El Academy [Proses Revisi]

By RiaethShiba

79.8K 5.3K 399

[Fantasy-Minor Romance] Three Kingdom The Series #1 Hembusan Rusa yang Bebas. Itu adalah arti namanya; Oilien... More

El Academy-Victorian
Chapter 1 : Flamers
Meet The Character!
Chapter 2 : Dandelion
Chapter 3 : Si Rambut Silver
Chapter 4 : Ujian
Chapter 5 : Aukwood
Chapter 6 : Necklace
Chapter 7 : Teman atau Musuh?
Chapter 7.5 : Teman atau Musuh?
Chapter 8 : His Brother
Chapter 9 : The Last Day
Chapter 10 : Ini Salah!
Chapter 11 : Pangeran Malam
Chapter 12 : A Time to Remember
Chapter 13 : Lost that "Blue"
Chapter 14 : Saying Good "Bye"
Chapter 15 : Red Rose
Chapter 16 : Doll
Chapter 17 : The Meaning
Chapter 18 : Let Me?
Chapter 19 : White Lie
Chapter 20 : Cold Truth Or Warm Dare?
Chapter 21 : Something Changed
Chapter 22 : Untrusted
Chapter 23 : Grey Suicide
Attention Please!
Chapter 24 : Heart of Fire
Chapter 25 : Can You See My Heart?
Chapter 26 : Fall Behind
Chapter 27 : Termodinamika

Chapter 28 : Apriori

1.6K 85 35
By RiaethShiba

"Hati itu sifatnya reversibel. Bisa saja hari ini kau cinta, tapi esoknya benci. Atau kau benci, esoknya simpati.

Lihat? Tidak ada yang abadi. Bahkan untuk hati sekali pun."

- Unknown -

***

Kadang aku merasa kesepian ketika tak ada orang yang datang memenuhi ruangan. Semalam kuhabiskan waktu untuk merenung sekaligus mengingat bagaimana cara aku mengetahui tentang Zeon dan Organisasi Angin. Padahal, jelas-jelas Leon ada di sana, menatapku bak seorang bodyguard yang harus terus menjaga agar aku tidak melakukan hal aneh maupun sesuatu yang membahayakan keselamatanku. Tetapi sayang, tampang garangnya itu malah terlihat imut dengan bibir yang mengerucut.

Hari ini, aku menarik kembali kata-kataku. Leon mengizinkan beberapa anak kelas mengjengukku setelah sekian lama menunggu. Di sana ada Davian yang hanya menampilkan senyum tipis, Lunara yang kepo karena sosok Leon si anak baru yang menjagaku, Nathan yang cerewet sekali menasehatiku untuk berhati-hati, Marcello yang merupakan teman sebangku Zeon (aku tak begitu mengenalnya, jadi aku bingung kenapa ia datang), dan beberapa anak lain yang datang karena bersimpati. Jujur saja, aku tidak terlalu mengenal mereka. Yang kuketahui hanya lah ... gadis dengan senyum maut di sana bernama Delilah, sedangkan seorang gadis yang terlihat malu-malu adalah Delisa. Mereka kembar, makanya aku mudah sekali mengingatnya.

"Di mana Eve?"

Satu kalimat itu membuat atmosfir dalam satu ruangan ini canggung. Aneh, kenapa Evelina tidak ada? Kalau Zeon, aku bisa memahaminya karena kejadian kemarin sore. Tetapi Eve? Kenapa Evelina tidak datang? Lalu ... kenapa semua orang terdiam karena pertanyaanku?

Itu pertanyaan biasa 'kan?

"Tentang itu ..." Sang Ketua Kelas, Davian, berbicara. Matanya melirik ke arah Lunara yang menunduk, entah mengapa. "Evelina tidak ikut. Tadi ada tugas kelompok kimia yang mengharuskannya mencari bahan presentasi di perpustakaan. Sepertinya dia sibuk, jadi tidak bisa kemari."

Oh, sibuk. Memang sih, tugas kimia selalu membuat kami kelelahan karena tugas presentasi yang selalu ada di setiap mingguya. Tetapi tetap saja, tidak bisakah Evelina menyempatkan waktu untuk menjengukku? Kenapa ia tak ada kabar sama sekali?

"Kau ada di kelompok kami," celetuk seorang gadis yang berdiri tak jauh dariku. Aku sontak menaikkan alis dan tersenyum tipis ketika melihat Delilah yang berbicara.

"Ya! Kita berempat, aku, Delilah, kau, dan Davian menjadi satu kelompok. Tenang saja, kau tidak usah ikut mengerjakan. Kami bertiga merupakan tim yang handal. Lagipula, tugas kimia kelompok ini tidak sebanyak itu, kok!"

Aku mengerjapkan mata. Ekor mataku melihat bagaimana Delisa diberi tatapan tajam oleh semua orang, sedangkan Delilah menghembuskan napas panjang sembari berkacak pinggang.

Tidak terlalu banyak? Seharusnya Eve tidak sesibuk itu 'kan?

Apa yang terjadi pada Evelina?

"Apa? Kenapa kalian menatapku begitu?"

"Dasar bodoh," desis Delilah dengan cibiran untuk saudari kembarnya sendiri.

Tatapanku beralih pada Davian yang menatapku tidak enak. Sepertinya ia paham apa yang ada di dalam pikiranku. Otakku masih harus mencerna lebih ketika merasakan sesuatu menggenggam tanganku erat, padahal tidak ada siapa pun di sana. Hanya berupa ... udara kosong.

Kulirik Davian yang berdiri di sana. Dengan sedikit menyipitkan mata, aku menghela napasku sejenak. "Santai, aku tidak akan mati hanya karena fakta itu. Dia pasti menyibukkan diri. Nanti saja ketika semua ini berakhir ... ia akan kumarahi habis-habisan. Lihat saja!"

Suasana canggung telah berganti santai. Bahkan kumelihat banyak orang bercanda. Sekitar sepuluh orang yang berada di sini, tanpa Leon. Hanya enam orang yang kukenal, yang lainnya aku masih melupakan nama mereka. Bodohnya aku!

"Feyna," panggil Marcello dengan nada santai. Seketika beberapa orang seperti Lunara yang sedang berbincang dengan Nathan dan Davian yang bersandar di dinding sebagai pengamat, mulai memperhatikan kami.

"Hm?"

"Aku tidak tahu apa yang terjadi. Seharusnya aku tidak berada di sini," cicitnya sembari menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. "Aku ikut kemari karena suatu hal. Teman sebangkuku, Arzeon, ingin aku menyampaikan ini."

Mata Marcello beradu denganku. Ia serius, aku tahu. Terlihat bagaimana caranya ia manahan manik mataku agar tidak meliar kemana-mana. Tetapi hal itu malah terlihat aneh di mataku. Sejak kapan Zeon dekat dengan Marcel?

"Katanya, "semuanya masih baik-baik saja, tidak ada yang perlu dikhawatirkan," begitu." Marcello mendesah kecil. "Aku tidak tahu apa yang terjadi, tapi jangan libatkan aku lebih jauh tentang ini. Kenyataan dia meminta bantuanku saja membuatku bingung, apalagi sampai terjebak di antara kalian. Tolong, aku membenci roman picisan."

"R-Roman ... picisan?" tanyaku dengan mulut ternganga. Apa-apaan?

Zeon ... benar-benar bilang begitu? Seolah tak ada apapun? Really? Dia benar-benar tidak marah padaku?

Seharusnya dia marah saja. Tidak ada yang masih baik-baik saja, bahkan untukku sekalipun. Semuanya ... terlalu sulit untuk kucerna.

"Tadi pagi ia berani berdebat panas dengan Mr. Sven di pelajaran membosankan miliknya. Semua orang terkejut dengan tingkah orang itu. Bagaimana ada orang gila yang berani berdebat dengan guru botak killer itu? Sepertinya Arzeon mencari mati. Dan ya ... topik debatnya mengenai sejarah ketiga kerajaan. Semua orang diminta berasumsi tentang bagaimana bisa Stromhold menutup diri. Mr. Sven terlalu banyak mengoceh hingga telingaku sakit, jadi aku memilih mendengarkan lagu tanpa memperhatikan. Jahat sekali, tiba-tiba saja Zeon mencengkeram bahu kananku kuat--sepertinya jika aku wanita akan membekas, entahlah. Ia memaksaku kemari untuk mengatakan hal itu." Marcello memutar bola matanya. Terlihat sekali keengganannya melakukan permintaan Zeon. Namun di lain sisi, ia terlihat menikmati. Caranya bercerita terlalu santai.

Dia berbakat menjadi admin akun penyebar gosip.

"Katanya, ia meminta bantuanku karena aku akan segera melupakan ini. Ya, aku memang tidak peduli sih." Kulihat Lunara memicingkan matanya ke arah Marcello. "Tapi tetap saja, jangan bawa-bawa aku lagi! Kalian pikir aku ada waktu untuk melakukan hal-hal yang tidak berguna seperti itu?"

"Terima kasih," balasku dengan senyuman tipis. "Untuk orang yang tidak pedulian sepertimu, ternyata memang lebih baik daripada aku."

Lelaki berambut spike itu mengangkat alis. Lalu ia menggelengkan kepalanya dan mengangkat bahu. "Begitu?"

Aku tidak menjawab pertanyaan retorisnya. Diamku membuat pikiranku melayang pada ucapan Zeon yang dititipkan Marcello padaku.

Semuanya masih baik-baik saja, tidak ada yang perlu dikhawatirkan.

Ah, itu bukan untukku, melainkan untuk dirinya sendiri.

Tolong, jangan sok kuat, Zeon. Aku tahu kalau kamu tidak baik-baik saja sekarang.

Seketika aku menunduk menahan air mata yang mungkin akan menetes lagi. Ternyata tidak, sepertinya air mataku telah habis. Belum ada yang mampu membuatku lebih sakit dari hari kemarin. Eh, bukan. Jangan, jangan sampai ada yang membuatku lebih sakit dari ini.

"Oh ya." Ia hendak berbalik arah--mungkin ingin pergi, namun malah berbalik menghadapku lagi. "Satu lagi, dia mengatakan sesuatu tentang angin. Hmm ... sebentar. Ah ya!"

Jari telunjuk pria itu mengacung di udara. Aku hanya menahan senyuman ketika melihat caranya berekspresi. Unik sekali. Kupikir ia merupakan manusia tanpa ekspresi.

"Takkan ada badai tanpa adanya angin." Marcello tersenyum sinis. "Sepertinya kalian bertengkar hebat. Ia sampai mau berbicara padaku sebegitunya. Roman picisan yang sungguh menggelikan!"

Takkan ada badai tanpa adanya angin.

Apa yang coba kau beritahukan padaku, Zeon? Tak bisakah kau kemari saja dan membicarakannya denganku?

"Sekali lagi, terima kasih, Marcel." Aku terkekeh kecil. "Kami tidak ada hubungan romansa. Cukup mengetahui dia baik-baik saja, aku sudah senang."

"Dasar, menggelikan! Mau kau berkata apapun, aku tidak akan percaya." Kini, tingkahnya menjadi atensi seluruh orang di ruangan karena hendak pergi dari sini. "Cepat sembuh. Pastikan ia tidak meminta bantuan padaku semacam ini lagi. Cih, menggelikan."

Tak tahu mengapa, aku terkekeh lagi. Tingkahnya lucu, seperti anak kecil. Sungguh, aku tidak tersinggung dengan ucapannya. Namun sepertinya ia merupakan teman yang baik. Karena ucapannya menandakan kejujuran, tak ada kebohongan sedikit pun di sana. Mungkin kata-katanya akan menyakitkan, tetapi itu lebih baik ketimbang mengutarakan pujian dengan kebohongan.

Hingga pada akhirnya sosok itu menghilang di balik pintu UKS yang tertutup.

"Feyna!" Suara ceria itu lagi. Nathaniel, dia dan kacamatanya seolah menyambutku hangat. "Aku juga tidak tahu apa yang terjadi, tetapi semangat! Lunara bercerita banyak tentangmu akhir-akhir ini. Tentang Felicity juga ... aku turut berduka."

Aku mengangkat alis. Lunara bercerita tentang Felicity pada orang lain? Apakah ia juga memberitahu Nathan tentang sandiwara kami—kecuali Leon, karena saat itu ia masih menjadi sosok Sergio?

"Semua orang di kelas membicarakan itu beberapa saat yang lalu. Tapi dia tiba-tiba menggebrak meja, membungkam seluruh asumsi seluruh anak kelas yang berbeda-beda." Nathan melempar senyum ke arah Lunara. Tetapi gadis itu malah memalingkan wajah ke arahku. Lucu sekali, aku menahan geli di sini.

"Dia menjelaskan kalau Felicity memang ditemukan di kamarmu, dengan keadaan gantung diri. Padahal jelas-jelas hanya kalian berdua yang membawa kunci kamar. Sulit untuk membuktikan bahwa kalian tidak bersalah, tetapi sepertinya kami terlalu banyak berpendapat sendiri." Nathan melirik ke semua pasang mata di ruangan ini. Aku mengikutinya. Ya Tuhan, ternyata semua orang sedang memperhatikan. "Ada yang dengan bodoh berkata kalau salah satu dari kalian menyebabkan Felicity gantung diri. Tak sedikit yang berasumsi kalau ... salah satu dari kalian sengaja membunuhnya."

Ia melirihkan kalimat terakhirnya. Namun aku tahu, semua yang ada di ruangan ini juga mendengarnya.

"Aku tidak tahu yang sebenarnya terjadi, tapi tadi aku sempat ... " Nathan menggantungkan kalimatnya, lalu menghembuskan napas kecil. "Maaf."

"Untuk?"

"Untuk meragukanmu."

Bukan, bukan Nathan yang mengatakannya. Tetapi itu adalah Davian, ketua kelasku yang pendiam.

Sontak aku mengangkat alis, lalu menggeleng kecil. "Malah, seharusnya kalian masih meragukanku. Memang apa yang dikatakan Lunara sampai semua orang berhenti berasumsi?"

"Kami semua belum mengenalmu dalam, Feyna." Delilah berbicara diikuti Delisa yang mengangguk-angguk setuju. "Kami semua mendengar berita mengenaskan itu dari gadis-gadis penggosip di asrama. Jelas-jelas mereka suka membuat onar, mengatakan yang tidak-tidak. Dan kami ... dengan mudahnya percaya. Seharusnya kami klarifikasi dahulu sebelum ... berargumentasi."

Kini, salah satu gadis yang familier wajahnya, namun tak kuketahui namanya ikut berbicara. "Lunara bilang, jika kami terus menggosip dan berasumsi tanpa kebenaran pasti, kami akan terus mencari pembenaran. Padahal, pembenaran itu bukanlah kebenaran."

Aku tertegun. Kulirik Lunara yang terdiam di tempatnya sembari menunduk.

"Semua orang boleh berasumsi, aku tahu." Gadis itu berdehem sejenak. Bibirnya yang tipis itu membentuk senyuman kecil yang menenangkan hati. Tipe gadis anggun, cocok untuk sikap seorang bangsawan. "Tapi hal itu akan membuatmu memiliki image jelek di sekolah. Padahal jelas, belum ada jawaban pasti untuk kasus ini."

"Dan yang paling menampar kami ... adalah Davian," ucap gadis itu sambil terkekeh. Netra birunya menatap Davian seakan lelaki itu adalah sosok yang ia kagumi. "Dia bilang, kau memang sosok yang pendiam. Kau juga bukan seseorang yang pintar. Bahkan ia bilang kau itu ceroboh, apalagi saat membuat ramuan. Kau juga sulit berkata "tolong" pada orang lain. Evelina juga sama, dia memang jarang berbicara dan hanya berbicara denganmu. Tapi pantaskah dari situ kita menilai bahwa kalian adalah sosok yang buruk? Sementara kami yang kelihatannya mencemaskan sosok Felicity, sebenarnya malah menyudutkanmu. Menjadikanmu bahan gosip, tanpa ada simpati dan empati pada Felicity. Kalau itu benar, bukankah kami tersangkanya secara tidak langsung? Kami hanya membuat keadaan menjadi semakin buruk."

"Jika kami peduli, kami tidak akan berasumsi. Kami seharusnya menjenguk Felitcity, mencari tahu kebenarannya, dan mulai melakukan pendekatan juga pada kalian. Mungkin ada masalah dan rahasia yang tidak kami ketahui tentang kalian, padahal itu membuat kalian tertekan. Bagaimana bisa kami begitu saja berasumsi padahal tak tahu apapun? Deep water are silent. But shallow water are noisy."

"Hafal sekali," celetuk Delisa dengan sinis. Hal itu membuat Delilah segera menjitaknya dan Davian tersenyum tipis.

"Kami memang bingung tentang kebenarannya." Dia melanjutkan tanpa membalas perkataan Delisa. "Tapi yang pasti, kau lebih bingung daripada kami dengan apa yang terjadi sampai saat ini."

"Kenapa kau bisa yakin?" Semua orang langsung menatapku dengan tatapan aneh. "Kenapa kau bisa selantang itu mengatakannya? Tidak ada bukti. Tidak ada bukti yang membuatku tidak bersalah. Eve juga sama, tidak ada bukti. Kenapa kalian juga mudah percaya? Aku saja jika jadi kalian tidak akan mudah--"

"Lunara bercerita, kau tidak ada di sekolah saat kejadian. Yang paling dekat dicurigai atas semua ini adalah ... Evelina."

Kenapa berita itu cepat sekali menyebar? Bagaimana keadaan gadis itu sekarang? Apakah ia benar-benar marah padaku?

"Lalu Evelina? Kalian mencurigai Evelina?"

Aku terkejut ketika mereka menggeleng kecil, namun hanya gadis itu yang menggeleng kuat. Seakan-akan, ia yakin bahwa pelakunya bukan kami. Lalu apa yang mereka pikirkan tentang kebenaran aslinya? Aku saja pusing memikirkan itu, apalagi mereka yang tidak tahu apapun.

"Evelina habis membantuku mencari buku di perpustakaan ketika itu terjadi. Walaupun kelihatannya aku satu-satunya saksi, Mrs. Yvone bisa ikut bersaksi. Mana mungkin ia melupakan wajah-wajah orang yang sering ke perpustakaan sepertiku?" Sosok yang barusan berbicara ialah Davian. Mendengarnya membuatku ragu. Bukankah kesaksian Evelina kemarin itu, menjelaskan bahwa ia sempat ke kamarnya dan menemukan Felicity gantung diri? Waktu itu, Felicity masih terlihat memberontak, tapi Evelina sengaja untuk lari karena takut dianggap sebagai pelakunya.

Tunggu, kenapa aku merasa ada sesuatu yang aneh di sini?

"Setelah kejadian itu, Eve kemana?" tanyaku dengan tegas. Kalau seperti ini, aku harus memperlihatkan wajah garangku.

Davian menatapku sejenak, lalu bola matanya meliar ke atas seakan sedang mengingat sesuatu. "Ia kembali ke asrama. Sungguh, tak ada waktu untuknya untuk merencanakan pembunuhan secepat itu. Karena kudengar, jam 4 lebih 43 menit, Felicity ditemukan. Sedangkan kuingat, kami baru berpisah dari perpustakaan sekitar jam 4 lebih 30 menit. Bagaimana ia bisa merencanakan waktu 13 menit dari perpustakaan sampai kamar asramamu? Kudengar, kamar kalian berada di lantai tiga."

Kalau begitu, Davian dan Evelina jujur. Bisa jadi, setelah itu, Evelina ke asrama dan melihat Felicity gantung diri. Saking takutnya, ia memilih pergi tanpa menutup pintu. Alhasil, ada saksi yang melihat Felicity dan langsung melaporkannya pada penjaga asrama.

Tunggu, siapa saksi yang melaporkan itu?

"Aku--"

"Oilien nenekku!" Kepala seseorang menyembul di pintu UKS, membuat ucapanku terhenti dan sontak menyernyitkan dahi. Mr. Alvian, untuk apa dia kemari sambil berteriak memanggilku seperti itu?

"Oh, maaf. Kupikir ia sendirian," ucapnya sambil tersenyum kikuk. Beberapa gadis termasuk Delisa memekik tertahan. Sedangkan Lunara memilih memicingkan mata sembari tanpa sadar mencengkeram erat kaos milik Nathan. Ya Tuhan, manis sekali mereka.

"Ada apa kau kemari, Mr. Alvian?" tanyaku dengan wajah mengejek. "Baru kemarin menjenguk, sekarang lagi?"

Tak kusangka, Mr. Alvian malah menampakkan senyum tengilnya yang membuat banyak gadis kembali memekik dan terang-terangan memuji. Dasar, gila pujian.

"Apa? Ini sekolah, aku bisa berada di mana pun. Lagipula, aku tidak berniat menjengukmu."

Aku menaikkan satu alis. "Lalu?"

Mata Mr. Alvian beradu denganku. Tatapannya mulai berubah serius. Tak ada lagi senyum tengil yang ia tunjukkan untuk sekadar menggodaku.

"Temanmu korban gantung diri itu, Felicity, sudah sadar dari komanya."

Seketika semua orang terdiam. Seakan tak mau berasumsi lebih lanjut, Davian memajukan diri menghadap Mr. Alvian tanpa diminta.

"Mister ... bolehkah aku bertemu dengannya?"

"Tidak." Mr. Alvian menggeleng. Alisku bertautan. Untuk apa dia memberitahu jika tidak diperbolehkan bertemu?

"Boleh kutahu alasannya, Mister?"

Sudut bibirnya terangkat membentuk senyum tipis. Kusipitkan mata ketika ia memalingkan wajah padaku. "Ia tidak bisa berbicara lancar, pita suaranya memar. Tetapi ia memintaku pribadi supaya ... mengajak Oilien ke sana. Ia ingin bertemu dengan Oilien, entah untuk apa."

Kini, semua pasang mata tertuju padaku. Aku hanya tersenyum tipis dan mengangguk. "Oke, aku akan menemuinya. Tetapi ... bagaimana caraku ke sana?"

"Itu--"

"Aku saja!" Kali ini, aku benar-benar terkejut hingga ternganga di tempat. Apa yang ia maksud dari kata "aku saja"?

Ia gila?

"Aku akan membantumu," lanjutnya lagi sambil mengayunkan tangannya di udara. Detik berikutnya semua orang melotot dan ternganga, sedangkan jantungku hampir berhenti berdetak saking terkejutnya.

B-Bagaimana aku bisa ... maksudku, mana tanah? Kenapa tubuhku melayang di udara begini?

Aku hampir memekik kalau saja Mr. Alvian tidak menghentikan Davian, mencengkeram pergelangan tangannya cepat. Perlahan, tapi pasti, ia menurunkan tubuhku kembali. Rasanya ... benar-benar gila!

"Kau gila!" Wajah Mr. Alvian menggeram marah. "Membantu ya membantu, tapi jangan dengan hal bodoh begitu!"

Davian diam saja, mengatupkan bibir. Nah, dengarkan itu! Maumu apa sih?! Tidak berpikir terlebih dahulu dan seenaknya sendiri!

Mataku berapi-api menatap Davian yang sedang menunduk seperti tikus.

"Begini, biarkan aku menggendongnya. Kau ingin membantu? Ikuti aku di belakang dan bantu aku mengangkatnya dengan udaramu supaya tidak terlalu berat."

Aku menoleh nanar ke arah Mr. Alvian. "Hah?"

Tidak kusangka, Davian malah tersenyum tipis, lalu menoleh padaku. "Maaf. Lain kali, aku akan lebih berhati-hati."

Sebenarnya apa yang terjadi di sini?!

🔪 💖 🔪

Third Person POV.

Aaric kalut.

Rahangnya mengeras, wajahnya kaku seketika, tangannya mengepal, dan matanya meliar sana-sini. Dia tidak tahu apa yang terjadi satu sampai dua hari ini. Tetapi sepertinya ada banyak hal yang terjadi sampai ia melihat ranjang gadis itu kosong.

Apa yang baru saja ia lewatkan? Kenapa gadis itu menghilang begitu saja?

Rasanya ia ingin membunuh seseorang sekarang. Ya, seharusnya ia mengiyakan ucapan Harold Arthur supaya membunuh pria itu. Pasti ia yang membuat Feyna menghilang dari pandangannya. Pasti ia yang mempengaruhi Feyna untuk pergi dari sisinya. Pasti ia yang ...

Tidak tahan lagi, Aaric dengan mata merahnya langsung melesat menuju Kelas Neptunus. Dia sudah izin tidak masuk kemarin dengan alasan sakit. Ya, Aaric sakit dan kalian semua tahu penyebabnya.

Pria albino yang merebut gadisnya.

"ZEON!" teriaknya menggelegar di seluruh penjuru ruangan. Namun sedetik kemudian, ia malah kesal pada dirinya sendiri. Bagaimana mungkin ia begitu bodoh?

Ini 'kan sudah jam pulang. Tidak mungkin ada kelas tambahan.

"Di mana aku harus mencari si brengsek itu?" geram Aaric pada dirinya sendiri. Segera ia menghubungi Varius dengan ponselnya. Ia lupa, tadi ia juga sudah meminta Varius untuk menjalankan rencana mereka untuk Feyna. Pasti Varius masih menunggu aba-aba darinya sekarang.

Sungguh, Aaric tidak bisa memikirkan apapun saat ini kecuali berasumsi.

Setelah menyambungkan panggilan, Aaric langsung membatalkan semua misi yang ia susun seharian dan menggantikannya dengan pencarian gadis itu. Tidak mau tahu, Feyna harus ditemukan dalam keadaan baik-baik saja.

Aaric tidak bisa kehilangan teman pertamanya secepat itu.

"Kau tahu di mana kamar asrama si brengsek itu?" tanya Aaric sama sekali tidak santai. Bahkan napasnya terengah-engah seperti sedang emosi luar biasa saat ini.

"Si Brengsek itu siapa, Pangeran?" tanya Varius dengan takut-takut dari seberang sana. Jelas lah ia tidak paham siapa dan ada apa. Tiba-tiba tuannya yang kemarin baik hati sekali padanya (sampai Varius harus benar-benar memastikan bahwa ia tidak sedang berhalusinasi) berubah menjadi setan mengamuk dalam waktu kurang dari dua puluh empat jam.

Apakah Pangeran Aaric mengidap bipolar?

"Kalau kau sampai membuatku menyebut namanya ..." Aaric sedang tidak bercanda. "Aku akan memenggal kepalamu."

Tubuh Varius gemetar mendengar nada menyeramkan itu. Rasanya seperti dulu ketika ia masih menjadi bawahan biasa. Varius merasa ... ia pantas mati.

Lelaki bertubuh besar itu segera menarik napas dalam dan menenangkan diri supaya mampu berpikir jernih. Kemudian ia menyambung-nyambungkan kejadian hari kemarin dan hari ini yang begitu kontradiksi, namun mampu dibuat satu kesimpulan.

Pangeran Aaric sedang kelimpungan mencari Feyna yang hilang. Ia pasti akan menyalahkan seseorang yang terakhir bersama Feyna hari itu.

Bola mata Varius membesar. Ia paham siapa yang dimaksud oleh tuannya.

"Kamar nomor 65*, Pangeran. Kamar asramanya berada di lantai dua, lorong kedua."

Tanpa ba-bi-bu lagi, Aaric memutuskan panggilannya dan berlari sangat cepat, bahkan hampir menyerupai bayangan saja. Ia tak sanggup berpikir jernih, bahkan untuk berteleportasi. Dia bisa saja menggunakan kekuatannya yang satu itu, namun belum tentu kekuatannya akan membawanya pada tempat yang ia tuju jika sedang kalut semacam ini.

Aaric hanya tidak mau mengambil risiko menghabiskan waktu yang sia-sia.

Mencapai tangga akhir untuk naik ke lantai dua, ia mengenali seorang pria berambut merah yang hendak turun dengan santai seolah tidak terjadi apapun. Bahkan Aaric mendengar lelaki itu bersenandung lagu Disney! Siapa yang tidak tahu lagu yang dinyanyikan Demi Lovato itu?

Karena kesal, Aaric langsung mencengkeram kerah pria itu hingga punggungnya menghantam dinding. Lihatlah bagaimana raut wajah terkejut pria itu melihat tingkahnya ini. Biarkan saja semua tahu kalau dirinya memang monster.

"Di mana si brengsek rambut albino temanmu itu?!" desak Aaric sambil menatap bola mata Raven tajam.

Di tempat, Raven begitu bingung. Dia ingin makan di bawah--menemani adiknya yang baru saja mengirimkan pesan padanya dari aplikasi chat. Tetapi ketika di jalan, ia dicegat oleh satu-satunya orang yang tidak bisa ia dengar jelas suara pikirannya. Rasanya, kekuatan Raven tidak bekerja untuk Aaric, dengan suatu alasan yang tidak ia ketahui.

"Zeon?" tanya Raven polos.

Aaric malah menggeram dan semakin mencengkeram kerah Raven hingga ia tercekik. Bisa-bisanya pria ini menyebut nama 'orang itu' di depannya? Raven pantas mati!

"Di mana dia?!" bentak Aaric sekali lagi. Di dalam hatinya, ia bersumpah ... jika Raven masih tidak menjawabnya kali ini, ia akan mematahkan satu tulang rusuk Raven.

"Aku tidak melihatnya di kamar asrama sebelah," jawab Raven santai, tanpa peduli pada setan mengamuk di depannya. Jujur saja, ia tidak takut pada Aaric bukan karena ia meremehkan, namun karena ia hanya takut pada kekuatan Sergio alias Leon.

Arwah, Raven takut arwah yang bisa terbang ke sana ke mari dengan lancangnya. Ia pun menyadari bahwa sosok di hadapannya masih menjadi manusia, jadi tidak ada yang perlu dikhawatirkan.

"Akhir-akhir ini Zeon selalu menyendiri. Sepertinya ia menemui seseorang di hutan sana." Raven mencengkeram balik, namun pada pergelangan tangan Aaric. "Lepaskan aku. Apa maumu?"

"Feyna menghilang."

Hanya dua kata, lalu Aaric langsung menghilang dari pandangannya. Melihat itu, Raven langsung memucat. Entah karena fakta yang baru ia ketahui--Aaric memiliki kekuatan berteleportasi seperti hantu atau ucapan pria itu yang seolah menghentikan sistem kerja saraf tubuhnya.

Feyna ... menghilang?

Dengan tergesa, ia langsung mengetikkan sesuatu pada Evelina lewat ponselnya. Sungguh, ia hanya ingin bertanggung jawab saja dengan tugasnya yang lalai. Raven seharusnya juga ikut melindungi Feyna, namun ia urungkan karena mengetahui kalau Sergio berada di sisinya.

Jika Feyna menghilang berarti ... bukankah yang patut disalahkan adalah Sergio? Kemana anak itu?

Eve, kakak ada urusan penting. Kamu makan sendiri dulu ya. Love you ❤

Lalu beberapa saat kemudian, Raven mendesah kecil dan mengetikkan sesuatu lagi.

Evelina. Feyna menghilang. Apa kamu tetap akan terus pura-pura tidak peduli padanya?

Mungkin hanya Raven di sini yang bimbang. Adiknya yang tiba-tiba menjauhi Feyna tanpa alasan yang jelas. Memangnya Raven tidak tahu mengenai kebiasaan adiknya yang sedari kecil terus ada?

Adiknya tidak pernah memikirkan tentang masalahnya ketika bersamanya.

Raven memutuskan untuk melangkah ke suatu tempat untuk memastikan sesuatu. Namun sebelum ia berhasil berjalan lebih dari lima detik, ia menyadari sesuatu.

Kenapa Aaric mencari Zeon, sedangkan Feyna yang menghilang?

Ada yang tidak beres, Raven tahu itu. Sekarang, ia harus meluruskan segalanya sebelum terlambat.

Walaupun semuanya berubah, Feyna ... masih temannya bukan?

👻 👻 👻

"

Jadi, Feyna ... yang ingin kuberitahukan adalah ..." Felicity mencoba tersenyum dalam sakitnya. "Ada yang mencoba untuk ... menjebakmu."

"Siapa?" tanya Feyna kaku. Wajahnya menegang saat ini, apalagi melihat kondisi Felicity yang berantakan. Benar-benar berantakan.

"Morgana."

Satu fakta lagi yang mengejutkannya. Tidak ada yang tahu jika dalam diam, bibir Feyna membentuk seringaian tipis.

"Dia ... yang mencoba untuk ... membunuhku ... dan ... melemparkan semuanya ... padamu."

"Lalu, apa yang harus kulakukan? Maksudku, kenapa kau tidak bilang akan hal itu pada semua orang?"

Tidak disangka, Felicity ikut menyeringai. "Karena aku mau kau ... membunuhnya."

Oke, apa lagi yang lebih mengejutkan dari ini?

Bersambung ...

Continue Reading

You'll Also Like

193K 485 19
21+++ Tentang Rere yang menjadi budak seks keluarga tirinya
326K 18.9K 21
Tak pernah terbayang olehku akan bertransmigrasi ke dalam novel yang baru aku baca apalagi aku menempati tubuh tokoh yang paling aku benci yang palin...
140K 331 13
21+++ Mengandung unsur kekerasan sexual dan pornografi. Ga suka? Skip. Plagiat menjauh! Tentang Cesa yang menikah dengan seorang pria kaya. Bukannya...
3.3M 344K 53
π™³πš„π™° π™°π™½πšƒπ™°π™Άπ™Ύπ™½π™Έπš‚ πšˆπ™°π™½π™Ά π™±π™΄πšπš„π™Ήπš„π™½π™Ά πšƒπšπ™°π™Άπ™Έπš‚. ... Dheleana Vreya, gadis cantik dengan seribu topeng licik di wajahnya. Mungkin o...