Hujan Bulan Desember

By daffoguy

2.6K 272 174

Menjadi seorang nomad bukanlah tujuan hidup Andreas Hestamma. Setelah sekian lama berpindah tempat tinggal da... More

P R A K A T A
Prolog
Bab 1
Bab 2
Bab 3
Bab 4
Bab 5
Bab 6
Bab 7
Bab 8
Bab 9
Bab 10
Bab 11
Bab 12
Bab 13
Bab 14
Bab 15
Bab 16
Bab 17
Bab 18
Bab 19
Bab 20
Bab 21
Bab 22
Bab 23
Bab 24
Bab 25
Bab 26
Bab 28
Bab 29
Bab 30
Epilog
D A N K S A G U N G

Bab 27

24 2 1
By daffoguy

Arian tengah duduk dengan tegang di sebuah restoran Prancis ketika dilihatnya jemari tangannya semakin licin karena keringat yang terus menerus muncul dari pori-pori kulitnya. Ia punya banyak pengalaman dengan wanita, namun ini adalah pengalaman pertamanya untuk serius dengan satu di antaranya. Arian benar-benar tidak bisa menutupi kegugupan yang melanda dirinya.

Sore tadi, ia meminta untuk bertemu dengan Adhira di restoran Prancis yang sudah beberapa kali mereka datangi untuk makan malam. Adhira yang ketika itu baru saja hendak pulang dari kampus mengatakan bahwa ia akan meluncur langsung ke restoran tersebut tepat ketika itu pula. Dan kini, wanita itu sudah mengabari Arian bahwa sekitar 15 menit lagi dirinya akan tiba di tempat janji.

Arian meremas kotak beledu kecil yang ia masukkan di kantong blazer yang ia pakai. Malam ini, ia akan benar-benar melamar Adhira. Arian memang tidak berencana menyiapkan sebuah pesta mewah atau momen istimewa untuk hal ini seperti menyewa seluruh restoran atau membuat acara flashmob seperti yang ramai orang lakukan di televisi dan internet.

Arian bukannya tidak bisa menyewa restoran malam itu hanya untuk dirinya dengan Adhira, atau membuat acara kejutan yang meriah dan heboh. Bagi Arian, momen berharga seperti ini adalah momen pribadi yang hanya boleh Arian dan Adhira saja yang tahu. Ia menginginkan suasana biasa namun intim, seperti halnya hubungan mereka selama ini, cinta yang menguar di salah satu sudut bumi, bersamaan dengan cinta dari pasangan-pasangan lainnya, namun bagi mereka berdua, cinta merekalah yang paling indah. Maka dari itu, biarlah Arian melamar Adhira di tempat biasa di mana orang lain bebas berlalu lalang, melakukan aktivitas mereka sendiri, tapi momen bahagia itu hanya Adhira dan Arian berdua yang bisa merasakan.

Arian juga tidak ingin jika momen seperti ini dibuat terlalu heboh dengan tarian atau pertunjukkan. Karena pada akhirnya, yang paling penting dari semua hal ini adalah kehadiran Adhira di depannya dan jawaban yang akan ia terima dari Adhira, bukan seberapa hebat persiapan yang telah ia lakukan, atau tarian apa yang sudah ia kuasai.

Setelah mengeluarkan kembali tangannya dari dalam saku blazer, Arian meraih sebuah serbet yang terletak di atas meja, dan mengelap permukaan tangannya yang sudah kembali basah, ketika dilihatnya sosok yang ia tunggu tengah menoleh ke kanan dan kiri mencari dirinya di gawang pintu masuk.

Arian dengan refleks berdiri dan melambai pada Adhira sambil mengulas senyum simpul yang terlihat canggung. Ia benar-benar tidak bisa menahan rasa gugupnya.

Adhira yang melihat kehadiran Arian seketika membalas senyum Arian dengan lengkung cantik pada bibirnya yang ketika itu sukses membuat wajahnya semakin cantik. Ia dengan cepat berjalan pada Arian yang merasa jantungnya semakin berdegup kencang.

"Sudah lama Mas?" tanya Adhira pada Arian ketika dirinya sudah berdiri tepat di depan pria itu.

Arian menggeleng pelan. "Nggak kok," jawabnya singkat. "Ayo duduk," ucapnya lagi mempersilakan Adhira. Adhira mengangguk sambil kemudian menarik kursi di hadapan Arian dan menaruh tas jinjingnya di samping kanan meja.

"Sudah pesan makan?" tanya Adhira kemudian.

Arian menggeleng. "Mas tunggu kamu, jadi kita bisa pesan bareng," jawabnya. Adhira hanya mengangguk, sambil kemudian celingukan mencari pelayan, hendak meminta buku menu. Tidak lama kemudian seorang pelayan laki-laki menghampiri mereka, dan bertanya apa yang sekiranya bisa ia bantu. Adhira kemudian meminta menu, dan pelayan tersebut mengangguk setelah sebelumnya meminta Adhira dan Arian menunggu dirinya sebentar mengambilkannya.

"Aku sudah laper banget Mas," ucap Adhira pada Arian sambil menyeringai. Arian hanya tertawa kecil. Ia masih sedikit berusaha menyunggingkan senyumnya sekalipun dirinya kini sama sekali tidak begitu peduli dengan apa yang dilakukan wanita cantik di depannya ini atau apa yang ia ucapkan. Arian hanya fokus pada dirinya, fokus pada bagaimana supaya dirinya bisa sedikit mengendurkan ketegangan yang masih melandanya.

"Mas, nggak apa-apa kan?" tanya Adhira kemudian ketika melihat ekspresi wajah Arian yang kurang santai.

Arian tersenyum sambil mengangguk dan menjawab, "nggak kenapa-kenapa kok." Ia kemudian menyeringai sambil terkekeh canggung.

Sial, batin Arian kesal pada dirinya sendiri yang tidak kunjung bisa tenang. Ia kemudian menarik napas dalam-dalam ketika pelayan yang tadi sudah kembali datang dan memberikan buku menu pada Adhira. Santai Yan, ajak Adhira ngobrol dulu, biar lu sedikit bisa rileks, batinnya lagi sambil untuk beberapa detik menutup matanya.

Ketika dirinya kembali membuka matanya, dirinya mendapati Adhira tengah menatapnya sambil melambai-lambaikan tangan kanannya di depan wajah Arian. "Mas serius nggak apa-apa?" tanya Adhira lagi.

"Eh?" Arian sedikit terhenyak. "Kenapa Dek?" tanyanya pada Adhira.

Adhira mengernyitkan alisnya. "Tadi aku tanya Mas mau pesen apa, Mas malah merem nggak denger omonganku," jawab Adhira. "Mas sakit ya?"

"Nggak kok, tadi Mas cuma lagi mikirin sesuatu aja. Ada sedikit masalah di kantor. Tapi sudah nggak apa-apa kok," timpal Arian lagi berbohong.

"Yakin?" tanya Adhira lagi memastikan.

Arian tersenyum yakin sambil mengangguk pelan. "Iya Dek."

"Ya sudah kalau begitu," ucap Adhira lagi. "Jadinya mau pesan apa?"

"Samain saja sama kamu deh."

Adhira mengangguk. "Oke kalau begitu," ucapnya, sambil kemudian kembali memanggil pelayan dan memesan makanan untuk mereka berdua.

***

Sebuah mobil berjalan melambat ketika mobil tersebut memasuki sebuah pelataran rumah mewah. Ketika ia sudah benar-benar berhenti di teras depan, pintu mobil tersebut terbuka, dan keluarlah dari dalamnya sepasang suami istri paruh baya dan seorang wanita cantik berusia akhir dua puluh dari dalamnya sambil membawa sebuah kotak kado berukuran sedang.

Tidak lama pintu depan rumah itu terbuka, dan muncullah sepasang suami istri yang terlihat tidak terpaut usia yang jauh dengan suami istri yang baru saja keluar dari mobil tersebut menyambut tiga orang tersebut dengan ramah. Wajah mereka terlihat sumringah, senyum mereka tersungging lebar, dan keduanya berjalan menghampiri ketiga tamu mereka sambil kemudian memberikan pelukan hangat.

"Allen, Hellen, apa kabar?" tanya si nyonya rumah kemudian beramah-tamah.

"Kabar baik Rachma," jawab si tamu wanita parah baya bernama Hellen itu. "Maaf sekali, kami baru sempat main lagi ke sini setelah bertahun-tahun," lanjutnya kemudian.

"Malam Om Tante, ini ada hadiah kecil buat Tante sama Om," ucap seorang wanita muda di sebelah mereka sambil menyodorkan kotak kado yang sedari tadi ia pegang.

Bara, si tuan rumah menghampiri wanita muda itu sambil menerima kado yang disodorkan padanya tersebut sambil memasang senyum bahagia. "Ini Luna ya? Sudah besar sekarang, sudah cantik," ucapnya pada wanita muda itu.

Luna tersenyum sopan, sambil kemudian membalas pujian Bara barusan. "Om juga masih keliatan ganteng," ucapnya.

Bara hanya tersenyum mendengar pujian dari Luna. "Om masih inget dulu kamu pas masih kecil sering main ke sini, main bareng Arian. Tapi sekarang Arian sudah tinggal sendiri, rumah jadi sepi," ucap Bara lagi.

"Arian kan sekarang sudah dewasa Bar, bisnis saja sudah dia yang urus kan?" timpal Allen. "Kamu tinggal tunggu dia nikah saja sekarang," lanjutnya bercanda.

Rachma tersenyum mendengar hal tersebut. Pikirannya seketika melayang mengingat pertemuannya dengan Adhira beberapa waktu lalu. Bara, suaminya, sampai sekarang tidak tahu bahwa Arian kini sudah memiliki pacar. Namun cepat atau lambat, jika hubungan Arian dan Adhira berjalan lancar, Bara pun akan segera mengetahuinya. Dan mengingat bagaimana Arian sudah terlihat sangat positif dengan Adhira, seharusnya hal itu tidak akan memerlukan banyak waktu lagi. Tapi tentu, Rachma sadar, sepositif apa pun Arian pada Adhira, pada akhirnya keputusan Adhiralah yang nantinya akan menentukan masa depan keduanya.

"Jadi inget ya, dulu kita sering banget jodoh-jodohin Arian sama Luna," ucap Hellen kemudian.

Luna yang merasa risih mendengar hal itu seketika menyikut lengan mamanya. "Apa sih Ma," gerutunya malu. Semua yang berada di tempat itu seketika tertawa.

"Memang kenapa Nak? Siapa tahu kan kamu beneran jodoh sama Arian? Iya nggak Bar?" ucap Allen pada Bara yang seketika dihadiahi anggukan oleh Bara.

"Arian kan sudah punya pacar Pa," timpal Luna lagi sedikit tidak nyaman.

Bara mengernyitkan alisnya. Ia tidak pernah tahu bahwa Arian selama ini sudah memiliki pacar. Ia seketika menoleh pada istrinya.

"Kamu kenal Adhira?" tanya Rachma pada Luna.

Luna mengangguk. "Kami satu divisi Tante," jawabnya singkat. Rachma hanya mengangguk pelan.

Bara semakin mengernyitkan alisnya. Sebenarnya wajar saja jika dirinya tidak mengetahui perihal hubungan Arian dengan pacarnya, karena Bara tahu betul bahwa selama ini Arian tidak pernah serius jika menjalin hubungan dengan seseorang, apalagi sampai memperkenalkannya pada keluarganya. Namun melihat sepertinya Rachma, istrinya bahkan sudah mengenal Adhira, sepertinya kali ini, Arian tidak sedang bermain-main.

Bara terdiam sebentar. Ia sempat mengira bahwa dirinya harus menjodohkan Arian dengan seorang wanita jika anaknya itu tidak pernah membawa seorang calon istri ke rumah. Dan Luna adalah salah satu kandidat kuat yang akan ia usungkan. Namun sepertinya, kini ia tidak memerlukan hal tersebut. Namun begitu, ia masih harus menyelidiki siapa wanita yang berhasil membuat Arian memilih untuk memulai hubungan percintaan yang serius.

Setelah beberapa saat, Bara kemudian terhenyak dan sambil memasang senyum yang lebar mengembang, ia kemudian mempersilakan ketiga tamunya itu untuk segera masuk ke dalam rumah, menjemput jamuan di ruang makan yang disiapkan.

***

"Kamu tadi habis ngapain di kampus Dek?" tanya Arian sambil menyuap potongan daging pada mulutnya. Entah karena makanan yang ia santap sangat enak, atau karena ia sudah memulai obrolan kasual dengan Adhira sedari beberapa menit lalu, kini dirinya sudah bisa sedikit merasa rileks.

"Ada bedah buku ajar baru begitu, jurusan niatnya mau ganti text book mahasiswa Mas," jawab Adhira kemudian yang sukses dihadiahi kernyitan alis Arian.

"Buat apa?" tanya Arian kemudian. "Maksud Mas, kenapa kamu harus ikut acara itu? Kamu mau belajar lagi atau bagaimana?"

Adhira terdiam sebentar. Matanya kemudian menerawang, memandang kosong sebuah vas bunga yang berada di hadapan mereka, seolah tengah memikirkan sesuatu. "Sebenarnya, sudah dari lama, aku punya niat untuk ngajar di kampus Mas," jawab Adhira kemudian. Kali ini ia mengalihkan pandangannya, dan menatap Arian dengan raut wajah yang sangat bahagia. "Kebetulan juga, aku kan sekarang sudah berhenti kerja di kantor, dan sepertinya ini jadi kesempatanku buat merealisasikan cita-citaku sejak dulu," lanjutnya kemudian.

Arian terdiam sebentar. Selama ini ia tidak pernah tahu bahwa Adhira ingin menjadi seorang tenaga pendidik di kampus. "Kenapa kamu baru bilang sekarang?" tanya Arian sambil menatap Adhira.

"Karena dulu, aku masih merasa ragu. Masih merasa mungkin aku nggak mampu buat jadi pengajar," jawab Adhira. "Tapi setelah aku kenal Mas, aku tahu bagaimana senangnya mengejar sesuatu yang aku cita-citakan."

Arian semakin terdiam. Ia tidak pernah masalah jika Adhira hendak melakukan apa pun yang wanita itu ingini. Hanya saja, kondisinya kini berbeda. Arian sadar, bahwa untuk bisa bersamanya, Adhira mau tidak mau harus bisa melepas sebagian mimpinya, melepas passion-nya untuk bekerja. Dorongannya selama ini untuk berhenti bekerja di kantor pun bukan semata karena masalah kode etik hubungan antar pegawai, melainkan juga karena untuk bisa menjadi bagian dari anggota keluarga Arian, Adhira harus bisa hanya fokus pada keluarga.

Keluarga Arian bukan keluarga biasa. Seperti halnya keluarga pengusaha sukses lainnya, gerak-gerik anggota keluarga mereka akan selalu menjadi perhatian orang, yang ujungnya pun selalu berpengaruh pada naik turunnya saham perusahaan. Tidak boleh ada skandal, apalagi masalah besar lainnya. Maka dari itu, hubungan para anggota keluarga itu pun harus dibatasi.

"Apa alasanmu ingin jadi dosen?" tanya Arian kemudian.

"Dengan cara itu aku merasa bahwa ilmuku akan selalu berkembang Mas," jawab Adhira. "Maksudku, aku suka bidang ini, bidang ilmu bahasa. Dan karena itu jugalah, aku susah payah untuk bisa lanjut kuliah di bidang yang sama dulu, jauh ke negaranya langsung. Jujur saja Mas, selama ini aku selalu merasa sedih, setiap kali mengingat bahwa aku bekerja di bidang yang berlainan dengan bidangku, aku selalu berpikir, buat apa aku jauh-jauh sekolah jika akhirnya hanya bekerja seperti ini? Meskipun aku dibayar besar, rasanya tetap saja seolah aku sudah membuang waktuku sia-sia," jelas Adhira panjang lebar.

Arian terdiam setelah sebelumnya mengangguk mengerti. Perasaan tegang yang semula menyelimutinya kini sudah sepenuhnya menghilang. Bukan karena ia sudah merasa yakin bahwa dirinya akan berhasil melamar Adhira malam ini, melainkan dirinya yakin bahwa sekarang bukan saat yang tepat untuk itu.

"Kalau kamu nggak bisa mewujudkan cita-citamu itu, bagaimana?" tanya Arian lagi. Berusaha mencari celah yang bisa ia pakai untuk meyakinkan Adhira nanti.

Adhira terdiam sebentar. "Aku belum sempat memikirkan hal itu," jawabnya. "Tapi mungkin, aku akan sengat kecewa, dan mungkin juga, bersalah," lanjutnya sedikit ragu.

"Bersalah?"

Adhira mengangguk. "Beberapa hari ini, setelah kecelakaan Afif, aku mulai sadar bahwa keluargaku tidak pernah sempurna. Aku besar tanpa ayah. Ibu yang selalu jadi tulang punggung keluarga. Dia yang selalu bekerja keras untukku, bahkan sampai membiayaiku sekolah di luar negeri. Ibu selalu ingin aku jadi dosen," timpal Adhira lagi.

Arian mengangguk lemas. Ia mengerti maksud ucapan Adhira. Dan mendengar penjelasan tersebut kini membuat dirinya semakin gamang. Kini ia sadar bahwa dirinya membutuhkan sedikit waktu untuk kembali memikirkan rencananya ini. Ia mengurungkan niatnya untuk melamar Adhira malam ini. Cincin itu masih bisa menunggu.

Arian kemudian mengulas senyum kecil. Sambil meraih jemari tangan kanan Adhira dan menggenggamnya erat, ia kemudian berkata, "habiskan makananmu." []

Continue Reading

You'll Also Like

30.8M 1.8M 67
DIJADIKAN SERIES DI APLIKASI VIDIO ! My Nerd Girl Season 3 SUDAH TAYANG di VIDIO! https://www.vidio.com/watch/7553656-ep-01-namaku-rea *** Rea men...
32.1M 2M 103
1# Mavros Series | COMPLETED! MASIH LENGKAP DI WATTPAD. DON'T COPY MY STORY! NO PLAGIAT!! (Beberapa bagian yang 18+ dipisah dari cerita, ada di cerit...
13.8M 1.1M 81
β™  𝘼 π™ˆπ˜Όπ™π™„π˜Ό π™π™Šπ™ˆπ˜Όπ™‰π˜Ύπ™€ β™  "You have two options. 'Be mine', or 'I'll be yours'." Ace Javarius Dieter, bos mafia yang abusive, manipulative, ps...