I'm Fine (END)

By trynn14

57.4K 2.3K 97

Shakira Azna Mutiara gadis ceroboh, heboh, cerewet, lebay, ceria, ralat, ceria hanya untuk menutupi kesedihan... More

β˜†prologβ˜†
bab 1
bab 2
bab 3
Bab 4
Bab 5
bab 6
Bab 7
bab 9
Bab 10
Bab 11
Bab 12
Bab 13
Bab 14
bab 15
Bab 16
Cast Cewek
Bab 17
Bab 18
Cast Cowok
Bab 19
Bab 20
Bab 21
Bab 22
Bab 23
Bab 24
Bab 25
Bab 26
Bab 27
Bab 28
Bab 29
Bab 30. Epilog
Info!!!
Extra Part|Anaz
Extra Part|Kirana
Sequel
I'm Fine 2 Publish!

Bab 8

1.4K 76 2
By trynn14

"realitas tak semanis ekspektasi"
~Shakira Azna Mutiara~

*******

Seperti biasa, sepulang sekolah pembantu kepercayaan di rumah orang tua Azna. Sekaligus sebagai Ibu pengganti bagi Azna, selalu saja menyambutnya di depan pintu masuk rumah besar ini.

"Non sudah pulang?" tanya bibi.

"Alhamdulillah bi," jawab Azna seadanya. " Ibu udah pulang bi?" tanya Azna.

"Be-" belum juga dijawab oleh sang bibi, Azna terlebih dahulu memotong.

"Belum ya?" tanya Azna pura-pura lesu. 'Iyalah, sejak kapan Bunda Azna pulang sore. Paling cepet juga jam sembilan.' Batin Azna.

"Non ganti baju gih, bibi udah siapin makanan buat non," kata bibi.

"Nggak laper bi," jawab Azna sambil melangkah pergi keluar rumah.

Percayalah, manusia mana yang betah di rumah seperti ini? Rumah tanpa kasih sayang, rumah yang Azna anggap sebagai tempat untuk singgah. Hanya singgah, bukan beristirahat.

Bolehkah kita membenci takdir? Bolehkah kita meminta tuhan agar mengakhiri penderitaan yang tak berujung ini? Dimanakah ujungnya penderitaan ini? Agar Azna dapat mengakhirinya dengan cepat. Adakah orang yang bersedia menemani Azna dan menjadi sandaran bagi Azna?.

Azna lelah, Azna lelah menangis setiap hari. Azna lelah berpura-pura bahagia. Azna lelah menjadi orang tegar padahal hatinya sudah rapuh. Azna lelah dengan penderitaan yang tiada habis.

*******

Azna keluar dari rumah menuju taman di perumahannya. cukup dekat, Hanya jalan kaki Azna pun bisa sampai tanpa membuang waktu.

Duduk merenung meresapi kenangan yang ada, kenangan dimana keluarganya bersatu, penuh kasih sayang.

Azna ingat di ayunan itu dulu dia dan kedua orang tuanya tertawa. Masih teringat jelas tawa dari mereka, menggema di telinga, terekam di pikiran, terasa di hati.

Menyedihkan memang.

Apa yang pantas Azna senangkan dari kehidupan yang entah kapan bahagia. Apa yang pantas Azna banggakan dari kehidupan yang menyedihkan.

"Kenangan indah, memang susah di lupakan," gumam Azna.

Hujan turun membasuhi bumi, turut serta membasuhi tubuh Azna yang kian meringkuk di bawah pohon rindang. Banyak orang berbondong- bondong berlari, mencari tempat untuk berteduh.

"Gue suka hujan, karena hujan gue bisa nangis sesuka hati. Tanpa orang tau kalau gue lagi menangis," ucap Azna.

Buliran air dari pelupuk mata jatuh satu persatu, ikut jatuh ke tanah bersama derasnya hujan. Sekelebet masa lalu yang indah terngiang di benaknya.

Senyuman, tawa, kasih sayang, semua terukir indah di pikiran tanpa ada beban.

Rindu, iya rindu. Rindu ini sudah kian bertambah banyak setiap harinya. Akan terus bertumpuk dan bertambah tanpa bisa tersalurkan.

"Ngapain lo disini?" tanya seseorang dengan suara baritonnya.

Azna mendongak, menatap seseorang yang berdiri tak jauh darinya. Tinggi semampai, tapi Azna tidak bisa menerka siapa orang itu. Terlalu sulit melihat disaat hujan turun dengan deras.

"Kenapa?" tanya balik Azna.

"Gue nanya, kenapa lo balik nanya? Jawab dulu pertanyaan gue!" seloroh lelaki itu dengan sebal.

"Duduk lah," jawab Azna tanpa minat.

"Gue tau lo lagi duduk, tapi nggak harus di sini. Ini lagi hujan, kalo lo sakit gimana? Seenggaknya peduli sama kondisi tubuh lo," nasehat lelaki itu.

Lelah berdiri lelaki tersebut memutuskan ikut duduk di samping Azna dengan tangan kanan yang memegang payung.

"Lo kenapa?" tanya lelaki itu.

Azna sudah bisa menerka siapa lelaki ini, dia Anaz.

"Kepo deh," jawab Azna. "Lo ngapain kesini?" tanya balik Azna.

"Kebetulan lewat, liat lo sendirian di sini," jawab Anaz menunjukkan kantung plastik belanjaan di minimarket perumahan ini, sebagai bukti bahwa dia tak ada niatan mengikuti Azna.

Azna mengangguk mantap, lalu kembali mengalihkan atensinya ke taman yang sudah nampak sepi.

"Gue suka lo yang di sekolah," cetus Anaz.

Azna mengernyit bingung, ia sama sekali tak maksud dengan ucapan lelaki ini.

"Iya, lo itu selalu ceria di sekolah. Tertawa bahagia, tapi apa? Lo yang di rumah nangis? Nggak usah buang cuma-cuma air mata lo," jawab Anaz.

"Sotoy lo, emang tau apa lo tentang gue?" Pekik Azna.

"Nggak banyak sih, cuma kalo ngeliat lo, lo punya dua sifat. Semacam ... mm ..." jawab Anaz sambil berfikir.

"Alter ego?" tanya Azna memastikan.

"Nggak tau tuh, intinya yang berkepribadian ganda," jawab Anaz.

"Beda naz, kepribadian ganda itu biasanya di karenakan trauma. Emang gue punya trauma apa?" Pernyataan Azna membuat Anaz berpikir dua kali.

"Gue nggak tau." Anaz menggaruk tengkuknya, menampilkan deretan gigi. "Hidup dibuat simple aja kali, tinggalkan yang membuatmu kecewa, pertahankan yang membuatmu bahagia," kata Anaz.

"Termasuk orang yang paling berharga juga harus ditinggalkan?" Azna memandang mata Anaz dengan sorot mata teduh.

"Iya, bukannya dia udah tega kecewain lo," jawab Anaz mantap.

"Kalau dia adalah keluarga?"

Skakmatt, Azna itu pintar dalam berkata. Selalu saja menang dalam berdebat.

"Kenapa diem?"

"Emang lo ada masalah sama keluarga?" tanya Anaz.

Azna tersenyum sayu. " nggak juga," alibinya.

"Kirain ada."

Hening, setelah tidak ada satupun dari mereka yang bersuara suasana kembali sepi, yang ada hanya rintikan sisa-sisa hujan, gerimis.
Azna dengan pikirannya, begitu pula Anaz yang asik melamun. Keduanya sibuk menikmati imajimasi yang mereka buat sendiri.

"Yuk pulang, gue anter lo ke rumah." Setelah lama tak bersuara akhirnya Anaz membukanya dengan ajakan.

Azna hanya mengangguk, ia berdiri mengikuti Anaz yang sudah berdiri terlebih dahulu.

**********

Pagar setinggi lima meter di rumah Azna tertutup rapat, dari luar nampak sepi. Tidak ada seseorang yang keluar masuk dari rumah. Sepi, seperti tidak berpenghuni.

"Mau mampir dulu atau gimana?" tanya Azna sekedar basa-basi.

"Nggak usah, udah sore aku langsung pulang aja," jawab Anaz.

"Ohh, ya udah kalau gitu." Azna memasuki gerbang, ia langsung disambut Pak satpam alias Pak Tarjun suami pembantunya di rumah ini.

"Non udah pulang, kok Non basah kuyup gini? Non abis dari mana? Non pergi sama siapa?" tanya Pak Tarjun bertubi-tubi.

Azna terkikik geli, mendengar begitu khawatirnya Pak Tarjun terhadap dirinya. "Tadi hujan Mang Tarjun, Azna abis dari taman, sama temen Azna tuh," jawab Azna sambil menunjuk Anaz yang masih di belakang gerbang.

"Ohh, Aden makasih ya sudah jagain Non Azna," ucap Pak Tarjun sopan.

"Sama-sama Pak." Anaz menganggukan kepala sambil tersenyum." Kalau gitu saya pamit Pak."  imbuh Anaz, tidak lupa mencium punggung tangan satpam.

Sepeninggalan Anaz yang pulang kerumah, Pak Tarjun melayangkan senyuman yang entah sulit di artikan bagi Azna.

"Pacar Non Azna sopan banget sih Non, padahal kan Mamang cuma satpam tapi kok mau cium tangan mamang," kata mamang.

Azna tersentak kaget, bagaimana bisa Mang Tarjun menilai Anaz sebagai pacarnya? Padahal tidak ada hubungan spesial diantara mereka. "Dia bukan pacar Azna, Mang."

"Ohh, Mamang pikir pacar, maaf Non." Mamang Tarjun membukakan pintu masuk untuk anak majikannya.

Azna hanya tersenyum seraya menggelengkan kepala juga menepuk pundak Mang Tarjun seolah berkata 'tidak apa-apa Mang' lewat bahasa tubuhnya.

'Prang!'

Suara vas bunga pecah yang memang sengaja dijatuhkan sang pemilik untuk meluapkan emosinya yang kian membuncah.

Azna tercekat, padahal pintu baru separuh dibuka. Namun, pemandangan di dalam rumah sudah membuatnya jengah. Ia tambah tidak betah di rumah.

"Apa-apaan kamu! Kamu masih saja selingkuh! Dulu kamu menangis, bersimpuh di kakiku. Kamu memohon ampun dan berjanji tidak mengulanginya lagi! Tapi apa kenyataanya?! Kamu melakukan itu lagi!" bentak Ayah Azna terhadap ibu Azna.

"kenapa? Suka-suka saya! Anda juga sudah tidak menafkahi saya! Lalu apa berhak anda memarahi saya?!" jawab Ibu Azna, Kirana.

"Jelas saya berhak Kirana! Kamu masih istri sah saya!"

Kirana tersenyum sinis." Lalu kenapa anda tidak pernah menyerahkan uang anda barang sepeserpun untuk saya?!" tanya Kirana disertai bentakan.

"Itu karena dulu kamu tidak menuruti kemauan saya! Bukankah dulu kamu yang menginginkan anak? Lalu kamu selingkuh. Kamu datang memohon sama aku dengan membawa anak tidak jelas itu! dan ... kamu minta aku buat nerima anak itu. Kamu minta aku buat nganggep anak itu seperti anak kandungku!" bentak Fernando, ayah Azna.

"Iya, aku mengaku bersalah! Dan aku menyesal telah mengambil anak itu!" bela Kirana untuk dirinya sendiri.

Azna paham, anak tidak jelas yang dimaksud adalah dirinya. Siapa lagi kalau bukan dia? Azna itu anak tunggal dari keluarga Fernando. Sudah jelas yang mereka perdebatkan adalah dirinya.

*******

Kasihan banget Azna, ingin bahagia aja susahnya minta ampun😢

bersyukurlah buat kalian yang keluarganya masih utuh juga baik-baik aja.

Next??
Hargailah kehaluan author😊😁

Continue Reading

You'll Also Like

6.9M 291K 59
On Going [Revisi] Argala yang di jebak oleh musuhnya. Di sebuah bar ia di datangi oleh seorang pelayan yang membawakan sebuah minuman, di keadaan ya...
ALZELVIN By Diazepam

Teen Fiction

5.8M 319K 36
"Sekalipun hamil anak gue, lo pikir gue bakal peduli?" Ucapan terakhir sebelum cowok brengsek itu pergi. Gadis sebatang kara itu pun akhirnya berj...
16.4K 974 6
'Senyummu adalah kebahagianku'
913K 13K 26
Klik lalu scroolllll baca. 18+ 21+