TIGA BELAS JIWA

By slsdlnrfzrh

1.3M 188K 71K

Cerita ini adalah penggalan kehidupan dari tiga belas jiwa yang bekerja di rumah sakit jiwa. Kalian akan mene... More

Tiga Belas Jiwa
[SC] Raga
[JH] Johan
[JS] Joshua
[WJH] Arel
[KSY] Catra
[JWW] Dipta
[WZ] Khrisna
[DK] Arthur
[KMG] Pram
[BSK] Gatra
[VN] Vernon
[DN] Dino
1.1 Raga
1.2 Johan
1.3 Joshua
1.4 Arel
1.5 Catra
1.6 Dipta
1.7 Khrisna
1.8 Arthur
1.9 Pram
1.10 Mada
1.11 Gatra
1.12 Vernon
1.13 Dino
2.1 Raga
2.2 Johan
2.3 Joshua
2.4 Arel
2.5 Catra
2.6 Dipta
2.7 Khrisna
2.8 Arthur
2.9 Pram
2.10 Mada
[Special Part] Manjiw Squad Girls
2.11 Gatra
2.12 Vernon
2.13 Dino
3.1 Raga
3.2 Johan
3.3 Joshua
3.4 Arel
3.5 Catra
3.6 Dipta
3.7 Khrisna
3.8 Arthur
3.9 Pram
3.10 Mada
3.11 Gatra
3.12 Vernon
3.13 Dino
4.1 Raga
4.2 Johan
4.3 Joshua
4.4 Arel
4.5 Catra
4.6 Dipta
4.7 Khrisna
4.8 Arthur
4.9 Pram
4.10 Mada
4.11 Gatra
4.12 Vernon
4.13 Dino

[XMH] Mada

21.7K 3.3K 1K
By slsdlnrfzrh

Xu Minghao
As
dr. Mada Winoto Huang

Dari sekian banyak instalasi-instalasi yang ada di Rumah Sakit Jiwa Provinsi, kayaknya Laboratorium adalah tempat paling santuy dimana segala macam hal yang seharusnya tidak dilakukan selama bekerja sangat mungkin untuk dilakukan. Lo mau nyetel lagu Indie? Bisa. Atau lo mau nyetel lagu Korea galau ala-ala Akdong Musician? Bisa juga. Yang terpenting adalah; lo harus menaati Standar Operasional seperti memakai jas, handscoon, masker, dan juga sepatu. Lepas dari itu, lo bisa ngapain aja kecuali makan dan minum di ruangan yang penuh dengan benda-benda infeksius ini.

Sudah satu setengah tahun lamanya gue bekerja di laboratorium klinik milik Rumah Sakit Jiwa Provinsi. Sebelumnya gue bekerja di laboratorium swasta ternama yang ada di daerah Muhammad Toha. Hanya saja, selama bekerja disana gue selalu merasa kalau pekerjaan gue kurang menantang. Gue suka kerjaan yang banyak, tapi gue gak suka kalo pulang terlambat. Berhubung di Rumah Sakit Jiwa gue punya banyak pasien tapi tetap pulang tepat waktu, akhirnya gue merasa betah dan berpikiran kalau jiwa gue telah menyatu dengan laboratorium klinik ini.

Gue adalah anak yang dibebaskan untuk memilih jalan hidup sendiri oleh orangtua dan keluarga. Mereka gak peduli gue mau jadi apa. Yang mereka tau, mereka cuma harus mengeluarkan sejumlah biaya untuk menunjang keinginan gue tersebut. Gue mau pindah ke Bandung, mereka setuju. Gue mau kuliah kedokteran dan ambil spesialis patologi klinik biar kerjanya santuy, mereka juga setuju. Yang penting gue gak jadi berandalan, masalah mabok sebotol dua botol mah masih dimaklum toh manusia emang punya cara lepas stress mereka yang berbeda-beda.

"Payung teduh dong, untuk perempuan yang sedang dalam pelukan." Salah satu analis yang lebih senior dari gue memberikan saran. Anak-anak SMK yang masih pada PKL itu mengacungkan jempol kemudian mencari lagu yang pak Dana inginkan. Kita punya satu sound speaker kecil khusus, lengkap dengan gadget lama gue yang sengaja disumbangkan untuk memutar lagu-lagu hasil request dari YouTube.

"Ini kalo judul cerpen sepanjang ini, gue pasti udah dimarahin guru Bahasa Indonesia deh." Bisik salah satu murid SMK itu. Senyuman gue tertahan, emang kepanjangan juga sih judul lagunya. Malah gue gak hafal sehari dua hari, mana isi liriknya tuh bikin mikir semua lagi. Terlalu puitis, kebanyakan majas yang bikin orang-orang sulit memahami maksud dari lagu tersebut.

"Dokter Mada." Gue yang saat itu sedang menulisi sebuah tabung menggunakan nama, tanggal, dan asal instalasi pasien sontak terkaget sampai menyebabkan kertas super kecil itu tergores spidol hitam. Tangan yang beberapa detik lalu menepuk pundak gue masih setia menempel di tempatnya. Dari suaranya sih gue tau siapa perempuan ini, Kaila namanya.

"Apa sih? Kecoret kan." Rutuk gue sebal. Maaf aja nih ya, Mada kalo lagi fokus usahakan jangan disenggol atau lo akan kena bacok sampai mampus.

"Ya maaf dok, kan tinggal diganti." Suaranya merendah, seperti takut dan menyesal di waktu yang bersamaan. "Tolongin saya dong, pliiiis." rengeknya lalu berjongkok dibawah kursi yang gue duduki.

"Apalagi?! Sana pergi, gak liat saya lagi kerja?"

Bibirnya membentuk kerucut yang bikin gue geli, "Plis banget ini mah, kalo gak mau tolongin, saya gangguin terus nih."

Gue berdecak kemudian menyimpan tabung berisi darah pasien dari UGD lima belas menit lalu itu di tempat penyimpanan khusus. "Gatra gak suka sama kamu, gak mempan meski bawain takoyaki satu gerobak juga."

"Saya kan masih usaha, besok saya mau bikin sandwich, dokter Mada anterin ya ke klinik rawat jalan?"

Kalau gak diiyain, pasti dia bakalan ngoceh terus. "Iya, pergi gak?" Ancam gue dengan tatapan mata yang dibuat sedatar mungkin. Dia ber-yes ria kemudian berjalan ke tempatnya dengan posisi jongkok seperti tadi. Cewek aneh, Kaila cocok sih sama Gatra, tapi kalau dua-duanya gak sehat kayak gini kan jatohnya jadi pasangan lenong.

Hari ini gue dapet dua kerjaan sekaligus. Pertama, gue dikasih sampel urin sama Catra karena katanya dia dapet pasien rehab baru dan harus diketahui positif obat apa demi laporan ke Badan Narkotika Nasional. Kedua, gue dapet sampel darah dari Bang Raga yang kebetulan jaga pagi di UGD. Katanya, hasil pemeriksaan untuk sampel darah pasien umum UGD ini harus diserahkan sebelum jam istirahat. Dugaan kasar Bang Raga, pasien terkena demam tifoid atau tipes karena suhu tubuhnya yang diatas batas normal.

Saat dilakukan tes, darah pasien mengandung antibodi IgM anti-O9 yang dibentuk secara otomatis oleh sistem imun saat tubuh terinfeksi bakteri Salmonella typhi. Tanpa menunggu lama, gue langsung mengirimkan hasil pemeriksaan itu melalui fax ke Instalasi Gawat Darurat. Setahu gue, penyakit tipes bisa menyebabkan komplikasi serius apabila tidak ditangani dengan segera. Kayaknya pasien harus dirawat, dan itu artinya, RSJ harus melakukan rujukan ke rumah sakit umum karena tidak tersedianya fasilitas rawat inap bagi pasien non-psikiatri disini.

Sudah tak terhitung berapa kali gue menguap hari ini. Semalam gue dan Pram pulang dari rumah Arthur sekitar pukul dua belas malam. Harusnya sih gue gak perlu lebay begini, biasanya juga nongki di kafe atau clubbing sampe subuh gue sanggup. Sepertinya ini efek bajigur dan ubi rebus buatan Ibunya Arthur deh. Sumpah, keluarga Arthur anget banget, apalagi Ibunya yang udah nganggap semua anak-anak di Manjiw Squad sebagai anaknya juga. Coba ayah sama ibu gue, mereka jangankan merhatiin anak satu-satunya ini, nanyain gue kuliah atau kerja dimana aja gak pernah tuh semenjak gue minggat dari tanah Palembang.

Gue benar-benar butuh penyegaran, sehingga saat jam istirahat tiba, gue langsung meluncur menuju kantin rumah sakit untuk sekedar mencari yang seger-seger. Jam segini kantin rame banget, rata-rata yang makan dan jajan tuh pegawai rumah sakit seperti Staff TU, perawat, dan beberapa keluarga pasien yang sebentar lagi masuk ke jam besuk. Kebetulan banget gue ketemu sama Joshua, mukanya masih pucet padahal ini udah hampir seminggu semenjak dia tumbang hari itu. Pas gue liat hasil pemeriksaan lab-nya di apartemen dia beberapa hari lalu, ternyata Joshua benar-benar kekurangan hemoglobin akibat Talasemia Minor yang dia derita.

Sekilas soal Talasemia, penyakit genetik satu itu gak bisa disembuhkan dan akan membawa sifat gen ke setiap keturunannya nanti. Dalam kasus Joshua, dia pasti akan terus mengalami anemia dan kekurangan sel darah merah jika dia terlalu memforsir dirinya seperti saat ini sehingga memerlukan transfusi secara rutin. Beruntung dia mengidap Talasemia Minor, pasalnya, kalau Joshua mengidap Talasemia Mayor, dia pasti tidak akan seperti Joshua yang sekarang. Penderita Talasemia Mayor atau berat biasanya memiliki gangguan pertumbuhan sehingga perkembangan mental dan fisiknya terhambat, serta berbagai penyakit yang justru bisa membahayakan nyawanya lebih dari si Talasemia itu sendiri.

"Jojojojosh!" Dari kejauhan, tangan gue sudah terangkat sehingga saat mendekat kearahnya, gue langsung melakukan high-five ala Manjiw Squad.

"Yow, Mada. Kemana aja nih? Jarang nongol banget sih lo." Katanya sembari menggeser posisi duduknya supaya gue bisa menjatuhkan diri disebelahnya.

"Ada aja gue, resiko jadi manusia goa yang jauh dari peradaban."

Laki-laki itu tertawa, "Jauh dari peradaban apanya, maen lo paling jauh diantara kita semua. Segala tempat tau, gue aja kalah."

"Iya lah lo kalah, main lo di Gereja terus sih kalo minggu, gak kayak gue." Tanpa melihat Joshua, gue berbicara. Kedua mata gue fokus pada buku menu yang menampilkan nama serta harga makanan-makanan di kantin ini. Gue suka banget sama gado-gado, apalagi kalo kol sama togenya dibanyakin.

"Ngomong-ngomong soal Gereja, minggu ini ke Gereja bareng sama gue mau gak, Da?"

Gue menggigit bibir bagian bawah sebagai bentuk kalau gue sedang berpikir dengan keras. "Gimana ya? Gue ada acara nih, tapi ... boleh lah, pagi doang paling."

"Gitu dong, kali-kali inget Tuhan, jangan seenak jidat mulu lo ngejalanin hidup."

Gue tertawa kencang, padahal saat itu gue tersindir oleh ucapan Joshua yang tak jarang bikin gue sadar. Gue adalah orang yang tidak terlalu peduli dengan ibadah, paling-paling gue ke Gereja sebulan satu kali- itupun harus sama Joshua. Sebagai orang yang sadar dengan buruknya diri sendiri, gue seringkali merasa gak pantas menginjakkan kaki ke tempat sesuci itu. Kehidupan gue gak kayak Joshua atau yang lainnya. Jujur, gue nakal dan gak tau batasan. Mada cuma kalem dari luar, sementara jiwanya berontak dan selalu ingin bebas melakukan apa saja yang belum pernah gue lakukan.

Prinsip gue hanya satu; hidup ini cuma satu kali dan terlalu sayang untuk disia-siakan. Selama bisa hidup, kenapa gue gak menikmati kehidupan itu sendiri? Mungkin Mada akan berubah jika ada yang bisa membuatnya punya tekad untuk berubah. Hanya saja buat sekarang, gue belum menemukan alasan yang bisa membuat gue berhenti melakukan hal-hal yang gue sukai. Cuman semenjak kenal dengan orang-orang dari Manjiw Squad, sedikit demi sedikit gue bisa mengurangi kebiasaan buruk yang selalu gue lakukan. Harus gue bilang, mereka punya pengaruh positif yang bisa membawa gue keluar sebentar dari gelapnya dunia gue. Kalau biasanya Mada bisa menghabiskan waktu semalaman untuk sekedar clubbing di klub malam, belakangan dia lebih senang menghabiskan waktu bersama mereka walau tempatnya gak elit dan jauh dari standar seorang Mada Winoto Huang- Got depan Rumah Sakit Jiwa.

Kenal dengan mereka tuh benar-benar menjadi sesuatu yang baru untuk gue. Gue yang pilih-pilih soal makanan dan minuman seringkali kalap dan berujung memakan apa saja; termasuk cilok pakai kecap yang dijual mamang-mamang pinggir jalan. Gue yang termasuk rewel soal pemilihan tempat nongkrong jadi gak kenal apa itu nongkrong yang estetik dan betah-betah aja setiap kali diajak kumpul di warkop sederhana sambil nyeduh mie gelas tiga ribuan. Kalau teman satu geng gue di Renains- sebuah klub kenamaan Kota Bandung tau kelakuan Mada yang sekarang, mereka pasti bakalan ketawa habis-habisan dan ngejek gue tanpa pengampunan.

Dari mereka, gue belajar banyak sekali hal yang sederhana namun bisa mengurai rumit didalam kepala. Arthur dan Pram pernah bilang ke gue, sebenarnya gue hanya seorang anak malang yang kurang kasih sayang dari kedua orang tua. Gue butuh diperhatikan, gue butuh dianggap ada dan penting sebagai bagian dari kehidupan. Tanpa gue sadari, jiwa gue sudah sakit sejak lama sekali. Dengan baik hatinya, mereka menyembuhkan meski hanya menggunakan cara-cara sederhana yang justru terasa begitu berharga. Rupanya, bahagia itu bukan seberapa keren kafe yang kita kunjungi, bahagia itu bukan seberapa mahal minuman yang kita beli. Tapi, bahagia itu adalah soal kosongnya sepi yang terisi oleh hal-hal kecil yang mungkin terlihat tidak berarti.

"Abis istirahat lo ngapain, Da?"

Lamunan gue buyar ketika Joshua bertanya. Gado-gado yang gue kunyah belum kunjung tertelan karena gue sibuk dengan lamunan gue sendiri. "Balik ke lab lah, masih ada yang harus gue lakuin soalnya."

"Jadi kapan?"

Pertanyaannya gak jelas banget, tumben-tumbenan Joshua nyengir begitu. "Kapan apanya?"

Tangannya mendorong bahu gue disertai sebuah tawa kecil di bibirnya, "Jangan sok dongo deh, itu cewek di story wa lo siapa?"

Cewek?

Di story wa gue?

"Siapa?"

"Lah, kok nanya gue si. Kan lo yang posting, anak-anak di grup heboh noh."

Cepat-cepat gue membuka ponsel gue sendiri. Seharian tadi ponsel keluaran anyar ini gak sempat gue pegang dan tergeletak gitu aja di meja kerja gue sendiri. Mata gue terbuka lebar, pun dengan mulut gue yang menandakan kalau sekarang gue kaget gak main-main.

"Kok bisa?! Ini bukan gue yang post, Jo."

***

"Dok, tolong liat hasil lab ini dong, tadi-"

"Arsha mana?!"

Dada gue naik turun, seisi laboratorium mendadak diam ketika gue berbicara dengan nada setinggi itu. Pandangan mata gue mengedar, mencari sosok perempuan yang bikin gue kesal setengah mati itu ke seluruh penjuru lab. Di samping mesin Hematolgy Analyzer, gue bisa melihat seseorang yang sekarang jongkok perlahan-lahan sembari menutupi wajahnya sendiri menggunakan buku panduan penggunaan mesin.

"Gak usah ngumpet, sini lo keluar!" Sentak gue kesal. Perempuan dengan rambut sebahu itu berdiri, nyengir lebar kearah gue lalu berlari keluar melalui pintu belakang sehingga mengharuskan gue mengejarnya kesana. Orang-orang yang tau hubungan gue dan Arsha kayak apa langsung pada ketawa. Apalagi Kaila, dia dengan hebohnya tepok tangan lalu bilang; 'gelut gelut! gelut gelut!' persis banget sama Gatra yang seringkali jadi kompor didalam squad.

"Arsha!" Teriak gue, membuat perempuan itu berhenti seketika di tempatnya berdiri sekarang. Tubuhnya berbalik, cengiran takut sekaligus canggung gue dapatkan dari bibirnya yang tipis itu.

"Ma- Mada, hehe." Katanya, mundur beberapa langkah saat gue maju untuk mendekat.

"Lo ngapain upload selfie lo sendiri di wa gue?"

"Gak boleh ya? hehe."

Gue menyibak rambut gue sendiri dengan kesal, "Gak boleh, lo gak bisa seenaknya kayak gini sama gue, Sha. Kita tuh-"

"Udah putus? Iya?"

Gue terdiam, hanya bisa menghela napas dengan mata yang terpejam rapat. "Itu lo paham. Jangan diulang, atau gue-"

"Gak mau kenal lagi sama Arsha?"

Sepertinya Arsha udah hafal betul dengan setiap kalimat yang sering gue ucapkan.

"Mada, Arsha kan udah bilang, Arsha masih suka sama Mada. Arsha tuh ... "

"Gue gak suka sama lo, Sha, ini serius."

"Tapi kita ... di apartemen kamu ... waktu itu ... " Kalimatnya terbata, bingung antara harus melanjutkan lagi ucapannya atau tidak.

Secepat mungkin gue menyela, "Perut lo aman-aman aja kan? Gue gak akan lakuin itu kalau lo gak mau ngelakuinnya, Sha. Gak usah dibahas, please, kita sama-sama orang gak bener dan seharusnya kita gak perlu lagi mengungkit hal biasa seperti itu."

"Tapi itu per-"

"Stop, gue bilang stop." Tangan gue bergerak, membentuk gestur tanda berhenti supaya dia mau menutup mulutnya. "Jangan ngelakuin hal bodoh kayak tadi. Ini terakhir kalinya gue memperingatkan lo, gue udah capek banget sama lo soalnya."

Tanpa mau mendengar apapun dari mulutnya, gue langsung berbalik untuk pergi dari hadapan perempuan yang tampak polos tanpa dosa dari luar itu. Sambil berjalan menuju lab, gue membuka aplikasi WhatsApp untuk menghapus story yang perempuan itu buat. Belum lima langkah gue berlalu, suara perempuan itu kembali terdengar dengan getaran halus yang membuat gue merasa kembali bersalah karena kejadian itu.

"Gue bodoh cuma karena lo, Da. Jangan lupa soal itu."

Gue gak pernah lupa, Sha. Sama sekali gak pernah lupa.

***

Semalaman tadi, ponsel gue sengaja tidak diaktifkan. Gue bersenang-senang di Coffee Cafe yang ada di daerah Gading Tutuka sambil nonton pertunjukan band indie lokal. Entah jam berapa gue pulang, yang pasti saat pagi menyapa untuk mengajak gue kembali beraktivitas, badan gue terasa remuk karena dibawa angin-anginan semalaman.

Baru aja gue sampai di lab, Kaila udah menodong gue dengan satu toples sandwich yang tujuannya diberikan buat Gatra. Gue yang lagi males ada di lab langsung meluncur menuju Instalasi Rawat Jalan untuk menemui laki-laki yang bekerja sebagai dokter spesialis rehabilitasi medik itu. Beruntung Gatra baru dateng, jam prakteknya juga belum dimulai sehingga gue bisa bertemu dengan laki-laki itu buat sekedar ngobrol singkat selama beberapa saat.

"Nih, dari Kaila."

"Astaga si Oneng, masih kagak nyerah aja rupanya."

Humor gue hari ini lagi kenapa sih? Denger kata Oneng aja langsung ketawa ngakak banget.

"Balik jam berapa lo?"

"Setengah tiga, kenapa emang?"

"Arthur sama Pram sibuk banget, lo sibuk gak?"

Dia menggeleng, "Nggak, mau ngajak gue mabok ya lo? Kagak ah, takut dimarahin Ibu."

"Anjing." Maki gue, "Gue traktir makan di Ampera, mau gak lo?"

"Ya kali gak kuy, curhat lo hah?" Tudingnya.

"Lupa gue, ngajak lo curhat tuh salah besar gak sih? Mulut lo bocor banget anjir."

"Yeu goblok, aman sama gua mah. Lo bawa BMW? Naik dong gua, pengen ngerasain numpak mobil begituan."

"Bisa diatur, jam empat di parkiran, kuncinya lo yang bawa biar nunggu guenya dalem mobil." Gue melempar kunci mobil kearah Gatra, dia pura-pura menekan tombol alarm lalu memperagakan suara 'bip-bip' lalu tertawa sendirian. Setelah selesai menyampaikan amanat dari Kaila, gue kembali ke laboratorium untuk melanjutkan pekerjaan yang mungkin saja sudah menanti gue disana.

Dan benar, gue mendapat lima buah urin yang dikirim oleh BNN untuk diperiksa. Katanya mereka-mereka ini tersangka kasus narkoba dan termasuk kedalam golongan pengedar serta bandar. Dari warna dan bau urinnya aja gue udah bisa menebak jika mereka semua baru saja mengadakan pesta besar-besaran. Dugaan gue gak meleset, ditemukan senyawa ekstasi dan juga ganja yang kadarnya jelas sangat tinggi. Senakal-nakalnya Mada, demi tuhan gue gak pernah menyentuh barang seharam ini. Sekalinya minum pun gue selalu meminum minuman berkadar alkohol rendah. Meskipun gue harus mengakui kalau gue tiak lebih baik dengan mereka karena ... ya, gue senang bermain perempuan termasuk tidur dengan mereka.

Ini serius, Mada Winoto Huang memang sebejat dan sebrengsek itu. Gue bukan lagi cerita soal kisah-kisah novel dewasa, gue juga bukan lagi nyeritain kisah pemeran utama dari sebuah drama. Ini benar-benar soal Mada, seorang dokter ahli Patologi Klinik yang sama sekali tidak menunjukkan jati dirinya lewat satu pandangan mata. Bahkan semua teman-teman gue di rumah sakit jiwa tidak ada yang tau seberapa bajingan laki-laki yang selalu terlihat santai ini. Dan tujuan gue bertemu dengan Gatra sore ini adalah untuk membicarakan sesuatu yang menurut gue ... sudah sangat fatal didalam kehidupan gue.

"Anjing mobil lo mantep banget, Da."

Itu adalah kalimat pertama yang gue dengar saat membuka pintu kemudi mobil yang gue bawa. Gatra udah duduk di kursi penumpang, kayaknya sempat selfie-selfie deh soalnya ponsel dia sedang berada di mode kamera.

"Dapet beli dari Batam nih, gratis ongkir."

"Syopi kali ah, tolol."

Gue tertawa, di perjalanan gue sempat meminta Gatra buat ngabarin Catra- kakak kandungnya yang kerja di Instalasi NAPZA buat ikutan ngumpul sama kita berdua. Catra menyetujui, katanya kebetulan banget dia kebagian tuker jaga malem buat mantau pasien-pasien di rawat inap NAPZA. Rupanya Catra udah datang duluan, malah pas sampai ke Ampera, dia udah pesan makanan dan lagi asik nyomot lalapan pake sambel.

Sebelum memulai inti pembicaraan, gue mempersilahkan diri gue dan mereka untuk makan lebih dulu. Hari ini gue yang traktir, makanya dua kakak beradik itu mirip banget orang kelaparan yang baru nemu nasi setelah tujuh hari puasa. Baru setelah selesai makan, gue langsung memulai pembicaraan yang serius dengan dua lawak itu. Salah sih, tapi buat sekarang gue cuma butuh didengarkan buat mendapatkan tanggapan dari sudut pandang mereka berdua yang notabene merupakan orang yang paling gak bisa serius.

"Tau Arsha?"

"Tau lah, mantan lo kan? Daripada Kaila, mending kasih gue Arsha, Da. Polos, lucu, gemesin, cocok banget sama gue."

Tanggapan Gatra membuat gue tertawa miris, "Gue mengendus bau-bau CLBK nih? Lo ngapain post foto dia lagi?" tanya Catra dengan mata sipitnya yang memicing tajam.

"Dia yang post sendiri." Jawaban gue sukses membuat mereka berdua membelalak kaget.

"Kok bisa tau pola kunci hape lo yang super ruwet itu sih anjir?!"

"Ya orang dia yang bikin."

"Terus lo gak ganti? Hebat banget, gamonnya kelewatan." Catra bertepuk tangan pelan. Bisa banget dia ngejek gue, padahal sendirinya lebih gamon ke Mela sampe cemburuin kakak sepupu Mela sendiri alias Dipta.

"Gak gitu, gue cuma ... lo berdua tau gak kalo yang gamon tuh sebenernya Arsha?"

Mereka berdua berpandangan, "Dua-duanya!" jawabnya secara serempak, mana suaranya gede banget sampe gue kaget setengah mampus.

"Gue mau nanya dulu deh bentar, yang lo tau soal Mada Huang tuh apa sih?"

Gatra yang duluan menjawab, "Tajir dong, mobil aja kalo gak BMW ya Mercy. Estetik juga, apalagi feed IG lo bikin gue ngiri haha."

"Buat gue lo baik sama keren banget sih, Da. Meski lo sering dugem, ya lo tetep jadi diri lo. Maksud gue ... sebenernya gue gak tau sih, tapi kok hari ini lo beda ya? Lo mau ngomong apa sama gue dan Gatra? Lo kayak orang yang ragu dan takut gitu, persis cowok yang abis ngehamilin anak orang. Hahahaha!" Catra sampai batuk-batuk saat ngetawain gue dengan tuduhan demikian.

Seketika tatapan gue berubah serius, "Ketebak ya, Tra?"

"Maksud lo?" Tanya Catra, gak kalah bingung sama Gatra.

"Ketebak ya kalau gue emang sering nidurin cewek?"

"WOY GOBLOK!" Ucapan Catra memancing perhatian beberapa pegawai yang jaga di meja perasman. "Anjing jangan bercanda, lo ngelucu boleh tapi gak seberlebihan ini, tai!"

"Da, gak lucu banget sumpah. Mabok doang udah cukup, Da, lo tuh kenapa sih?"

"Arsha pernah jadi korban gue, Gat, Tra." Muka mereka berdua lebih shock lagi dari sebelumnya, "Kenapa dia gagal move on? Karena dia beneran suka sama gue, sementara gue enggak. Dan lo tau apa yang paling parah? Dia ngelakuin itu untuk yang pertama kalinya, cuma sama gue."

"Da, lo gak bercanda?" Catra bertanya dengan sungguh-sungguh.

Gue menggeleng, "Nggak, gue gak bohong, hidup gue emang sebejat ini, Tra."

"Tapi Arsha ... " Ada kekecewaan dalam suara Gatra saat menyebut nama perempuan yang terkenal karena sifat periang dan perangai polosnya itu.

"No, Arsha gak sekalem itu. Gue ketemu dia pas clubbing, cewek kalo udah clubbing bukan lagi cewek yang baik atau polos. Tapi gue ... kelewatan, dan gue sering ngerasa bersalah karena ketulusan yang belakangan sering dia tunjukkan."

Gatra mengacak rambutnya hingga berantakan, "Gimana ya anjir, gue shock banget. Tapi dari yang bisa gue simpulkan, lo udah mulai peduli betulan sama Arsha. Dia ... hamil gak?"

Gue menggeleng, "Nggak."

Tiba-tiba sebuah tangan mendarat di pundak gue- asalnya dari Catra. "Gak apa-apa, itu emang kesalahan, tapi lo harus belajar dari situ, Da. Gue kecewa sih, beneran, gue kecewa banget karena ternyata lo kayak gini. Gue gak akan biarin anak-anak tau dulu soal ini, biar gue dan Gatra aja yang tau. Tapi suatu saat, kalau waktunya udah tepat, lo harus cerita juga sama mereka."

"Meski kecewa, mereka gak akan membiarkan lo sendirian. Gue gak tau apa masalah lo, tapi lari ke hal-hal kayak gini sebenernya gak baik sama sekali. Lo sadar kan kalau perbuatan lo salah? Cari tau dulu soal rasa dalam diri lo, kalau lo memang peduli sama Arsha, lo harus ambil tindakan. Dia rusak sama lo, dan dia juga harus diperbaiki sama lo. Lo ngerti maksud gue kan?"

Gue ngerti, Tra.

Setiap liat wajahnya, gue sering ngerasa gak tega dan merasa jadi manusia paling buruk di dunia.

Makasih udah menyemangati gue, makasih udah menanggapi cerita gue dengan sudut pandang yang berbeda. Seharusnya gue gak kayak gini disaat gue punya temen-temen yang justru lebih bisa membawa gue keluar dari rasa sepi ini melalui jalan yang benar tanpa kesesatan. Meski keluarga tak pernah peduli, ternyata ada orang-orang yang pedulinya lebih dari keluarga gue sendiri. Sepertinya, gue benar-benar harus segera berubah. Gue gak bisa membiarkan Arsha rusak lebih jauh lagi. Persetan dengan perempuan-perempuan nakal sebelum dia yang pernah mampir di kehidupan gue. Mereka tidak lagi membawa hal seperti ini sebagai sebuah masalah, berbeda dengan Arsha yang mungkin ... baru pertama kali mengalami kejadian yang bisa saja sangat memukul dirinya sendiri.

Arsha tidak akan seperti ini kepada gue jika dia bukan perempuan baik sebelumnya. Dan gue ... gue terlalu jahat serta tak bertanggungjawab kalau membiarkan Arsha terus menerus mengejar gue yang mungkin saja merupakan harapan terakhir dalam hidupnya.

✡️✡️✡️





GA TEGA BANGET JADIIN EISSA KAYAK GINI😭😭😭😭

Continue Reading

You'll Also Like

4.9K 1.7K 40
[ kim doyoung ] Yang melepas dan yang dilepas harus ikhlas. Kalau kembali, artinya Tuhan mengimbali. Karena yang ikhlas pasti akan berbalas. Sedangka...
420K 7.9K 13
Shut, diem-diem aja ya. Frontal & 18/21+ area. Homophobic, sensitif harshwords DNI.
438K 44.5K 37
Menceritakan tentang seorang anak manis yang tinggal dengan papa kesayangannya dan lika-liku kehidupannya. ( Kalau part nya ke acak tolong kalian uru...
73K 2K 100
The song lyrics of One Direction for Directioners