N-nggak, nggak usah!" Tolak Rere, kemudian nyengir kuda. "Tau dong, perutku mules, ada panggilan alam."

Ara menepuk jidatnya, ampun deh!

"Serius nih? Jangan lama-lama loh ya, habis ini ada pelajaran pak Eko." Peringat Ara.

Rere mengangguk paham, "iya kok siap!" Ia mendorong kecil punggung Ara agar segera masuk kelas. "Udah sana cepet ke kelas, aku kebelet nih."

"Ya lo duluan lah! Awas tuh, udah kecepirit di celana."

"EYY, ENAK AJA!"

Sebelum berlari kecil menuju ke kelas, Ara menjulurkan lidahnya mengejek Rere. Rere ikut membalas dengan mengangkat tangannya seperti ingin memukul pantat Ara.

Rere memastikan agar Ara sudah benar-benar masuk ke kelas. Setelah di rasa cukup aman, gadis itu memejamkan mata sejenak menahan rasa nyeri di kepala-nya, segera Rere berlari tergopoh-gopoh menuju toilet sekolah.

♡♡♡

"Rere?"

Pria paruh baya dengan kumis tebal di atas bibirnya itu menurunkan setengah kacamatanya melihat seorang gadis yang baru saja muncul di ambang pintu kelas.

Rere — ia baru saja balik dari toilet, nafasnya naik-turun karena berlari kencang dari toilet ke kelasnya, ia hanya takut terlambat masuk ke kelas pembelajaran.

Tetapi naas, melihat pak Eko yang sudah berdiri didalam kelasnya, itu tandanya jam pelajaran sudah di mulai sedari tadi.

Rere sudah terlambat.

Pak Eko — guru yang mengajar jam pembelajaran saat ini meletakkan kedua tangannya di pinggang, geleng-geleng kepala melihat kehadiran Rere yang baru saja datang.

"Rere habis darimana?"

Rere menggigit bibir bawahnya, "habis dari toilet, pak Eko. Panggilan alam." Kata Rere tanpa rasa malu sekali, mendengar itu sontak teman sekelasnya tertawa renyah.

Pak Eko geleng-geleng kepala lagi, "tadi pagi habis sarapan berapa banyak piring?"

"Satu doang kok pak."

Pak Eko menunjuk jam dinding yang tertempel di atas papan tulis kelas, "kamu tau kan sekarang jam berapa? Jam pelajaran saya sudah mulai dari tadi dan kamu terlambat karena kelamaan buang air besar." Tegas pak Eko.

Guru pelajaran bahasa indonesia ini memang terkenal tegas atas kedisiplinan para muridnya.

"Masih telat sepuluh menit kok pak ..."

"Tetap aja kamu terlambat! Sebagai murid baru kamu harus lebih disiplin Rere. Jadi untuk hukumannya, silahkan kamu berdiri hormat di bawah tiang bendera sampai jam pelajaran saya selesai." Perintah Pak Eko tak bisa diganggu gugat.

Glek.

Kaki Rere seketika melemas, "baik pak." Selepas pamit dari kelas, ia pun melangkah gontai menuju lapangan sekolah.

Sepasang netra-nya menatap nanar lapangan yang di selimuti oleh terik matahari pagi ini yang cukup panas.

Rere menghembuskan nafas pasrah, berjalan pelan ke arah tiang bendera, dan mendongakkan kepalanya segera berhormat pada sang pusaka merah putih.

Ugh, nasib ... nasib ...

- TBC -

Seguir leyendo

También te gustarán

2.6M 268K 63
Gimana jadinya lulusan santri transmigrasi ke tubuh antagonis yang terobsesi pada protagonis wanita?
780K 10.9K 25
Klik lalu scroolllll baca. 18+ 21+
2.6M 129K 59
LO PLAGIAT GUE SANTET 🚫 "Aku terlalu mengenal warna hitam, sampai kaget saat mengenal warna lain" Tapi ini bukan tentang warna_~zea~ ______________...
461K 50.2K 22
( On Going + Revisi ) ________________ Louise Wang -- Bocah manja nan polos berusia 13 tahun. Si bungsu pecinta susu strawberry, dan akan mengaum lay...