Life in Death 2 : Illusion

By iam_zzzy

26.5K 4.3K 380

(BACA LID SEASON 1 DULU) Life in Death season 2 telah hadir! Aku tak tahu selamat dari gedung berlantai 3 itu... More

HALO GAIS
I
II
III
IV
V
VI
VII
VIII
X
XI
XII
XIII
XIV
XV
XVI
XVII
XVIII
XIX
XX
XXI
XXII
XXIII
XXIV
XXV
XXVI
XXVII
XXVIII
XXIX
XXX
XXXI
XXXII
XXXIII
XXXIV
XXXV
XXXVI
XXXVII
XXXVIII
XXXIX
XL
XLI
XLII
XLIII
XLIV
XLV
XLVI
XLVII
XLVIII
XLIX
L (Last Chapter)
Info / Pengumuman / Perpisahan

IX

553 93 2
By iam_zzzy

Tentunya, untuk pembukaan malam aku tak akan langsung bergegas untuk tidur. Aku memilih untuk menghampiri yang lain, sekedar berbicara untuk rencana kedepannya, atau lebih jujur; membicarakan professor itu.

  “So… jadi bagaimana menurutmu?” tanyaku pada semuanya ketika kami semua sudah siap duduk melingkar di salah satu ruang yang jauh dari ruang utama, tempat Profesor Regis dan alatnya beristirahat.

  “Jauh dari yang aku bayangkan” kata David pelan.

  “Kukira yang disebut professor itu adalah orang tua berjanggut yang bicaranya bijak” Ex menambahkan.

  “Iya! Aku tak menyangka professor yang dimaksud disini adalah pria seumuran kita yang bicaranya tinggi sekali” kata Yuki dengan kesal.

  “Sudah, sudah. Bagaimanapun kita harus bersyukur karena kita telah menemukan professor itu” kataku menenangkan mereka yang mulai berisik.

  “Apa yang akan kita lakukan setelah ini? Professor itu tidak terlihat seperti bisa diajak kerja sama” kata Jesica.

  “David, coba kau buka bukumu. Lihat petunjuk apa yang tertulis disitu” kataku pada David. Ia segera membuka tasnya dan mencari buku kuno itu.

  “Um… mari kita lihat…” gumamnya.

  “Ini aneh” kata David tiba-tiba sesaat setelah ia membaca.

  “Ada apa?” tanya Fauzia.

  “Aku yakin sekali ini adalah
‘Ex, kau akan tahu kebenarannya’ Walaupun tulisannya sudah mulai menghilang karena buku ini telah usang, aku yakin tulisannya seperti itu” kata David sambil menunjuk salah satu bagian pada buku.

  “Ex?” tanyaku bingung.

  “Iya, Mam?” tanyanya padaku.

  “Kenapa namamu bisa ada di buku yang umurnya puluhan tahun lamanya?” tanyaku padanya.

  “Aku juga tak tau, Mam” katanya yang sepertinya juga bingung.

  “Berarti, mari kita selidiki apa petunjuk yang dimaksud dari kata-kata itu. Aku yakin ini ada hubungannya dengan Ex” kata Mark.

  “Ex, dimana kau tinggal?” tanya David pada Ex.

  “A-aku… aku tak tau” jawab Ex gugup. Keringatnya mulai bercucuran.

  “Kau yakin kau tak tau? Kalau begitu, dimana keluargamu? Ibumu, ayahmu, atau saudaramu?” tanya Mark.

  “Uuum, ngh… aku tak tau” kata Ex semakin gugup. Ia mulai menggigiti jarinya.

  “Ayolah, Ex. Bantu kami sedikit! Tak mungkin kau tak tau keluargamu sendiri, kan?!” David mulai membentak. Ekspresi wajah Ex mulai berubah ketakutan.

  “Hei hei… kau tak boleh seperti itu David…” kataku mencoba menenangkan David.

  “Kali ini jawab aku, darimana kau berasal?” kata David. Suaranya semakin meninggi seolah-olah menghakimi Ex yang sedang ketakutan.

  “Mam…” katanya sambil pindah bersembunyi di belakang punggungku. Aku yakin Ex benar-benar gemetar sekarang.

  “David! Kau tak boleh bicara seperti itu!” aku mulai keras padanya.

  “Tapi David benar! Dari sekian hal, masa Ex hanya bisa bilang tak tau?” kata Mark. Laki-laki sungguh menyeramkan.

  “TAPI AKU BENAR-BENAR TAK TAU!” teriak Ex kencang membuat suasana hening untuk sekejap. Semuanya diam, tak ada yang bersuara.

  “Ma-maaf… kepalaku pusing. Aku butuh waktu berpikir” kata Ex sambil bangkit dari duduknya. Ia berjalan meninggalkan ruangan dimana kami berkumpul. Entahlah, kurasa ia ingin menangis.

  “Apa yang kalian lakukan hingga membuatnya menangis? Kalian bahkan tak tau apa yang telah ia lalui?” kataku sambil melotot kearah David dan Mark.

  “Aku juga tak mengerti…” kata David bingung. Ia menunduk.

  “Ex tak bisa mengingat darimana ia berasal atau dimana keluarganya sekarang. Satu-satunya yang ia ingat adalah kecelakaan yang menimpa keluarganya beberapa tempo lalu. Dan sekarang kalian mengintimidasinya, membuatnya sakit kepala karena berusaha mengingat kejadian yang bahkan tak ingin ia ingat” kataku panjang lebar pada mereka, berharap mereka akan mengerti.

  “Kenapa kau tak bilang dari awal, El?” tanya Mark.

  “Apakah kau pikir Ex akan merasa senang saat aku membicarakan tragedi yang menimpa dirinya pada kalian saat Ex berada disini?” kataku pada mereka.

  “Aku harus minta maaf” kata David sambil berusaha bangkit sebelum aku menarik tangannya untuk kembali duduk.

  “Jangan, itu akan membuatnya shock. Aku yang akan berbicara padanya” kataku sambil berdiri dan meninggalkan ruangan.

Aku berdiri dan berusaha mencari Ex. Kepalaku menengok ke kanan ke kiri. Sebenarnya aku ingin memanggil namanya, tapi kurasa itu bukanlah hal yang tepat untuk dilakukan disaat seperti ini. Aku terus berjalan dan akhirnya…

  “Ex?” kulihat dia sedang berada di depan kapsul berbentuk tabung. Ah iya, lelaki itu masih ada di dalamnya.

  “Mam?” tanyanya.

  “Mam lihat sini” katanya diikuti aku yang menghampirinya.

  “Bagaimana seseorang bisa hidup dalam keadaan seperti itu?” tanyaku bingung.

  “Entahlah, Mam” jawab Ex.

  “Ehem” professor Regis berdehem sambil menghampiri kami. Tunggu, apa yang ia kenakan? Piyama bergambar kelinci dan wortel imut? Seriously?

Ia datang dan menghampiri kapsul itu. Ia menekan beberapa tombol yang berada di daerah situ. Seketika air berwarna hijau didalamnya surut dan habis. Dan beberapa detik setelah airnya benar-benar habis, kaca dari kapsul itu pun terbuka. Lelaki itu membuka matanya.

  “Hai!” sapa Ex pada lelaki itu setelah lelaki itu membuka maskernya.

  “Ah iya” jawab lelaki itu yang sepertinya masih terlihat pusing.

  “Kau belum memberitahu namamu” kata Ex padanya.

  “Huh? Bukankah aku sudah menyebutkannya saat membuka sensor pintu tadi?” tanya lelaki itu.

  “Hah?” tanya Ex bingung.

  “Kurasa aku tak mendengarnya. Bisa kau ucapkan sekali lagi?” tanyaku padanya.

  “R” jawabnya singkat.

  “Ayolah, jangan main-main” kataku tak percaya.

  “Namaku memang R. Tuanku yang memberi nama” jawab lelaki yang bernama ‘R’ itu.

  “Kejam! Bagaimana mungkin kau memberi nama untuknya dengan satu huruf seperti itu?” kata Ex marah pada professor Regis.

  “Hah? Memangnya ada masalah?” kata Regis kesal.

  “Tentu saja! Kau benar-benar tak berperikemanusiaan. Seharusnya---“ sepertinya Ex akan mengomel lebih panjang lagi.

  “Regis, biarlah Ex mengganti namanya” kataku pada Regis.

Aku benar-benar tak suka mendengar Ex mengoceh panjang lebar seperti itu.

  “Ah baiklah baiklah. Kau bisa memberi nama alatku sesuka hatimu. Kalau bukan karena gadis berkacamata ini, aku tak sudi membiarkannya” kata Regis sambil berdecak sebal.

  “BENARKAH?” tanya Ex senang. Sepertinya aku bisa melihat efek berkilauan di matanya.

  “Kalau begitu, kau kuberi nama ‘Ri’!” teriak Ex senang.

Kakiku rasanya lemas sampai-sampai ingin tumbang. Wajah professor Regis lebih masam lagi.

WHAT THE F*CK, EX! SETELAH MENGOCEH PANJANG LEBAR TENTANG NAMA ‘R’ YANG TERLALU SINGKAT, KINI KAU MEMBERI NAMA ‘RI’?

  “Aku…” lelaki bernama R itu tampak kelihatan kesal.

  “Aku suka nama itu!” teriaknya semangat. Wajahnya berubah menjadi gembira. Ex tersenyum lebar. Ia memegang tangan Ri dan mulai berputar-putar. Kali ini aku bisa melihat efek berkilauan yang lebih besar disekeliling mereka.

  “Regis, sepertinya aku akan pergi” kataku sambil berbalik dan berjalan menjauh.

  “Aku juga” jawabnya sambil ikut pergi meninggalkan Ex dan Ri yang sedang bersuka cita. Kurasa mereka sudah tak waras.

Dan kini, kurasa Profesor Regis lebih memilih untuk mengikutiku yang duduk di sofa depan dibandingkan kembali ke kamarnya. Aku meliriknya. Ia duduk sedikit lebih jauh dari kananku, mencoba melihat kearah lain. Aku tak berencana untuk mengajaknya bicara jadi aku hanya diam dan bersandar.

  “Jadi… siapa namamu?” tanya Profesor Regis membuka pembicaraan, hal yang sebenarnya tak aku harapkan.

  “El. Kau bisa panggil aku El” jawabku sambil mengambil buku yang terletak di atas meja, mencoba menyibukkan diri.

  “Nama lengkapmu?” tanyanya. Apakah ‘El’ tak cukup untuknya?

  “Liana Rox-el” kataku singkat sambil membalik halaman dari buku berisi pengetahuan sains itu. Sebenarnya aku malas membacanya, tapi demi mencoba terlihat sibuk aku tetap membacanya.

  “Lalu… berapa usiamu tahun ini?” tanyanya mencoba mencari tahu. Oh ayolah! Apa seorang yang bergelar ‘profesor’ tak punya pekerjaan lain selain mencari tahu profilku?

  “18 tahun” jawabku singkat.

  “Apa senjatamu?” ia bertanya lagi. Kurasa pertanyaannya kali ini membuatku sedikit memperhatikannya. Aku menyimpan buku berisi pengetahuan sains itu kembali ke meja. Lagipula aku tak mengerti.

  “Gergaji mesin. Kenapa? Kau ingin memberikanku yang baru?” kataku sambil melihat ke wajahnya, berharap ia dapat membantu senjataku.

  “Kau mau?” tanya professor itu. Sebenarnya kalaupun aku bilang ‘mau’, memangnya ia benar-benar akan memberikannya? Ia bukan orang yang terlihat seperti akan memberikan barang secara cuma-cuma.

  “Tentu saja. Tapi kalaupun aku mau, kau tak akan memberikannya, bukan?” tanyaku sambil kembali lihat ke depan.

  “Um… aku… aku akan memberikannya” katanya sambil berdiri dan berniat meninggalkanku yang sedang duduk.

  “Benarkah?” tanyaku tertarik.

  “Iya!” katanya sambil berlari meninggalkanku. Wajahnya memerah.

Entahlah, sebenarnya tak buruk juga. Aku berharap banyak untuk senjata baruku karena sepertinya ia professor yang handal. Aku kembali ke suatu ruangan dimana aku akan mengistirahatkan tubuhku yang lelah ini. Well, selamat tidur.

Continue Reading

You'll Also Like

4.6K 63 5
5 tahap aja cuy untuk mahir dalam berbahasa
214K 24K 73
Novel ini bukan karya saya. THIS STORY AND NOVEL Isn't Mine I DO NOT CLAIM ANY RIGHTS SELURUH KREDIT CERITA NOVEL INI MUTLAK MILIK AUTHOR (PENGARANG...
10.3K 183 7
LEADERSHIP • Understanding Self [ MENGENAL DIRI ] • Communication [ KOMUNIKASI ] • Getting Along with Others [ MENYATU DENGAN YANG LAIN ] • Learning...
8.6K 1.4K 19
Genre : Science Fiction, Psychology, school, Comedy etc. Tahun 20XX adalah tahun dimana ilmu pengetahuan paling utama. Seseorang yang tidak memiliki...