Mr. Trouble

By Zeeyazee

6.9M 29.8K 263

Judul sebelumnya : Bo(ss)y's Sexretary Charlotte Jackeens, sedang dalam masa keemasan karirnya bekerja di div... More

Chapter One: Hello, Troublemaker.
Chapter Two: Mr. Troublemaker
Chapter Three: Bonjour Trouble
Chapter Four: Trouble Is A Friend
Info

Chapter Five: Trouble's True Colour

192K 5.1K 43
By Zeeyazee

"Kau yakin tidak ingin kutemani? Sepertinya selimut itu masih kalah hangat dibanding pelukanku. Kau bisa mencobanya."

________________________

Charlotte mengayunkan kedua tangannya ke depan dan ke belakang. Sesekali gadis itu mendongakkan kepalanya ke atas, ia berharap bisa melihat banyak bintang membentang. Dan saat ia mendongak, butiran-butiran salju yang turun layaknya gerimis hujan di musim panas itu menyentuh wajahnya. Charlotte jadi ingat, dulu saat masih kecil, ia senang membuka mulutnya sambil berputar-putar di bawah hujan, mendongakkan kepalanya ke atas agar salju-salju itu masuk ke dalam mulutnya. Ia sering dimarahi ayahnya karena kekonyolan itu.

Mengingat-ingat kenangan masa kecilnya menggiring Charlotte menelusuri jalanan kota Paris. Taman champ de mars mulai tertinggal beberapa meter jauhnya di belakang Charlotte. Gadis itu memutuskan untuk jalan-jalan sendiri tanpa Dave menuju hotelnya yang memang masih sangat jauh. Ia memutuskan akan naik taksi ke hotel kalau kakinya mulai sakit. Bagaimanapun di suhu sedingin ini, kakinya yang mengenakan stiletto itu akan cepat mengering kulitnya dan menimbulkan luka lecet. Belum lagi, ia hanya mengenakan jas Dave yang kebesaran di tubuhnya sebagai satu-satunya lapisan penghangat yang melindungi punggung telanjangnya dari angin. Sekarang, ia berniat berjalan sekitar dua sampai tiga blok melintasi pertokoan sebelum kembali ke hotel. Mendinginkan isi kepala dan hatinya yang tidak karuan.

Charlotte masih menyesalkan keputusan Mrs. Halley mengangkatnya menjadi sekretaris, kemudian Dave yang harus menggantikan posisi Mrs. Halley di kantor pusat selama beberapa pekan, sehingga ia berakhir dengan menghabiskan sebagian besar waktunya bersama pria itu. Sekeras apapun Charlotte berusaha bersikap baik pada Dave, tetap saja rasa jengkel yang tiba-tiba muncul hanya karena sikap Dave yang bisa tiba-tiba berubah menyebalkan, mengalahkan niatan Charlotte untuk berdamai dengan pria itu.

Sekarang, ia berencana untuk tetap bertahan sampai tiba waktunya Mrs. Halley kembali ke perusahaan. Charlotte rasa ususnya cukup panjang untuk bisa bersabar menghadapi segala tingkah dan sikap Dave padanya. Anggap saja, itu adalah tindakan penyelamatan diri agar tidak dipecat. Ia memang sudah kehilangan posisi pekerjaan yang ia dambakan, tapi bukan berarti dia juga harus kehilangan pekerjaan di perusahaan Whittaker yang diidamkan semua orang.

Charlotte saling mengusap-usapkan kedua tangannya yang tersembunyi di balik lengan jas Dave, yang terlihat hanya ujung-ujung kuku jarinya. Gadis itu masih sibuk menciptakan panas dari gesekan kedua tangannya , saat ia merasakan sebuah tangan menyentuh pundaknya. "Charly!"

"D-dave?!" Charlotte terperanjat.

Dave sedang membungkuk memegangi kedua lututnya. "Aku tidak mengira restoran itu begitu miskinnya sampai-sampai toiletnya berada di luar areanya," kata Dave dengan nafas tersengal. "Menurutmu, haruskah aku menanam modal di restoran itu?" matanya berkilat jenaka sehabis menyelesaikan humornya. Pria itu mengharapkan balasan lucu dari Charlotte, tapi ia tidak mendapatkannya: hanya sebuah tatapan tajam dan helaan nafas panjang. "Baiklah, apa masalah kita kali ini?" Dave mengerang frustrasi.

"Tidak ada," jawab Charlotte. "Aku kedinginan. Kau naik apa ke sini? dimana mobil itu?"

Dave masih mengatur nafasnya. "Aku berlari mencarimu. Mobil itu sedang kembali ke hotel..., kau ingin pulang sekarang?"

Charlotte menggeleng. Matanya sedikit menyipit karena tiupan angin. "Aku masih ingin berjalan-jalan. Kalau kau ingin pulang duluan, pulang saja." Ia kembali berjalan.

Dave berusaha mengimbangi jarak antara dirinya dan Charlotte yang sempat terpisah beberapa langkah, "Meninggalkan kau sendirian? Tentu saja tidak," pria itu berseru. "Karena itu, kau harus ikut aku pulang sekarang, Charlotte. Hidungmu mulai berubah warna." Dave menunjuk hidung Charlotte yang mulai merah. Lebih lama sedikit ia berada di luar sini, maka besok pagi ia akan terserang demam. "Aku tidak menerima kata 'tapi', Charly..."

Tangan Charlotte mati rasa dan hidungnya mulai mampet. Sepertinya kali ini, mau tidak mau ia harus menuruti saran Dave. Gadis itu mengangguk lemah saat Dave menatapnya, memastikan kalau ia setuju untuk pulang saat itu juga. Anggukan Charlotte segera ditanggapi Dave, pria itu tampak sibuk dengan ponselnya. Ia terlihat sedang berbicara dengan orang-yang mungkin petugas hotel- melalui benda elektronik berbentuk kotak pipih itu.

Charlotte dan Dave berdiri agak jauh. Keduanya terlihat tidak tertarik terlibat dalam percakapan apapun. Seakan tenggelam dalam pikiran masing-masing, Charlotte mulai merasakan gelombang kemarahan yang menjengkelkan di dalam kepalanya. Ia menarik nafas keras-keras. "Berapa lama kita harus menunggu?....,aku sudah tidak tahan lagi," katanya dengan suara serak.

Dave menoleh. Charlotte kira pria itu akan melihatnya dengan – semacam- tatapan bosan, tapi tidak begitu. Agaknya pria itu sedikit terlihat khawatir dengan Charlotte yang suaranya semakin serak seperti orang yang sedang flu, atau akan terkena flu. "Kau mau kuhangatkan?" goda Dave. Pria itu mengembangkan tangannya seperti jaring ikan, dan Charlotte yang jadi ikannya.

Charlotte tertawa singkuh, "Aku lebih memilih beku seperti ini daripada harus dipeluk olehmu, Dave," katanya. Charlotte terdengar capek, seperti sudah mengulang-ulang percakapan semacam ini dengan Dave; menolak godaan-godaan yang kerap dilontarkan pria itu padanya di beberapa kesempatan. Charlotte tahu, Dave melakukan itu hanya untuk mencairkan ketegangan di antara mereka yang belum usai dari pertama kali mereka bertemu hingga sekarang sudah menjadi rekan kerja yang setiap hari akan saling bertatap muka satu sama lain.

"Mobilnya datang."

Charlotte mengikuti arah pandang Dave. Mobil yang menjemput mereka sudah datang. Dari kaca depan, samar-samar Charlotte bisa melihat supir yang mengendarainya adalah orang yang mengantar mereka berdua ke pertemuan bisnis tadi. Nah, dia jadi teringat akan Kurt. Besok, dia harus menghadapi orang yang mungkin genitnya melebihi Dave. Memikirkannya saja membuat kepala Charlotte sakit.

Mobil itu berhenti di depan mereka. Charlotte dan Dave masuk satu persatu di awali dengan Charlotte. Saat Dave masuk ke dalam mobil dan sedikit bergeser kepada Charlotte, lengannya tidak sengaja menyenggol bahu Charlotte. Gadis itu tersentak kaget merasakan dingin dari kemeja Dave yang sedikit basah karena salju merembes ke bajunya. Pikiran mengenai Dave yang sengaja membiarkan Charlotte memakai jasnya dan tetap bersikap santai meskipun ia sendiri kedinginan, berputar-putar di dalam kepalanya. Bertambah satu alasan, kenapa ia harus cepat-cepat berdamai dengan pemuda itu.

"Aku akan membangunkanmu begitu kita sampai di hotel nanti, Charlotte." Dave bersuara lembut. "Siapa tahu kau merasa ingin tidur sekarang..."

Sambil menggelengkan kepala dengan mati rasa, Charlotte hanya berbisik. "Aku tidak..."

"Aku tahu." Dave memotong. "Jangan coba-coba berbohong. Aku tidak akan membiarkanmu sakit, karena itu berarti perusahaan akan membayar biaya ekstra untuk perjalanan kita." Dave nyengir.

Charlotte membiarkan pemuda itu berkata sesukanya kali ini. Setelah berniat berbohong kalau ia tidak ngantuk, dia jadi benar-benar ngantuk. Jadi, ia memejamkan matanya, kepalanya bersandar ke kanan ke jendela. Diam-diam Dave mencuri pandang ke arah Charlotte, ia seperti ingin berkata sesuatu tapi terlalu ragu-ragu, dan ia pun berakhir diam. Keadaan tetap sunyi senyap sampai mereka berdua sampai di hotel.

***

Charlotte merasakan tubuhnya seperti ringan dan terangkat ke atas. Ia membuka matanya, bayang-bayang wajah Dave tampak bawah mulai samar-samar terlihat. Bau karpet hotel bercampur parfum yang menguar dari tubuh Dave, tercium terlalu menusuk bagi hidung Charlotte dan itu membuatnya bersin.

"Kau ingin aku menurunkanmu, atau bagaimana?" Dave bertanya dengan tatapan mengintimidasi yang dibuat-buat. Sepertinya, laki-laki itu hanya malu karena Charlotte terbangun di situasi seperti ini; Dave tengah menggendongnya, dan ia sudah setengah jalan untuk sampai di kamar Charlotte.

Charlotte membiarkan pemuda itu menggendongnya, "Jangan berhenti di sini. Selesaikan niat menolongmu itu sampai tuntas."

"Tapi kau sudah sadar..." Dave menurunkan Charlotte dari gendongannya. "Aku sudah menggendongmu dari luar hotel sampai ke lantai 15 ini, aku sudah terlalu baik." Sekarang pria itu mulai bertingkah menyebalkan lagi di depan Charlotte.

Alih-alih marah, Charlotte hanya mendengus pelan kemudian berjalan menjauh dari Dave. Langkahnya sudah terhuyung-huyung, sehingga orang yang melihatnya pasti menyangka ia sedang mabuk. Dari belakang, Dave menyongsong Charlotte; melingkarkan tangannya ke pinggang gadis-setengah-sadar-itu, dan menaruh lengan kiri Charlotte di atas pundaknya. "Aku hanya bercanda. Jangan sekaku itu," kata Dave. Pelan-pelan mereka berdua mulai berjalan.

Charlotte mencari kata-kata yang tepat, "Ini bukan modus mu agar kau bisa masuk ke kamarku dan bertingkah seolah ingin merawatku padahal..."

"Tentu saja tidak, idiot. Kau pikir aku bos macam apa?" Dave terdengar sedikit tersinggung dan geli di waktu yang bersamaan. "Sekarang aku jadi tahu kalau kau tidak begitu tahan dingin. Bagaimana kalau jadwal pertemuan dengan mereka, kita ubah jadi siang hari?" Dave menujukan kata mereka untuk para kolega bisnisnya.

Charlotte menggeleng lemah, "Ini karena aku tidak memakai pakaian yang pantas utuk kugunakan berjalan di tengah kota saat angin sedang berhembus kencang-kencangnya, Dave." Kemudian ia menguap. Air matanya sedikit bergenang di sudut luar matanya karena menguap. "Jadi... jangan menyindirku, Dave."

"Kartumu," kata Dave, yang ia maksud adalah kunci kamar Charlotte.

Charlotte menyodorkan tasnya. Dave merogoh isi tas Charlotte dengan satu tangan, sementara gadis itu masih menyanggah tasnya dengan tangan satunya. Dave menemukan kartunya, menempelkannya ke sensor, dan pintu pun terbuka. Ia lalu memapah Charlotte ke dalam kamar.

"Aku tidak menyangka kau bisa terkena flu semudah itu," kata Dave. Ia mengamati Charlotte yang bergumul di dalam selimut, bersembunyi. "Mungkin sebaiknya kau berendam air hangat sebelum tidur."

Charlotte membuka selimutnya, mengeluarkan kepalanya dari dalam persembunyiannya, "Katakan padaku kau akan menyuruhku istirahat besok..." Charlotte meminta dengan ragu-ragu. Dilihatnya wajah Dave yang serius. "....Oke, lupakan. Aku mengerti—"

"Kau harus mengirimkan email pemberitahuan pada mereka." Dave memotong.

Charlotte terdiam beberapa saat. "Maksudmu?"

"Katakan pada mereka, sekretaris tersayangku ini sakit dan aku sebagai bosnya tidak ingin melihat sakitnya lebih parah lagi."

"Aku benar-benar harus menulisnya seperti itu?" Charlotte tidak keberatan menulis kalimat seperti itu kalau memang Dave menginginkannya. Bagaimanapun, gadis itu sangat senang kalau besok ia benar-benar bisa beristirahat seharian.

"Tentu saja tidak, idiot." Dave melemparkan kunci kamar Charlotte ke atas kasur, dan menyebutnya idiot lagi. "Jangan sampai lupa. Mereka adalah kumpulan orang tua yang mudah marah," tambah Dave.

Charlotte tidak tahan untuk tidak menimpali kalimat Dave barusan. "Yeah, suatu saat kau akan menjadi seperti mereka. Semua manusia akan menua sesuai kodratnya." Charlotte memamerkan gigi nya yang berderet rapi saat membentuk tanda damai dengan jari telunjuk dan jari tengah tangan kanannya.

"Bahkan saat sakit, kau tidak sungkan mengajakku berdebat." Dave berjalan mendekat kepada Charlotte, lalu duduk berjongkok segaris dengan perut Charlotte. Pria itu mengulas senyum miringnya, "Setidaknya, aku berencana menua menjadi seorang tampan yang pesonanya tidak akan habis di makan usia. Kalau sampai tiba saat itu kau masih bekerja denganku, aku berani taruhan kau mungkin belum menikah karena..."

"Karena?" Charlotte tampak tertarik mendengar lanjutan dari kalimat Dave yang sengaja digantung. Gadis itu menjulurkan lehernya lebih dekat pada Dave.

"Karena," kata Dave. "Kau jatuh cinta padaku dan tidak bisa menikahi pria lain."

Charlotte memasang tampang seolah ingin muntah. "Aku hampir saja memuntahkan daging steak mahal yang belum selesai dicerna perutku," katanya. "Pulanglah ke kamarmu. Aku ngantuk."

"Kau yakin tidak ingin kutemani? Sepertinya selimut itu masih kalah hangat dibanding pelukanku. Kau bisa mencobanya."

Charlotte memutar matanya malas. Dave berdiri. "Jangan lupa berdoa. Siapa tahu Tuhan berbaik hati menyisipkan sosok Kurt ke dalam mimpimu." Pria itu melangkah mundur. "...dan aku akan berdoa agar Tuhan mengirimkan sosok sekretaris menyenangkannya padaku."

Mendengar itu Charlotte menjadi sedikit naik pitam, "Jangan harap aku bersedia bersikap sok centil di hadapan orang kaya sialan itu!" seru Charlotte. Seketika tampang jenaka Dave berubah serius kala mendengar seruan Charlotte.

"Aku masih memiliki nurani untuk tidak melakukan segala cara hanya demi selembar surat kontrak saja, Charly," kata Dave. "Mungkin ada baiknya kau mengurangi sedikit saja sifat curigaanmu padaku itu."

Charlotte menggeram kesal. "Kalau begitu bersikap baiklah," kata Charlotte. Ini jelas bukan situasi yang baik, Charlotte tahu itu. Suasana santai barusan hanya berlangsung kurang dari 5 menit sebelum tiba-tiba Dave bersikap seperti tersinggung dengan omongan Charlotte.

"Ku harap kau tidur nyenyak malam ini, Charly."

Itu yang Dave katakan. Disusul dengan suara debaman pintu yang begitu keras saat ia keluar dari kamar Charlotte. Bertambah satu poin tentang Dave yang harus Charlotte ingat: pria sok tampan itu sangat mudah tersinggung. 

Continue Reading

You'll Also Like

11.6K 339 25
Mungkinkah dia jatuh hati Seperti apa yang ku rasa Mungkin kah dia jatuh cinta Seperti apa yang ku damba Tuhan yakinkan dia Tuk jatuh cinta Hanya unt...
450K 6.5K 5
Young-adult (tamat) ✔ Bagi Barra, mencintai Killa itu seperti bernapas yang setiap detiknya selalu dihela. Killa sudah menjadi candunya, bahkan terma...
643K 11.6K 5
Hanya tersisa 5 Bab. Bab lengkap bisa dibaca di Dreame via web atau aplikasi. Uname : Faitna Andini Bab rapi+ tambahan bab. Kisah persahabatan antara...
202K 32.8K 23
Mili sangat membenci kondisi ini. Dikejar-kejar oleh Mamanya sendiri yang mau menjodohkannya. Bahkan, titah untuk menikah sebelum usia 24 tahun terus...