Lukacita

By valeriepatkar

1.2M 124K 64.3K

(SELESAI) Dari kami, orang-orang yang berhasil menggapai cita-cita, namun masih terluka karenanya. Teristimew... More

0. Comet
1. Eternal Sunshine
2. Moonlight
3. Precious
4. Irreplaceable You
5. Steps of May
6. Anything
7. Roma
8. Shoplifters
9. Room
10. My Mister
11. Us
12. When Marnie Was There
13. Human
14. Us and Them
15. Youth
16. Dear Ex
17. Testament of Youth
18. I Love You Om
19. Love is A Bird
20. Sekala Niskala
21. Terpana
22. Tree of Life
23. Dallas Buyers Club
24. Blue Valentine
25. Joker
27. The Gift
28. Ordinary Love
29. Boy Erased
Luka dan Cita-cita
Javier and His Lullabies

26. The Boy in the Striped Pajamas

25.3K 3.4K 1.3K
By valeriepatkar




Bagian dua puluh enam.

The Boy in the Striped Pajamas (2008)

"You're my best friend, Shmuel. My best friend for life."

❀❀❀❀

Javier

Klien pertama kita adalah tukang batagor.

Iya, tukang batagor.

"Hah? Bukannya tukang batagor cuma butuh gerobak sama kulit pangsit?" di awal tahun 2016, gue masih gak paham kenapa harus ngajak Angkasa Rolando ke proyek ini.

"Kayaknya kalau tukang batagor gak butuh videographer deh, Jav," Aslan nyahut. "Kecuali si Kang Husni mau gue bikinin dokumenter gitu."

Ya iya sih.

"Biar kayak Steve Jobs."

"........ Ya juga ya, mana tau Kang Husni bisa bikin Batagor mendunia."

"Terus punya franchise deh sampai ke Amrik."

Gak apa-apa. Biarin aja.

Kata orang, kalau orang lagi berkhayal tuh gak boleh dikomentarin, apalagi dikatain. Soalnya selalu ada kesempatan buat jadi kenyataan.

Meskipun kesempatan cuma 1 dari 100 persen.

"Ya udah, kita mulai bikin logo dulu deh. Sama desain kantor," balas gue, melupakan sesuatu.

"Gerobak Jav. Bukan kantor," Aslan membetulkan.

"Oh iya."

Bicara soal mimpi, cita-cita, setiap kepikiran buat berbuat sesuatu yang besar dan excited karenanya, pasti ekspektasi lo jadi tinggi. Gak mungkin rendah, walaupun tetap tau diri dengan kapasitas lo.

Tapi ya itu manusia. Bilangnya tau diri, namun waktu ada kesempatan yang sekiranya besar di depan mata, langsung lupa sama tau dirinya.

Ujung-ujungnya kecewa. Bete sama diri sendiri.

"Woy! Gue kan udah bilang sama lo, kalo abis makan apa-apa tuh dibuang!" teriakan-teriakan begini gak baru datang beberapa kali dari Aslan.

"Ya udah sih tinggal dipinggirin aja, entar juga gue buang. Ribet lu." balas Lando sambil lanjut ngemil. Rasanya gue baru mengenalkan mereka sebulan lalu, tapi lihat mereka sekarang.

"Gak, pokoknya lo buat sekarang. Gara-gara lo studio gue jadi bau otak-otak!"

"Lah bau otak-otak kan enak.. Membumi! Daripada ruangan lo wangi rokok mulu kayak smoking area di parkiran, mendingan jadi wangi otak-otak."

Beranteeeem mulu. Persis kayak Samson sama Pampam di Tuyul dan Mbak Yul.

"Aslan..," mau gak mau, meskipun gue bukan ahli juru damai, gue mulai melatih diri buat jadi penengah mereka.

"Pokoknya kalo besok-besok lo bawa cemilan lo lagi ke sini.. Gue buang laptop lo ke jalan, biar lo kerja di sana aja!"

"Dih, gak profesional banget lo! Lagian kenapa sih kalo bawa cemilan sambil kerja? Udah tau kerjaan gue butuh mikir. Mana bisa mikir gak pake micin?"

Gue menyipitkan kedua mata gue sambil menghela napas panjang.

Sabar....

Sabar...

Sabar...

"Lando..," ulang gue sekali lagi menganggap Lando, tapi lagi-lagi.

"Ya itu mah karena lo tolol aja..," potong Aslan lagi membuat napas gue kali ini terhenti. Dikacangin buat kedua kali. Oke, sip.

"Anjir... Bilang apa lo barusan?" Lando langsung maju, menantang Aslan yang sebenarnya punya badan lebih besar sehingga dia sampai harus berdongak.

"Lo... Tolol," Aslan juga gak mau kalah. Sebenernya dia gak punya bakat sama orang. Cuma menang di tato sama rambut dan muka kucel aja yang sering bikin dia dikira orang preman Kalideres.

"Gak usah gaya deh lo.. Tolal Tolol, mentang-mentang kuliah di luar negeri.. Ujung-ujungnya balik ke Jakarta, makan spaghetti aja masih pake sambel ABC lo."

"Lo tuh emang..," Aslan mulai menarik kerah baju Lando dan Lando udah siap mengepal kedua tangannya sebelum...

"WOY SETAN!"

Emang ya. Kalau orang emang dasarnya udah tubir mendarah daging, susah mau sok-sokan sabar.

Lando langsung loncat -maklum, dia denger suara speaker Tahu Bulat aja keinget suara remang-remang Ibu di Pengabdi Setan. Aslan juga noleh, kaget karena seumur-umur gak pernah denger gue teriak sampe serak kayak lagi siap-siap tawuran.

"DIEM KAGAK LO SEMUA?" yang gue inget hari itu, di dekat gue ada pengki berwarna ungu yang sudah gue angkat untuk memukul mereka. "GUE GEBUK NIH?"

Cocok kali ya rambut gue panjangan dikit terus di roll biar kayak ibu-ibu di Kungfu Hustle.

Ya begitu deh.

Aslan dan Lando gak pernah akur. Selain karena mereka baru kenal -Aslan temen gue dari SMA, dan Lando baru gue kenal semenjak kuliah karena kita satu jurusan. Awal mengumpulkan orang-orang bangsat ini, gue masih gak kepikiran untuk memakai nama Pengantara. Belum ada Bang Jul yang mengurus kebutuhan finansial karena kita juga belum butuh-butuh banget -klien baru satu, itu juga tukang batagor yang sering lewat depan rumah. Kita juga gak perlu bayar uang sewa karena kantor saat itu masih pakai studio jelek Aslan yang gak kepake.

"Nama kita Ngadep Tembok aja apa?"

Lando itu adalah bentuk tai hidup yang punya tangan dan kaki.

Dia mungkin cowok pertama -dan satu-satunya di dunia yang akan membeli apapun, apalagi makanan, ketika berkunjung ke suatu tempat. Misalnya dia mau berangkat dari rumahnya ke studio Aslan yang harusnya cuma butuh 15 menit. Tapi karena setiap langkah dia berhenti dulu buat jajan otak-otak lah, cireng lah, chiki lah, kopi sachetan lah, jadinya dia baru nyampe 45 menit setelahnya. Tai kan?

Oh, selain hobi membeli banyak hal dan datang terlambat. Dia juga punya hobi mendarah daging yang bikin dia sejauh ini gak pernah cocok sama Aslan.

Komentar.

"Asli, kantor apaan ini... Duduk di lante, ngadep tembok, lampu remang. Berasa di lapas ini gue mah. Gak bakal dapet inspirasi... Tekanan batin yang ada."

"Bisa diem gak sih lo? Gue gak bisa mikir karena bacot lo tuh kedengeran mulu," nah Aslan, kebalikan dari Lando. Kita gak pernah dekat pas SMA. Malah, kita baru ketemu lagi setelah udah sama-sama kuliah. Gue dengar dia berkuliah di Singapore, tapi gue malah gak sengaja ketemu sama dia lagi, dan ternyata dia udah berhenti kuliah, balik ke Jakarta tanpa orang tuanya tau, dan malah banting stir jadi disc jockey di sebuah bar di Senopati.

Lalu dua bulan setelahnya, masih dengan keadaan gue mendengar Aslan dan Lando berantem setiap hari, sampai gue pun ikut emosi, satu-satunya hal yang maju dari kita adalah.... Kawat nyamuk di pintu depan. Itu juga karena Lando marah-marah harus pake autan setiap hari karena digigitin nyamuk pas kerja lembur.

Oh,

Ada lagi.

Bang Jul.

"Anjir!" Aslan tiba-tiba setengah berteriak ketika membuka pintu kamarnya dan menemukan sosok berkaos merah, rambutnya diikat satu, dan wajahnya tertutup warna hitam pekat. "Bisa gak sih lo sehari aja gak ngagetin Bang?"

"Duh, lo aja kali yang kagetan," yang diajak ngomong malah sibuk jalan ke kaca dan memastikan masker anti-komedonya gak miring dan terpasang sesuai garis wajah. "Rumah lo nih debunya ngalahin polusi seantero Jakarta. Yang ada kerja disini gue bisa jerawatan."

"Itu apaan Bang?" Lando yang selalu penasaran dengan semua hal langsung menghampiri dan dengan tololnya menempelkan tangannya... Yang abis makan Piscok dan penuh minyak, ke muka Bang Jul.

"HEH TOLOL!" anehnya kalau Bang Jul yang ngamuk, Lando langsung kaget dan ketakutan setengah mati. "JANGAN PEGANG-PEGANG GUE, ENTAR MUKA GUE KOTOR!"

Bang Jul datang ke sini membawa sebuah kultur baru yang mengajarkan kalau kesehatan kulit nomor satu.

"Nih, Jav.. Coba lo pak-"

"GAK!" gue langsung kabur dan berdiri dari bangku. "Awas lo pasang-pasangin gue begituan!" kata Bang Jul kantong mata gue udah kayak kantong kresek emak-emak di tukang sayur karena jam tidur yang berantakan. Cuma siapa peduli?

"Jav.."

"Javi.."

"JAVIER!"

Mereka bertiga gak pernah absen meneriaki nama gue sejak saat itu, bahkan juga disaat yang bersamaan.

Sampai akhirnya perlahan, dagangan Batagor Kang Husni udah punya tokonya sendiri, punya cabang di daerah lain, dan akan berkembang ke online.

Setelah itu, kita setuju dengan nama yang gue usulkan.

Lalu kita pindah ke kantor lebih besar yang gak mengharuskan kita ngadep tembok dan duduk di lante setiap hari seperti dulu.

Punya mahasiswa magang.

Punya komputer kita masing-masing.

Punya klien besar yang bisa kita branding kantornya, bukan gerobaknya.

"Javier," gue ingat pertanyaan Mas Floda yang selalu sama setiap dia bertemu dengan gue. "Kamu gak ada niatan untuk tambah orang?"

Gue selalu menggeleng cepat.

"Tapi perusahaan gak akan pernah maju kalau kamu cuma bekerja dengan orang yang itu-itu aja."

"Gue emang gak mau Pengantara maju," balas gue. "Gak perlu maju. Cukup gak mundur. Tetep sesuai sama apa yang seharus kita lakuin, dan bisa jadi diri kita sendiri."

Cuma karena satu alasan, "Gue gak pernah suka sama orang."

Manusia.

I hate it.

Tau kalau gue adalah salah satu dari mereka, malah membuat gue justru semakin membencinya.

"Lo yang paling tau dari dulu gue gak pernah punya temen. Gue selalu benci semua orang. Dan, mereka juga gak suka sama gue, anyway," setiap berada di rumah bersama, gue dan Mas Floda akan duduk di ruang keluarga, berhadapan dengan televisi yang gak pernah benar-benar kita tonton, karena dia akan selalu berusaha mengajak gue bicara. Terutama tentang masa depan.

"Buku-buku yang sering Papa kasih... Ajaran-ajaran lo ke gue... Semuanya sama. Orang yang paling disukai adalah orang baik... Anehnya, ternyata semua sama aja buat gue. Gue selalu benci semua orang. Gue gak suka sama mereka, sekalipun mereka baik." gue gak pernah bisa merokok di rumah karena nyokap gak pernah mengizinkan. Di keluarga ini, yang merokok cuma gue, jadi itu agak sedikit bikin frustasi.

"Dari jaman sekolah sampai kuliah, gue selalu ketemu sama orang bijaksana yang gak pernah sungkan kasih nasehat sekalipun itu di depan orang banyak.. Orang baik. Mereka selalu berusaha untuk mengubah hidup orang lain jadi lebih baik dari yang seharusnya. Gue juga sering ketemu sama orang yang senyumnya ramah banget, kerjaan gak pernah jauh-jauh dari bantu orang. Belum lagi mereka-mereka yang punya banyak waktu untuk mikirin orang lain... Dikit-dikit nanya... Are you okay? Do you need help? Hahahaha," tawa gue rupanya gak begitu menyenangkan hati Mas Floda saat itu.

"At the time, I feel like... Woah... Gila, baik banget orang-orang. They need to get appreciation. At least a single praise for being that good, but at the same time... I hate it.. I hate them."

"I hate when good people always trying so hard to make other people do good too."

"It's disgusting."

Seperti yang gue bilang, Mas Floda gak terlihat senang dengan cara gue bicara sehingga dia hanya membalas dengan, "Dari dulu, gak ada satu hal pun yang kamu suka.. Kamu emang selalu benci semua hal, Jav."

Well, that's true.

Dari kecil, gue gak pernah punya teman. Gue geli waktu orang-orang mulai menempel dan berusaha untuk memperkenalkan diri mereka ke gue, berusaha bertingkah seolah-olah kita punya ketertarikan yang sama, memuji gue ketika yang gue lakukan adalah tindakan yang salah hanya demi membuat gue merasa, "Oh, guys, you are such good friends."

Gue pernah beberapa kali dipukul oleh teman sekelas, atau malah senior-senior gue ketika gue mulai berbicara kasar ke mereka, karena mereka gak terima dengan perkataan gue. Padahal yang gue bilang semua bener.

"You always hate everything, Jav," Mas Floda menambahkan. "Coba sebutin satu aja hal yang kamu suka... Gak ada. You always hate people and everything around you."

Senyum gue simpul. Gue meneguk sebotol air putih sebelum berkata, "Ada."

"Ada yang gue suka... Beberapa."

Mas Floda menoleh, cuma untuk menunggu jawaban gue.

"Gue suka waktu Aslan berani ngaku ke orang tuanya dia pernah pakai ekstasi dan minta di rehabilitasi buat sembuh."

"Gue suka keputusan Lando buat berhenti kuliah cuma karena dia gak suka ujian dan bangun pagi."

"Gue suka Bang Jul yang tetep usaha cari kerja lagi, padahal dia punya track record sebagai koruptor di perusahaan lama."

Tatapan Mas Floda semakin dalam ketika gue menoleh dan membalas tatapannya.

"Udah... Kayaknya sampe sekarang... Masih sebatas itu yang gue suka.. Gak tau kalau nanti."

**

Tara

Rasanya gue cukup sering meraung-raung sebel sama orang lain, padahal ternyata yang paling menyebalkan adalah diri sendiri.

Tau kenapa?

Karena dia gak pernah dengerin gue.

"Lo pulang sama gue."

"Titik."

Selalu gitu. Udah dibilang, jangan lemah, jangan sok berempati sama orang apalagi kalau orangnya gak mau dibagi empati secuil pun kayak dia, jadi ngapain sih gue masih dengerin dia?

You were alone left out in the cold
Clinging to the ruin of your broken home
Too lost and hurting to carry your load
We all need someone to hold

Kembali di dalam mobilnya yang masih berwangi sama. Wood musk yang hangat, mengingatkan gue dengan warna bunga, tapi ada wangi lain yang lebih mencolok. Bukan seperti wangi parfum laki-laki pada umumnya karena gak mencolok apalagi pekat. Tapi lebih ke sesuatu yang comfortable dan menenangkan, seperti wangi aromaterapi.

Kembali juga dengan lagu-lagu di mobilnya yang bergenre sama -shoegazing, dengan melodi yang cocok untuk orang-orang mabuk. Namun belakangan, gue merasa lagunya bersumber dari penyanyi yang sama.

"Ini lagunya Vancouver Sleep Clinic."

Tuh kan, tuh kan.

Kenapa dia bisa jawab pertanyaan gue yang di dalam hati coba? Apa jangan-jangan dia punya keterampilan khusus ya? Yang mistis-mistis gitu kayak di tivi.

"Judulnya Someone To Stay, satu lagu mereka yang paling dikenal orang..," gue sekedar mendengarkan tanpa menggubris karena jujur, gue masih lumayan kesal karena kejadian barusan di Rumah Kelana, dan dia, lagi-lagi, selalu dan selalu, memulai pembicaraan dengan topik lain yang gak penting.

"Yet they have another good songs to listen... and still everyone would listen to the most popular one."

Namun entah kenapa, perlahan semua pembicaraan gak penting yang sering membuat gue kesal itu justru perlahan menjadi sesuatu yang maknanya gak sederhana.

Entahlah. Gue cuma merasa demikian.

You've been fighting the memory all on your own
Nothing washes, nothing grows
I know how it feels being by yourself in the rain
We all need someone to stay

"Iya, lagunya bagus," gue mengucapkannya tanpa kesadaran penuh.

Gue suka satu bagian dari lagu itu.

We all need someone to stay.

Tapi faktanya,

We all wait for someone who never stays.

Pertanyaannya barusan masih berputar di kepala gue.

"Lo gak mau putus aja dari gue?"

Apa dia selalu segampang itu untuk bilang putus? Saking gampangnya, kalimat ngajak putus barusan lebih terdengar kayak "Lo gak mau makan sekarang aja?" ke orang yang lagi laper. Karena buat gue, ngomong putus itu kayak..... Dosa. Ingkar janji. Pengkhianatan.

Dan yang membuat gue sangat kesal sekarang adalah..... karena gue gak menjawab apa-apa.

Gak.

Gue bohong sama diri sendiri.

Yang benar adalah.. karena gue gak mau.

Gue gak mau putus.

"Udah sampe. Lo gak mau turun?" pertanyaannya yang tiba-tiba menyadarkan gue dari lamunan panjang.

"Hah?" gue melihat ke kiri untuk mendapati mobil ini udah bertengger di depan rumah gue. "Oh... Iya..," gue langsung melepas seatbelt, dan gak lama setelahnya..

Krrrkkk.

Perut gue bunyi.

Oh iya, gue belum makan tadi pagi. Pantes hari ini rasanya lemes banget.

Gue sempat meliriknya sebentar, dan rupanya dia juga sedang menatap gue.

"Hehe..," gue cuma menyengir, dan dia masih diam melihat gue.

Gak ada yang bisa gue baca dengan jelas dari matanya. Apakah dia kesal, apakah dia peduli, apakah dia khawatir, apakah dia sedih, apakah dia marah... Emosi itu gak pernah benar-benar terlihat dengan jelas, sehingga gue memilih untuk menyerah menerka-nerka.

"Makasih," gue akan selalu menjadi orang yang berterima kasih ke pada siapapun yang berbuat baik pada gue, sekalipun itu hanya mengantarkan pulang.

Sekalipun orang yang mengantarkan gue pulang itu begitu menyebalkan dan hampir menyakiti hati gue.

Apa jangan-jangan udah?

"Hmm..," dan dia akan selalu menjadi Javier Killian Sjahlendra, yang gak akan pernah merasa gak nyaman dengan kata-kata yang pernah keluar dari mulutnya, yang gak akan pernah nunjukin pedulinya sekalipun dia tau perut gue bunyi dan itu tandanya gue lapar.

Sampai gue membuka pintu mobil dan berjalan ke arah pagar rumah, dia masih tetap berada di dalam mobil.

Tuh kan, tuh kan.

Ngarep lagi kan gue?

Haaaaah, gue menghela napas sambil memejamkan mata dan menghentakan sebelah kaki gue karena kesal. Bodo amat, gue kesal banget.

"Heh.."

Tangan gue sudah memegang gembok pagar ketika suara itu terdengar. Saking takut itu halusinasi, gue sampai enggan berbalik cepat-cepat sehingga gerakan gue seperti orang jompo yang mulai kena osteoporosis.

Dan ketika berbalik...

Gue malah berjalan mundur. Rasa terkejut gue membuat punggung hampir bertabrakan dengan pagar dan wajah gue langsung menjauh karena sekarang...

Jaraknya hanya sejengkal di hadapan gue.

Saking dekatnya, gue sampai harus menahan napas karena napasnya... Iya, napasnya terdengar jelas di telinga gue dan wajahnya malah semakin maju mendekat.

Melihat gue yang mundur menjauh, dia malah menarik sebelah tangan gue, membuat gue semakin tersekesiap dan mematung di saat yang bersamaan sehingga gak bisa berbuat apa-apa.

".... Lo mau ngap-"

"Jelek amat sih...," mata gue berkedip berulang kali karena jari jemarinya sedang mengusap sesuatu tepat di bawah mata gue. "Look... You ruin your mascara."

Mata gue masih berkedip berulang kali dan perlahan, tangan dan tubuh gue yang tadi mendadak kaku mulai bisa menyesuaikan. Sebaliknya, gue sekarang malah menatap wajahnya yang hanya berjarak beberapa senti aja. Kedua matanya fokus menatap bagian bawah mata gue, sementara tangannya sibuk membersihkan maskara gue yang ternyata meluber.

Mungkin karena gue nangis barusan.

"Makanya lain kali kalo lagi marah ya marah aja... Gak usah nangis," napas dan suaranya terasa begitu dekat, dan mata gue gak bisa berhenti memperhatikan sosoknya yang masih sibuk membersihkan maskara di bawah mata gue. "You look ugly when you cry."

"I am ugly," ujar gue dengan ekspresi sebal.

"Oh?" dia menaikkan sebelah alisnya, berhenti membersihkan maskara di wajah gue sejenak sebelum meledek gue dengan mimik wajahnya yang menyebalkan. "Gue gak pernah tau ada orang sebangga lo dibilang jelek."

Hih, gue gak pernah tau ada orang senyebelin lo yang ngatain orang jelek tanpa perasaan dosa sama sekali.

"You're pretty."

Hening.

"That's my opinion."

Kenapa sih? Kenapa dia bisa mengubah pola hati gue bekerja kurang dari sedetik dengan kalimat-kalimat, perbuatan, dan kelakuannya yang selalu di luar nalar gue?

Tangannya mulai berhenti mengusap-ngusap wajah gue, sepertinya maskara itu udah hilang. Tapi sekarang, jarinya malah menyentuh bibir gue.

Dan saat-saat seperti ini, gue selalu takut ketika tatapannya mulai dalam. Karena gue bisa merasakannya sampai ke tulang-tulang.

"Next time, I'll ruin this one."

Caranya tersenyum. Cara jari jemarinya menyentuh bibir gue. Caranya menatap kedua mata gue.

"Hih!" gue langsung menghempas tangannya cepat dari bibir gue dan mendorong tubuhnya untuk kembali mendekat ke arah mobilnya. "Pulang sana! Pulang! Udah ya. Babai! Baaaai!"

"Dudududuh!" dia mencoba menahan tangan gue untuk gak mendorongnya lebih jauh. "Pelan-pelan dong.. Ini masih sakit tau lo pukul tadi."

Ya jelas gue langsung berhenti lah.

Gue kan gitu. Nyebelin, lemah, bego.

Kebiasaan.

"....... Emang masih sakit?" yang bikin makin sebel, gue tuh gak bisa sembunyiin rasa khawatir sama sekali. Sekali gue khawatir, gak enak sama orang, muka gue langsung memble kayak Yupi busuk.

"Emang kenapa kalau masih sakit?" dan dia selalu jadi orang cerdas yang tau cara memanfaatkan kebodohan gue. "Mau apain gue? Mau kasih obat? Mau peluk?"

"Ih, apaan sih!" gue jadi teriak sendiri karena gondok. "Tau ah! Terserah lo! Udah sana, sana! Pulang! Hus!"

Gue langsung berbalik dan bergegas jalan masuk ke dalam rumah, ketika suaranya menghentikan gue.

"Nanti kalo gue sakit, gue pasti bilang.."

"Jangan cari gue waktu gue belum kasih kabar.."

"Tunggu.."

"Tunggu sampai gue bilang... that's the time. For you to look for me."

Gue gak langsung berbalik. Malahan, gue hanya diam dan gak bergerak sama sekali.

"Besok gak usah ke kantor.. Ada urusan yang harus gue selesain. Jangan ke mana-mana. Di rumah aja. Paham?"

Gue masih diam.

"Daaah, bloon," kepala gue terhuyung pelan ke depan ketika dia mengacak-acak rambut gue dari belakang, sebelum langkah kaki terdengar menjauh dan selanjutnya pintu mobilnya terbuka, tertutup, dan dia pergi.

Haaaaah.

Javier.

He is always like that.

Gue tidur terlentang di atas kasur seperti biasa, memandang langit-langit dengan tatapan kosong dengan segala yang penuh di pikiran gue.

"Taaaar... Taraaaa! Ada tukang Gojek tuh di depan.. Nyari kamu." gue langsung bangun dengan kening berkerut ketika mendengar suara Mami. Gojek? Malem-malem begini? Buat apaan?

Ketika berjalan ke arah halaman rumah, gue mendapati seorang bapak-bapak berjaket hijau sedang menenteng sekantung plastik bening bertuliskan Bakmi GM.

"Dengan Mbak Utara ya? Ini Mbak makanannya," bapak itu menyodorkan plastik itu dengan sopan pada gue.

"Loh, Pak. Tapi saya gak pesen makanan?" tanya gue bingung.

"Ini mbak.. Ada yang pesenin makan buat Mbak kayaknya."

"Siapa?" si bapak berusaha menunjukan hapenya untuk memberi tau siapa yang memesan makanan ini untuk gue. Dan ketika melihat nama yang tertera...

Jvr.


**

Javier

"Oi.."

Aslan gak pernah datang pagi ke kantor. Jamnya datang selalu di atas jam makan siang, sama seperti gue karena dia baru mulai tidur jam 4 pagi, setelah selesai nge-DJ di klub tempatnya bekerja. Jadi agak aneh melihat dia ada di sini jam 7 pagi.

"Sejak kapan lo jadi morning person?" tanya gue sambil membanting tubuh ke arah sofa malas, tempat kita selalu makan, ngobrol, dan nonton Netflix bersama.

"Dude, are you asking yourself?"

Gue tertawa.

Hari ini gue memang sengaja meminta Aslan, Lando, Bang Jul, bahkan Rumi untuk datang jam 8 karena ada yang harus gue bicarakan. Rupanya Aslan datang lebih pagi dari yang seharusnya.

"Sesepi-sepinya kantor pas malem.. Kata Bang Jul kantor paling sepi pas pagi... Mungkin karena kantor nunggu kita buat dateng."

Butuh waktu 2 tahun untuk dia keluar dari panti rehabilitasi sampai sepenuhnya sembuh dan gak ketergantungan ekstasi atau ganja lagi. Tapi rokok dan vape yang dia hirup setiap hari banyak -malah lebih banyak dari gue.

"Bukannya kalo malem, malah lebih sepi? Soalnya kantor harus biarin kita pergi."

"No," potong Aslan cepat. "It's harder to wait than to let go."

"Because even if you let go of things.... You actually keep waiting them to comeback."

Gue terenyuh, hingga mesti menelan ludah sambil menatap jendela kantor yang mulai terlihat semakin terang karena matahari yang semakin tinggi.

BUK!

Belum sempat berpikir lebih panjang, tiba-tiba ada bantal yang menghantam wajah gue keras.

"LO!" suaranya Lando. "PENGEN GANTI PROFESI JADI BURONAN LO? JAGO BANGET GUE LIAT-LIAT KABURNYA!"

Lando emang doyan banget ngoceh. Tapi kalau teriakannya udah melengking sampai suaranya serak, berarti dia emang udah kesal dan marah banget.

"Sakit anjir muka gue," gue mengusap-ngusap jidat yang masih pedas karena tamparan bantal tadi. Ternyata dia gak sendirian karena gak lama setelah itu, Bang Jul muncul, bahkan Rumi yang kucel banget.

"Buset, Rum... Itu rambut lo ngomong-ngomong kenapa kayak sapu ijuk gitu?" Aslan sampe terkesima.

"Udah deh gak usah komentar! Belom keramas nih gue 3 hari karena mikirin kalian!"

"Hahahahahaha," sempet-sempetnya gue ketawa. Gak bohongan kok, gue beneran ketawa karena lucu. Tapi karena melihat ekspresi Bang Jul dan yang lain yang mendadak datar, gue pelan-pelan menghentikan tawa gue juga. "Haha... Ha... Haaa."

Sejenak, hening.

Cuma kita berempat, duduk seperti biasa di ruang malas dengan embel-embel, "Bentar ah mau nyari inspirasi," padahal mah ngobrol, ghibahin orang, sama nonton film yang lagi hits karena otak lagi gak berfungsi buat kerja. Orang-orang sialan emang. Tapi entah kenapa..... Gue selalu merasa orang-orang sialan ini adalah satu-satunya orang yang tepat.

Keheningan itu sirna setelah gue melempar beberapa dokumen dengan nama mereka masing-masing di atas map.

"Ndo... Lo kontek Mas Arif sana. Dia lagi cari graphic designer buat brand seninya dari Labuan Bajo. Dari dulu lo pengen banget kan kerja di daerah timur," pandangan gue masih terarah pada dinding, gak sadar kalau semua mata udah tertuju pada gue.

"Bang Jul... Lo bisa pindah ke perusahaan Erdalan. Dia udah setuju lo ambil bagian di audit officer."

"Rum.. Skripsi lo udah kelar kan? Nanti urus lulus aja dulu. Kalau udah lulus, lo bisa lanjut kerja di perusahaan media. Nanti gue kasih kontek HRD-nya. Biar lo bisa dapet tiket nonton konser gratis dari reporter yang ngeliput.

"Dan lo, Lan.. Misinema dari cari kameramen dan gue udah sebut nama lo ke Jay Adisubakti. Dia pasti langsung terima lo."

Setiap berdiskusi, gak pernah ada hening selama ini di antara kita. Semuanya berisik dengan argumen masing-masing. Gak jarang juga kita sampai berantem dan ribut sendiri sampai barista di kafe depan harus mengecek apakah kita berantem beneran atau bohongan.

"This company...... Has always been my dream since my zero days."

"Dan dari dulu gue selalu bilang sama kalian.... Yang namanya mimpi.... Itu bukan sesuatu yang bisa kita paksain. Karena kalau kita maksain sesuatu, kita gak akan pernah bisa lakuin itu."

"Jadi gue gak mau paksain apapun lagi."

Sebuah perusahaan adalah harga diri pemiliknya. Eyang Kakung pernah mengatakan itu pada Kak Arina dan Ares ketika mereka dipercaya untuk jadi generasi selanjutnya yang membawa Nota Group.

So Pengantara is like my dignity.

Once I lose it, it feels like I lose my dignity as well.

But why?

Why does it feel worse than losing a damn dignity?

"Ini keputusan terbaik yang pernah lo ambil selama ini," suara Bang Jul membuat gue, dan yang lain menoleh ke arahnya. Bang Jul yang gak pernah absen seharipun marah ketika gue berbuat seenaknya ke klien, atau boros dan gak optimal pakai budget perusahaan, hari itu malah tersenyum penuh bangga pada gue.

It makes me feel bad.

Or, perhaps, sad.

"Terbaik... Terbijaksana... Terhebat yang pernah lo putuskan selama gue kenal lo. So I am proud, I am proud of you." karena semua sikap ini membuat gue merasa kalau situasi memang gak biasa. Salah. Dan gak seharusnya.

"Lo mungkin gak pernah tau ini. Tapi gue.... Kita.. Seneng punya bos kayak lo."

It is sad, indeed.

That I barely show my voice to say more things.

Gue hanya melihat satu per satu secara bergantian, dan cara mereka berusaha untuk membuat kesedihan ini gak berlarut-larut malah semakin membuat gue sedih.

"CHEERS!"

Kita selalu berkumpul ke klub tempat Aslan disc-jockey setiap kali merayakan sesuatu -klien baru, proyek baru, pindahan kantor yang baru, salah satu dari kita yang ulang tahun, atau saat kita merayakan atau saat kita merayakan hari malas karena otak yang gak mampu diajak kerja sama.

Hari ini kita merayakan sesuatu juga.

Hari terakhir kita, jadi satu.

Satu mimpi, satu visi, satu misi, satu cara, satu harap, dan satu tujuan.

"For a new life!"

Ini kalimat sama yang kita ucapkan satu sama lain saat Pengantara resmi punya kantor. Untuk pertama kali, kita membuat logo dan branding untuk perusahaan sendiri, membangun brand persona, lalu logo, lalu introduction movie.

Gak lama umurnya.

Cuma 3 tahun ternyata.

"Ndo, emak lo telpon!" karena suara musik yang keras, Aslan harus setengah berteriak memanggil Lando. Di antara kita semua, Lando yang paling gampang mabok. Minum satu kaleng bir bintang aja dia udah gak bisa diajak ngomong seinget gue. Tapi di sisi lain, Lando ini agak budeg, jadi gak heran dia langsung,

"Hah?"

"Emak lo! Telpon!"

"Teflon? Panci?!"

"TELPON!"

"KLEPON?"

"TELPON WOY!" Bang Jul sampai harus berteriak melengking membuat Rumi sampai menutup telinganya karena pengang.

"Oh...," yang diteriakin malah berusaha bangun terhuyung-huyung. "Telpon... Ah.. Bilang kek dari tadi."

"...... Yeu...," Rumi cuma bisa geleng kepala, sementara gue cuma bisa ketawa sebelum meneguk minuman gue sendiri.

Lando mengambil hapenya dan berusaha keras berjalan lurus. Sepertinya dia mau keluar dari klub sebentar, karena gak mungkin dia mengangkat telepon dari nyokapnya dengan keadaan musik sebising ini. Selain karena dia gak bakal denger apa-apa, nyokapnya juga bisa murka entar.

Aslan cuma duduk. Padahal seingat gue, hari ini adalah jadwalnya di belakang mixing table. Sepertinya ada yang menggantikannya hari ini, sama seperti setiap dari kami datang untuk rayain sesuatu, Aslan selalu tinggalin mixing tablenya untuk ngobrol sama kita.

"Oke juga tuh kalau nanti pameran yang di Mongolia bakal di extend."

Yang membedakan seseorang ketika mereka dewasa adalah... They let go of things, moments, and times easily from the outside.

"Lo berarti sebulanan ke sana Bang?" timpal Rumi.

Beda dengan mereka yang dulu menunjukan betapa sebuah masalah itu merenggut sebagian dari diri mereka, ketika dewasa, mereka justru bertingkah seolah-olah masalah itu gak pernah terjadi.

Mereka cuma menyimpan itu sendiri, dan menunjukannya ketika gak ada satupun yang melihat.

"Iya.. sekalian refreshing juga. Udah lama gue gak liburan. Lo abis ini ke mana? Kata lo sebelum sibuk nyusun skripsi mau liburan."

"Paling ke Bandung."

"Tiati lo entar diculik sama si anak band abis itu gak dibalikin baru tau rasa," Bang Jul mengingatkan.

"Gak bakal berani dia sama gue," ujar Rumi sok bangga.

Kita semua menganggap masalah ini lumrah.

Dan itu yang membuat gue sekarang paham, kalau membangun perusahaan startup, gak segampang yang orang lain pikir.

Kita semua cuma orang-orang dikejar waktu yang dengan bodohnya siap kehilangan banyak hal dan berusaha keras sampai terlonta-lonta, tanpa tau hasil ke depannya gimana.

Dan meskipun kita merasa, kita memperjuangkan sesuatu, pada akhirnya.... Gak ada yang kita perjuangkan selain bertahan.

Hahahaha, kadang mau iri pun sama perusahaan besar malu. Gak usah jauh-jauh ke perusahaan lain. Bahkan Nota Group.

60 tahun Eyang membesarkan perusahaan itu dan gue gak bisa membayangkan apa aja yang udah hilang di hidupnya selama memperjuangkan angka besar itu.

Malam itu mulut gue masih bungkam. Gue perlahan meninggalkan Aslan yang masih berbicara tentang ini-itu dengan Bang Jul, sementara Rumi sudah ketiduran dan menunggu dijemput cowoknya.

Gue butuh udara segar.

Padahal bisa ngerokok di dalam, tapi gue pengen ke luar. Entah jam berapa sekarang, tapi rasanya di dalam terlalu penuh dan sesak sehingga gue gak benar-benar bisa bernapas dengan lega.

Baru aja gue akan menyalakan rokok, gue mendengar suara samar-samar.. bersamaan dengan sesosok orang yang sedang berjongkok di tembok pinggir pintu masuk.

Lando.

Gue baru sadar kalau dia gak masuk lagi ke dalam, padahal sudah lebih dari sejam yang lalu dia menerima telpon dari nyokapnya.

Dan malam itu gue berdiri... Bersandar pada tembok yang sama tanpa sempat menyalakan rokok gue. Suaranya cukup mengganggu sehingga membuat gue hanya diam... Diam tanpa suara tanpa tau apa yang gue nikmati.

Suara yang gue maksud.

Suara Lando nangis.

**

Tara

Javier is calling...

Gak butuh waktu lama untuk gue berlari -iya, sangat kencang, dari ruang makan ke kamar. Mami sampai bingung melihat gue yang terburu-buru, dan melihat nama itu muncul di layar hape membuat gue dengan spontan menekan tombol terima.

"Halo," gue berusaha menahan napas supaya napas gue yang terngah-engah karena lari barusan tak terdengar.

Tapi gue gak bener apa-apa.

Hening.

Biasanya kalau seseorang menelepon, meskipun di seberang sana gak terdengar apa-apa, ada aja satu suara yang terdengar. Entah itu suara angin, atau suara lain. Namun sekarang, telinga gue mendengar keheningan.

Sunyi sekali rasanya.

"Javier?"

Gak ada jawaban, sehingga entah kenapa, gue pun cuma diam.

Telepon itu masih tersambung, dan gue seakan masih setia dengan keheningan ini.

Gue berdiri dan bersandar pada tembok, masih menunggu seolah itu udah jadi hobi gue.

Menunggu.

Entah kapan gue belajar untuk menikmati menunggu meskipun sulit dan terkadang gue benci melakukannya. Tapi rasa sabar di dalam hati gue ini sepertinya sengaja diberi kadar yang banyak oleh Yang Di Atas, sehingga tanpa sadar, setiap melakukannya gue gak pernah terbebani.

Walaupun kadang,

Capek juga rasanya.

"Hhhhhhhh."

Baru ada suara yang terdengar di seberang sana.

Suara helaan napas. Yang panjang. Berat.

Dan perlahan, menunggu jadi bukan sesuatu yang seberat itu untuk gue jalani. Karena di seberang sana ada yang sama capeknya dengan gue.

Tut, tut, tut, tut.

Telpon itu dimatikan.

Gue masih diam.

"Nanti kalo gue sakit, gue pasti bilang.."

"Jangan cari gue waktu gue belum kasih kabar.."

"Tunggu.."

"Tunggu sampai gue bilang... that's the time. For you to look for me."

Javier bilang begitu.

Tapi dia lakukan begini.

Setiap bilang sama diri sendiri, "Gue capek percaya sama orang lain... Kayak dikasih tanggung jawab besar disaat tanggung jawab lo sendiri udah overload, dan saking besarnya, lo harus merelakan tanggung jawab lo yang lain untuk mengurus yang satu itu, dan lagi.... Belum tentu tanggung jawab itu pantas lo perjuangkan."

Pun begitu, begini lah gue. Selalu dan selalu.

Gue tau siapa Javier. Walau hanya sekilas, dan belum terlalu dalam, gue tau dia orang seperti apa, dan bahkan, gue bisa merasakan apa yang selanjutnya mungkin akan dia lakukan pada gue.

Dan begini lah gue. Selalu dan selalu.

Pikiran gue bilang berhenti, tapi kaki gue tetap maju. Hati juga kadang bandel untuk ikut campur.

Selalu dan selalu.

Gue gak tau bagaimana caranya bisa ke sini -ke kantor Pengantara, pukul 10 malam seorang diri seolah gue udah yang seratus persen dia akan ada di sini.

Lucunya, ke sok-tauan gue itu ternyata benar.

Dia ada di sini.

Duduk di atas meja kerjanya, dengan segelas wine di sebelahnya, diam di antara gelap sambil memandang jendela yang juga memancarkan pemandangan sama gelapnya.

Punggung lebarnya berbalik saat mendengar suara denyitan pintu dan ketika menemukan sosok gue..... dia diam.

Matanya gak bisa terbaca seperti biasa, tapi tatapannya itu terlalu dalam. Dia membuat gue berpikir seolah-olah dia hanya diberi kemampuan untuk melihat gue sehingga hal lain di sekitarnya gak terlihat.

It made feel flustered.

Yet it's frustating as well.

"Lo selalu nemuin gue," suaranya pelan tapi masih terdengar. "And I wonder how you do that."

"Gue juga gak tau..," jawab gue spontan sesuai isi hati.

Dan hening lagi.

Sunyi.

Semua yang serba tenang dan belakangan begitu gue nikmati tanpa jeda.

Sampai akhirnya semua yang diam di tempat ini berubah menjadi sesuatu yang begitu perih.

Pahit.

Waktu perlahan gue mendengar suara seseorang.

Yang bergetar.

Menahan tangisnya dari dalam yang sudah meronta-ronta minta dikeluarkan.

Javier masih duduk di sana, di tempatnya. Tundukannya semakin ke bawah, pundaknya  sesekali bergetar karena yang dia tahan itu, dan kedua tangannya meremas ujung meja dengan sekuat tenaga.

Kaki gue melangkah lagi. Pikiran gue sepertinya sudah menyerah untuk meneguhkan diri.

Lalu tangan gue terbuka begitu lebar seolah berkata, "Gue mirip seperti pintu yang selalu terbuka kalau lo datang... Meskipun kemarin lo sempat menyuruh gue untuk tertutup rapat karena lo bilang lo gak akan datang lagi."

Gue benar-benar menghampirinya... membawa kedua tangan gue untuk menarik tangannya perlahan, lalu menyelipkan tubuh kecil gue untuk dipeluknya erat-erat.

Begitu saja, gue merasakan pundak gue lembab.

Ada air yang membasahinya.

Air dari mata seseorang yang ada di hadapan gue.

Dan gue masih menunggu,

Sampai dia berbicara...

"Lo bilang lo pasti bilang ke gue kalau lagi sakit...," rasanya seperti gue yang ikut sakit juga. "Tapi lo gak pernah bilang apa-apa.... Lo gak pernah suruh gue cari lo."

Rasanya seperti gue yang ikut hancur.

Karena saat dia melingkarkan tangannya semakin erat sampai gue sulit bernapas, pundak gue sudah benar-benar basah oleh air matanya.

Laki-laki katanya jarang menangis. Tapi sepertinya, ketika mereka menangis, mereka terdengar berkali-kali lipa lebih menyedihkan. Berkali-kali lipa lebih hancur. Karena tandanya, topangan sekuat baja pun akan runtuh kalau ditempa tiada henti.

Orang yang begitu gue benci sifatnya bahkan hingga sekarang. Orang yang begitu gue khawatirkan akan menyakiti gue nanti atau kapanpun yang dia mau.... Menangis.

Agendanya itu saja hari ini.

Agenda yang pedih.

Sampai gue sulit berucap apalagi berkata-kata.

Waktu jalannya secepat kilat ketika kita bahagia, tapi selama jalan siput ketika kita terluka. Jadi malam ini terasa begitu lama..... Sangat lama sampai selama selamanya.

Dia mengantar gue sampai ke rumah seperti biasa pukul setengah 1 malam. Matanya masih merah dan sepertinya dia masih enggan bicara sehingga gue memilih untuk turun tanpa sepatah katapun juga.

"Utara.."

Tapi tangannya menahan gue.

Lalu matanya meminta gue untuk tinggal.

Di hari-hari selanjutnya, gue akan mengingat malam ini dengan kalimat terakhirnya sebelum membiarkan gue turun dan pergi.

"Kayaknya gue sayang sama lo.."

Gue kira gue salah dengar.

"So I think I could may become stupid now.."

"You need to remind me while I'm choosing decision. Because at the moment..,

"What matters to me is only one thing...."

Gue gak akan mengingat hal lain di malam ini kecuali kalimat yang keluar dari bibirnya.

".....to make you happy."


❀❀❀❀

Catatan Valerie

Aku gak tau berapa banyak pembaca Lukacita yang udah kerja. Sebagian besar pembacaku memang masih sekolah dan kuliah, jadi waktu tau kalau kalian nunggu dan apresiasi cerita ini rasanya bikin aku seneng banget.

Aku juga sering baca pesan dari kalian (meskipun gak bales satu-satu, tapi aku selalu baca), dan kebanyakan dari kalian bilang kalau kalian relate banget sama Tara, Javier, atau malah Yasa dan karakter lain.

Jadi meskipun kalian belum bekerja, aku yakin yang namanya mimpi dan cita-cita itu dimiliki sama semua orang. Pengalaman sakit dan pahit waktu mengorbankan sesuatu yang udah diperjuangkan juga pasti dirasakan sama semua orang dengan cerita dan pengalaman mereka masing-masing, jadi gak bosan-bosan aku ucapin terima kasih banyak atas waktu dan kesabarannya nungguin Lukacita.

Beberapa chapter ke depan akan ada lumayan banyak bagian Yasa karena karakter dia memang masih aku simpan, dan ternyata banyak yang penasaran dan pengen kenal lebih dekat dia. Semoga minggu depan gak ada halangan dan aku bisa update tepat waktu ya.

Selamat hari Sabtu! Jangan lupa vote dan komentarnya!

Continue Reading

You'll Also Like

19.3K 3.1K 9
Jupiter menyukai segala yang ada pada Juni. Sesimpel itu. Kecuali satu, ada satu hal yang tidak sukai oleh Jupiter mengenai Juni.
506K 6.3K 26
Warning konten 21+ yang masih dibawah umur menjauh. Sebuah short story yang menceritakan gairah panas antara seorang magang dan seorang wakil rakyat...
98.4K 13.4K 17
[Versi cetak tersedia. Bisa dipesan di shopee nexterday/nexteryou] --- Semua orang bilang hidup seorang genius itu menyenangkan. Namun, Vero tidak se...
329K 30.3K 51
jatuh cinta dengan single mother? tentu itu adalah sesuatu hal yang biasa saja, tak ada yang salah dari mencintai single mother. namun, bagaimana jad...