Di Antara Rumah yang Kosong

By imajinerku

20.5K 649 17

- SETIAP RUMAH MEMILIKI KISAHNYA SENDIRI - Gue Dini Rahmawati. Cewek berusia 19 Tahun yang akan mengenyam dun... More

Pembuka
Prolog
Chapter I: Cerita Rachel - Rumah Cat Putih dan Pagar Tinggi yang Menjulang
Chapter II: Cerita Rachel - Rumah Cat Kuning dan Atap Kanopi yang Ambruk
Chapter III: Cerita Rachel - Di Antara Rumah yang Kosong
Chapter IV: Cerita Rachel - Pak Broto
Chapter V: Cerita Rachel - Suara - Suara Itu Lagi
Chapter VI: Cerita Rachel - Irma
Chapter VII: Dini - Teringat
Chapter VIII: Cerita Rachel - Rekaman Suara
Chapter IX: Dini - Malam Minggu Bersama Mang Rojak
Chapter XI: Cerita Rachel - Sela-Sela Malam
Chapter XII: Lelaki - Lelaki Malam Itu
Chapter XIII: Mereka Ada, Mereka Nyata
Epilog
Spoiler
Penutup

Chapter X: Awal Mula Perkenalan

949 35 1
By imajinerku

"Bang, nasi goreng ayam satu ya bang. Yang Pedes, dibungkus."

"Oke neng."

Gue memesan nasi goreng ayam selepas pulang kuliah sebelum pulang ke kost karena gue paling males kalau gue udah sampe kamar terus keluar lagi. Malas aja rasanya, mending gue mampir dulu, apalagi lokasi tukang nasi goreng ini melewati arah kost gue.

Seperti biasa gue duduk menunggu sambil diselingi membuka handphone.

"Mas Heru, biasa ya."

"Oke Neng Rachel."

Cewek yang baru memesan itu lantas menunggu persis di depan gue. Gue sering lihat cewek ini memesan di sini. Bahkan dia udah kenal lebih dulu sama tukang nasi gorengnya. Apa jangan-jangan dia temen satu kost yang gue enggak tahu ya?"

"Misi mbak," tanya gue ke dia.

Ia melihat ke arah gue dengan tajam, sepertinya kaget dengan gue yang bertanya tiba-tiba.

"Iya?"

"Ehm, mbak ngekost juga ya?"

"Ngekost? Enggak." balasnya ketus.

"Ketus amat ini cewek. Padahal gue nanyanya baik-baik." ujar gue dalam hati.

"Oh, saya kira mbak ngekost. Soalnya saya sering lihat mbak ke sini."

"Nggak kok mbak. Mbak ngekost emangnya?"

"Iya mbak saya ngekost. Di Pak Broto."

Ketika gue bilang Pak Broto, tatapannya berubah, seakan melunak dan akhirnya kami berdua saling berbincang-bincang.

"Oh, Pak Broto. Kalau saya tinggal persis di depannya."

"Oh rumah yang sampingnya rumah-rumah kosong itu ya?"

"Betul mbak."

"Oh begitu, kenalin gue Dini."

"Aku Rachel mbak."

Kami berdua pun bersalaman layaknya teman baru.

"Kuliah juga mbak?" tanya gue.

"Kuliah? Saya masih SMA mbak."

Jujur awal gue ketemu Rachel, gue pikir dia anak kuliahan seperti gue karena mukanya yang nggak terlihat kalau dia seorang anak SMA.

"Oh, masih SMA. Saya kira kuliah."

"Waduh, jadi kakaknya kuliah nih?" tanya Rachel yang sepertinya langsung sungkan dengan gue.

"Udah panggil gue Dini aja Chel."

Tanpa disadari, kami terus asyik mengobrol sembari menunggu pesanan nasi goreng pesanan kami.

"Sudah lama kak di kostannya Pak Broto?"

"Kok kak, kak terus. Muka gue emang tua banget ya?"

"Eh iya, Din, Dini maksudnya. Sudah lama ya Din tinggal di sana?"

"Baru dua minggu Chel gue di sana. Makanya gue kira elo teman satu kost gue."

"Oh begitu Din. Terus betah di sana?"

Belum sempat gue menjawab, ternyata pesanan nasi goreng gue sudah jadi.

"Ini neng, nasi goreng ayamnya sudah jadi."

"Oh iya bang. Berapa bang?"

"limabelas ribu neng."

"Sama yang Rachel juga ya bang."

"Eh, nggak usah kak Dini." semprot Rachel.

"Udah Chel, nggak apa-apa. Anggap aja perkenalan." ujar gue sambil cengegesan.

Rachel terlihat pasrah dan akhirnya menerima kalau gue bayarin nasi goreng pesanannya.

"Tigapuluh Ribu neng."

Gue pun membayar dan abang nasi goreng ini pun melanjutkan memasak pesanan Rachel.

***

Gue berjalan pulang ke kost bersama Rachel, di sepanjang jalan kami ngobrol-ngobrol walaupun tak seantusias ketika di tukang nasi goreng tadi.

"Jangan lewat sana kak!" ujar Rachel sambil menarik tangan gue.

"Lah? Terus lewat mana? Gue kalau pulang selalu lewat sini."

"Lewat atas aja Din."

Di jalan menuju kost dan rumah Rachel ini terbagi menjadi dua bagian, yaitu jalan yang menanjak dan jalan yang mendatar. Gue kalau pulang selalu lewat jalan yang mendatar. Ya karena secara logika jalannya yang datar dan gue merasa lebih dekat aja jaraknya daripada lewat jalan yang menanjak.

"Bukannya lebih dekat lewat sini ya?"

"Udah Din lewat sini aja. Nanti aku ceritain."

Mau nggak mau gue menyetujui ajakkan Rachel ini. Gue bingung sama si Rachel ini, ada jalan yang lebih dekat, eh dia malah mau lewat jalan yang lebih jauh.

***

Malam hari ini begitu dingin. Untungnya gue memakai jaket begitupun Rachel. Setelah cukup jauh berjalan, gue bertanya ke Rachel soal apa yang mau dia ceritakan.

"Cerita apa Chel?"

Rachel terlihat bingung ketika gue bertanya seperti itu.

"Begini Kak Din, eh maksudnya Dini. Kamu tahu kan rumah kosong yang warna kuning di sebelah rumahku itu?"

Gue mencoba mengingat dan nampaknya gue cukup paham dengan rumah yang dimaksud Rachel.

"Oh yang rumah kosong atapnya hancur itu ya?"

"Iya benar Din."

"Terus kenapa?" tanya gue penasaran.

"Ya kalau bisa jangan lewat sana kak, kan kalau lewat jalan datar kita ngelewatin rumah itu."

Gue adalah tipe orang yang nggak percaya sama hal-hal begituan. Gue kaget aja kok si Rachel masih percaya aja sama hal-hal begituan. Gue ngerasa, ayolah tahun segini masih aja elo percaya sama hal-hal begituan.

"Maksudmu rumahnya angker?" jelas gue.

"I.. Iya kak." jawab Rachel terbata-bata.

Benerkan dugaan gue, Rachel ternyata percaya sama hal-hal begituan.

"Yang bener lo Chel, masa zaman sekarang masih aja percaya sama hal-hal begituan." balas gue sambil tertawa.

"Aku serius kak." gumam Rachel dengan nada menaik.

"Begini ya Chel, gue kalau pulang kuliah malam hari lewat jalan datar, sama sekali enggak pernah lihat kejadian gitu. Biasa-biasa aja malah gue lewatin rumah yang katanya elo angker itu."

Muka Rachel menghadap bawah dan mengernyitkan dahinya, tanda ia tidak suka sama jawaban gue.

"Kok elo malah jadi murung sih Chel?"

"Habisnya kamu sama kayak papa dan mamaku. Nggak percaya sama cerita aku."

Gue nggak menjawab ucapan Rachel terakhir tadi dan hanya geleng-geleng kepala. Bisa-bisanya percaya sama tahayul di zaman sekarang. Dasar Rachel.

***

Tidak lama kemudian akhirnya kami tiba di jalan terakhir menuju rumah Rachel dan kost.

"Rumah ini juga angker kak." ucap Rachel sambil menunjuk rumah dengan cat putih yang memudar dan pagar yang menjulang tinggi.

"Terus kenapa kita lewat sini kalau angker Chel?"

Rachel tidak menjawabnya, lalu pamit pergi.

"Sudah ya Din, makasih untuk nasi gorengnya. Aku masuk dulu. Selamat malam."

Dia langsung berlari cepat masuk ke dalam rumahnya. Benar-benar anak yang aneh.

***

Sesampainya dalam kost, gue langsung menuju dapur untuk mengambil piring dan juga sendok, di dapur ternyata ada Andri yang tengah memasak mie rebus. Andri adalah salah satu penghuni kost dan juga masih kuliah. Tapi dia beda universitas sama gue, dia bahkan masuk kost lebih dulu daripada gue.

"Eh elu Din." sapanya.

"Eh Andri, masak mie mulu lu."

"Biarin lah, namanya juga anak kost. Dari pada elo makan nasi goreng mulu. Kenyang kagak, boros iya."

Gue cuma tertawa mendengar balasan dari si Andri sambil menaruh nasi goreng gue di piring dan menyantapnya. Sambil menyantapnya, gue bertanya kepada Andri.

"Ndri, elo tahu rumah depan itu nggak?"

"Depan mana?" ujar Andri yang sibuk menggunting bumbu.

"Depan kosan lah."

"Oh, itu rumahnya Pak RT kan. Gue lupa nama Pak RT nya siapa, padahal baru seminggu yang lalu gue ke sana untuk ngurus KTP."

"Elo tahu anaknya nggak?"

"Anaknya? Waduh kemarin gue nggak lihat tuh. Cantik nggak?"

Buset. Gue nanya apa, dia malah balik nanya gituan. Emang semua cowok sama aja menurut gue. Dasar.

"Gue baru aja jalan sama anaknya tadi. Kita ketemu di tukang nasi goreng."

"Kok elu tahu?"

"Iya gue kenalan gitu sama dia. Aneh banget dia."

Andri langsung menyeduh mie rebusnya dan menuangkannya di atas piring lalu menyantapnya bersama gue di meja makan.

"Aneh kenapa?" tanyanya

"Iya dia bilang ke gue, kalau pulang malam hati-hati soalnya di antara rumahnya itu angker."

"Rumah cat putih sama rumah yang atapnya ambruk itu?"

"Iya Ndri, loh kok elo tahu?"

"Dugaan aja sih Din, soalnya rumahnya kayak sudah kosong sejak lama gitu. Biasanya kan kalau rumah kosong yang sudah lama nggak ditinggalin pasti di dalam rumahnya biasanya banyak hantunya."

Lah ternyata dia juga percaya hal-hal begituan rupanya.

"Berarti elo percaya dong soal hantu-hantuan?"

"Ya gimana ya Din, gue bingung ngomongnya juga. Dugaan aja sih, rumah kosongnya nggak terawat gitu soalnya."

Dulu awal-awal gue sempet ngerasa sih kalau rumah-rumah itu hawanya memang beda dari rumah-rumah lain yang gue lewatin di komplek. Ya mungkin aja karena kosong, makanya hawanya jadi beda gitu. Di tambah cerita si Rachel tadi yang buat gue langsung parno.

"Kok elu ngelamun? Kenalin gue dong sama anaknya Pak RT."

"Masih aja lu bahas begituan, udah makan mie lu nanti keburu merekah."

Gue lantas meninggalkan Andri sendirian di ruang makan dan bergegas ke lantai dua, tepat kamar gue berada. Di dalam kamar gue lihat dengan seksama rumah-rumah depan gue ini, termasuk rumahnya Rachel.

Nggak ada badai, nggak ada hujan. Tiba-tiba ada bayangan hitam yang makin membesar di rumah yang atapnya ambruk. Dengan cepat gue langsung menutup gorden jendela kamar.

"Kampret, apa itu tadi." ujar gue dengan nada terengah-engah sambil terus memegang gorden gue.

Karena Rachel gue jadi parno gini, padahal gue nggak tahu bayangan apaan itu. Gue yang penasaran langsung turun lagi ke bawah dan coba bertanya ke Mang rojak yang tengah asyik di luar bermain handphonenya.

***

"Mang lihat bayangan tadi nggak mang?"

"Bayangan apa neng?" tanya Mang Rojak yang sibuk main handphone.

Ngeeeet... Ngeeet...

Suara aneh terdengar di rumah yang gue jumpai bayangan itu tadi, gue kaget mendengar suara itu.

"Ih mang, suara apa itu."

"Alah neng, itu mah suara tikus neng."

"Tolong mang di cek dulu dong."

Seketika mang Rojak menaruh handphonenya dan bicara ke gue dengan nada menaik.

"Ih jadi kalah deh si eneng mah. Da nggak ada apa-apa atuh neng. Nih lihat nih."

Mang Rojak menyorotkan senternya ke rumah tersebut, keluarlah tiga tikus berlari masuk lagi ke selokan.

"Tuh kan bener, itu mah tikus neng."

Benar rupanya dugaan Mang Rojak ini, duh kok gue jadi parno gini sih.

"Mang di luar sampai jam berapa?" tanya gue.

"Se-ngantuknya aja neng, kalau udah ngantuk ya masuk. Terus tidur."

Gue mencoba menanyai hal-hal yang berkaitan dengan rumah itu karena Mang Rojak selalu ada di depan ketika malam hari seperti ini.

"Selama mang jaga, ada yang aneh-aneh enggak di rumah depan?"

"Rumah siapa? Rumah Pak RT?"

"Bukan rumah Pak RT nya mang, yang rumah-rumah kosong di sampingnya itu."

Mang Rojak tertawa ketika aku bertanya seperti itu dan melanjutkan lagi permainan di handphonenya,

"Neng, jangan percaya tahayul atuh. Neng sekolah tinggi-tinggi masa percaya sama hal yang begituan. Udah ah mang mau main lagi."

Benar emang ucapan mang Rojak ini, malam ini judulnya gue cuma-parno-karena-cerita-Rachel yang baru gue jumpai tadi. Gue kan nggak percaya hal yang begituan juga. Ngapain juga gue kepo. Ah dasar, gue tidur aja deh ke dalam.

"Eh mang, satu pertanyaan lagi mang."

"Hah?" tanya mang Rojak yang lagi-lagi asyik dengan gamenya.

"Nama Pak RT nya siapa mang?"

"Sanjaya neng." balas mang Rojak singkat.


Continue Reading

You'll Also Like

44.7K 1.9K 21
Markoni ditinggalkan ibunya di panti asuhan ketika umurnya sembilan tahun. Ayahnya menganggap dia sebagai aib keluarga, anak dari hasil perselingkuha...
1.4K 161 6
Menerima tawaran kerja sebagai pengawas gudang, membuat Iwan berpikir hidupnya akan jauh lebih baik. Namun, kejadian demi kejadian mistis yang dialam...
3.8K 416 9
Tak sengaja melanggar pantangan di tempat terlarang Tegal Salahan, Mbak Padmi yang tengah hamil tua mengalami teror berkepanjangan. Teror yang tidak...
3.8K 232 7
"𝘒𝘪𝘵𝘢 𝘣𝘢𝘬𝘢𝘭𝘢𝘯 𝘣𝘦𝘳𝘴𝘢𝘮𝘢 𝘵𝘦𝘳𝘶𝘴, 𝘬𝘢𝘯?". Seorang remaja yang bernama Gempa, ia adalah anak satu-satunya di keluarganya. Dari kec...