Johan
"Jangan-jangan Raga udah kebelet kawin lagi."
"Anjing, Khris, itu bocah masih piyik banget. Lo liat kan tadi? Dicium woy, pipinya!"
"Sidang sekarang juga, Han. Sikat!"
"Lo cegat sebelah kiri, gue di kanan. Oke?"
Ada beberapa hal yang gue rasakan di pagi hari ini. Pertama, ngantuk karena semalem begadang di rumah Vernon dan nganterin Dino balik ke rumah Ibu Bapaknya. Kedua, kelaperan soalnya belum nemu sarapan akibat bangun kesiangan. Dan ketiga, gemeteran plus panik luar biasa gara-gara pemandangan yang gue liat di kolong meja administrasi Unit Gawat Darurat.
Gila, si Raga otaknya dikemanain sih sampe pacaran sama pasien sendiri— bocah cilik pula? Dokter sama perawat disini kurang montok apalagi coba? Dia kalo punya niat beristri empat aja para cewek pasti langsung rela dimadu dan dipersatukan dalam satu rumah yang sama. Oke lah kalo sukanya sama pasien dewasa, minimal mereka udah cukup umur buat mojok di kolong meja. Tapi kalo modelannya kayak— siapa tadi? Ody ya? harusnya Raga mikir dua kali sebelum akhirnya kepergok sama gue dan juga Khrisna.
"Apa-apaan nih?" Raga keliatan kaget ketika gue dan Khrisna menghalangi pintu masuk dengan tubuh kita berdua.
"Udah diapain aja anak orang sama lo, Ga?" Tanya gue tanpa bertele-tele. Khrisna memasang pertahanan, dia menekuk tangannya di pinggang dengan gaya yang menurut gue malah keliatan aneh.
"Lo berdua salah paham, bro." Alibinya.
"Halah, gua liat lo mau mesum kan sama bocah tadi?"
"Gak gitu." Dia masih memberikan pembelaan, "Tadi Ody jatohin laporan gue ke lantai, terus gue jongkok, eh dianya ikutan jongkok. Gue aja kaget si Ody main cium-cium pipi gue kayak tadi."
Mata gue memicing curiga. Masuk akal juga sih, tapi atas dasar apa si Ody cium-cium pipi Raga kalau seandainya mereka gak punya hubungan apa-apa?
"Kok Ody bisa cium lo?" Pertanyaan gue terwakilkan oleh Khrisna Adhyaksa.
"Mana gue tau." Jawabnya singkat, namun gak cukup memuaskan bagi gue ataupun si penanya.
"Baperin anak orang kan lo?" Todong gue lagi, kali ini sampai melangkah maju hingga Raga harus mundur lagi kebelakang. "Ga, Ga. Si Filza kurang apa anjing? Harga diri lo dimana kalo sampe naksir pasien bocah kayak Ody? Oke, Ody cantik. Tapi plis, Ga, dia masih kecil banget."
"Kecil apanya sih, Han?" Ini lagi si Khrisna, masih aja nanya. "Badannya tinggi ah."
"Lo mau bikin gue keliatan mesum, hah?!" Hampir aja gue nginjek kaki laki-laki yang sekarang ketawa puas disebelah gue.
"Ya gimana, anak gadis kan emang gampang baper."
"Eh, tolol, lu beneran baperin Ody?!" Temen gue yang paling tua tuh kenapa sih sebenernya?
"Kagak, Han! Itu ... gue emang sering nemuin dia, tapi gue ngelakuin itu karena dia emang butuh support. Masalah dia cium pipi gue, anggap aja itu kebablasan. Dia sakit, harusnya lo mikir kesana."
"Yaudah, kita percaya." Ucap Khrisna pada akhirnya, "Tapi kalo besok-besok gue mergokin lo lagi, berarti emang ada yang gak beres sama lo."
"Kalaupun iya gue naksir Ody, gue gak akan bawa dia clubbing sampe mabok kok. Santuy." Raga menyindir kejadian hari kemarin sampai-sampai gue gak bisa menahan tawa. Buat saat ini oke lah, alasannya bisa gue terima. Masih untung kepergoknya sama gue, coba kalo sama orang lain. Udah diseret ke masjid terdekat kali tuh si Raga buat dinikahin paksa. Dia keliatan lesu banget pagi ini, kayaknya Raga kelelahan karena kurang istirahat gara-gara tragedi Geraldino Osmano. Wawancara dadakan itu berakhir sampai disana. Gue gak menampik, gue masih belum puas dengan jawaban Raga karena alasan yang dia utarakan gak sesuai dengan ekspresi wajahnya saat dapat kecupan itu dari pasien remaja bernama Ody tadi.
Sebenarnya gak masalah sih, hak Raga mau suka sama siapapun juga. Tapi harusnya dia tau sikon, Ody memang butuh support namun cara Raga memberikan support itu terlalu berlebihan sampai Ody menanggapinya dengan respon lain. Gue lagi gak mau berasumsi lebih jauh dari ini, lagian ngapain juga gue ngurusin kisah asmara orang disaat kisah gue sendiri belum segreget mereka berdua? Daripada mikirin itu, mending gue dengerin pengumuman dulu dah dari pengeras suara yang tersebar di seluruh titik ruangan Rumah Sakit Jiwa.
Kayaknya pengumuman berasal dari divisi Humas RSJ deh, mereka ngasih tau kalau besok pihak rumah sakit mau ngadain perlombaan antar instalasi untuk memperingati hari ulang tahun RSJ yang ke-41. Yang lain pada kaget, sementara gue lempeng-lempeng aja karena udah dikasih spoiler sama Raga kemarin sore saat kumpul di rumahnya Vernon. Katanya besok semua orang wajib pake baju olahraga, mendadak aja gue bersemangat karena itu tandanya, yang jadi perwakilan instalasi gak akan jaga di UGD sampai acara selesai.
"Saya sama Khrisna yang wakilin!" Gue merangkul Khrisna yang saat itu lagi mijit keningnya sendiri akibat kewalahan paska menangani pasien patah tulang. "Besok UGD yang handle adek-adek koas sama residen aja, biar abang-abang konsulen ini mempertaruhkan harga diri UGD di lapangan." dengan sombong gue menepuk dada sendiri, memasang senyum jumawa dihadapan para dokter muda yang gak bisa protes walau mereka sangat ingin melakukannya.
"Khris?" Desis gue yang masih memasang senyum lebar ala kuda, tangan gue meremas bahu lelaki yang sejak tadi cuma cengo dalam rangkulan gue itu.
"Eh, iya, biar kita yang wakilin." Katanya malas, gue curiga hari ini jiwa kita berdua lagi ketuker kayak di drama-drama yang suka Filza tonton tiap ada waktu senggang.
"Ada yang mau protes?" Pancing gue, sontak membuat mereka menggeleng cepat.
"Tapi kalo ada apa-apa kita bisa telepon dokter kan?"
Gue mengangguk mantap, "Telepon aja, kita langsung lari kesini pake jurus ala si Ceking."
Tau gak lo siapa si Ceking? Itu loh, temennya Ronaldowati yang sampe sekarang gak tinggi dan gak tua-tua. Panutan gue pokoknya mah, apalagi mantra ikonik dia pas mau lari yang bunyinya 'trikitik kitik kitik~'.
"Oke, dok, semoga bisa membawa kebanggaan buat UGD ya." Ucap salah satu koas yang kini tercengir canggung seraya mengepalkan tangannya ke udara.
"Serahkan semuanya pada Allail Johan Rachmadi." Ucap gue bangga lalu pergi menyeret Khrisna dari rapat dadakan itu. Gue tadinya mau ajakin Raga, tapi kalo urusan lomba-lombaan dia jarang mau ikutan karena gak punya otak cerdas nan licik kayak gue. Dia lebih baik jadi wasit aja, atau minimal jadi tukang ngasong air mineral aja supaya hidupnya bisa sedikit bermanfaat bagi jiwa-jiwa haus permainan seperti gue.
Grup mendadak rame gara-gara kabar lomba antar instalasi ini. Menurut gue Intalasi Rawat Jalan akan memimpin di perlombaan deh. Lo bayangin aja, tiga perlima anggota Manjiw Squad ada disana termasuk Joshua, Vernon, Arel, Gatra, dan juga Dino. Kata Catra, Instalasi NAPZA akan digabungin sama Instalasi Radiologi dan Patologi Klinik alias laboratorium. Personil NAPZA udah pada uzur sehingga pada gak mau ikut perlombaan di bidang olahraga, sementara Radiologi dan Laboratorium rata-rata isinya cewek semua dan gak mungkin ikutan lomba-lomba ekstrim di keesokan hari. Itu artinya, Catra, Dipta dan Mada akan ada dalam satu tim yang sama. Sisanya adalah Arthur dan Pram, kayaknya instalasi mereka juga digabung karena rata-rata dokternya cewek semua.
Gue udah gak sabar nunggu hari besok. Sebelum kumpul di lapangan utama jam delapan nanti, gue mengajak anak-anak untuk sarapan dulu di warkop langganan kita. Sekarang bau got-nya udah agak gurih, soalnya Bandung jarang hujan sehingga pembuangan limbah rumah tangga ke got-got pinggir jalan gak bisa dibawa pergi menuju sungai terdekat. Yang dateng duluan jelas gue, Khrisna, dan juga Raga. Lagi-lagi Raga jadi korban, udah dua hari dia gak bisa istirahat karena ada aja halangannya. Gue udah nyuruh dia pulang— atau tidur dulu dimana gitu biar agak segeran, tapi dia nolak dengan alasan masih bisa tidur sore nanti sebelum ganti shift sama gue.
"Woy, Tra, dateng-dateng udah kentut aja lo, setan." Tuduh gue pada lelaki yang baru saja memarkirkan motor maticnya bersama dengan Gatra. Dia mengendus bau di sekitaran Warkop, kemudian tertawa saat sadar bahwa bau tidak sedap ini berasal dari basecamp no quality-nya Manjiw Squad.
"Basecamp kita kok jadi bau surga gini sih, anjir? Hahaha!" Katanya seraya bertepuk tangan mirip monyet mainan di pasar malam. "Perasaan pas hari minggu kagak bau, dah."
"Kalo surga baunya kayak gini mah, mending gua ke neraka supaya bisa cium bau daging panggang." Perkataan gue yang itu berhasil membuat ringisan ngeri tergambar di wajah orang-orang. Emang ada yang salah dari ucapan gue? Setau gue di neraka manusia pada dibakar, pasti baunya kayak daging panggang dong ya?
"Gue sih mending luntang-lantung." Khrisna yang biasanya gak pernah menimpal tiba-tiba angkat bicara, "Masuk neraka enggan, surga juga ogah."
"Kata guru ngaji gue, yang luntang-lantung kayak gitu tuh adalah manusia yang selama hidup di dunianya gak punya akal, gila." Gue gak ngerti banyak soal agama, gue juga gak tau apakah Gatra bercanda atau enggak, yang gue tau cuma; gue harus ketawa. Muka Khrisna mendadak asem, jelas banget dia gak terima dikata-katain sama Gatra.
"Sok banget lo semua ngomongin surga sama neraka, idup aja belom pada bener." Gue pikir Raga yang lagi merasakan kantuknya sambil menyeruput kopi item di atas bangku gak akan ikutan nimbrung. Kalau gak penting-penting banget, Raga jarang menanggapi apalagi jika topiknya absurd kayak gini.
Gak sampai dua menit, satu rombongan kendaraan roda dua yang mirip orang mau tawuran berhenti bersamaan didepan warkop. Kaos yang mereka pakai sama persis dengan kaos gue, warnanya kuning menyala dengan logo dan nama Rumah Sakit Jiwa. Dulu, pas awal-awal nongkrong di warkop, si ibu yang jaga sering banget ketakutan karena katanya kita semua kalo dateng mirip geng motor yang suka keroyokan. Tiga belas orang loh ini, badannya pada tinggi gede dengan muka sangar sebagai first impression-nya. Padahal mah boro-boro sangar, giliran udah ketawa tetep aja semuanya pada badut.
"Yow, murid-murid Tadika Mesra nih." Arthur yang baru turun dari atas motornya yang berwarna merah menyala itu langsung tos sama orang-orang. Helmnya belum dibuka, masih mirip ranger kuning yang dulu sering jadi korban pilih kasih karena bocah-bocah sukanya rebutan ranger merah.
"Beneran anjing kayak murid Tadika Mesra." Gue yang baru ngeh langsung ketawa. Maap-maap aja nih kalo bahasa gue rada bar-bar. Gue cuma mau bilang, ngomong 'anjing' tuh mantap banget sumpah, gak boong.
"Tau gua, yang episode lomba ngehias taman itu kan? Yang pas si Mei-Mei nanem bunga matahari dalem sepatu boot?" Kadang gue heran sama Pram, dia tontonannya apaan sih? Tiap ngomongin Upin-ipin kayaknya connect banget.
"Judulnya apa hayo kalo emang Mas Pram tau?" Tantang Dino. Bocah yang kemaren mabok itu keliatan udah segeran, padahal setau gue kandungan alkohol dalem cocktail tuh gak tinggi-tinggi banget. Dasarnya aja belum pernah nyicip alkohol terus badannya gak toleran, jadinya tepar deh kayak orang kena muntaber.
"Taman Mesra." Jawabnya bangga. Beberapa orang yang ada disana langsung ngeluarin hape, mereka searching judul Upin-ipin yang Pram sebutkan dan langsung bertepuk tangan.
"Khatam banget, bro. Bangga gua." Puji Arel sembari merangkul tubuh Pram dan menepuknya kencang.
"Lo kesel gak sih sama cerita Upin-ipin?" Mari kita dengarkan ocehan yang sekarang dikeluarkan oleh Dipta. "Dari jaman gue SMA kayaknya kagak gede-gede, TK mulu perasaan. Mana botak lagi, kasian banget pasti mereka iri liat temennya pada punya rambut. Gue yang ngikutin mereka dari jaman jebot aja udah setua ini anjir, harusnya Upin-ipin udah beranak lima, bukan malah terjebak di usia lima."
"Tapi gemes." Sejak kapan Joshua seneng nonton Upin-ipin? "Apalagi pas kehujanan jemput Kak Ros ke kedai pake jas, pengen gue adopsi aja rasanya."
"Ogah gue ngadopsi mereka, kepalanya gede banget kayak dapet niup, ngeri."
Gue setuju sama Catra, kepala Upin sama Ipin gede banget sementara lehernya cuma segede jari kelingking. Gue gak bisa bayangin telinga si kembar itu semerah apa sekarang, soalnya tiga belas orang yang ada disini pada ngegibahin mereka sampe detail-detail kecil yang malah gak pernah gue sadari. Obrolan berlangsung sampai jam setengah delapan, hari ini Mada yang traktir karena katanya dia lagi gak mood dan bawaannya pengen buang-buang duit. Gue lagi males mikir, lebih memilih buat pesan makanan semaunya kayak sebelas temen gue yang lain. Banyaknya sarapan indomi pake telor, terus minumnya teh manis anget sama wedang jahe supaya pas olahraga nanti kita punya banyak stok tenaga.
Mungkin kalo Upin-ipin udah gede, mereka bakalan kayak Manjiw Squad yang kemana-mana selalu konvoi barengan seperti ini. Ada total tiga belas kendaraan bermotor yang membelah jalanan Kolonel Masturi pagi itu, palang parkir di gerbang depan aja sampai dibuka manual oleh penjaganya supaya kita semua bisa masuk bersamaan. Di lapangan depan kantor staff rumah sakit, orang-orang udah pada berkumpul dengan pakaian yang sama persis dengan kita bertigabelas. Gue ngerasa kayak mau gerak jalan anjir, mana ada stand sponsor seperti susu Anlin yang seakan-akan menampar gue bahwa gue udah gak lagi muda dan harus tau diri selama ikut lomba nanti.
Orang-orang langsung mencar, mereka nemuin tim masing-masing untuk mendengarkan arahan kepala instalasi. Didepan sana, tepatnya diatas sebuah mini stage yang masih sponsor juga, kepala Rumah Sakit lagi memberikan sambutan perihal acara hari ini. Tim sebelah rame banget, soalnya disana ada Arthur dan Pram yang sekarang siul-siul sambil tepuk tangan heboh. Dengan berat hati gue harus memberitahukan ini, tapi siapapun itu, senormal apapun orang itu, kalo udah deket sama Arthur suka auto hilang harga diri— kayak Pram misal.
Gue kira semua orang ikutan lomba, tapi ternyata yang berpartisipasi cuma cowok-cowoknya aja, sementara ibu-ibu rempong itu hanya menyemangati sambil ngeborong gerobak cilok di tepi lapangan sana. Semuanya terlihat having fun, tak terkecuali para pasien yang diizinkan menonton di tengah-tengah permainan. Gue gak kenal satu pun dari mereka, beda lagi dengan Arthur, Pram, Catra, dan Raga yang dapet banyak teriakan semangat dari para pasien disana. Gue taunya cuma Ody, itupun dia gak lama nonton karena jagoannya— si Raga, kalah mulu tiap ikut perlombaan.
"Gue ngerasa kayak lagi agustusan anjing." Ucap gue yang terengah karena habis berlarian di lapangan. Sendi-sendi di tubuh gue udah minta diistirahatkan sehingga gue memilih buat ikutan mojok bareng Khrisna dan juga Pram.
"Ngapain lo disini? Sana main lagi, malu-maluin UGD lo." Amuk Khrisna. Jadi nyesel gue udah sombong ke anak-anak Koas dan Residen yang untungnya pada gak nonton.
"Capek goblok, panas banget lagi ini aduh."
"Yahaha, lemah lo gitu doang capek." Ejek Pram yang sekarang puas banget ngetawain gue.
"Nah elu ngapain disini?" Tanya gue ketus,
Dia nyengir, "Gue tadi pesen es cendol, noh lagi dibuatin sama si mamangnya." ucap lelaki bongsor itu sambil menunjuk sebuah gerobak cendol di sisi lapangan. Gue cuma menggeleng, lagian pihak rumah sakit ada-ada aja deh pake ngebolehin tukang jualan masuk ke pelataran.
"Selfie kuy? Ntar gue tag di ig semuanya." Ajaknya yang langsung mengeluarkan ponsel dari dalam saku celananya. Gue bersiap, memasang senyum semanis mungkin lalu mengacungkan dua jari didepan tubuh. Khrisna juga ikut-ikutan, bedanya dia gak senyum dan sekarang mukanya kaku banget mirip kolor yang dijemur terlalu kering.
"Anjing ganteng banget." Gue memuji diri sendiri.
"Untung yang dipuji anjing, bukan elu." Ucap Pram lalu meninggalkan gue dan Khrisna begitu saja. Gue yang mau marah urung melakukannya, masa iya harus teriak-teriak pakai kata keramat didepan banyak orang?
Gue duduk lesehan lagi diatas rumput, masih ditemenin Khrisna yang tiduran di paha gue. Gak jarang beberapa perawat dan staff RS yang lewat dadah-dadah kepada gue serta Khrisna. Tiap lesehan di lapangan kayak gini, gue selalu diingatkan dengan masa-masa SMA gue dulu. Meski terkenal mager, gue sering banget ikutan futsal terus dapet hadiah dari para cewek. Hanya saja sejak dulu gue gak suka tebar pesona, mungkin kalau hidup gue kayak Arel pasti hal semacam ini udah dijadikan kesempatan untuk memancing korban-korban kebaperan.
Saat gue mengedarkan pandangan ke sekeliling lapangan, hampir semua orang lagi beristirahat akibat kelelahan. Yang bikin ngakak adalah aksi pijat memijat Catra, Dino dan juga Arthur di seberang lapang. Harusnya ada Gatra juga biar formasi tim lenong semakin lengkap. Mereka tuh titel doang yang keren, lagaknya kayak yang iya ahli jiwa dari instalasi unggulan, padahal aslinya badut banget sampe gue bingung kok ada gitu ya orang-orang berpikiran nyeleneh seperti mereka.
Ternyata gak cuma lomba di bidang olahraga, pas agak siang ada juga acara stand up comedy, bikin puisi buat RSJ, sampe lomba karaoke antar dokter dan pasien dari Instalasi Rehab Mental. Arthur bisaan banget pilih lagu, dia nyuruh pasiennya karaoke Cendol Dawet dan semua hadirin diwajibkan joget sambil ngasih fanchant fandom Wali yang 'eee aah' itu. Pokoknya pecah banget deh acaranya, padahal ini baru pemanasan, belum ke acara inti yang akan dilaksanakan dalam satu minggu lagi.
Kurang lebih jam dua belasan, acara dihentikan untuk sementara waktu karena terpotong adzan. Kali ini Manjiw Squad ngumpul di tempat yang sama, tepatnya di koridor kantor untuk sekedar mencari keteduhan. Kita sempat foto-foto, entah itu selfie atau difotoin sama orang buat nambah kenang-kenangan. Belakangan anak-anak sering sibuk, jangankan dapet quality time buat senang-senang, saling mengabari di grup aja udah jarang sakinh sibuknya mereka. Padahal tadinya kalau gak ada acara beginian, gue mau merencanakannya dengan Mada dan Joshua yang sama-sama ngeluh karena lagi butuh hiburan.
"Ah, iya, Han." Joshua menarik headband yang gue pakai sampai terasa agak perih di kening gue, "Gue mau ngomong sama lo nih." katanya tanpa penyesalan sama sekali walau sekarang gue misuh-misuh kepadanya.
"Anjing sakit banget ini kejepret." Eluh gue seraya melepas benda itu kemudian menggosok kening gue kencang, "Sok serius banget lo, kayak yang mau menyatakan cinta aja."
"Gini-gini gue normal ya, sorry." Kebiasaan deh kalo udah ngomong inggris, "Kemarin di RSHS, gue ketemu pasien yang baru masuk ke HCU."
"Hubungannya sama gue apa? Sori banget ini mah, Jo, gue gak ada duit buat nyumbang. Mending lo minta ke si Khrisna deh, atau Mada yang tajir dari orok."
"Ih, bukan!" Joshua memukul paha gue, dia kok jadi bar-bar gini sih? Selama ini di rumah sakit sebelah doi gaulnya sama siapa aja? "Dia nanyain lo."
Alis gue terangkat dengan telunjuk yang menunjuk diri gue sendiri, "Gue? Kok gue?"
"Nama lo beneran Allail Johan Rachmadi kan?"
Gue mengangguk, masa iya Joshua lupa nama cowok sekeren gue.
"Berapa lama lo gak pulang ke rumah?"
Hah? Gak pulang?
"Gue pulang ke rumah tiap hari lah anjir, berapa lama maksudnya apa? Aneh lo."
Joshua menarik napasnya dalam-dalam, tatapan yang dia berikan pada gue terasa semakin tajam. Terjadi hening yang menurut gue sangat tidak nyaman, hingga pada akhirnya satu pertanyaan yang meluncur dari bibir laki-laki itu mampu membuat seluruh tubuh gue memanas akibat aliran darah yang tiba-tiba mengalir cepat.
"Inget siapa Jamal Rachmadi?"
***
"Jangan gitu, Bang. Mending lo temuin dulu, kasian."
"Kalau lo gak mau nemuin, gue aja yang wakilin. Gue bakal cerita bahwa lo baik-baik aja, udah sukses malah."
"Ensefalitis loh ini, lo tau kan sebahaya apa penyakit itu?"
"Bang ... "
Sejak tadi, beragam bujuk dan rayu terus gue dapatkan dari dua belas orang yang mengelilingi gue. Dan sejak tadi pula, yang gue lakukan hanya diam membatu bagai raga tak bernyawa. Gue gak bisa menemui dia, apapun statusnya di hidup gue, gue sudah memutuskan untuk tidak menjalin hubungan apapun lagi dengan lelaki paling jahat dalam versi kehidupan gue.
"Yaudah sana, lo semua aja yang temuin." Ucap gue nyolot, segelas susu yang dibuatkan pemilik warkop masih utuh tak tersentuh. Harusnya mereka tetap ada di rumah sakit untuk meneruskan acara, bukan malah menyusul gue ke warkop dan berakhir nyampah di lapak jualan orang.
"Han," gue menepis tangan Dipta yang berusaha memberikan rangkulan, "Kita gak tau ceritanya kayak apa, tapi bokap lo udah di HCU, High Care Unit. Sekali lagi, High Care, unit perawatan tinggi, Han."
"Buruan anjing temuin." Gue menoleh kearah Raga yang baru kali ini terlihat semarah itu, "Seburuk-buruknya dia, dia tetap bokap lo."
"Kalo gak tau hidup gue kayak apa, mending lo semua diem deh." Emosi dalam diri gue meledak, menciptakan suasana tegang yang tiba-tiba saja menguar diantara kita semua. Dua belas orang yang ada disini menatap gue dengan penuh ketidakpercayaan. Mau marah kek, mau ngamuk kek, semua itu hak mereka. Gue gak bisa larang karena gue sadar jika barusan gue memang sudah kelewatan.
"Gak gini loh, Han." Kata-kata yang keluar dari mulut Arel terdengar penuh kekecewaan, "Lo selalu berhasil bikin kita cerita, lo juga selalu denger semua cerita kita. Lo gak boleh egois sama diri lo, lo juga manusia yang sama-sama butuh bercerita. Gunanya kita disini apa? Kata lo, kita keluarga."
Gue melihat satu persatu orang yang ada disana. Mereka peduli sama gue, tapi gue rasa masalah ini gak perlu diungkit ke permukaan karena terlalu memalukan. Namun entah kenapa, tuntutan dari mata keduabelas orang yang ada disini malah membuat gue lemah sehingga berujung menceritakan segalanya. Mulai dari kondisi ibu gue yang terkena Skizofrenia karena stress oleh sikap suaminya, sampai bagaimana dia dibuang ke jalanan dan dicap gila oleh orang-orang di sekitar. Sebagai suami, bokap gue tidak melakukan apa-apa dan memilih buat nikah lagi dengan teman satu kantornya. Dia membuang ibu gue, bahkan hingga dia meninggal pun, bokap gak pernah menunjukkan sedikit saja kepedulian dan malah merasa senang karena itu artinya dia gak perlu lagi malu punya istri orang gila.
Sejenak gue tertawa, apalagi ketika badut-badut itu ikut memaki bokap gue yang entah gimana kabarnya sekarang. Semenjak ibu meninggal, gue belum pernah sekalipun menginjakkan kaki ke rumah keluarga besar gue yang ada di daerah Ciwastra. Gue benar-benar hidup sendirian, semua biaya pendidikan dan biaya kehidupan yang gue habiskan sampai detik ini ditanggung sendirian oleh gue tanpa campur tangan laki-laki itu. Bisa dibilang gue memutuskan komunikasi bersamanya, gue gak mau mendengar apapun kabarnya termasuk kabar buruk yang terjadi kepadanya seperti saat ini.
"Kondisinya gimana, Jo?" Mada yang bertanya.
"Kesadarannya makin menurun, dia juga mulai linglung dan berhalusinasi gitu. Operasinya lagi dijadwalkan, tapi masih nunggu waktu yang pas soalnya keadaannya masih naik turun alias gak stabil. Di HCU, dia sering teriak-teriak pengen ketemu sama Johan. Gue awalnya gak ngeh, tapi perawat HCU pada ngomongin dia terus sehingga gue iseng mendatangi dan menanyakannya secara langsung. Yang dia ingat cuma lo, Han, cuma nama lo."
"Baiknya lo temui, Han." Usul Raga, masih gak menyerah.
"Gue yang temenin lo buat nemuin dia." Tambah Joshua.
Kebingungan melanda diri gue. Baru aja gue ketawa-ketawa seolah gak punya beban, dan sekarang kabar buruk seperti ini harus gue dengar ditengah-tengah keseruan yang sedang gue alami. Tatapan memohon dari orang-orang sukses membuat gue mengalah lalu turun dari atas bangku. Jam besuk HCU biasanya cuma sampai jam dua siang, gue harus segera kesana kalau gak mau terlambat menemui lelaki yang gue harap akan baik-baik saja itu.
"Ensefalitis." Lirih gue pelan, berharap Joshua mengerti tanpa harus gue meneruskan.
"Hm, radang selaput otak. Penyakitnya juga mengalami komplikasi karena dia menderita lemah jantung dan Nefropati diabetik sehingga ginjalnya mengalami kebocoran."
Seketika lutut gue melemas, kondisi lo separah apa sih, Pak, sampe harus masuk HCU kayak gitu?
"Presentase dia bisa selamat paska operasi berapa persen, Jo?"
"Thirty percent."
Sebego-begonya gue sama bahasa inggris, gue masih bisa paham dengan jawaban Joshua barusan.
✡️✡️✡️
Tadika Mesra
Vs
Tiga Belas Jiwa
Sama seperti Joshua, aku pengen adopsi mereka gemes😭😭😭💗💗💗